Chapter 3.1

2765 Words
            Beberapa minggu terakhir, intensitas keakraban Rachel dengan teman-teman sekelasnya semakin meningkat. Hal ini dikarenakan tugas yang semakin banyak, dan mereka jadi lebih sering kumpul bareng untuk mengerjakan tugas. Lama kelamaan, Rachel jadi terbiasa ada di sekitar mereka, dan topik obrolan mereka semakin luas menjalar kemana-mana.             Sekarang, tidak hanya mengerjakan tugas bersama, makan siang pun sering Rachel habiskan bersama mereka. Meski begitu, dinding pembatas yang Rachel bangun masih sangat kokoh. Makanya, mau seakrab apapun mereka, tetap masih ada jarak yang memisahkannya dengan teman-temannya yang super berisik ini.             Setelah berkali-kali dibujuk, akhirnya Rachel mengiyakan ajakan mereka untuk jalan bareng begitu selesai kelas siang ini. Katanya, mereka sudah lama tidak ke salon dan ingin melakukan beberapa treatment. Berhubung Rachel juga sudah lama tidak ke salon juga, ia kehabisan kata-kata untuk menolaknya.             Begitu sampai di salon langganan teman-temannya, Rachel memutuskan untuk memotong sedikit rambutnya yang sudah mencapai siku, agar sedikit lebih rapi. Sekaligus merubah model rambutnya sesuai dengan rekomendasi dari Selin. Sementara Laura dan Alisa sejak tadi berisik ingin menentukan cat kuku apa ketika manicure. Selin dan Tasyi hanya hair mask biasa. Dan yang terakhir, Keara, ia memilih untuk mengecat rambutnya dengan warna coklat keemasan.              Selama proses pemotongan rambut, Selin yang berada disebelah Rachel, terus menerocos panjang lebar, membicarakan banyak hal. Mulai dari cerita tentang beberapa plot film, sampai pengalamannya sendiri ketika pedekate dengan pacarnya sekarang, Ryshaka. Rachel berusaha menjadi pendengar yang baik, dan memberikan beberapa tanggapan singkat seperlunya.             Karena treatment yang dilakukan Rachel hanyalah potong rambut, dan creambath, ia jadi selesai paling cepat. Keara masih repot dengan tahapan mengecat rambut yang baru setengah jalan. Sementara Alisa dan Laura yang hair mask, face mask dan manicure, sepertinya masih agak lama.             Tasyi dan Selin selesai lima menit setelah Rachel selesai. Mereka memutuskan untuk menunggu yang lainnya sambil nongkrong di kafe yang berada disebelah salon.             “Eh, lo nggak masalah nih, makan di kafe pinggir jalan begini?” tanya Tasyi setelah mereka selesai memesan makanan. Rachel memilih makanan yang sama dengan yang Selin pesan, karena ia tidak tahu harus pesan apa.             Kepala Rachel terangkat, menatap bingung kearah Tasyi. “Maksudnya?”             Pandangan Tasyi beralih pada baju sampai sepatu yang dipakai Rachel hari ini. Terakhir, matanya beralih pada  tas selempang Rachel yang dipangku Rachel. Tasyi memang tidak terlalu paham dengan fashion branded. Mungkin Selin yang lebih paham. Tapi untuk masalah tas dengan logo besar yang terlihat eksklusif ini, sudah langsung terbayang diotaknya berapa harga tas tersebut. Kalau atasan dan celana kulot yang dipakai Rachel, Tasyi yakin saat ini Selin sudah tahu apa saja merek, seri, sampai harganya dengan detail.             Bukan, Selin bukan reseller barang branded. Dia penggila fashion yang setiap bulannya selalu langganan majalah fashion dari berbagai negara, dan selalu aktif membuka website brand-brand ternama. Pokoknya, kalau urusan menyangkut baju-baju begini, Selin memang juaranya.            Tanpa perlu mengungkapkan dengan gamblang, Rachel langsung paham maksud dari pertanyaan Tasyi barusan. Dengan senyuman tipis, dia menjawab, “Gue makan apa aja kok.”             “Tau nggak, Chel? Gue mau jujur nih sama lo.” Selin memperbaiki posisi duduknya sejenak, lalu tampak menimbang sebentar ingin melanjutkan ucapannya atau tidak.             Rachel menoleh kearah Selin dengan tatapan penuh tanya, siap mendengarkan kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Selin.             “Dari awal lo masuk kelas nih ya, gue tuh curiga sama lo,” Selin sengaja memotong kalimatnya. “gue curiga lo tuh cicitnya Ratu Elisabeth, atau keponakannya Victoria Beckham gitu.”             Selin tertawa. Diikuti oleh Tasyi yang langsung menyela. “Iya woy! Gue juga sempet ngira lo ada hubungan darah sama Christian Dior!”             “Ya, habis nih ya, pas hari pertama lo masuk, muka lo kayak sengak banget gitu. Terus lo pake tas Prada. Dan gue tau banget kalo blouse lo waktu hari pertama masuk itu dari Dolce & Gabbana kan? Masih inget banget gue!” jelas Selin antusias. “Emang sih, pada bilang kalo kampus kita itu emang cukup elit yang mahasiswanya tajir-tajir semua. Tapi, setajir-tajirnya anak kampus kita tuh, jarang banget ada yang ngampus pake barang branded semua from head to toe. Palingan kebanyakan cuma pake tas atau sepatu doang yang Branded. Baju juga mentok di Zara atau Berry Benka. Bukan yang Dolce & Gabbana atau Prada!”             Tasyi menggelengkan kepalanya kecil. Benar kan apa dia bilang, Selin memang punya indra kedelapan yang hanya akan aktif kalau melihat baju atau tas branded. Hanya dalam satu kedipan mata juga Selin langsung tahu segalanya. Kemampuan Tasyi yang ini memang selalu mengagumkan dimata teman-temannya, juga Ryshaka pacar Selin.             “Makanya tadi gue nanya, lo keberatan makan disini apa enggak. Soalnya ya budget kita-kita emang mampunya cuma makan di kafe beginian. Ini pun besoknya harus makan di warteg, biar pengeluarannya balance.” Tambah Tasyi sambil terkekeh.             Sejak awal ia bertemu Selin dan Tasyi, keduanya memang selalu memperhatikan outfit yang menempel pada tubuh Rachel dengan pandangan terkesan, dan kadang dengan bola mata yang terbelalak. Beberapa kali, mereka juga sempat memuji penampilan Rachel kalau ke kampus. Padahal, Rachel sudah berusaha mati-matian memakai outfit sesederhana mungkin, dan memakai apa saja yang ada di lemarinya.             “Terus besoknya, lo malah bawa tas Hermes! Woy, Chel! Emang bokap lo setajir apa sih? Jangan bilang, kalo lo dari Bali ke Jakarta naik jet pribadi?” ujar Selin berapi-api. “Atau bokap lo pengusaha club mewah di Bali gitu ya?”             “Mana gue perhatiin tas Hermes lo tuh banyak banget lagi! Atau jangan-jangan, bokap lo punya saham di Hermes ya, Chel?” Tasyi ikut menyahut.             “Tapi sebenernya gue nggak terlalu kaget sih sama itu semua. Karena dari awal lihat lo masuk, gue udah langsung nebak kalo lo pasti orang kaya. Mengingat lo bisa masuk ke kampus dipertengahan semester begini. Pasti nggak pake duit yang sedikit kan, Chel? Karena setahu gue, buat pindah lintas semester gini agak susah kan.” Ucap Selin dengan muka seriusnya.             “Gue cuma nggak nyangka aja, bisa punya temen yang bener-bener sekaya ini, yang duitnya udah nggak berseri lagi. Biasanya kan, yang beginian cuma ada di novel-novel kan, Ta?” Pandangan Selin beralih pada Tasyi yang langsung mengagguk mengiyakan.             Rachel tersenyum tipis. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Selama ini hal yang paling Rachel benci adalah ketika membahas harta orang tuanya begini. Ia tidak mau terkesan sombong, atau membangga-banggakan sesuatu yang bukan dari hasil kerja kerasnya.             “Ngaco deh, kalian!” sahut Rachel dengan senyuman manisnya. “Sebenernya tas dan barang-barang yang gue pake itu, dibeliin nyokap gitu. Dia emang suka belanja macem-macem dan suka ngirimin gue barang-barang yang dia beli. Ya, gitulah. Sebenernya gue welcome sama merek apapun kok. Selama modelnya bagus dan nyaman, gue pake.”             “Weh… sehobi-hobinya belanja, kayaknya nyokap gue nggak pernah masuk store Hermes deh. Paling-paling, beli tas Elisabeth, itupun nungguin diskon akhir tahun.” seloroh Selin.             “Iya woy, nyokap gue juga paling nongkrongin Matahari, Metro, Centro, Robinson. Gitu aja udah seneng banget.” Tasyi ikut menambahi.             “Yah, setiap orang kan emang punya ideal life yang beda-beda kan, yang penting tinggal gimana kita bersyukur aja sih.” Ucap Selin kemudian. “Selama ini gue emang nggak pernah beli barang-barang branded gitu sih. Tapi gue tau aja merek-merek luxury begitu dari Netflix, tabloid, majalah dan socmed. Gue tuh ngeliatin aja udah seneng banget deh rasanya tuh. Doain gue ya Chel, semoga gue sukses, dan bisa jajan di Hermes tanpa liat harga.”               “Halah, boro-boro jajan Hermes tanpa lihat harga, ke Indomaret aja masih suka protes kalo harganya sama di kasir beda dua ribu!” cibir Tasyi yang membuat mereka semua tertawa.             “Nggak papa. Mimpi aja dulu. diwujudinnya pelan-pelan,”              Perasaan Rachel menghangat ketika mendengar ucapan Selin yang terdengar sangat tulus. Baru kali ini, Rachel menemukan teman-teman yang mengaku apa adanya begini. Sangat berlawanan dengan sifat teman-temannya dulu yang suka pamer, sombong, bahkan berbohong mengatakan punya ini itu, padahal tidak sesuai realita. Perlahan dinding pembatas yang sudah Rachel bangun sekokoh mungkin, mulai terkikis perlahan-lahan. Ia mulai yakin kalau Selin dan Tasyi ini bukan termasuk kedalam teman-temannya yang mau berteman dengannya karena ‘sesuatu’.             Selanjutnya, obrolan mereka merembet sampai kisah percintaan Selin dan Tasyi. Selin juga cerita soal Alisa yang gagal move on, sampai cerita kucing Laura yang mati dan bikin Laura nangis sehari semalam.             Sampai akhirnya, Laura, Keara, dan Alisa datang menyusul mereka dengan wajah bersinar. Laura dan Alisa langsung pamer kuku baru mereka yang dicat dengan berbagai motif. Sementara Keara berkali-kali menyibakkan rambutnya bak selebriti sambil cengengesan.             “Gue ngerasa jadi sodara kembarnya Rachel.” ujar Keara yang kebetulan duduk disebelah Rachel.             “Rambutnya doang, Key, Rambut doangg!!”             “Mana bisa Rachel jadi pesek begitu?”             “Sabar ya, Chel, dimiripin sama toples kerupuk.”             Keara tidak menghiraukan ledekan teman-temannya. Ia ikut memesan minuman dan mulai larut kedalam obrolan. Alisa mulai mencerocos soal mantannya yang masih belum bisa dilupakan, sampai hal-hal konyol yang mereka lakukan bersama saat sedang jalan-jalan. Rachel hanya tersenyum lebar ketika mereka semua tertawa keras, dan sesekali menanggapi singkat. Sampai kemudian, Laura mengalihkan pembicaraan mereka.             “Apartemen lo dimana sih, Chel?” tanya Laura sambil mengaduk-ngaduk milk shake-nya.             “Branz.” Jawab Rachel singkat. Meskipun sudah cukup nyaman berteman dengan mereka, Rachel masih agak keberatan kalau harus mengajak teman-temannya ke apartemennya.             “Loh, satu apartemen sama Alvin dong!” pekik Laura dengan bola mata membulat, terkejut. “Sama siapa lagi ya, Ferris. Terus… Rafa. Eh, banyak tahu anak kampus kita yang apartemennya disono juga.”             “Heran deh gue, kok kalian mau sih, tinggal di apartemen sejauh itu dari kampus? Ini tuh Jakarta lho, Chel. Yang selalu macet banget tiap hari!” seloroh Selin. “Mana selama ini lo nggak pernah telat masuk kampus lagi! Kagum sih gue sama lo! Berangkat dari dua jam sebelum masuk ya lo pasti?”             Rachel tersenyum tipis. “Nggak selebay itu sih. Gue berangkat sejam sebelumnya paling.”             “Oh iya, kemaren gimana Chel ceritanya, kok lo bisa bareng sama Alvin sih?” anting-anting panjang Tasyi yang tersusun dari beraneka bentuk manik-manik berwarna pink itu ikut bergoyang, seiring dengan gerakan kepalanya penuh semangat dengan topik ini.             Ingatan Rachel mengenai laki-laki ganteng beberapa lalu yang agak cerewet itu kembali berputar diotaknya. Setelah menimbang sejenak, Rachel memutuskan untuk menceritakannya dengan meringkas sesingkat mungkin. Tentu saja cerita ketika Alvin mendatanginya di balkon waktu itu tidak ia ceritakan. Menurutnya, itu tidak terlalu penting.             “Habis itu, kalian sempet komunikasi apa gitu nggak?” tanya Alisa setelah cerita Rachel tentang hari itu selesai.             Rachel menggeleng dengan lipatan kecil di dahinya. “Maksudnya komunikasi apa gitu?”             “Maksud gue, dia sempet ngajakin lo tukeran nomer gitu nggak? Atau chatting apa gitu?” tanya Laura.             Lagi-lagi jawaban Rachel hanya gelengan kepala. Menurut Rachel, pertemuannya dengan Alvin di balkon beberapa hari yang lalu tidak perlu diceritakan. Anggap saja pertemuan itu hanya sebagian kecil ketidak sengajaan yang tidak perlu dibesar-besarkan. Bisa jadi saat ini Alvin sudah kembali pada rutinitas normalnya, dan menganggap Rachel seperti angin lalu yang tidak perlu diingat-ingat.             “Jadi sampe hari ini lo belum ketemu dia lagi, setelah pertama kali kalian ketemu di lobi waktu itu?” Entah kenapa rasanya Laura tidak yakin dengan jawaban yang diberikan Rachel sehingga dia perlu mengulangi pertayaannya beberapa kali dengan kalimat tegas yang meyakinkan.             “Belum ketemu lagi kok. Eh, maksud gue, enggak ketemu.” Jelas Rachel tersenyum tipis ketika dia meralat kalimat pertamanya.             “Alvin itu tetangga gue, Chel. Gue udah kenal dia dari SMP. Rumah kita juga masih satu komplek. Beda gang aja. Jadi gue apal banget lah sama segala sifat dia sampe dalem-dalemnya.” Tutur Laura. Bola mata Rachel malah memperhatikan gerakan anting-anting Laura yang bergerak seiring dengan gerakan rahangnya saat berbicara.             “Sampe dalem-dalemnya banget ya, Lau?” goda Selin.                    “Gila, sampe dalem-dalemnya anjayyy! Jadi lo beneran udah jebol sama Alvin ya?” Alisa ikut menggoda.             “Katanya Alvin masih perjaka? Gimana sih, Lau?”             “Oh, Alvin nggak mau begituan sama mantan-mantannya dulu, karena maunya sama lo doang? Apa gimana sih, Lau? Cerita-cerita kali!”             “Apaan sih kalian?!” gerutu Laura sambil berusaha menutupi semburat kemerahan dimukanya. “Ngacoooo!”             “Lo ngerti kan, Chel?” tanya Tasyi dengan cengiran lebar. Rachel yang tidak paham, mengernyitkan keningnya. “Jadi, Laura ini temen kecilnya Alvin. Mereka sih ngakunya sahabat. Tapi bullshit lah, kalo salah satu dari mereka nggak ada yang naksir.”             Perkataan Tasyi semakin membuat Laura salah tingkah. Gadis itu menyesap milk shake-nya sampai habis. Ledekan teman-temannya soal Alvin memang bukan yang pertama kalinya terjadi. Bodohnya, Laura tetap saja salah tingkah begini.             “Heran gue, cewek cantik dan hits begini dianggurin.” Alisa menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir.             Perasaan Laura pada Alvin yang lebih dari sekadar sahabat ini memang sudah lama menjadi rahasia umum. Alisa masih ingat jelas bagaimana Laura menangis berhari-hari karena Alvin jadian dengan cewek lain. Juga bagaimana bahagianya Laura saat Alvin putus dengan mantan terakhirnya setahun yang lalu. Sayangnya, meskipun saat ini Alvin putus, laki-laki itu tetap tidak peka dengan perasaan Laura. Entah memang tidak peka, atau pura-pura bodoh.             “Udah klasik banget ya, kisah friendzone beginian tuh. Sampe bosen gue! 7 dari 10 novel popular, demen banget cerita tentang friendzone. Dan ending-nya selalu udah ketebak.” Ujar Keara.             “Ending-nya gimana emang?” tanya Selin yang memang tidak terlalu menyukai novel, dan lebih suka menonton film langsung.             “Biasanya nih ya, ntar si cowok cari pacar lain dulu gitu. Terus kalo yang naksir duluan itu ceweknya, ntar si cewek bakal terus jomblo, nungguin sahabat cowoknya ini putus dari pacarnya. Tapi sahabat cowoknya ini bakal tetep lebih mentingin sahabatnya daripada pacarnya. Sampe lama-lama ceweknya nggak tahan buat mendem perasaannya. Pas diungkapin, baru deh, si cowok sadar kalo selama ini yang dia sayang cuma sahabatnya ini. Terus putus sama pacarnya, dan jadian sama sahabatnya ini.” tutur Keara menyeringai.             “Novel mana tuh yang ceritanya begituan? Lo ngarang-ngarang sendiri ya, Key? Sengaja buat nyenengin Laura?” komentar Tasyi.             “Lah, cerita kayak begini mah, nggak cuma ada di novel kali. FTV juga banyak.” sanggah Keara membela argumennya.             “Eh, tapi gue pernah baca juga, kalo ikatan dari kecil yang udah erat tuh agak mustahil kalo nggak jadi cinta. Apalagi, gue pernah baca buku kalo persahabatan yang lebih dari 6 tahun itu bakal last forever.” Alisa mengungkapkan pendapatnya. “Emang kelemahannya friendzone tuh, butuh waktu lama buat mereka menyadari kalau selama ini tuh kedekatan mereka nggak cuma sekadar sahabat aja. Jadi, mereka harus cari hati yang lain dulu, buat nguji perasaannya yang bener tuh buat siapa. Gitu.”             “Nggak usah pake perumpaan deh ya, ribet. Menurut gue gini deh,“ Tasyi mengambil jeda sejenak. “kita semua tahu kalau Alvin pernah pacaran sama cewek lain, dan kita semua juga ngerti kalau Alvin nggak pernah main-main sama ceweknya ini. Apalagi pas abis putus kemaren, Alvin bener-bener messed up banget kan? Gue inget banget, gimana galaunya Alvin pas putus dari Sabrina.”             “Dan hati itu cuma satu. Nggak mungkin bisa mencintai dua orang dalam waktu yang sama dengan porsi yang sama. Kalo emang dia naksir Laura, mana bisa dia jatuh cinta sama Sabrina, dan bahkan pacaran setahun lebih sama Sabrina?”             Selin mengangguk setuju. “Kalo urusan Alvin sama Sabrina sih, gue yakin banget kalo tuh anak beneran cinta sama Sabrina. Gimana dia berjuang dan ngeliat ke Sabrina, nggak mungkin Cuma main-main aja.”             Ada jeda sejenak diantara mereka. Kini semuanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Rachel ikut mencerna kepingan cerita yang ia dengar dan berusaha memahaminya.             “Dan kalo misal emang perasaan Alvin ke Sabrina itu nggak beneran cinta, dan kemudian Alvin sadar kalo dia cintanya sama Laura, kenapa juga tuh orang masih jomblo sampe setahun lebih gini. Harusnya, begitu putus dari Sabrina kemaren, dia langsung ngejar Laura dong!” tambah Selin.             “Nah! Apalagi selama lo sama Alvin sahabatan, Alvin udah gonta-ganti pacar sampe tiga kali. Dan dia tetep nggak ada kode apa gitu kan ke elo?” Tasyi menjentikkan ibu jari dan jari telunjuknya kearah muka Laura.             “Bukannya gue nggak dukung elo ya, Lau. Gue cuma berusaha menganalisis semuanya, biar lo-nya juga enggak sakit sendiri, gara-gara terlalu maksain.” Ucap Tasyi kemudian ketika menyadari raut muka Laura berubah keruh.             Keara yang berada di kubu Laura menyanggah. “Bisa aja, Alvin sengaja nutupin perasaannya ke Laura gara-gara takut ditolak dan hubungan mereka jadi renggang.”             “Iya. Biasanya kan kendalanya dari friendzone begitu. Takut ditolak, dan takut ngerusak persahabatan!” Alisa mengangguk setuju.             “Jadi dua lawan dua nih ya!” Laura tersenyum tipis. Memandangi teman-temannya yang berdebat dengan opini masing-masing. Kemudian tatapannya beralih pada Rachel. “Kalo menurut lo gimana Chel?”             Rachel yang tengah menyeruput minumannya tersedak. Tidak menyangka kalau dirinya ikut mendapat pertanyaan. Rachel pikir, karena ia belum mengenal Alvin dan Laura dengan baik, ia tidak akan mendapat jatah ditanya-tanya begini.              Tbc~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD