Chapter 2

2270 Words
            Ini sudah jam makan siang, tapi Rachel sama sekali tidak berniat beranjak kemanapun untuk mengisi perutnya sampai kelas berikutnya dimulai. Tadi, teman-temannya memang sudah mengajaknya makan siang bersama dengan sedikit paksaan. Namun Rachel berhasil menolaknya.             Sudah dua minggu lebih Rachel menjalani kehidupannya yang super datar di kota metropolitan ini. Dan selama seminggu belakangan, Rachel mulai akrab dengan Selin, Laura, Alisa, Tasyi, dan Keara. Ia mulai menyadari kalau kodratnya sebagai makhluk sosial memang tidak bisa membuatnya bisa hidup sendiri di tengah kota besar begini. Setidaknya, ia memang butuh teman untuk membantunya dalam mengerjakan tugas-tugas kelompok dan sebagainya. Pertimbangan itulah yang membuat Rachel akhirnya sedikit melunakkan sikapnya dan beramah tamah dengan beberapa teman kelasnya, untuk kepentingan tersebut. Terlebih, Rachel adalah anak baru di kelas itu yang sudah ketinggalan banyak materi, dan harus mengejar ketertinggalan tersebut dengan bantuan teman-teman kelasnya.             Lagipula, meskipun kalau dilihat, mereka semua adalah sekumpulan cewek-cewek berisik yang membentuk sebuah geng dan agak mencolok di kelasnya, tapi sejauh ini, Rachel cukup nyaman berinteraksi dengan mereka.             Omong-omong cewek satu lagi yang waktu itu bertemu Rachel di hall itu adalah Tasyi. Cewek yang sejak awal Rachel tahu selalu bergaya paling colorfull dan berbagai macam bentuk anting-anting yang hampir setiap hari selalu berganti.             Hubungan Rachel dengan teman-temannya hanya sebatas berkumpul di kafe, atau di kantin kampus untuk mengerjakan tugas bersama. Meskipun kadang diselingi dengan obrolan ringan lainnya, tapi Rachel tetap memasang benteng tinggi dalam pertemanannya. Tidak ingin terlalu larut kedalamnya.             Masa lalunya memaksa Rachel untuk lima kali lebih berhati-hati lagi dalam memilih teman. Lagipula teman bukan lagi hal yang ingin Rachel miliki disisa hidupnya saat ini.             Sepeninggal teman-temannya, Rachel langsung keluar dari kelas. Ia berjalan menuju tempat favoritnya dari gedung ini, yaitu balkon paling ujung yang jarang dilewati orang, dan terletak di dekat tangga darurat. Siapapun pasti lebih memilih memakai lift atau eskalator dibanding tangga darurat. Itulah kenapa daerah ini selalu sepi. Apalagi di jam-jam makan siang begini.             Tempat sepi semacam ini, lumayan berguna untuk menenangkan pikirannya, juga merenungi seluruh kejadian kilas balik yang terjadi di hidupnya. Hanya dua orang yang mampu membuat masa lalu Rachel menjadi sekelam ini. Dan hal paling menyakitkan yang Rachel rasakan adalah ditinggalkan dan dikhianati.             Rachel memang tidak membenci orang pertama yang sudah meninggalkan Rachel. Ia hanya membenci seluruh takdir yang menimpanya. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari kerinduan pada sosok yang sudah tidak ada lagi di dunia ini kan?             Ia sudah menghabiskan separuh kebenciannya pada orang kedua yang menghancurkan hidupnya ini. Semua luka hatinya kembali menganga lebar dengan kepedihan yang kembali menyayat. Memang benar, nothing hurts more than disappointed by the single person you thought would never hurt you.             Dengan melipat kedua tangannya didepan d**a, Rachel menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas, dan menghadap ke depan. Memandangi pemandangan kota dari ketinggian 14 lantai. Ini memang bukan lantai teratas dari gedung kampusnya yang memiliki 21 lantai. Tapi dari sini saja, ia sudah cukup puas melihat pemandangan hiruk pikuk kehidupan dibawahnya.             Tadi ia sudah mengirimkan pesan pada Budi kalau ia tidak ingin makan siang apapun. Jadi, untuk satu jam kedepan, ia tidak akan diganggu oleh siapapun.             Pikirannya kembali melayang jauh pada sosok masa lalunya di Bali. Bagaimana kehidupannya setengah tahun terakhir yang menjadi masa-masa terberat bagi Rachel. Merasa sangat berat, bukan karena banyak masalah yang menimpanya. Tapi semakin lama, Rachel semakin kehilangan arah dan tidak lagi memiliki tujuan hidupnya. Ia tidak tahu untuk apa ia hidup, sampai detik ini.             Mulanya, ketika satu-satunya kebahagiaan hidupnya sudah pergi, dalam hal ini adalah Maminya, Rachel merasa kalau hidupnya tidak akan bertahan lama lagi. Kebahagiaannya terasa seperti sebuah angan yang mungkin tidak akan bisa dicapainya lagi.             Kemudian, laki-laki itu datang dengan senyum mempesona yang sukses melumpuhkan jantung Rachel pada menit pertama ia melihatnya. Hidup Rachel berubah drastis. Rasanya ia seperti hidup di negeri dongeng dengan berbagai kerlap-kerlip warna menyenangkan dan kebahagiaan. Saat itu, yang ia lakukan hanyalah menggantungkan seluruh hidupnya pada laki-laki itu.             Namun, semua itu hancur begitu saja setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, kalau laki-laki yang selama ini selalu dipujanya itu ternyata tidak lebih dari sekedar b******k, dan b******n. Semuanya terlalu menyakitkan untuk kembali ia ingat bagian detailnya. Saking sakitnya, Rachel sampai tidak tahu lagi harus percaya cinta atau tidak. Mungkin saja perkataan orang selama ini memang benar, kalau di dunia ini tidak ada cinta sejati yang benar-benar tulus.             Perlahan lamunan Rachel berganti pada teman-teman di kelasnya. Melihat bagaimana asyiknya kehidupan pertemanan mereka yang selalu dipenuhi canda tawa, Rachel iri banget. Rachel tahu, di dunia ini tidak ada satu orang pun yang tidak punya masalah dalam hidupnya. Tapi ia merasa kalau masalah yang menimpanya terlalu berat, atau bahkan sangat berat, sampai membuatnya sulit untuk tersenyum apalagi tertawa.             “Lo pernah denger nggak sih, kalo kampus ini angker?”             Lamunan Rachel pecah. Selama ini ia menghabiskan waktu melamun di balkon pada sela-sela pergantian jam begini, tidak ada satupun orang yang berani mengusiknya. Bahkan, melewatinya saja jarang. Karena balkon ini memang berada di bagian gedung paling pojok, yang jauh dari hiruk pikuk keramaian.             “Lo tahu kan, bulan kemaren ada kakak tingkat yang bunuh diri dari balkon begini.” kata sosok itu lagi.             “Katanya sih, frustasi gara-gara cintanya ditolak.”             Rachel tidak menggubris. Pandangannya masih tetap fokus kedepan, dengan kedua tangan yang bersedekap. Dari suaranya yang renyah dan merdu, sudah cukup membuat debaran jantung Rachel semakin kencang. Suaranya terlanjur terekam dalam memori Rachel.             “Tapi ada yang bilang juga, gara-gara stres skripsinya nggak di ACC sama dosen.” Alvin terus mengoceh, sengaja mencari perhatian pada Rachel, agar cewek itu risih dengan bacotannya, lalu mengeluarkan suara. “Tapi menurut gue sih, lebih sakit ditolak cintanya ya, dari pada skripsi nggak di ACC.”             Kemudian jeda beberapa saat, ketika Alvin diam dan berfikir sejenak. “Eh, enggak deng. Dikhianatin sama orang yang kita cintai jauh lebih nyakitin. Iya nggak?”             Kalimat terakhir Alvin sukses membuat Rachel tidak nyaman dan langsung menolehkan kepalanya pada cowok itu. Rachel tidak mengerti Alvin mengucapkan ini karena bermaksud menyindirnya, atau dia juga sedang menjadi korban penghianatan, dan numpang curhat. Tapi melihat muka santai Alvin dan tidak terlihat sedih sama sekali, Rachel jadi menuduh kalau saat ini Alvin sedang menyindirnya.             Kalau memang Alvin sedang menyindirnya, apa muka Rachel kelihatan banget kalau sedang sakit hati karena dikhianati? Mendadak Rachel menjadi merasa insecure dengan dirinya sendiri, khawatir kalau orang-orang disekitarnya tahu masalah yang menimpanya, dan jadi kasihan padanya. Hal yang paling Rachel benci selain ditinggalkan dan dikhianati adalah, dikasihani.             “Masih inget gue kan, lo?” menyadari raut muka Rachel yang berubah setelah Alvin mengucapkan kalimat terakhirnya tadi, dia jadi merasa bersalah dan takut kalau omongannya tadi malah bermakna lain bagi Rachel. Jadi dia langsung buru-buru mengalihkan pembicaraan, dan menanamkan pada otaknya untuk tidak menggunakan topik sensitive itu untuk obrolan pertama mereka.             Alvin mendekatkan tubuhnya disebelah Rachel, ikut bersandar pada pagar balkon. Rachel sudah kembali menghadap kedepan, tapi ekor matanya dapat dengan jelas melihat muka Alvin.             “Kenapa ya, kita itu satu apartemen, tapi nggak pernah papasan gitu? Lo seriusan tinggal di Branz?” kata laki-laki itu lagi, masih bermonolog, karena perempuan yang diajaknya bicara sama sekali tidak berminat menyahuti ucapannya.             “Oh, mungkin kita beda tower kali ya? Gue kan west tower. Terus lo north atau east?”             Karena ucapannya sejak tadi tidak juga ditanggapi oleh Rachel, akhirnya Alvin diam. Sikunya bertumpu pada pagar balkon, sementara sebelah tangannya menyangga dagunya. Ikut mengedarkan pandangannya pada pemandangan sekitar kampusnya. Ia terus memutar otaknya, mencari cara agar Rachel mau menyahuti ucapannya, dan mereka bisa terlibat dalam obrolan yang seru.             “Biasanya tuh topik obrolan paling netral buat perkenalan awal gini tuh, soal hobi, atau makanan gitu kan?” Alvin mengambil jeda sejenak. “Karna gue nggak terlalu notice sama makanan, yang artinya gue bisa makan apa aja yang ada, dan nggak terlalu peduli rasanya atau bentuknya, jadi kita skip bahas soal makanan ya.”             Lagi-lagi ada jeda selama beberapa menit untuk hening menguasai keduanya. Rachel tidak tahu, ini karena Alvin sedang berpikir ingin mengucapkan kalimat apa lagi, atau karena Alvin memang sudah lelah bicara karena tidak ditanggapi sama sekali.             “Eh, lo suka nonton konser gitu nggak sih?” lagi-lagi tidak ada balasan dari pertanyaan yang Alvin lontarkan.             Sekarang Rachel tahu kalau cowok disebelahnya ini rupanya sedang mati-matian berusaha mencari topik pembicaraan. Tapi ia tidak mengerti kenapa lidahnya terasa sangat kelu untuk menjawab pertanyaan tersebut. Padahal ia ingin.             “Kalo suka, gue bisa kok lo sewa buat nemenin lo nonton konser. Daripada lo nonton konser sama supir lo yang udah om-om gitu, kayaknya nggak bakal seru deh.” Ucap Alvin lagi. “Tapi, kalo selera lo kayak Om-om gitu sih, ya bisa lain cerita.”             “Tapi saran gue sih, kalo nonton konser tuh ya enaknya sama yang seumuran gitu. Apalagi kalo satu selera lagu. Bakal seru dah tuh, jejingkrakan sambil nyanyi bareng.”             Mungkin salah satu alasan mengapa Rachel ingin menjauhi cowok ini dan tidak ingin terlibat dalam obrolan apapun adalah, karena ia sudah terlanjur memasang tembok pembatas pada siapapun. Terutama Alvin. Sudah Rachel bilang kan, kalau Alvin termasuk kedalam golongan cowok popular, womanizer, dan terlalu suka tebar pesona pada banyak cewek. Ia bukan keledai bodoh, yang mau jatuh ke lubang yang sama dua kali.             “Atau lo ada impian mau dateng ke konser idola lo, siapa gitu nggak? Gue penasaran deh sama selera musik lo.”             “Coba tebak!” entah mendapat dorongan dari mana, mulut Rachel tergerak begitu saja untuk membalas ucapan Alvin.             Muka Alvin langsung kegirangan dan tampak berfikir keras. Sudah pasti ia senang banget karena akhirnya ocehannya mendapat balasan juga. Sekarang, cowok itu tampak mengerutkan keningnya sambil menatap Rachel dengan seksama, berusaha menerawang genre lagu yang disukai Rachel.             “Yang jelas, gue berani taruhan, lo nggak suka K-Pop kan?” tebak Alvin.             Rachel berfikir sebentar, “Kenapa lo bisa yakin banget, kalo gue nggak suka K-Pop?”             “Nggak tahu juga sih. Tapi gue yakin aja, kalo emang enggak kan?”             Sebagai jawabannya, Rachel mengangguk kecil.             “Itu tuh maksudnya iya, suka K-Pop, atau iya beneran nggak suka?” tanya Alvin dengan kening mengerut yang menggemaskan.             “Iya, enggak sukaa!”             Alvin tertawa penuh kebanggaan pada dirinya sendiri, karena tebakannya benar. Sekaligus merasa senang banget karena akhirnya Rachel mau menanggapi obrolannya.             “Oh, kalo nggak suka K-Pop gini, kemungkinan besar lo sukanya western kan?! Berarti genre favorit lo, kalo nggak EDM, Pop, Jazz.” Gumam Alvin, berfikir keras. “Eh atau lo suka Hip-Hop? Atau RnB?”             Bibir Rachel masih terkatup, memberi waktu untuk Alvin berfikir.             “Gue paling males deh, mikir keras gini kalo nggak ada reward-nya.” Tukas Alvin setelah sepuluh menit diam. “Kasih reward apaan gitu dong, kalo jawaban gue bener!”             Refleks Rachel menoleh dan mendapati Alvin yang memasang mukanya memelas dengan binar bola matanya yang tampak sungguh-sungguh memohon, layaknya anak TK yang sedang merayu ibunya untuk dibelikan mainan baru. Hal ini membuat Rachel mendengus kesal. Ia bilang juga apa, Alvin benar-benar tipe player kelas kakap yang jago modus banget!             “Oke, kalo jawaban lo bener, gue traktir lo dinner. Terserah lo mau dimana.” Tapi akhirnya Rachel malah mengikuti permainan Alvin.             Muka Alvin langsung berubah cerah, dengan senyuman lebar dibibirnya, penuh antusias. Ini memang yang dia tunggu sejak tadi. “Yesss! Tapi lo harus jujur pokoknya! Kalo emang iya, ya bilang iya. Jangan dienggak-enggan-in!”             “Iya!” Rachel tersenyum tipis melihat ekspresi Alvin yang sangat bersemangat seperti anak TK yang sedang diiming-imingi es krim.             “Eh, tapi kasih gue kesempatan tiga kali dong, buat jawabnya!” pinta Alvin lagi, setelah ia berfikir lima menit.             “Alah, banyak mau lo!” sungut Rachel.             “Yah, biasanya kan kalo di game-game gitu ada kesempatannya tiga kali gitu!” Alvin masih berusaha negosiasi. Karena menurutnya, ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan begitu saja. Bayangan dinner romantis bersama Rachel langsung terlintas diotaknya. Alvin benar-benar tidak sabar untuk menunggu hari itu.             Rachel hanya diam. Tidak mengiyakan, tapi juga tidak menyanggah. Ia justru mengalihkan pandangannya ke depan, memandangi hiruk-pikuk perkotaan dibawah sana.             “Rach,” panggil Alvin. “Kasih clue dong! Satu aja! Kayak misalnya, musisi favorit lo itu grup band, atau solo, atau duo gitu?”             “Nggak ada clue-clue-an. Tinggal tebak aja kenapa sih?” omel Rachel. Raut muka Alvin terlihat kecewa. Tapi, ia masih tampak bersemangat untuk bermain tebak-tebakan ini. Keningnya kembali mengerut untuk menandakan bahwa ia tengah berfikir keras. Meskipun pandangannya lurus kedepan, Rachel suka mencuri-curi pandang kearahnya melalui ekor matanya.             “Pasti genre kesukaan lo EDM gitu kan?” tebak Alvin.             Ekspresi Rachel tetap datar. “Kan gue bilang nggak ada clue. Jadi mau lo nanya berapa kali juga nggak akan gue jawab.”             Lagi-lagi Alvin mendesah kecewa. Sejujurnya Rachel sengaja melakukan ini, karena ia sangat menikmati muka kecewa Alvin yang manyun dan menggemaskan begini. Sejak tadi Rachel berusaha sekeras mungkin menahan tangannya agar tidak mengambil ponselnya dan mengabadikan ekspresi tersebut.             “Coldplay?”             Untuk beberapa detik, keduanya membeku. Rachel sengaja mengulur waktu beberapa, untuk menatap muka tegang Alvin yang kini memandangnya tidak sabaran, menunggu jawaban.             “Tetoott. Maaf, jawaban anda salah.” Ucap Rachel dengan senyum kecil penuh kesombongan.             “Tapi gue yakin lo pasti suka dengerin lagu Coldplay kan? Ya meskipun itu bukan musisi favorit lo, tapi gue yakin pasti di playlist lo ada keselip satu atau tiga lagi Coldplay? Iya kan? Nggak mungkin kalo enggak!” tuntut Alvin dengan penuh keyakinan.             “Kelas gue udah mau masuk. Udah hampir sejam nih, lo belum bisa nebak juga kan? Gue sih yakin lo nggak bakal bisa nebak siapa penyanyi favorit gue.” Rachel tersenyum miring, mengejek. Sengaja mengabaikan ucapan Alvin. “Gue duluan.”             Setelahnya mengucapkan kalimat tersebut, Rachel malah beranjak pergi meninggalkan Alvin yang kini misuh-misuh pada dirinya sendiri, dan tidak tahu lagi bagaimana cara mencegah kepergian Rachel.   Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD