2
Nicholas terkekeh. Dalam satu gerakan, Sherine sudah terbaring di ranjang dengan kedua tangan terkunci di atas kepala.
“Kau milikku, Manis. Jadi sudah sepantasnya aku mencicipimu.”
“Aku bukan milikmu. Kau berengsek!”
Tanpa memedulikan penolakan Sherine, Nicholas menunduk, mengecup panas bibir ranum Sherine.
Sherine menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, berusaha menghindari ciuman Nicholas.
Dengan gairah yang sudah membakar ubun-ubun, sebelah tangan Nicholas mencengkeram dagu Sherine, lalu ia melumat bibir selembut kelopak bunga mawar itu.
Sherine memberontak, menggigit bibir Nicholas.
Awalnya Nicholas terkejut hingga melepas ciumannya. Matanya berkilat-kilat marah menatap Sherine, kemudian ia menyeringai lebar.
Nicholas mengusap bibirnya yang berdarah tanpa mengalihkan sesenti pun tatapannya dari wajah cantik itu.
Nicholas kembali menunduk. Kali ini ia mencium Sherine dengan kasar. Sherine meronta, menjerit, memaki, tapi tindakan tersebut justru membuat Nicholas semakin ingin menguasainya.
Sebelah tangan Nicholas masih menahan kedua tangan Sherine di atas kepala wanita itu, sementara sebelah lainnya meremas p******a Sherine dengan kasar.
Sherine melenguh, dan kesempatan itu Nicholas gunakan untuk menjelajahi bibir sensual itu.
Lidah Nicholas menerobos. Menggelitik. Menggugah hasrat.
Perlawanan Sherine melemah, dan Nicholas puas.
Perlahan, ciumannya berubah menjadi lebih lembut.
Sherine memang tidak membalas ciumannya, tapi Nicholas yakin, istrinya itu menikmatinya. Erangan-erangan sensual terdengar dari sela bibir yang beradu.
Nicholas melepas ciuman, juga cengkeramannya pada tangan Sherine.
Saat melihat iris cokelat keemasan Sherine berkabut, Nicholas menyeringai. Ia berhasil membangkitkan hasrat Sherine hanya dengan sebuah ciuman.
“Aku akan memuaskanmu, Manis!”
Nicholas menarik kaus Sherine dengan paksa. Dalam sedetik, tubuh indah itu terpampang sempurna. p******a ranumnya dalam balutan bra berenda tampak menantang untuk dijamah.
“Aku suka payudaramu, Sayang ….” Nicholas mengulurkan tangan meremas gundukan indah itu. “Begitu indah …, tidak terlalu besar, tapi kencang dan menggoda. Aku ingin terus-menerus meremasnya. Mengisapnya.”
Sherine sepertinya baru tersadar dari sihir hasrat Nicholas. Ia kembali meronta, tapi terlambat.
Nicholas melepas bra Sherine dengan kasar, berikut disusul celana denim wanita muda itu.
“Jangan! Aku tidak mau!” teriak Sherine.
Nicholas hanya terkekeh. Usaha Sherine memberontak justru membuat gairahnya kian terbakar.
Nicholas menarik Sherine hingga kini b****g wanita itu berada di pangkuannya dengan kedua tungkai membingkai pinggangnya.
Tanpa aba-aba, Nicholas membelah gairah Sherine dengan gairahnya yang besar.
“Kau—berengsekkk!!” Sherine membeliak dengan napas tertahan. Tangannya mencengkeram lengan berotot Nicholas. Kuku-kukunya yang tajam menusuk kulit kecokelatan pria itu.
Nicholas sedikit meringis, bukan oleh tusukan kuku Sherine di tangannya, tapi oleh cengkeram kerapatan tubuh wanita itu. Sherine terlalu kecil untuknya. Butuh waktu untuk istrinya itu menyesuaikan diri, tapi Nicholas dengan senang hati akan membantunya dalam hal itu.
Nicholas merengkuh pinggul mungil Sherine, membuat dirinya terbenam makin dalam.
Wajah Sherine memerah dengan bibir yang tampak digigit pelan, pemandangan yang sangat Nicholas sukai. Begitu seksi. Begitu menggugah hasrat.
Tanpa menunggu lama, Nicholas mulai menggerakkan diri. Makian Sherine yang berpadu dengan desah tertahan dan napas memburu justru membuatnya makin bersemangat. Ia akan membuat bibir ranum itu meneriaki namanya dengan liar saat mencapai puncak kenikmatan tiada tara nanti.
***
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nicholas dingin saat sesosok tampan nan gagah mengenakan celana jeans sobek-sobek dan kaus ketat, melangkah santai masuk ke ruangannya.
Seringai mengejek muncul di wajah itu. “Aku mendengar kabar burung kalau saudara kembarku menikah, karena aku tidak mendapat pemberitahuan atau undangan apa pun, jadi aku ingin mencari tahu sendiri.”
Rahang Nicholas mengencang mendengar kalimat Sean, saudara kembarnya—satu-satunya keluarga yang ia miliki. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal dunia.
Sean King, sama tampan dan gagahnya dengan Nicholas. Jika penampilan Nicholas cenderung dingin berkarisma, Sean justru hangat dan urakan.
Sean tampak dengan santai menghampiri mini bar yang ada di ruangan Nicholas, mengambil sebotol sampanye, membuka tutup, kemudian menyesapnya tanpa merasa perlu menuangnya ke gelas lebih dulu.
“Jadi? Apa yang membuatmu tidak mengabari adikmu ini, Sobat? Bukankah aku seharusnya menjadi saksi hari bahagiamu?” Sean menyeringai sambil bersandar di jendela kaca lebar yang menyajikan pemandangan kota Batam dengan kilau keemasan matahari sore. Tatapannya terfokus pada Nicholas meski ia sedang menyesap sampanye.
Nicholas berusaha mengendurkan saraf-saraf di tubuhnya, lalu mengangkat bahu seolah tak acuh.
Sesungguhnya mereka berdua sangat tahu apa yang membuat Nicholas melakukan hal itu, tapi sepertinya Sean sudah berdamai dengan masa lalu—atau pura-pura berdamai?—sayangnya Nicholas belum.
“Aku tidak melakukan resepsi besar, jadi aku pikir tidak ada gunanya mengabarimu. Aku tak mau membuatmu repot-repot meninggalkan London hanya untuk berkenalan dengan mempelaiku.”
Sean terkekeh kecil. “Sayangnya aku ingin sekali berkenalan dengan kakak iparku.”
Rahang Nicholas kian menegang. Seluruh darah di tubuhnya berdesir nyeri. Ia mengumpat dalam hati. Sudah sepuluh tahun berlalu, mengapa masa lalu tak pernah benar-benar bisa dilupakan? Terutama rasa sakitnya.
“Aku akan mengenalkanmu padanya lain kali.” Saat ia sudah mengandung anakku dan kau tak lagi punya kesempatan untuk mengacau!
“Aku tidak punya kesabaran sebanyak itu. Sebaiknya kau mengenalkannya padaku hari ini, Nick.”
Diam-diam Nicholas mengepal tangan. Ia memang tampak duduk santai di kursi empuk di balik meja kerjanya, tapi hanya ia sendirilah yang tahu saat ini jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Degup waspada.
Jika ada orang terakhir yang ingin ia temui dan kenalkan pada Sherine, maka orang tersebut adalah saudara kembarnya, yang umurnya lebih muda tiga puluh menit darinya.
Nicholas tahu apa yang ia rasakan pada Sherine saat ini tak lebih dari nafsu semata. Namun ia tentu saja tidak mau mengambil risiko kehilangan Sherine mengingat wanita muda itu begitu memuaskan hasratnya. Tidak pernah Nicholas bertemu wanita seperti Sherine sebelumnya. Belum pernah ia merasa sangat puas seperti yang ia rasakan saat bersama Sherine.
“Aku sedang masa bulan madu, Sean,” ucap Nicholas dingin, “jadi—“
“Kau sudah menikah seminggu, kakakku. Tentunya kau sudah puas bercinta dengan pengantinmu.” Sean terkekeh kecil. “Ayo, aku sudah tidak sabar bertemu gadis beruntung itu.”
Sean beranjak ke mini bar, menyimpan sampanye kembali ke dalam kulkas.
Nicholas mengertakkan gigi. Andai bisa, ia ingin menendang b****g adiknya itu keluar dari kantornya dan berkhayal tendangannya langsung mengirim adiknya kembali ke London.
Sayangnya ia hanya bisa berkhayal. Kenyataannya, meski enggan, ia terpaksa meninggalkan kantornya bersama Sean.
***
Love,
Evathink
Follow i********:: evathink