Part 3

1370 Words
Cinta yang terlalu kokoh membuat Maharani melupakan lukanya. Ia masih setia mendampingi Alvian. Menyiapkan segala keperluannya, memenuhi kebutuhan batinnya tanpa membahas tentang keluarga baru Alvian. Pagi ini seperti hari-hari sebelumnya, dua minggu setelah ia tahu tentang istri kedua Alvian. Maharani sibuk di dapur dibantu oleh Mbok Minah menyiapkan sarapan. "Bu, maaf kalau saya lancang. Apa Ibu sudah tanya langsung pada Bapak?" Mbok Minah bertanya dengan lirih. Takut-takut kalau Alvian mendengarnya. Maharani menghentikan aktivitasnya mengiris cabai. "Belum, Mbok. Aku takut kami akan bertengkar kalau aku menanyakannya." "Jadi ibu rela dimadu?" Maharani mengembuskan napas pelan, "Gak tau Mbok. Aku bingung harus gimana. Aku terlalu sayang sama Mas Al," ucapnya pasrah. Mbok Minah dan Maharani menoleh saat mendengar suara langkah kaki Alvian dengan tergesa menuruni tangga. Segera Maharani melepas celemek dan mengejar Alvian yang menuju pintu depan. "Mas tunggu! Mau kemana? Kok buru-buru." Alvian menghentikan langkah. Ragu ia membalikkan tubuhnya menghadap Maharani. "Aku berangkat dulu ya. Ada meeting mendadak," kata Alvian tanpa berani menatap Maharani. "Sepagi ini, Mas?" Maharani tahu kalau Alvian tengah berbohong. "Iya. Eum kamu hati-hati ya ke butiknya." Dikecupnya kening Maharani, "Love you." Pandangan mereka bertemu sekian detik. Lalu dengan tergesa Alvian pergi meninggalkan Maharani yang berdiri termangu tanpa bisa menahannya. Lagi, Maharani menatap punggung tegap itu dengan hati teriris. Instingnya mengatakan jika Alvian tidak pergi meeting melainkan untuk menemui Susan. "Non." Mbok Minah sudah berdiri di sampingnya dengan tatapan bingung. "Mbok, aku harus pergi." Tanpa menunggu jawaban Mbok Minah, Maharani berlari menaiki tangga. Tak lama ia turun dengan tas perginya berserta kunci mobil. "Aku pergi dulu, Mbok," pamitnya. Mobil meluncur di jalanan yang sudah mulai ramai. Masih pukul enam pagi, Maharani tak percaya kalau Alvian akan menghadiri meeting. Dengan keyakinan penuh mobil ia arahkan ke Jl. Perintis menuju rumah seseorang. Din din din Berulang kali Maharani menekan klakson, ia sedikit kehilangan kesabaran karena mobil-mobil yang mulai mengular. "Masih pagi sudah macet begini," gerutunya. Mau tak mau meski melaju pelan, Maharani tetap bertahan di mobil. Ia enggan menaikki ojek motor, meski dengan menaikkinya akan mempersingkat waktu menuju tempat tujuan. Satu jam perjalanan, Maharani akhirnya sampai di sebuah rumah yang ditujunya. Mobil berhenti di seberang jalan sejajar dengan gerbang yang tertutup namun masih bisa terlihat suasana luar rumah tersebut. Maharani turun untuk memastikan sesuatu karena mobil Alvian tak terlihat di sana. Dan benar, gerbang bercat putih itu terkunci dari luar menandakan sang penghuni rumah tengah pergi. Dengan langkah lebar, Maharani kembali ke mobil, ia tahu akan menuju ke mana setelah ini. Mobil meluncur ditemani cahaya mentari yang mulai berpendar. Di tengah perjalanan ia mencoba menghubungi suaminya. Beberapa kali hanya terdengar suara bunyi khas telepon tak terjawab. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, jalanan semakin ramai. Lagi-lagi ia harus berhadapan dengan kemacetan. Sejujurnya Maharani tidak begitu suka menyetir pada saat jam sibuk begini. Meski setiap hari ia mengunjungi butik, ia memilih berangkat sedikit siang setelah jalanan sedikit lengang. Gedung bertingkat dengan banyak kaca itu mulai terlihat. Maharani membelokkan mobilnya menuju pelataran parkir gedung tersebut. Dengan langkah cepat, Maharani mulai masuk ke dalam gedung. Aroma khas gedung tersebut menguar menelisik indra penciumannya. Maharani menuju ke bagian informasi. Ia mengatur napasnya yang memburu. Petugas informasi yang menyadari kedatangan Maharani berdiri, "Ada yang bisa dibantu Ibu?" tanyanya sopan. "Iya, pasien atas nama Susan yang akan melahirkan." "Tunggu sebentar ya, Ibu." Petugas wanita berkerudung terlihat melihat arah ke monitor. Tangannya sesekali menekan keybord, mengetik sesuatu. "Maaf Ibu, nama lengkapnya siapa?" "Eum ... saya kurang tau. Tapi nama suaminya Alvian Wijaya." Kembali si petugas memainkan jemarinya di atas keyboard. Tak lama, setelah petugas itu menyebutkan sebuah ruangan beserta nomornya, Maharani segera menuju ke sana. Melewati lorong-lorong panjang yang hening. Setelah beberapa kali berbelok sambil sesekali melihat papan petunjuk, Maharani melambatkan laju kakinya. Sudah hampir sampai di kamar yang dituju. Hening. Hanya terdengar suara detak jantungnya sendiri yang semakin berdegub kencang. Ragu. Maharani menyandarkan tubuhnya di dinding. Ia harus menyiapkan hatinya agar lebih tegar lagi. Pemandangan yang akan dilihatnya nanti bisa jadi lebih menyayat hatinya. Tanpa Maharani sadari, di ujung lorong sesosok pria tengah mengamatinya. Air mukanya sayu menatap haru pada Maharani. Batinnya turut teremas menyaksikan wanita yang dikenalnya mendapat pengkhianatan dari suaminya. Pelan, Maharani mendekati pintu kamar. Tangannya ingin sekali mendorong pintu kayu yang di bagian atasnya terdapat kaca. Maharani menahan gerakan tangan. Dari balik kaca berbentuk persegi ia dapat menyaksikan pemandangan yang kembali menyayat hati. Alvian tengah tersenyum bahagia, menciumi Susan berulang-ulang. Di tangan wanita muda itu, bayi mungil terlihat damai tertidur di pelukan ibunya. Lagi, batin Maharani remuk redam. Tubuhnya merosot ke lantai. Ia menangis sesenggukan. Sendirian. Pria yang sejak tadi mengamatinya dari jauh mendekat. Ia tak kuasa melihat Maharani yang bersimpuh di lantai. "Ayo, kita pergi." Pria dewasa itu membantu Maharani berdiri. Tanpa protes, Maharani mengikuti pria yang telah lama dikenalnya itu menjauhi kamar, di mana Alvian tengah berbahagia menyambut anak ke duanya. Sampai di ujung lorong, Maharani melepaskan tangan pria yang diketahuinya berprofesi dokter, dari tubuhnya. "Terima kasih, Dok." Maharani berkata pelan. "Saya akan mengantar Ibu pulang." Maharani menatap pria di depannya, "Tidak perlu, Dok. Terima kasih, saya pulang sendiri saja." Tanpa menunggu jawaban dari sang dokter bernama Andre, Maharani melangkah pelan menuju pintu keluar. Andre mengikuti wanita yang beberapa tahun terakhir menjadi pasiennya itu. Ia ingin memastikan wanita berumur 30 tahun itu baik-baik saja. •••• Honda jazz berwarna merah muda itu berhenti di sebuah butik. Sang pengemudi turun dengan anggun. Tanpa melihat ke sekeliling, kaki jenjangnya memasuki ruangan bernuansa mewah dengan hampir seluruh warna interiornya berwarna keemasan. Mobil pajero yang sejak tadi mengikuti mobil Maharani semenjak wanita itu keluar dari rumah sakit berputar balik, setelah memastikan wanita yang di ikutinya nampak baik-baik saja. "Selamat pagi, Bu," sapa seorang karyawan butik bernama Susi. "Pagi, Sus. Yang lain mana, Sus?" tanya Maharani yang tidak melihat tiga karyawan lainnya. "Ada di gudang, Bu. Sedang beres-beres." Gudang yang di maksud bukan ruangan penyimpanan benda-benda yang sudah tidak terpakai, melainkan sebagai tempat menyimpan baju-baju yang belum di beri label dan di cek kembali kelayakannya. "Oh, ok. Kamu ikut ke ruangan saya ya, Sus." "Iya, Bu." Susi yang menjabat sebagai kepala butik mengikuti Maharani menuju ruangannya. Maharani mengempaskan tubuhnya di kursi kebesaran. Demikian Susi, gadis berkulit sawo matang yang masih single turut duduk di kursi menghadap ke arah bos wanitanya. Maharani merogoh ponsel dari dalam tas. Ia mengusap layar ponsel menuju galeri foto. Ketemu, foto seorang wanita bersama seorang laki-laki yang wajahnya tertutup emotikon berbentuk hati. Maharani mengarahkan layar ponsel ke arah Susi. "Kamu pernah lihat wanita ini, Sus?" Susi terkesiap melihat foto seorang wanita yang pernah di ajak suami bosnya mengunjungi butik yang dijaganya. Mendadak senyum yang sedari tadi terkembang terhapus oleh rasa gugup. Maharani bisa melihat perubahan sikap Susi. Gadis muda itu menggigit bibir. Sorot matanya mengisyaratkan ketakutan. "Pak Alvian pernah mengajaknya ke sini, bukan?" Susi menunduk, ia tak kuasa menjawab pertanyaan bosnya. Sebagai sesama wanita, meski ia belum menikah, tapi bisa dirasakannya jika bosnya begitu terluka. "Susi, lihat saya!" Maharani sedikit meninggikan suaranya. "Maaf Ibu ... saya bukan bermaksud menutupinya," katanya dengan bibir bergetar. "Kamu tau dia siapa?" "Di - dia ... istri Pak Al." Maharani memejamkan matanya. Ia pijat pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit di kepala. Air matanya sudah mengering, ia tak ingin menangis lagi. Sudah cukup. Ia harus tegar. Saat ini hanya ada dua pilihan. Bertahan atau melepaskan. Ia masih memikirkan langkah mana yang akan diambil. Susi menatap prihatin pada Maharani. Ia tak berani berkata-kata lagi. Mata bulatnya sudah berkaca-kaca. Ia sangat tahu alasan mengapa bos prianya menikah lagi. Ia tak bisa membayangkan jika dirinya yang berada di posisi Maharani. "Ya sudah, kamu bisa kerja lagi. Terima kasih," kata Maharani setelah terdiam beberapa saat. "Baik, Bu." Sepeninggal Susi, Maharani termangu. Pikirannya melayang ke masa lalu. Di mana hanya ada dia dan Alvian. "Kita akan menua bersama. Tak apa kita hanya hidup berdua tanpa anak. Aku akan selalu di sampingmu." Tak terasa buliran bening sudah membanjiri kedua pipi tirusnya. Janji yang di ucapkan Alvian beberapa tahun lalu, hanya tinggal kata-kata tanpa arti. Alvian mengingkari janjinya sendiri. Maharani merasakan pening di kepalanya semakin menggigit. Bersamaan dengan perut yang seperti di pelintir. Tak berapa lama tubuhnya ambruk ke samping, jatuh membentur lantai. Maharani pingsan. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD