Part 2

1297 Words
Seorang gadis berusia 19 tahun menatap nanar pada benda kecil memanjang yang baru saja ia lempar ke sembarang. Ia syok melihat dua garis yang tercetak di benda tersebut. Gadis itu terduduk di lantai kamar mandi sebuah kostan beriringan dengan tetesan bening yang mengalir dari sudut matanya. Ia meremas perutnya yang tanpa ia sadar kini telah tumbuh janin dari hasil perbuatan terlarangnya dengan teman kekasihnya. "Beb, kok lama?" Suara laki-laki terdengar dari luar kamar mandi--sebut saja Alvian. Ya, mereka memang sering menghabiskan waktu berdua di sebuah kostan. Buru-buru gadis bernama Maharani itu mengusap air matanya. Ia memungut benda kecil yang tadi sempat dibuangnya. Perlahan ia membuka pintu kamar mandi yang seketika menampilkan sesosok wajah dengan raut muka cemas. "Gimana?" Maharani yang masih berdiri di ambang pintu mengulurkan benda itu pada Alvian. Alvian menatapnya ragu, "Aku gak ngerti begituan, jelasin!" katanya tak sabar. "A-aku hamil, Al." Maharani menjawab lirih hampir tidak terdengar. Tubuhnya menggigil, ia begitu terpukul mengetahui dirinya berbadan dua. Alvian menyambar tubuh Maharani ke dalam dekapannya. Mencoba meyakinkan kekasihnya itu bahwa semua akan baik-baik saja. "Tenanglah, kita cari jalan keluarnya bareng-bareng," ucap Alvian mencoba menenangkan gadis yang dicintainya, meski sejujurnya nyalinya sendiri menciut. Umur mereka berdua belum genap 20 tahun dan masih mengenyam bangku kuliah. Alvian sudah bisa membayangkan betapa murka kedua orang tuanya mengetahui perbuatan mereka. "Aku takut, Al." ••••• Sepulang dari rumah sakit, Maharani memilih mengurung diri di kamar. Ia benar-benar terpukul mendapati Alvian telah menikah lagi bahkan telah memiliki anak yang bahkan sudah balita. Itu artinya sudah bertahun-tahun lalu Alvian mengkhianatinya, dan betapa bodohnya ia baru mengetahui semuanya hari ini. Bodoh! Bodoh! Maharani merutuki kebodohannya. Ia baru menyadari ada sesuatu yang Alvian coba tutupi darinya. Berawal dari seringnya Alvian pulang terlampau larut dan seringnya pergi ke luar kota. Sekarang Maharani tahu kalau Alvian membohonginya, hanya demi bisa bersama keluarga barunya. "Bu." Mbok Minah bersuara dari balik pintu kamar. Asisten rumah tangga yang sudah mengabdikan dirinya semenjak Maharani dan Alvian masih menjadi pengantin baru. "Masuk, Mbok, gak dikunci." Maharani menjawab pelan. Ia masih berbaring di ranjang dengan mata sembab. Lembaran tisu terserak di sekitar ranjang, menjadi saksi betapa pilu hatinya. Pintu terbuka. Mbok Sum masuk perlahan. Pandangannya menyapu ke seluruh kamar. Ia terkejut mendapati kamar majikannya yang tidak seperti biasanya. Kaca pigura foto remuk berkeping-keping. Puluhan lembar tisu berserakan. Bantal, selimut yang teronggok dilantai granit. Mbok Minah menghampiri majikan wanitanya. Pelan ia duduk di bibir ranjang. Ia tatap wajah ayu Maharani yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu. Wajah yang biasanya ceria dan terbalut make-up tipis, kini tampak murung dan kehilangan kilaunya. "Bu, ada apa?" "Mbok Minah punya anak kan?" Maharani bertanya dengan mata berkaca-kaca. Pandangannya menatap lurus ke jendala kamar, menampakkan langit biru yang perlahan berubah keemasan. "Punya, Bu." Mbok Minah menjawab pelan. Ia berpikir kalau majikannya sedih karena memikirkan nasibnya yang belum juga di beri keturunan setelah 10 tahun pernikahannya. "Pasti seneng ya Mbok bisa punya anak," Maharani tersenyum kecut. Ia bangkit, ia duduk menghadap Mbok Minah. Mbok Minah meraih jemari lentik Maharani. Ia menatap lekat wajah sendu wanita di depannya. "Ada apa, Bu? Cerita sama saya." "Mas Alvian, Mbok ... dia sudah menikah lagi, Mbok." Maharani tak mampu menahan air matanya. Mbok Minah menggeleng cepat. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Gak mungkin Bu. Ibu pasti salah. Saya tau Pak Al sangat sayang sama Ibu." Maharani tersenyum getir, "Dia terlihat bahagia, Mbok ... dengan anak dan istri barunya." Mbok Minah mulai berkaca-kaca. Hatinya turut pedih menyaksikan Maharani begitu rapuh. "Ibu pasti salah ...." Maharani menggeleng, "Enggak Bi, Mas Al sudah nikah lagi karena aku ... karena aku mandul." Tangis Maharani kembali pecah. Mbok Minah memeluknya erat mencoba menguatkan. Maharani menangis di pelukan Mbok Minah. Ia sudah tak punya siapa pun di dunia ini. Kedua orang tuanya telah meninggal beberapa tahun lalu. Ia hidup sebatang kara. Di saat masalah menimpanya seperti ini ia begitu rapuh. Pernah terbesit keinginannya untuk mengakhiri hidup, tapi urung ia lakukan. Ia takut karena begitu banyaknya dosa yang telah diperbuatnya. •••• Pukul delapan malam. Maharani sudah menata kembali suasana hatinya. Ia memutuskan untuk bersikap seolah tak mengetahui apa pun. Ia duduk di ruang tv menunggu Alvian pulang. Polesan make-up tipis menyamarkan sembab di sepasang mata indahnya. Ia bergegas membukakan gerbang begitu Alvian membunyikan klakson. Mobil terparkir sempurna di halaman rumah. Sang pengemudi yang tampak letih turun sembari menyimpulkan senyum melihat Maharani menyambut kepulangannya. Maharani meraih tas kantor Alvian, "Capek ya, Mas?" "Iya, tadi banyak banget kerjaan di kantor." 'Capek ngurusin keluarga barumu, Mas.' Sayang kata-kata itu tak sampai terlontar dari mulut Maharani. Mereka memasuki rumah, melewati ruang tamu. "Udah makan belum?" "Udah tadi di kantor. Aku capek banget. Aku langsung mandi ya." Alvian menaiki anak tangga menuju kamar mereka di lantai dua. Maharani menatapnya kecewa, ia tadi sudah bersusah payah menata hati dan memasak makanan kesukaan Alvian. Ia letakkan tas kantor Alvian di salah satu kursi di samping meja makan. Ia duduk, ia ingin mengisi perut yang sejak tadi pagi belum terisi apa pun. "Mbok." "Ya, Bu." Mbok Minah menjawab setengah berteriak. Ia tergopoh menghampiri Maharani yang tengah menatap jajaran lauk yang terhidang di meja kayu. "Temani saya makan, Mbok," pinta Maharani. "Tapi Bu ...." "Mas Al sudah makan. Mungkin dia akan langsung tidur setelah mandi." Tanpa diminta kedua kali wanita yang rambutnya mulai terlihat memutih itu duduk di samping majikannya. Ini bukan kali pertama Maharani memintanya menemani makan. Saat Alvian pergi dinas keluar kota atau mengabari akan pulang larut, maka Maharani akan memintanya makan bersama. Iya, sebaik itu hati Maharani. Tak pernah sekalipun ia mendapat perlakuan tidak baik selama bekerja di rumah besar itu. Maharani makan dengan pelan. Di hadapannya terhidang berbagai menu makanan yang menggugah selera, tapi ia hanya mengambil sedikit sayur dan nasi. Ia sama sekali tak berselera makan. Usai makan Maharani masuk ke kamar. Ranjang kosong, tak di dapati sosok Alvian di sana. Tapi ia melihat pintu menuju balkon terbuka. Ia melangkah pelan, terlihat Alvian sedang menerima telepon dari seseorang dengan berbisik. Mendadak hatinya perih. Maharani yakin Alvian tengah berbicara dengan Susan. Ia bersembunyi di balik pintu kaca yang tertutup tirai ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi sayang terlambat, Alvian baru saja menyudahi sambungan teleponnya. Maharani menghampiri Alvian yang tengah menengadah ke langit. Maharani berdiri di belakangnya. "Mas." Alvian menoleh, "Hei, sini." Alvian menggapai tangan Maharani, dipeluknya tubuh langsing Maharani. "Aku mau ngomong, Mas." "Ngomong apa?" "Aku ingin adopsi anak. Menurut Mas gimana?" Hening sesaat. Alvian menelan saliva, kata-kata Maharani membuatnya terkejut. "Mas ...." "Eh iya, e ... aku kurang setuju, Sayang," jawab Alvian terbata. "Kenapa?" Maharani merubah posisinya, mereka kini saling berhadapan. Alvian menangkup ke dua pipi Maharani. "Aku udah bahagia dengan pernikahan kita sekarang, meski tanpa anak. Aku bahagia ...." 'Bohong kamu, Mas. Kalau kamu bahagia kenapa kamu nikah lagi?' Batin Maharani. Ia sama sekali tak bernyali mengatakannya. "Tapi aku ingin seperti wanita di luar sana. Yang setiap hari sibuk mengurusi anak-anaknya. Bercanda, berpelukan, belajar bareng. Aku mohon, Mas." Alvian menggeleng, "Enggak Sayang, aku nggak setuju. Lagipula anak siapa yang akan kita adopsi?" "Kita bisa mengadopsi salah satu anak panti, Mas." "Apalagi anak panti. Kita gak tau latar belakang keluarga mereka gimana. Kalau ternyata anak itu berasal dari keluarga kurang baik, gimana?" "Mas ...." Alvian kembali memeluk Maharani. Di kecupnya pucuk kepala istri yang begitu ia cintai. Ia terluka, karena luka yang ia goreskan sendiri. Kini hanya butuh waktu yang tepat agar Maharani mengetahui semuanya. Dan akan terluka pula. Mereka melewati malam dengan indah. Cinta Maharani pada Alvian tidak berkurang sedikit pun. Masih tetap sama sejak pertama bertemu 15 tahun lalu, pun meski telah tergores karena cinta Alvian kini terbagi. Ia patuh saat Alvian dengan lembut menuntunnya ke peraduan. Tak ada penolakan, tak ada air mata. Hanya cinta. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD