Episode 1: Malam Dingin Sang Penculik
Kota itu tidak pernah tidur, apalagi di bawah kendali Kasteline. Namun, malam itu terasa berbeda. Hujan turun seperti seribu jarum perak yang menusuk kaca jendela. Sella Kasteline duduk di sofa kulit di ruang baca yang sunyi, memeluk cangkir teh kamomil yang hampir dingin. Dia seharusnya merasa nyaman, dinding-dinding tebal manor ayahnya menjanjikan perlindungan. Tetapi kehangatan teh tidak pernah mencapai hatinya.
Dia adalah putri tunggal Emilio Kasteline, nama yang membawa beban kekuasaan dan ketakutan. Menjadi Kasteline berarti hidup dalam sangkar emas yang indah, di mana kesendirian adalah satu-satunya sahabat dan kepatuhan adalah satu-satunya mata uang. Sella terbiasa dengan keheningan, tetapi malam ini, keheningan itu terasa seperti memegang napas, menunggu sesuatu yang besar terjadi.
Dia ingat nasihat ibunya yang sudah lama meninggal, “Sella, di dunia kita, senjata terkuatmu bukanlah pistol. Tapi ketenangan. Mereka yang tenang, selalu menang.”
Tepat pada detik jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam, ketenangan itu pecah.
Bukan suara tembakan yang memecah kesunyian, melainkan derit kasar pintu baja yang dicabut paksa dari engselnya. Getarannya terasa hingga ke lantai marmer yang ia pijak. Cahaya lampu manor yang mewah tiba-tiba padam, digantikan oleh kegelapan pekat yang hanya sesekali disambar kilatan petir.
Sella tidak berteriak. Dia hanya meletakkan cangkir tehnya di meja dengan gerakan yang disengaja dan pelan. Ia bangkit, tidak lari, melainkan menunggu.
Pintu ruang baca terbuka dengan tendangan keras. Lima sosok gelap, bertopeng, dan bersenjata lengkap masuk. Mereka bergerak dengan efisiensi yang menakutkan, bukan seperti penjahat biasa, melainkan seperti satuan militer yang terlatih. Mereka pasti dari Syndicate Alister, saingan terberat yang ayahnya coba hancurkan.
“Sella Kasteline?” Suara seorang pria di depan, terdengar berat dan tanpa emosi, seperti batu granit. Sella mengangguk kecil. “Ya.” “Kau akan ikut dengan kami.”
Ia tidak melawan. Ia bahkan tidak memohon. Sella hanya mengulurkan tangan, siap diborgol. Kepatuhannya yang ganjil membuat pria itu terdiam sesaat, seolah-olah ia berharap jeritan perlawanan atau air mata.
“Bawa dia,” perintah pria itu.
Mereka membawanya keluar dari manor, menembus badai yang dingin. Air hujan membasahi rambut dan pakaiannya, tetapi Sella tidak menggigil. Dia membiarkan dirinya didorong masuk ke mobil hitam antipeluru, diselipkan di antara dua pria besar yang membawa senapan.
Perjalanan itu terasa panjang dan senyap, hanya diiringi bunyi sapu kaca dan gemuruh petir. Di dalam mobil, Sella akhirnya memejamkan mata. Ia bukan menangis, melainkan mengumpulkan kekuatannya. Ayahnya telah membunuh kakak Dante Alister, dan sekarang, dia, Sella, adalah harga yang harus dibayar. Ia tahu aturan permainan mafia ini.
Ketika mobil berhenti, udara terasa lembab dan berat, berbau besi tua dan semen basah. Mereka berada di dalam gudang bawah tanah yang tersembunyi. Lampu neon yang berkedip-kedip di langit-langit baja memancarkan cahaya yang remang-remang dan mengganggu.
Sella diseret melalui koridor panjang hingga tiba di sebuah ruangan yang besar. Di tengah ruangan, duduk di kursi kulit gelap, ada seorang pria yang sangat berbeda dari para penculiknya.
Dia tidak bertopeng.
Pria itu mengenakan setelan gelap yang mahal, rambutnya hitam kelam, dan matanya adalah badai beku yang dingin mata yang tidak menunjukkan belas kasihan, hanya tujuan murni. Ini adalah Dante Alister. Aura kekejaman yang begitu murni menguar dari dirinya, membuat Sella merasakan getaran pertama, bukan dari ketakutan fisik, tetapi dari intensitas emosi pria itu.
Dante bangkit, gerakannya lambat dan disengaja. Dia berjalan mendekati Sella, berhenti hanya beberapa inci di depannya. Aroma parfum mahal bercampur bau tembakau dan dendam.
“Sella Kasteline,” desisnya. Suaranya rendah dan serak, seperti janji yang mematikan. Sella mengangkat dagunya sedikit, menatap lurus ke mata beku itu. “Dante Alister.”
Dia tersenyum tipis senyum yang tidak pernah mencapai matanya. “Kau tidak berteriak. Kau tidak memohon. Menarik. Kau tahu mengapa kau ada di sini, bukan?” “Tentu,” jawab Sella, suaranya tenang. “Aku adalah sandera, alat negosiasi untuk Ayahku. Atau mungkin... hukuman.”
Dante memiringkan kepalanya, matanya menyipit saat mengamati ketenangan Sella. “Hukuman,” koreksinya. “Bukan negosiasi. Kau adalah pengembalian dari apa yang diambil oleh ayahmu. Kau adalah harga atas darah kakakku, Marco.”
Dia kemudian berbalik, menunjuk ke sebuah kursi besi di sudut ruangan. “Kau akan tinggal di sana. Kau akan makan ketika diperintahkan, tidur ketika diizinkan, dan berbicara hanya ketika aku bertanya.” Dia menatap Sella dengan tatapan yang mematikan.
“Aku ingin kau menderita,” katanya, suaranya kini menusuk. “Aku ingin setiap detik di sini terasa seperti bilah pisau yang perlahan mengiris hatimu. Kau akan menjadi cerminan dari penderitaan yang kurasakan.”
Sella hanya menghela napas, sebuah gerakan yang sangat kecil sehingga hampir tidak terlihat. “Aku mengerti, Dante.”
Kepatuhan itu, sekali lagi, berhasil memicu gejolak kecil di mata Dante. Dia terbiasa dengan perlawanan, tetapi Sella memberinya kepasrahan. Itu membuat kebenciannya terasa hampa, seperti pukulan yang meleset.
“Bagus,” kata Dante, kembali ke kursinya, menjauhkan dirinya secara fisik dan emosional. “Selamat datang di nerakamu, Sella Kasteline. Atau, lebih tepatnya, belenggu terbarumu.”
Sella hanya mengangguk, berjalan dengan langkah pelan, dan duduk di kursi besi yang dingin. Ia memandang Dante, bukan dengan kebencian, tetapi dengan tatatan yang sedikit... ingin tahu.
Di tengah gudang gelap itu, di antara mereka terbentang jurang yang diisi oleh darah dan dendam. Sella tahu tugasnya adalah bertahan, tetapi dia belum tahu bahwa tugas Dante akan menjadi jauh lebih sulit, untuk membenci seseorang yang menolak untuk melawan.
Dante memberi isyarat kepada salah satu anak buahnya, seorang pria bertubuh besar dengan wajah tenang yang dipanggil Liam.
“Bawa dia ke kamar ‘tamu’. Pastikan dia tidak mengganggu. Jika dia mencoba apa pun, kau tahu apa yang harus dilakukan.”
Liam mengangguk dan menghampiri Sella. “Mari, Nona Kasteline.” Sella bangkit dari kursi besi tanpa mengeluh, mengikuti Liam melewati koridor-koridor markas bawah tanah yang sepi. Tempat ini terasa seperti kuburan yang sangat terorganisir. Tidak ada dekorasi, hanya senjata, peralatan komunikasi, dan bayangan panjang.
“Jangan mencoba kabur,” ujar Liam tanpa menoleh. “Pintu ini adalah satu-satunya jalan keluar. Dan kami tidak pernah membiarkan tawanan melarikan diri.” “Aku tidak akan kabur,” jawab Sella lembut.
Liam berhenti di depan sebuah pintu baja, menoleh untuk menatap Sella. Matanya yang lelah menunjukkan keheranan yang tak terucap. Ia pasti mengira putri mafia akan lebih... dramatis.
Kamar ‘tamu’ itu jauh lebih kecil dari kamarnya di manor. Itu bersih, tetapi tanpa jiwa. Hanya ada ranjang tunggal dengan seprai abu-abu, sebuah meja kecil, dan kamar mandi minimalis. Sebuah kamera CCTV kecil tersembunyi di sudut langit-langit, menjadi satu-satunya mata di ruangan itu. Sella tahu, dia tidak pernah benar-benar sendiri.