BAB 9 : OGIMW

2530 Words
Hello ... Happy Reading.. *** Kesehatan nenek Indah berangsur membaik setelah beberapa hari operasi, tapi belum bisa dibolehkan pulang karena harus menjalani perawatan pasca operasi. Indah sendiri dengan telaten merawat Neneknya itu. Sejenak Indah membiarkan dirinya tidak bekerja dulu, dia tidak peduli. Baginya sang Nenek jauh lebih penting daripada pekerjaan dia. Ceklek ... Indah yang sedang mengupas buah untuk Neneknya beserta sang nenek, menolehkan kepalanya seketika ke arah pintu yang terbuka. "Assalamualaikum ...." Indah tersenyum sebelum menjawab."Waalaikumsalam, Tante." Indah menghampiri Bu Mega lalu menyalami punggung tangan beliau dengan takzim, yang dibalas usapan di rambutnya oleh Bu Mega. "Me-- Me-- Mega," ucap sang Nenek terbata karena terperangah tidak percaya siapa yang datang, beliau menatap Bu Mega dengan mata yang berkaca-kaca. Bu Mega melangkah mendekat ke arah nenek Indah atau bisa dibilang Ibu angkatnya itu, setelah sampai Bu Mega mendudukkan pantatnya di kursi tepat samping sang Ibu tercinta. "Ibu ... Mega mohon ampunan Ibu ...." Bu Mega menciumi punggung tangan Ibunya berkali-kali. "Me-- ga ... ini benar kamu, Nak?" Bu Mega menganggukkan kepalanya. "Iya Bu ... ini Mega, anak Ibu." Beliau menangis melihat orang yang dianggap Ibunya ada di depan matanya. Nenek Sumi merentangkan kedua tangannya, Bu Mega langsung berhambur ke pelukan beliau. Merekapun menangis haru setelah sekian lama tidak bertemu. Indah sendiri sedang menghapus air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya. Mereka mengurai pelukan setelah menangis berpelukan beberapa menit. "Bagaimana kabar Ibu?" Bu Mega menggenggam kedua tangan milik ibunya. "Alhamdulillah, Nak ... Ibu masih diberi kesempatan melihatmu, sebelum Ibu pergi," jawab Nenek Sumi. Bu Mega menggelengkan kepalanya."Tidak Bu. Ibu pasti baik-baik saja." Nenek Sumi tersenyum tipis. Sementara Indah yang berdiri di sisi sang Nenek, tubuhnya menegang untuk beberapa saat. "Nenek pasti baik-baik saja ... Aku nggak mau sendiri disini," ucap Indah mengelus lengan Neneknya pelan. Bu Mega tersenyum melihat interaksi Indah dan Ibunya. "Assalamualaikum ...." Dua orang berbeda kelamin masuk ke ruangan milik Nenek Sumi, membuat semua orang yang ada di dalam menolehkan kepalanya. "Waalaikumsalam ...." Pak Arlan melangkah menghampiri Nenek Sumi yang datang bersama Zahra. Untuk beberapa saat Zahra sempat terkejut saat melihat Indah, berbeda dengan Indah yang mengulas senyum ke arahnya. Tentu saja Indah paham siapa Zahra yang beberapa waktu lalu sempat tidak sengaja bertabrakan dengannya. Jari telunjuk Zahra menuding Indah. "Loh ... Mbak ...." Indah mengangguk. "Kalian sudah kenal, Nak?" Bu Mega beranjak dari duduknya, memberi ruang sang suami duduk untuk berbincang dengan ibunya. "Tentu, Mi ... Aya beberapa hari lalu sempat tidak sengaja bertabrakan dengan Mbak." Zahra menghampiri Indah yang sedang tersenyum kikuk. "Hallo, Mbak ... senang bisa bertemu lagi. Mbak Indah kan? kata Mami, nama Mbak, Indah," ucap Zahra sambil mencium pipi kiri dan kanan Indah. Indah sendiri hanya menurut dengan apa yang dilakukan Zahra. "Aahh iya ... namaku Indah," jawab Indah tersenyum canggung. Bu Mega tertawa melihat anaknya menerima Indah. Sepertinya keputusan yang beliau buat dengan sang suami sudah tepat. Pak Arlan menggelengkan kepala, melihat tingkah anak bungsunya. "Ehm, Aya ... kamu temenin Papi disini, sekalian berkenalan dengan Nenek. Mami mau ngobrol berdua dengan Mbak Indah. Ayo sayang ... ada yang ingin Tante bicarakan sama kamu," ucap Bu Mega dengan senyuman. "Ok, Mami. Aku setuju Mbak Indah jadi kakak ipar." Zahra mengedipkan sebelah matanya ke Indah. Indah mengerjapkan matanya beberapa kali lalu mengangguk ke arah Bu Mega, walaupun dia sendiri bingung. Bu Mega keluar dari ruangan diikuti oleh Indah di belakang, meninggalkan orang yang berada di ruangan itu. "Duduk disini, Sayang ..." Bu Mega menepuk bangku tempat beliau duduk, menyuruh Indah duduk disampingnya. Indah mengangguk. "Baik, Tante ...." Indah mendudukkan pantatnya tepat di samping Bu Mega. "Dulu ... waktu kamu berumur 2 tahun dan Arfiq berumur 6 tahun. Kami, maksudnya ... Tante dan Mamamu pernah berbicara hal yang konyol. Dimana kita akan menjodohkan anak kita, karena kebetulan anak pertama Tante laki-laki sementara Mira, Mamamu mempunyai anak perempuan, yaitu kamu," ucap Bu Mega membuka pembicaraan. Indah menyimak pembicaraan Bu Mega, dan sedikit mengerti apa yang dimaksud oleh Bu Mega. "Tadinya Tante berpikir terserah kamu dan Arfiq, tapi setelah Ibu berkata seperti itu. Tante bisa menangkap ucapan Ibu, pasti Ibu khawatir tentang kamu. Kamu paham kan maksud, Tante?" tanya Bu Mega melirik Indah sebentar. Indah mengangguk dengan senyuman. "Sekarang Tante, tanya sama kamu? Kamu mau kan jadi istrinya Arfiq dan jadi menantu, Tante?" Indah mendesah pelan, setelah Bu Mega mengatakan itu padanya. "Tante ... aku tidak bisa ...." Wajah Indah menunduk, jemari dia memilin kaosnya. "Nak ... Tante tidak mempersalahkan soal biaya Nenekmu, hanya saja kalau Ibu dengan Tante pasti semua bisa terjamin, termasuk kamu," ucap Bu Mega mencoba meyakinkan Indah. Indah menggigit bibir bawahnya, dia lupa siapa yang telah membiayai operasi sang Nenek, kalau menolak dia akan mencari uang dari mana. "Tante ingin mewujudkan keinginan Mira juga, Sayang ... Kamu tenang saja, Tante bakalan menyayangimu seperti orang tua kamu," ucap Bu Mega sembari mengambil kedua tangan Indah lalu menggenggamnya. Indah mendongakkan wajahnya, menatap senyum hangat milik Bu Mega. "Tapi, Tante ...," lirih Indah bimbang. Wajah Indah kembali menunduk, dia bimbang dengan pilihannya. "Setidaknya lakukan ini demi Nenekmu, Sayang ...." Bu Mega masih mencoba merayu gadis yang sudah beliau anggap calon menantunya yang sedang berpikir itu. "Pendidikan aku tidak tinggi, Tante ... aku hanya lulusan SMA," lirih Indah. Bu Mega tersenyum mendengar ketakutan Indah. "Tante tidak masalah dengan itu, kamu bisa melanjutkan kuliah setelah menikah sebelum punya anak atau punya anak dulu baru kuliah," jawab Bu Mega santai. Mendengar kata anak pipi Indah memanas, pasti pipinya sudah merona seperti tomat. Bu Mega terkekeh melihat pipi Indah yang menggemaskan baginya. "Tante akan mendukung kuliah kamu nanti, ok. Kamu jangan khawatir," gencar Bu Mega menyakinkan Indah. Indah semakin bimbang dengan itu. Dari dulu dia pengen melanjutkan kuliah tapi terkendala uang karena harus merawat Neneknya. "Bagaimana dengan Pak Arfiq?" tanya Indah pelan masih dengan wajah menunduk Diam-diam Bu Mega menyeringai tipis tentu saja beliau mempunyai cara tersendiri membuat anaknya tidak berkutik. Dan sudah dipastikan sang anak itu sedang pusing dengan ancaman yang beliau berikan kepadanya. wkwkwkk "Kamu tenang saja. Dia pasti setuju dengan pernikahan ini," ucapnya ceria. Indah mendongakkan kepalanya lalu mengernyit bingung. Bu Mega terkekeh pelan melihat Indah yang kebingungan. "Tante sudah bilang kamu tidak usah khawatir," ujar Bu Mega. Indah diam kepalanya berpikir. "Maaf, Tante ... aku tetap tidak bisa," lirih Indah. Bu Mega mendesah. Indah ternyata gadis yang keras kepala. Tapi tetep saja beliau tidak akan menyerah begitu saja. "Setidaknya kamu lakukan ini demi Nenekmu, Sayang ...." Mata Bu Mega berkaca-kaca, membuat Indah merasa tidak enak. "Kamu jangan merasa bahwa kamu seperti dijual ke Tante ... ini lebih baik daripada kamu berjuang sendiri dengan resiko kamu sakit pasti kamu dan tidak bisa mencari uang untuk Nenek," ucap Bu Mega nadanya sedikit sendu. Indah berpaling ke arah samping untuk berpikir. Sebenarnya Bu Mega tidak memanfaatkan sakit dari Ibunya untuk menjadikan Indah sebagai menantu. Tapi melihat keraskepalaan Indah, beliau jadi memanfaatkan itu. "Bagaimana, kamu mau kan?" Indah menolehkan kepala menatap Bu Mega yang sedang menatapnya dengan tatapan memohon. Indah menghela napas pelan kemudian mengangguk ragu. "Kamu mau?" tanya Bu Mega sekali lagi. "I-- iy-- iya Tante ...," jawab Indah pelan. Bu Mega menghembuskan napas lega, akhirnya Indah mau juga menjadi menantunya. "Terima kasih, Sayang ...." Bu Mega memeluk Indah sedikit erat, sementara yang dipeluk hanya pasrah. "Aku melakukan ini demi Nenek ... Semoga ini yang terbaik, Ya Allah ...," ucapnya dalam hati. Bu Mega mengurai setelah beberapa menit berpelukan dengan Indah, matanya berbinar-binar melihat Indah. Indah sendiri hanya tersenyum melihat wanita paruh baya yang sebentar lagi akan jadi mertuanya itu. "Karena kamu calon menantu, Tante, coba sekarang belajar panggil Tante, Mami," ucapnya ceria. " Tap--" Indah mengatupkan bibirnya setelah Bu Mega menempelkan jari telunjuk beliau, di bibir Indah. "Jangan membantah, Sayang ... coba sekarang panggil Ma-- mi." Indah mengerjapkan mata beberapa kali, bahkan bulu matanya yang lentik ikut bergerak-gerak lucu. "Ayo panggil Ma--mi," pinta Bu Mega. Lidah Indah sedikit kelu, kemudian memberanikan diri. "Ma-- Ma-mi," ucapnya pelan. Walaupun Indah berkata pelan tapi Bu Mega masih bisa mendengarnya. "Good ... sini Sayang, Mami peluk lagi," ucap Bu Mega kembali memeluk Indah. Indah hanya mendesah pelan setelah tubuhnya dipeluk lagi oleh Bu Mega. Sekarang Indah dan Bu Mega sudah kembali ke ruangan Nenek Sumi. ruangan itu didominasi oleh keceriaan Zahra. "Mbak tahu. Aku senang sekali loh ... calon kakak ipar aku, Mbak Indah," ucap Zahra sangat ceria. Indah tersenyum kikuk mendengar ucapan Zahra. "Pokoknya kalau Mas Arfiq buat salah ke Mbak. Mbak kasih tahu aja ke Aya. Biar Aya yang kasih pelajaran buat dia," lanjutnya Zahra membuat semua orang yang ada di situ terkekeh terutama Bu Mega, beliau seperti memiliki dua putri. "Sayang Mas Arfiq tidak datang, iya kan Mi," keluh Zahra sedikit cemberut karena kakaknya. "Biarkan saja Aya ... biar jadi kejutan buat calon pengantin," ucap Pak Arlan. Indah menunduk, pipinya merona malu karena ucapan calon Papi mertuanya itu dan membuat dia salah tingkah. Zahra dan Bu Mega terkekeh mendengar ucapan Pak Arlan, apalagi melihat Indah salah tingkah. "Nenek senang kamu akan menjadi menantunya Mega dan Arlan, Nak," ungkap Nenek Sumi. Indah tersenyum ke Neneknya. "Ibu percayakan Indah ke kalian. Semoga kalian menyayangi Indah seperti anak kalian," lanjut Nenek Sumi. Bu Mega mendekat ke arah Ibunya. "Ibu tidak usah khawatir tentang Indah, kami akan memarahi Arfiq kalau dia berani membuat Indah menangis," kata Bu Mega tersenyum ke Ibunya. "Iya Bu. Ibu tidak usah dipikirkan. Tanpa diminta pun kami akan menyayangi Indah seperti anak kami," timpal Pak Arlan menambahi ucapan sang istri tercinta. "Dan Nenek tidak perlu khawatir. Aya juga akan memukul Mas Arfiq kalau berani membuat Mbak Indah sedih dan menangis," ucap Zahra bersemangat. Semua orang tertawa mendengar ucapan Zahra. Indah sendiri tersenyum, dia merasa menemukan keluarga baru selain Neneknya. *** Dentingan antara sendok dan garpu terdengar ruang makan keluarga Hadiutomo. Mereka sedang melakukan makan malam. Karena ini weekend tentu saja Arfiq ada di rumahnya. Menghabiskan waktu akhir pekan bersama keluarganya. "Mas. Karena kemarin kamu nggak ikut ke Rumah Sakit tidak bertemu dengan calon istrimu. Jadi besok dia datang dan jangan coba-coba kamu menghindar dengan pergi ke suatu tempat," ancam Bu Mega ke Arfiq. Arfiq menghentikan sendok yang akan masuk ke mulutnya kemudian mendesah pelan setelah mendengar ucapan panjang lebar Maminya. "Memangnya aku mau pergi kemana, Mi? " Arfiq melanjutkan makannya, setelah bertanya ke sang Mami. "Kumpul bersama Aden dan Libra, mungkin ...," jawab Bu Mega sambil mengangkat bahunya. Arfiq memutar bola matanya malas. "Libra sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya. Sementara Aden sedang keluar negeri beberapa hari," ucap Arfiq malas. "Mas. Mas nggak iri liat Kak Libra menikah," celetuk Zahra tanpa menoleh ke kakaknya. "Diam, Zahra ...," desis Arfiq menatap tajam adiknya. Zahra langsung cemberut, bibirnya maju beberapa senti. "Tapi baguslah ... biar kamu bisa pendekatan juga sama calon istrimu," ucap sang Mami ceria, Arfiq langsung mendengus. "Kenapa sih, Mami ngebet banget pengen nikahin aku?" tanya Arfiq sedikit kesal. "Karena kalau nggak dinikahin kami, kamu pasti lama nikahnya," jawab Bu Mega santai. Arfiq mencibir mendengar jawaban Maminya. Kesal Arfiq bertambah ketika mendengar Zahra terkekeh geli. "Pi ...," Arfiq menoleh ke Papinya yang sedari tadi diam maka, tapi menyimak obrolan istri dan kedua anaknya itu. "Sudahlah, Nak ... turutin saja kemauan Mami kamu," ucapnya tanpa menoleh ke anak ke sang anak sulung. Beliau sedang asyik menikmati masakan istrinya yang tentu saja enak. Arfiq mendesah pelan, dia mengalah karena tidak ada orang yang berada di pihaknya. Sekarang Arfiq berada di kamarnya. Dia sedang memikirkan cara untuk menolak pernikahan yang dirancang oleh kedua orang tuanya. Dia duduk bersandar di sofa kamarnya. Dia memijit pelipis karena pusing tiba-tiba datang. "Gue nyesel pulang ke rumah minggu ini.Tahu bakalan terjadi seperti ini lebih baik gue tidur di Apartemen dengan tenang dan damai," gerutu Arfiq. Arfiq terus saja menggerutu di kamar setelah selesai makan malam bersama keluarganya. "Kayanya malam ini gue nggak bisa tidur, aisshh sialan!" umpat Arfiq sembari meremas rambutnya. Arfiq bangkit dari duduknya lalu berjalan gontai menuju kasur King size, kemudian dia menghempaskan tubuhnya kasar. "Ayo mata kita tidur ... biar setelah bangun kita bisa berpikir jernih bagaimana cara untuk menolak keinginan Ibu Ratu," ucapnya dengan mata terpejam. Lama-lama dia tertidur posisi berbaring dengan tangan dan kaki terentang. Arfiq tertidur lagi setelah menjalankan sholat subuh. Dia ingin menghabiskan waktunya dengan tidur. Di tempat yang berbeda. Indah sedang mempersiapkan diri untuk datang ke rumah Bu Mega dan Pak Arlan. Hari ini dia memakai dress berwarna hitam dengan tampilan sederhana tapi elegan. Rambut hitam tebal miliknya dibiarkan terurai. Sekarang dia sedang menunggu jemputan supir keluarga Hadiutomo. Sementara Neneknya masih di Rumah Sakit untuk beberapa hari ke depan. Sebuah sedan mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah milik Neneknya. Seseorang membuka pintu mobil lalu turun menghampiri calon menantu majikannya itu. "Mbak Indah," sapa sang supir. Indah menganggukkan kepalanya tersenyum ke sang supir. Dia beranjak dari duduknya. "Silahkan, Mbak ...." Sang supir mempersilahkan Indah masuk ke dalam mobil. "Terima kasih, Pak," ucap Indah sopan. Beberapa menit kemudian mobil mewah itu melaju membelah jalan raya menuju kediaman Hadiutomo. Setelah sampai di kediaman Hadiutomo. Indah dibuat takjub oleh pemandangan rumah itu. Rumah berlantai dua dengan nuansa abu-abu itu membuat Indah jatuh cinta karena menurutnya rumah itu sangat elegan walaupun warna catnya tidak cerah. "Sayang, kamu sudah sampai?" Bu Mega menyambut Indah dari dalam rumah dan langsung memeluk calon menantunya itu. "Assalamualaikum Tan, em ... maksud aku Mami," ucap Indah masih belum terbiasa. Indah menyalami punggung tangan Bu Mega. "Waalaikumsalam ... Ayo masuk. Papi dan Aya sudah menunggu di dalam. Sedangkan calon suamimu, dia masih tidur," tutur Bu Mega ceria. Bu Mega menuntun Indah masuk ke dalam rumah miliknya. Hawa panas mulai menjalar ke pipi Indah. Entahlah, pembahasan tentang suami selalu membuat pipinya merona malu. Di ruang tengah ada Pak Arlan sedang duduk membaca file yang di tabletnya. Sementara Zahra sedang bermain ponsel duduk tepat di samping sang Papi. "Assalamualaikum, Papi ...." Indah menghampiri Pak Arlan, dan menyalami tangan beliau dengan takzim. "Waalaikumsalam, Nak ...." Pak Arlan mengelus puncak kepala Indah. Zahra beranjak dari duduknya, menghampiri Indah. "Wow ... Mbak Indah memang cantik. Pasti Mas Arfiq bakalan minta cepet-cepet menikah dengan Mbak," ucap Zahra takjub melihat penampilan calon kakak iparnya. Rona yang tadi menghilang di pipi Indah muncul kembali. Dia jadi canggung setelah mendengar ucapan Zahra. "Ya sudah ... Mami lanjutin masak dulu ya," pungkas Bu Mega mau melanjutkan masaknya. Indah menoleh ke arah Bu Mega. "Boleh aku membantunya Mi?" Bu Mega tersenyum ke Indah. "Tentu ... nanti biar Mas Arfiq makan masakan yang kamu masak. Juga sekalian kenalin kamu ke Mbak rumah ini," jawab beliau. Bu Mega dan Indah melangkah beriringan menuju dapur. Arfiq melenguh dari tidurnya lalu mata dia mengerjap beberapa mengumpulkan kesadarannya. Dia menatap jam di dinding ternyata sudah jam setengah sebelas siang. Arfiq beranjak bangun dari tidurnya. Tenggorokan dia terasa kering tapi di atas nakas gelasnya sudah kosong. Dia menyibak selimut, lalu beranjak keluar kamar untuk mengambil minum. Dia berjalan pelan turun ke tangga. Jangan tanya penampilannya. Berantakan dengan kaos oblong hitam tanpa lengan. Setelah sampai di dapur. Tiba-tiba dia menghentikan kakinya setelah melihat pemandangan di depan sana. Dimana ada seorang gadis yang sedang membantu Maminya masak sambil tertawa bersama. Arfiq tidak bisa melihat dengan jelas karena posisi gadis itu menyamping. "Ehm...." Arfiq berdehem sekali membuat semua orang yang ada di situ menoleh ke arahnya. Matanya tiba-tiba melebar setelah dia tahu siapa gadis itu. "Kamu ... " ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD