Happy Reading..
**
Indah duduk di samping sang Nenek, setelah dua hari Neneknya operasi. Indah sudah izin cuti tidak masuk bekerja karena menunggui Neneknya. Neneknya di tempatkan di ruangan kelas VVIP tentu saja karena Bu Mega dan suaminya.
Bu Mega sendiri belum bisa datang karena ada beberapa keperluan penting dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Jadi dua hari ini hanya Indah yang menemani Neneknya itu.
Percakapan dengan Bu Mega dan suaminya masih teringat jelas ingatan Indah.
Setelah nenek Indah dibawa ke ruangan operasi. Bu Mega langsung memeluk Indah sambil menangis sesegukan.
Indah yang tiba-tiba dipeluk hanya diam saja, tapi tangannya mengelus punggung Bu Mega. Dia sendiri bingung kenapa Bu Mega menangis seperti itu.
"Sini Tante, kita duduk dulu." Indah menuntun Bu Mega duduk di bangku Rumah Sakit.
Bu Mega sudah berhenti menangis walaupun masih sesekali sesegukan, bahkan matanya sampai memerah karena menangis.
Bu Mega meraih ponsel untuk mengirim pesan kepada seseorang.
Beberapa saat kemudian Bu Mega menoleh ke arah Indah yang sedang menatapnya.
"Sebelumnya, Tante mau tanya sama kamu," ucap Bu Mega dengan suara parau.
"Tentu Tante. Tante boleh tanya apa saja sama saya," jawab Indah tersenyum manis ke Bu Mega.
"Apa ... apa Nenek kamu bernama Sumiyati?"
Kening Indah berkerut kemudian mengangguk. "Iya Tan, Nenek saya namanya Sumiyati."
Air mata Bu Mega kembali turun membasahi pipinya yang langsung diusap oleh Indah.
"Lalu ... siapa nama orangtuamu?" tanya Bu Mega dengan nada sedikit bergetar.
Indah mengerjap beberapa kali. "Indra Laksono dan Mirani Agatha, Tante."
Tubuh Indah langsung ditubruk Bu Mega.
"Dari awal kita bertemu, Tante seperti tidak asing melihatmu. Ternyata dugaan Tante benar kamu anak Indra dan Mira." Bu Mega menangis sambil mengelus rambut panjang Indah.
Sementara tubuh Indah menegang, karena orang asing yang hanya beberapa kali bertemu dan membantu dia mengenal kedua orang tuanya.
Mata bulat milik Indah berkaca-kaca.
Kemudian mereka mengurai pelukan setelah beberapa menit berpelukan.
"Tante ... Tante mengenal orangtua saya?" tanya Indah dengar nada bergetar menahan tangis.
"Tentu, Sayang ... Tante kenal, sangat kenal malah dengan kedua orangtuamu," jawab Bu Mega memegang kedua tangan Indah.
"Maaf ... maafkan Tante, Sayang ...." Bu Mega berucap dengan nada penyelesan.
"Kabar kecelakaan orangtua kamu membuat Tante terpuruk. Tante tidak tahu mereka bakalan terjadi kecelakaan. Padahal sebelumnya kita masih sempat bercerita. Mira selalu bersemangat menceritakan putrinya yang cantik dan sangat pintar," ungkap Bu Mega.
Beliau menerawang ke masa lalu mengingat kenangan Mira yang di anggap adiknya itu. Indah sendiri diam masih menyimak, dia tidak menyangka orang tuanya mengenal Bu Mega.
"Tante sudah mencarimu dulu. Tapi kata tetangga rumah kamu yang dulu. Kamu sudah pindah dengan Ibu, dan Tante tidak tahu kalian berdua pindah kemana. Sedangkan Ibu atau Nenek kamu tidak memberitahu Tante," ucap Bu Mega tersenyum haru melihat Indah.
"Tante sangat bersyukur bisa bertemu kamu, Sayang ... Allah itu baik sekali telah mempertemukan kita setelah belasan tahun kita tidak bertemu." Bu Mega kembali memeluk Indah, Indah sendiri sudah menangis di pelukan Bu Mega.
"Mami ... "
Bu Mega menoleh ke orang yang tadi memanggil setelah mengurai pelukan.
Bu Mega tersenyum melihat suaminya datang.
Berbeda dengan Indah yang sedikit terkejut setelah melihat suami Bu Mega. walaupun dia tidak paham tapi dia tahu siapa suami dari Bu Mega. Arlan Hadiutomo, pemilik Hadiutomo Group tempat Indah bekerja. Hari ini benar-benar penuh kejutan bagi Indah.
Pertama Bu Mega adalah teman kedua orangtua. Kedua, suami Bu Mega adalah pemilik dari tempat dia bekerja. Entah apalagi kejutan yang akan datang kepadanya.Kalian sudah bisa menebaknya, bukan. wkwkwk
Pak Arlan mendekat ke wanita yang berbeda usia itu.
Matanya memerah setelah melihat Indah beberapa saat kemudian beliau menolehkan kepalanya ke arah sang istri yang sedang tersenyum.
"Mami ... diaa ...,"
Bu Mega menggangguk lalu beranjak dari duduknya diikuti Indah dengan wajah menunduk.
"Iya Pi ... dia anak Indra dan Mira. Anak yang sudah lama kita cari-cari," ucap Bu Mega melirik Indah sebentar.
Pak Arlan menolehkan kepalanya ke Indah.
"Boleh Om peluk kamu, Nak?"
Indah mendongak lalu mengangguk beberapa saat setelah diam.
"Bagaimana kabar kamu, Nak?" tanya Pak Arlan tangannya mengelus rambut Indah pelan. Beliau tentu saja senang bertemu dengan anak Indra dan Mira.
"Ba-- baik, Om," jawab Indah.
Pak Arlan mengurai pelukan, beliau menatap Indah dengan haru.
"Om tidak tahu harus bilang apa, tapi Om benar-benar bersyukur," ungkap Pak Arlan.
Indah hanya menanggapi dengan senyuman.
"Kamu kerja dimana?" tanyanya.
"Dia bekerja di perusahaan kita Papi." Bu Mega yang menjawab pertanyaan suaminya.
Kening Pak Arlan berkerut, selama di perusahaan beliau belum pernah melihat Indah.
"Kamu bekerja di bagian mana? Om belum pernah melihatmu di sana," tanya Pak Arlan.
Indah menundukkan wajahnya.
"Office Girl, Om," jawab Indah pelan, kedua lengan dia sedang dielus Bu Mega pelan, membuat hatinya menghangat tentu saja.
Mendengar jawaban Indah, Pak Arlan mendesah pelan. Karena beliau tahu seperti apa pekerjaan Office Girl itu.
"Kamu pasti menderita ya, Nak?"
Indah menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Om ... justru saya senang bekerja di sana," jawab Indah dengan senyuman. Dia merasa menemukan keluarga baru setelah bertemu dengan Pak Arlan dan Bu Mega.
"Mami, Ibu masih di ruang operasi?" tanya Pak Arlan ke sang istri.
Bu Mega menganggukan kepalanya.
"Iya Pi, Mami tidak sampai hati melihat Ibu," jawabnya pelan.
Pak Arlan menekan ujung matanya, menghalau air mata yang sebentar lagi akan menetes. Hatinya tentu saja sakit mendengar orang yang beliau anggap orang tuanya sedang berada di ruang operasi.
"Ya sudah, untuk saat ini kita berdoa saja. Dan Om akan pastikan semua biayanya Om yang bayar. Kamu tidak usah khawatir ya, Nak," ucap Pak Arlan ke Indah.
"Terima saja, Sayang ... semua kami lakukan untuk kamu terutama untuk Ibu." Bu Mega berkata sebelum Indah membuka mulutnya yang pasti akan protes.
"Tap-- tapi Tan ...." Bu Mega menempelkan jari telunjuknya ke bibir Indah, membuat Indah diam.
"Jangan protes, ok. Sekarang kamu tidak perlu memikirkan apa-apa, kamu fokus menjaga Nenek. Soal biaya biar kami yang menanggungnya. Iya kan, Pi?"
Pak Arlan menganggukkan kepalanya.
"Nanti kita datang kesini lagi temenin kamu, sekalian mau bertemu dengan Ibu," ucap Bu Mega.
Kepala Indah akhirnya mengangguk.
Lamunan Indah buyar setelah merasakan jari tangan sang Nenek yang ada di genggamannya bergerak pelan.
"Nenek ...,"
Indah memencet bel Rumah Sakit.
Beberapa menit kemudian Dokter beserta beberapa suster datang ke ruangannya.
"Alhamdulillah ... Nenek anda sadar lebih cepat dari perkiraan kita," ucap sang Dokter.
Setelah beberapa menit memeriksakan nenek Indah. Mendengar itu Indah tersenyum haru sambil mengusap airmatanya. Hatinya bahagia sekali karena sang Nenek telah sadar dari operasinya.
"Terima kasih, Dok," ucap Indah.
"Sama-sama, Mbak ... kalau begitu kami permisi dulu," pamit Dokter.
Indah menganggukkan kepalanya.
"Sekali lagi terima kasih, Dokter," ucap Indah dengan seulas senyum.
Dokter itu tersenyum ke Indah.
Indah mendekati sang Nenek, lalu menarik kursi yang tadi menjauh kemudian mendudukkan dirinya.
"Nenek ... Alhamdulillah Nenek sudah sadar," ucap Indah haru.
Indah menggenggam kedua tangan keriput milik Neneknya. Bibir dia tersenyum dan hatinya lega luar biasa.
"In-- Indah ...," panggil sang Nenek sedikit terbata.
"Iya, Nek, ini aku Indah. Cucu Nenek," jawab Indah tersenyum menatap sang Nenek.
Tangan satu mengusap air matanya yang jatuh di pipi.
"Ma-- af-- kan Ne-nek ...," ucap Nenek Sumi terbata.
Indah menggelengkan kepalanya. "Tidak apa, Nek ... Nenek jangan pikirin apa-apa ya ... Nenek fokus kesembuhan Nenek saja."
Neneknya mengangguk pelan sambil tersenyum.
"Aku sayang Nenek ...." Indah memeluk tubuh Neneknya.
"Nenek juga sayang sama kamu, Ndok ...," lirih sang Nenek.
***
Dua hari berlalu setelah pembicaraan dengan kedua orang tuanya. Arfiq masih saja kesal. Di kantor siapa yang tidak sengaja membuat salah pasti dia akan menyemprotnya. Dia sedang tidak kepikiran Indah, karena dia sendiri sedang pusing.
"Lo kenapa sih, gue liat muka lo dari tadi kusut amat sekarang. Beda banget sama Mas Arfiq yang biasa tampil rapi dan cool itu," cibir Libra, dia jengah melihat Arfiq yang kelihatan sedang gusar itu.
"Gue mau dinikahin sama orang tua gue," ucap Arfiq memijit pelan pelipisnya.
"Uhhuk ... uhhuk ... Lo serius?"
Arfiq menoleh kearah Libra yang sedang menepuk-nepuk dadanya karena tersedak minuman.
Saat ini mereka berdua sedang duduk di sebuah Caffe langganan mereka. Sementara Aden tidak ikut kumpul dengan mereka karena sedang ada urusan bisnis di luar negeri beberapa hari.
Tentu saja Arfiq tidak peduli, dia sendiri sedang menghindari Aden. Jangan sampai deh mereka berdua saling baku hantam, karena Arfiq yang cemburu padahal itu cuma salah paham.
Jadi, lebih baik mereka tidak bertemu dulu daripada bertemu.
"Lo serius kan, Fiq?" Libra bertanya lagi ke Arfiq.
Arfiq yang sedari tadi bersandar di sofa, menegakkan badannya.
"Apa muka gue kelihatan bercanda!" sinis Arfiq ke Libra.
Libra mendesah pelan bersahabat dengan Arfiq sejak SD tentu saja dia tahu sifat Arfiq. Dia akan lebih menyebalkan ketika sedang marah atau suasana hatinya sedang tidak bersahabat.
"Ok. Jawaban lo nggak usah kaya gitu Fiq. Lo nggak marah saja kadang menyebalkan loh," ucap Libra semakin menyulut Arfiq, dan itu membuat Arfiq berdecak kesal.
"Ok, ok, sorry gue nggak bercanda lagi deh," lanjut Libra.
Arfiq memutar bola matanya, sedangkan Libra sedang cengengesan.
"Lo tahu siapa orangnya?"
Arfiq menggeleng malas.
"Terus gimana lo bisa nikah?" kening Libra berkerut heran tentu saja.
Arfiq hanya membalas menghedikkan bahu pelan.
"Akhirnya lo mau dan nggak nolak?" tanya Libra lagi.
Arfiq mendesah.
"Gue udah nolak sih, tapi Mami sama Papi ngancem gue dengan saham dan asset-asset gue. Gimana gue nggak stress coba," gerutu Arfiq mengusap wajahnya gusar.
Libra mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian dia menahan tawanya setelah paham.
Melihat Libra yang menahan tawa membuat Arfiq lagi-lagi berdecak kesal.
"Kalau mau ketawa. Ketawa saja Tuan Libra yang terhormat!" sinis Arfiq.
"Hahhaha ... "
Akhirnya tawa Libra tersembur bahkan dia sampai menepuk pahanya terpingkal-pingkal.
"Terus saja tertawa, Tuan!"
Libra mencoba menghentikkan tawanya. Di antara mereka bertiga yang paling menyeramkan ketika marah adalah Arfiq.
"Ehmm ...." Libra berdehem sekali, dia melirik Arfiq yang sedang menatapnya dengan tatapan membunuh.
Dia tidak takut sih, hanya saja lebih baik diam daripada membuat Arfiq semakin murka.
"Berarti akhirnya lo mau dong, dinikahin?"
Arfiq mendesah pelan, tangan dia mengambil Lemon tea miliknya yang ada di meja. Meminumnya sedikit sebelum menjawab pertanyaan Libra.
"Untungnya gue mau lihat dulu calon gue seperti apa," jawab Arfiq pelan.
Libra menganggukkan kepalanya paham.
"Sebenarnya gue penasaran sih, gadis seperti apa yang akan dinikahkan sama gue, sampai Mami dan Papi mengancam dengan saham dan asset-asset kalau sampai gue nolak," ucap Arfiq heran.
Libra mengernyit heran, iya juga ya ... pikirnya.
"Dia anak kalangan berada Fiq?"
Arfiq menggeleng.
"Gue tanya sama Mami, cuma bilang nanti kamu juga tahu," jawab Arfiq malas.
Libra mengusap dagu dan menaikkan satu alisnya.
"Gue semakin penasaran siapa gadis itu," ucap Libra. Jiwa keponya meronta-ronta.
Arfiq menyebikkan bibirnya ke arah Libra.
"Sudahlah, gue males bahas itu," tukas Arfiq mengibaskan satu tangannya.
"Yaaa ... gimana sih lo," keluh Libra.
Arfiq berdecak sekali.
"Nggak usah dipikirin, gue aja biasa aja, kok," ucapnya.
Libra mendengus kecil.
"Ucapan lo sama tubuh lo nggak sinkron, Arfiq Hadiutomo!" ucap Libra dengan disertai cibiran. Arfiq hanya diam saja tidak menjawab Libra.
Tiba-tiba mata Libra memicing ke arah Arfiq.
"Gue tahu, lo udah ada cewek yang lo taksirkan?"
Arfiq salah tingkah kemudian dia memalingkan mukanya.
"Wahh ternyata dugaan gue bener," tebak Libra.
Arfiq berdehem sekali.
"Nggak usah ngarang, Libra!" jawabnya dengan delikkan.
"Hahahha ... lo lucu Fiq," ucap Libra lalu tertawa melihat Arfiq yang salah tingkah.
"Udah ah gue mau pulang. Nggak lo, nggak Aden sama aja bikin gue jengkel." Arfiq beranjak dari duduknya mengabaikan Libra yang masih tertawa.
***