BAB 7 : OGIMW

1446 Words
Happy Reading.. *** "Kamu tidak sendiri, kok." Indah membuka tangan yang tadi menutup wajah. Ada sebuah sapu tangan yang diulurkan kepadanya, kemudian Indah menoleh ke seseorang di sampingnya. di mana orang itu sedang tersenyum hangat. "Ibu ..." Indah mengusap matanya pelan. "Kamu kenapa menangis?" tanyanya. Indah menggelengkan kepalanya sambil menunduk. "Kamu bisa cerita ke saya," tawarnya. Kepala Indah mendongak, menatap wanita paruh baya yang masih saja cantik di usia 60 tahun ke atas itu. "Nenek saya masuk ke Rumah Sakit, Bu," jawab Indah pelan. "Semoga cepat sembuh ya ... kamu yang sabar," ucap beliau, tangannya mengelus punggung Indah. "Terima kasih, Bu ... Ibu sedang apa di sini?" Indah bertanya ke wanita itu. "Tadi habis jenguk teman. Ah ya, kamu panggil Tante saja ya ... jangan Ibu," pintanya sambil terkekeh pelan. Indah tersenyum kikuk lalu mengangguk. "Kamu kalau butuh apa-apa, hubungi Tante saja," tawar beliau. Kemudian wanita paruh baya memberikan sebuah kartu nama ke Indah. "Ahh tidak usah, Bu, ah maksud saya Tante. Saya takut merepotkan tante," ucap Indah menolak halus. "Tidak apa-apa, Nak ... ngomong-ngomong nama kamu siapa?" tanya beliau. Indah tersenyum tipis sebelum menjawab. "Nama saya Indah, Tante," jawabnya dengan seulas senyum. Wanita paruh baya menganggukkan kepalanya. "Panggil Tante, Tante Mega." Beliau memperkenalkan dirinya ke Indah. "Baik, Tante." Bu Mega tersenyum senang melihat Indah. Beliau seperti mendapat mainan baru. "Mbak Indah!" Kedua orang berbeda usia menoleh ke seorang perawat yang memanggil nama Indah. Indah beranjak berdiri dari duduknya. "Iya Sus." "Dokter mencari anda," ucap Suster. Indah mengangguk kemudian menoleh ke arah Bu Mega yang masih duduk. "Saya duluan ya, Tante," pamitnya. Bu Mega mengangguk. "Ya sudah, kapan-kapan kita ketemu lagi ya, Ndah." Indah tersenyum lalu mengangguk. Indah berjalan meninggalkan Bu Mega. "Gadis yang menarik," ucapnya sambil tersenyum penuh arti. Indah sangking tergesanya berjalan. Indah sampai dia tidak tahu ada seorang pria dengan setelan jas mahal berjalan dari arah koridor belokan Rumah Sakit. Kejadian itu begitu cepat, sekarang posisi pinggang Indah ditahan oleh pria itu dengan satu tangannya. Mata keduanya melotot untuk beberapa saat. Mereka tidak sadar ada seorang pria melihatnya dengan kilatan marah di matanya. Kedua tangan berkepal sampai kuku jarinya ikut memutih. Pemuda itu langsung berbalik berjalan, kemudian dia merogoh benda pipih yang ada di saku celananya untuk mendial nomor seseorang. "Mami. Aku tunggu di mobil," ucapnya menahan amarah. Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu mematikan teleponya. Tidak peduli seseorang yang dia telepon sedang mengoceh kesal ke anaknya. Sementara Indah dan seorang pemuda saling melepaskan diri. Seketika canggung melanda mereka. "Maaf," ucap mereka hampir bebarengan. Membuat mereka berdua tersenyum kikuk. "Aduh ... maaf saya harus buru-buru. Permisi ya, Pak." Indah menepuk dahinya kemudian berjalan pergi setelah memunggukkan kepalanya sedikit. "Eh!" Pemuda itu mengangkatkan satu tangannya, tapi Indah berjalan cepat tidak menghiraukan pemuda itu. "Aa." Pemuda itu menoleh ke sumber suara, seorang wanita paruh baya yang tak lain ada Mommy-nya. Wanita paruh baya itu berjalan mengampiri, anak semata wayangnya. Matanya memicing menatap sang anak. "Mommy," ucapnya kikuk. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Itu tadi siapa?" tanyanya. "Bukan siapa-siapa, Mom. Mommy sudah selesai jenguk temannya, Mom?" tanya dia balik ke sang Mommy. Sang mommy menganggukan kepalanya. "Ya sudah ayo pulang," ajak pemuda itu sambil merangkul pundak sang Mommy yang lebih pendek darinya. Mereka berjalan beriringan. Banyak mata yang menatap mereka terkagum, karena wanita paruh baya yang cantik sementara anaknya yang tampan dengan warna rambut blonde seperti orang bule. "Kalau itu pacarmu. Mommy tentu saja senang, Hayden," ucap sang Mommy. Aden terkekeh mendengar ucapan Mommy-nya. "Kenapa malah terkekeh!" sang Mommy menabok lengan anaknya pelan. "Tidak Mom. Lagipula Mommy ada-ada saja," jawab Aden menggelengkan kepalanya. "Libra kan mau menikah a', kamu juga dong cari calon terus menikah. Biar Mommy cepat punya cucu," ucap beliau sedikit merajuk ke anak lelakinya itu. Lagi-lagi Aden terkekeh pelan. Tidak terasa mereka telah sampai di parkiran di mana mobil Aden terparkir. "Nanti saja Mom. Mommy doakan saja," kata Aden sambil membukakan pintu mobil untuk Mommy-nya. Sang Mommy mendesah pelan sembari mendudukan pantatnya di samping jok kemudi. Aden berjalan memutari mobilnya, membuka pintu mobil lalu mendudukkan dirinya di jok kemudi untuk menyetir mobil. Beberapa menit kemudian mobil yang dikendarai Aden, melaju pelan meninggalkan pelataran Rumah Sakit. Di mobil yang berbeda, sesorang yang berada di dalam mobil mengeratkan kedua tangannya di setir melihat mobil Aden melaju sambil menahan amarah. *** Indah berjalan menemui dokter yang menangani neneknya. "Kenapa Dok? Apa yang terjadi dengan Nenek saya?" tanya Indah sedikit panik. Dokter itu menoleh melihat Indah. "Maaf, Mbak. Ini kapan kita melakukan operasi Nenek anda? Nenek anda harus segera dioperasi," ucap sang Dokter. "Tolong Dok. Saya akan mencari uangnya. Tapi bisa lakukan operasinya sekarang, Dokter," pinta Indah melungkupkan kedua tangannya memohon. Dokter di depannya menggeleng. Indah menggigit di dalam bibirnya menahan tangis, karena mendapat gelengan dari sang Dokter. "Maaf, Mbak ... kami tidak bisa. Harus bayar dulu, baru kami akan melakukan operasi untuk pasien," sesalnya. "Saya mohon, Dokter." ucap Indah dengan suara bergetar. Sang Dokter menggeleng. "Tidak bisa, Mbak. Ini sudah prosedur Rumah Sakit." Indah mulai terisak pelan. "Biar saya yang membayarnya, Dokter." Indah dan Dokter, menoleh ke seorang wanita yang sedang tersenyum ke arah mereka. "Tante ... " lirih Indah. Bu Mega tersenyum menghampiri mereka. "Kenapa kamu tidak bilang?" Bu Mega mengelus lengan Indah pelan yang sedang menangis, kemudian menoleh ke sang Dokter. "Tolong nanti urus administrasinya ya, Bu," pinta Dokter ke Bu Mega. Bu Mega mengangguk masih dengan senyuman. Dokter berlalu pergi setelah mengucapkan itu. Karena beliau harus siap-siap melakukan tindakan operasi untuk nenek Indah. "Tante pergi dulu mengurus administrasinya. Kamu jangan menangis," ucapnya sambil mengusap air mata Indah. "Terima kasih, Tante ... " jawab Indah sendu. Bu Mega tersenyum Indah. Ntahlah, melihat Indah seperti melihat seseorang yang tidak asing baginya. Tadi Bu Mega sedang berjalan keluar Rumah Sakit sambil menggerutu pelan karena tingkah anaknya itu. Tiba-tiba ekor matanya melihat Indah yang sedang menangis. Beliau berjalan mendekat kearah Indah dan setelah tahu permasalahan Indah, beliau berniat ingin membantunya. Bahkan Bu Mega sudah menelpon anaknya untuk pulang duluan karena masih urusan. Di sana anaknya hampir mengumpat karena disuruh pulang oleh sang Mami. Setelah melakukan pembayaran Bu Mega dan Indah duduk bersama di bangku Rumah Sakit. "Padahal Tante sudah bilang loh ... kamu bisa meminta bantuan Tante. Kalau kamu perlu bantuan," ucap Bu Mega sementara Indah menundukkan wajahnya. "Maaf, Tante ... saya tidak mau merepotkan orang," jawabnya pelan, sambil mengusap ingus dengan tisu. Bu Mega mendesah pelan. "Ya sudah tidak apa-apa." Indah mendongakkan kepala, menatap Bu Mega yang sedang tersenyum ke arahnya. "Tante ... nanti saya ganti uang Tante," ujar Indah merasa tidak enak. Bu Mega terkekeh pelan. "Kamu tidak usah pikirkan itu dulu," jawabnya menenangkan Indah. Ceklek Ruangan milik nenek Indah terbuka. Sebuah brankar keluar dari dalam ruangan di mana nenek Indah terbaring lemah di atasnya, dengan didorong beberapa perawat untuk melakukan tindakan operasi. Indah dan Bu Mega beranjak dari duduknya. "Nenek," ucap Indah sendu menatap neneknya. Sementara tubuh Bu Mega menegang setelah tahu siapa nenek Indah. Tubuhnya hampir limbung kalau tidak dicegah Indah. "Tante, Tante tidak apa-apa?" tanya Indah sedikit panik menopang tubuh Bu Mega. Bu Mega menatap Indah dengan tatapan nanar kemudian mulai menangis. *** Hari ini Arfiq lebih memilih pulang ke rumah. Dia duduk di samping rumahnya yang terdapat kolam renang. Tatapannya lurus ke depan, mengingat kejadian di Rumah Sakit membuat darahnya mendidih. Dibilang cemburu tapi terlalu dini untuk menyimpulkan, dibilang tidak cemburu hatinya memanas. "Ya ampun, Mami!! Mami kenapa?" Sebuah teriakan adiknya membuat Arfiq langsung berlari ke dalam. Arfiq melihat Maminya menangis sesegukan di dalam rengkuhan sang Papi. Sedangkan Papinya juga dalam keadaan tidak jauh berbeda dengan sang Mami. Memang beliau tidak menangis hanya saja matanya memerah seperti habis menangis. Zahra adiknya juga panik dan dia yang berteriak tadi. Sang Papi menuntun istrinya untuk duduk di salah satu sofa. Sekarang sang Mami duduk diapit oleh Papinya dan Zahra mengelus lengan Maminya itu. Arfiq menghampiri sang Mami. Dia paling anti kalau melihat Maminya menangis. "Mami kenapa?" tanya Arfiq lembut. Posisi dia sedang duduk berjongkok di depan Maminya sambil memegang kedua tangan sang Mami. Maminya menatap Arfiq dengan pandangan yang sulit diartikan. "Nak, kamu mau menuruti keinginan Mami kan?" tanya Bu Mega sekalian meminta ke Arfiq. Kening Arfiq berkerut mendengar permintaan Maminya itu. "Tentu Mi, permintaan Mami adalah suatu keharusan buatku. In Sha Allah, aku akan menurutinya," jawab Arfiq dengan senyuman. sang Mami tersenyum lembut ke anak sulungnya itu. "Mami akan menikahkan kamu," ucap Bu Mega. Bukan hanya mata Arfiq yang melebar karena kaget, Zahra pun juga sama kagetnya. Bahkan tubuh Arfiq menegang seketika mendengar permintaan Maminya yang tiba-tiba. Sedangkan sang Papi hanya diam saja menyimak permintaan istrinya ke Arfiq. "Mami tidak becanda kan?" tanya Arfiq tidak percaya. sang Mami menggelengkan kepalanya pelan. "Maaf Mi. Untuk permintaan ini aku tidak mau," ucap Arfiq. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD