1. Pagi Kiya

2277 Words
"Mau kemana kamu?" pagi-pagi sekali, tepatnya di hari minggu Felli sudah di pusingkan dengan tingkah laku anak bungsunya, siapa lagi kalau bukan Azkiya Felixa Mahendra. Kini gadis itu sudah berumur 15 tahun dan baru saja menginjak kelas 1 SMA. Azkiya atau yang kerap di sapa Kiya dengan celana jeans dan hoodie berwarna merah muda miliknya itu semakin cantik dan imut. Mata belo, pipi bulat serta rambut berwarna coklat nya selalu membuat orang-orang gemas dengannya. Gadis yang beranjak dewasa itu tengah menenteng satu buah koper kecil dengan erat, matanya terlihat sembab seperti habis menangis. Sedangkan El anak pertama dari pasangan Felli dan Alvin nampak khidmat dan tenang menikmati sarapan buatan mommy-Nya. "Kenapa?" Alvin yang baru saja datang lengkap memakai seragam kepolisian itu segera duduk di kursi meja makan yang setiap pagi sering ia duduki. Pria berseragam itu masih nampak tampan dan gagah walaupun saat 16 tahun yang lalu dirinya masih menjadi bujangan, tak banyak yang berubah dari wajahnya. "Anakmu tuh, pagi-pagi udah buat pusing aja." adu Felli, dokter muda yang dulu menyandang salah satu primadona rumah sakit itu sampai sekarang masih terlihat cantik dan segar. "Kenapa lagi, sayang?" tanya Alvin sembari menatap Kiya yang matanya sudah berkaca-kaca, sedangkan sang abang Elzyo Fathir Mahendra sudah memelet-meletkan lidahnya meledek sang adik. "Ade gak mau tinggal disini, ade mau kabur aja." Ujar Kiya. "Assalamualaikum," suara terusan yang terdengar halus nan lembut itu membuat Alvin menghela nafas kasar. Ia yakin Kiya seperti ini pasti ulah abangnya sendiri. Kiya berjalan ke arah luar tetapi tak ada yang menahannya sedikitpun, Alvin yakin Kiya tak akan pernah pergi jauh. "Mom, sarapan dulu gak usah susulin Kiya gak apa-apa." Felli mengangguk lantas berjalan ke arah meja makan, mengambilkan sarapan untuk suami tercinta. "Bang, coba adek nya di baikin. Jangan di isengin mulu" ujar Alvin. Sepertinya sifat iseng dan jahil Alvin menurun pada El, sedangkan sifat polos Felli menurun pada Kiya. "Abisnya abang gemas pah. Adek itu gampang banget buat abang isengin," jawab El, sembari memasukkan nasi goreng ke mulutnya lalu mengunyahnya dengan perlahan. "Nanti habis sarapan jangan masuk ke kamar, jangan tidur lagi! Kamu susulin adikmu." perkataan Felli yang tak terbantahkan membuat El hanya bisa mengangguk pasrah. Selalu seperti ini hampir setiap hari. Tentu ini bukanlah pertama kalinya mereka seperti ini. * "Assalamualaikum," "Waalaikumsalam." Siska, Angga dan Alfa, anak satu-satunya pasangan Angga dan Siska melirik ke arah sumber suara. Mereka mengerutkan kening saat melihat anak sahabatnya yang sudah mereka berdua anggap anak sendiri berdiri sembari memegangi koper. Angga dan Siska saling tatap setelah itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Kenapa sayang?" Siska beranjak dari kursi meja makan lantas segera berjalan ke arah Kiya, memeluknya dan membawakan koper anak itu yang sangat ringan, dan Siska sudah bisa menebak isi dari koper yang dibawa Kiya itu apa. Siska menaruh koper ringan itu di dekat dinding, lantas membawa Kiya duduk untuk ikut sarapan. "Kenapa lagi?" tanya Angga sembari mengusap wajah menggemaskan Kiya. Kiya mengerucutkan bibirnya kesal, lantas mengusap air matanya yang jatuh secara kasar. "Kiya mau jadi adik abang Al aja, gak mau jadi adek bang El." ujar Kiya dengan wajah yang menggebu marah, bahkan pipinya putihnya sudah memerah. "Gak mau ah, kamu suka ambil cemilan abang." jawab Al atau yang bernama asli Alfakhri Altair Rahardian. "Padahal Kiya sudah mau bersedia jadi adik abang. Gak apa-apa deh abang dingin terus cuek kaya ice juga, daripada abang El dia iseng." adu Kiya membuat Siska dan Angga terkekeh secara bersamaan. Memang benar, El mempunyai sifat dingin dan sedikit pendiam tak beda jauh dengan anak sahabatnya yang lain. Reandra, anak dari Reyna dan Reynand pun mempunyai sifat seperti Al. Kiya mengambil s**u Al lalu meneguknya hingga tersisa sedikit, kan tuh belum apa-apa Kiya sudah menyebalkan seperti ini, apalagi jika benar-benar menjadi adik Al. "Itu s**u punya abang, Kiya!" Kiya segera melihat ke arah Siska, lewat tatapan matanya dia memohon agar wanita itu membantunya dari kemarahan Alfakhri. "Gak apa-apa bang, Mamih buatin lagi ya sebentar." Siska beranjak dari kursi lantas membuatkan kembali s**u untuk anak tunggal nya. Al mendesah pelan, baru beberapa menit saja Kiya sudah menyebalkan, karena telah mengambil miliknya bagaimana jika beberapa jam, hari, bahkan Minggu? Sepertinya Alfakhri akan benar-benar menendang gadis polos itu ke planet pluto. Tetapi tak harus jauh-jauh ke planet pluto tinggal menendang Kiya dari lantai atas saja pasti gadis itu sudah sampai di rumahnya berhubung jika rumah mereka berdua bersebelahan, lebih tepatnya tetanggaan. "Awas ya kamu!" Al menatap Kiya tajam. "Papih, abang tuh begitu sama Kiya." Kiya mengadu pada Angga. Bukannya marah atau merasa sirik, Al malah menyunggingkan senyum kecilnya. Sungguh sedari dulu Kiya memang menggemaskan sekaligus menyebalkan baginya, tetapi dia sangat menyayangi Kiya Al sudah menganggap Kiya seperti adiknya sendiri. "Udah..udah. Ayo sarapan dulu." Kiya mengangguk lantas paling antusias di antara semuanya, Kiya memang sangat suka makan sama seperti Felli tetapi badannya tak boros. Keantusiasan Kiya semakin membuat Angga dan Siska mengembangkan senyuman. Mereka berdua jadi teringat pada Alisha, anak pertama mereka yang sudah berada di surga. * "Pulang!" Kiya menggeleng pelan lantas menyembunyikan wajahnya di balik bantal sofa. Dia sedang menonton kartun favoritnya, yaitu Spongebob dirumah Siska bersama dengan Al. Sedangkan Siska dan Angga kembali ke kamar karena Angga akan siap-siap untuk berangkat ke kantor. Al sibuk memilih-milih cemilan di dalam koper yang tadi dibawa Kiya. Ketimbang membawa baju, Kiya selalu lebih memilih membawa makanan di dalam kopernya. Tetapi ada untungnya juga untuk Al. Al membuka makanan ringan lantas menyandarkan kepalanya di sofa, pagi libur yang menyenangkan sekaligus menyebalkan bagi Al. "Gak mau! Adek mau disini aja iih." El menghela nafas kasar, melakukan hal yang sama dengan Al yaitu mengobrak-abrik isi tas adiknya untuk menemukan cemilan kesukaan dirinya yaitu, Kuaci Rebo. Setelah menemukan apa yang dicari El segera duduk disamping adiknya, sama-sama menonton televisi. "Eh ada El juga, udah sarapan bang?" tanya Siska baru saja turun tangga lalu menemukan El di ruang keluarga, Siska bersama dengan Angga yang sudah rapi dengan seragam kebanggaannya. Angga dan Siska sama-sama tak banyak berubah, masih tampan seperti sebelum-sebelumnya. "Udah kok mih, ini abang mau jemput anak pungut." Kiya segera melempar El dengan kripik lantas mengerucutkan bibirnya kesal. "Enak aja anak pungut!" gertak Kiya. Siska dan Angga menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tingkah El yang selalu saja iseng pada Kiya. "Mih, aku berangkat kerja sekarang ya. Kamu urus anak-anak di rumah aja, gak praktik kan?" ujar Angga. "Iya, aku libur kok." Siska mengangguk, seperti hari-hari sebelumnya Siska mengambil tangan Angga untuk ia salim setelah itu Angga akan mengecup kening Siska. Bukan hal yang aneh bagi Al, El dan Kiya. Karena orang tua El dan Kiya juga selalu romantis dan harmonis. Al dan El menyalami Angga, begitu juga dengan Kiya terakhir Angga mengecup puncak kepala Kiya saat gadis kecil itu memeluknya. "Hati-hati papih," teriak Kiya saat Angga sudah beranjak. Sebagai jawaban Angga hanya menganggukkan kepalanya saja. *** "Kak, makan nya kok cuman dua suap aja sih. Masakan Mamih gak enak ya?" tanya Reyna kepada anak laki-lakinya yang kini sudah mulai beranjak dewasa. Reandra Xavier Daniyal. Rean menggelengkan kepalanya pelan. "Kakak cuman hmm apa ya, Mih." Rean malah menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Setiap pagi bahkan setiap hari selalu seperti itu, meskipun Reyna sudah memberikan vitamin pada Rean tetapi tetap saja anak itu susah makan, persis seperti dirinya dulu tetapi Rean lebih parah lagi. "Kalau gak mau makan nasi makan sayur atau ayam nya aja, kak." kini Reynand sang papah berusaha membujuk Rean agar anaknya itu tetap makan, setidaknya masih ada asupan yang bergizi bagi tubuh anaknya. Rean orang-orang memanggilnya seperti itu, pria berwajah tampan jiplakan Reynand itu sudah beranjak remaja. Rean banyak di gandrungi wanita tetapi pria itu selalu cuek dan tak terlalu tertarik untuk berpacaran di umurnya yang sekarang. Rean mengangguk, lantas memakan sayur yang di buatkan oleh Reyna. Meskipun dia susah sekali makan nasi tetapi badannya harus tetap terjaga agar masih mempunyai badan yang profesional mirip papanya, Reynand. "Adek kok belum keluar, kenapa?" tanya Reynand sambil celingukan mencari anak keduanya, saudari kembar Rean yang bernama Renatha Xaviera Daniyal. "Adek lagi datang bulan, katanya sakit nanti biar Mamih aja yang ke kamarnya." jawab Reyna. "Tapi gak apa-apa kan, Mih?" Rean nampak khawatir, pasalnya tadi dia tak ke kamar Retha terlebih dulu. Berbanding balik dengan El, Rean begitu perhatian kepada Retha, belum pernah dirinya iseng atau mengerjai adiknya seperti El kepada Kiya. "Kamu kayak yang gak tau aja, tiap bulan adikmu seperti itu." balas Reyna. Rean mengangguk membenarkan perkataan Bundanya. Jika Retha PMS maka hari pertama sampai hari kedua akan merasakan sakit yang luar biasa, Rean sampai ikut meringis. Jika bisa, dirinya saja yang merasakan kesakitan itu. Ia tak tega melihat adiknya kesakitan. "Kak, nanti ke restoran ya belajar urus restoran, kakak kan udah SMA. Nanti di sana ada om hardi, kenal kan?" Rean mengangguk. "Ok pah," Hardi adalah tangan kanan Reynand, dia mempercayai Hardi agar restoran nya tak terbengkalai. Reynand tersenyum. Mempunyai Rean dan Retha semakin membuat pernikahannya dengan Reyna lengkap. Bukannya bosan pada Reyna, setiap saat Reynand semakin cinta pada Reyna. "Papah nanti kayaknya pulang telat, gak apa-apa kan mih?" tanya Reynand saat mereka telah selesai sarapan tetapi belum ada yang beranjak. Reyna menghela nafas lalu mengangguk. Akhir-akhir ini suaminya bekerja selalu sampai larut malam atau pagi hari baru pulang, pekerjaannya yang sering meringkus gigolo atau mucikari membuat Reyna harus tidur sendirian hampir setiap malam selama satu minggu ini. "Papah usahakan pulang cepat." Reynand mengecup pipi Reyna membuat Reyna mengangguk. Sementara Rean hanya cuek saja sembari makan dan memainkan handphone canggihnya. "Papah, kalau pulang cepat besok ke pantai ya. Besok kan hari libur, kita liburan." Reynand segera menatap Rean dengan seksama, tumben sekali anak pertamanya itu meminta liburan biasanya Reta yang akan memaksa untuk setiap minggu pergi berlibur. Reynand mengangguk. "Iya kak, doakan aja semoga pekerjaan papah lancar jadi pulang cepat." "Aamiin." jawab Rean dan Reyna secara bersamaan. "Mau berangkat sekarang, tah?" tanya Reyna. "Papah mau lihat Retha dulu, mana sarapan buat dia mih?" Reyna segera mengambilkan nampan yang berisi s**u hangat dan nasi goreng untuk Reta pada suaminya, Reynand. Setelah itu Reynand pergi ke lantai atas untuk sampai ke kamar Reta yang berada tepat di depan kamar nya dan berada tepat di samping kamar kembarannya. "Pagi putri papah." Retha menggeliat dari tidur tengkurap lantas membalikkan tubuhnya. Sesekali Reta meringis kecil, "Pagi pah." jawab Retha dengan lirih. Reynand tersenyum getir sembari menaruh makanan di atas nakas. Dia tak tega melihat wajah pucat dan kesakitan anaknya. Meskipun ini bukanlah pertama kali ia lihat. "Sakit ya?" Retha mengangguk membenarkan pertanyaan ayahnya. "Seperti biasa pah." jawab Reta masih dengan suara yang lirih. Reta mulai bangun dengan sigap Reynand membantunya dan menumpuk bantal di belakang, menghadapi wanita PMS bukan pertama kali bagi Reynand, Reyna juga sering seperti itu. "Manja banget, humm." ujar Reynand saat tiba-tiba Retha memeluk tubuh kekarnya dengan erat, anak belia itu menenggelamkan kepala di d**a Reynand mencari kenyamanan disana. Reynand mengusap kepala anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Papah, jangan kerja ya temani Retha aja ya, ini kan weekend." lirih Retha. "Seminggu ini papah jarang di rumah, waktu buat Retha nya kapan?" Reynand memelankan usapan tangan pada kepala anaknya, cukup tertegun dengan permintaan anaknya yang sangat sulit sekali untuk ia lakukan. "Papah ada tugas, sayang. Besok aja ya kita jalan-jalan mau?" Reta menggeleng di pelukan Reynand. "Gak mau, minggu kemarin juga papah seperti ini tapi malah bohong kan." Reynand tersenyum kecil memang apa yang dikatakan oleh anaknya adalah kebenaran. Seminggu ini dia sangat di sibuk kan dengan pekerjaan. "Hei, gak boleh gitu dek. Ayah kerja juga kan buat kita," tiba-tiba saja Reyna datang dan langsung duduk di ranjang lainnya. Reta menundukkan kepalanya, sungguh bukan jawaban dari ibunya yang dia mau. Dia ingin ayah nya tak bekerja hari ini. "Papah suapin dulu mau ya." Reta menghela nafas pelan, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Papah berangkat sekarang aja, nanti telat. Pekerjaan kan lebih penting, Retha gak ada apa-apanya." "Retha!" Reyna menatap tajam anak perempuannya, sangat lantang sekali dia berkata seperti itu tak ada pengertiannya sama sekali. Reynand bekerja untuk keluarganya, tetapi anaknya malah berbicara keterlaluan. "Shutt," Reynand segera melerai kemarahan istrinya. "Besok ya sayang, papah janji kali ini." ujar Reynand lantas menciumi kening anaknya. "Papah berangkat dulu, nanti papah panggilkan kakak suruh kesini aja ya." sekali lagi Reynand mencium puncak kepala Reta. "Mih ayo." Reyna menghela nafas pelan lantas mengangguk, dia berjalan beriringan dengan Reynand membiarkan Retha tinggal di kamar seorang diri. "Selalu saja seperti itu." lirih Retha lantas kembali membaringkan tubuhnya dengan kasar sambil meringis kecil, pasti sebentar lagi kakaknya akan datang lantas menyuapi dia makan. "Tapi pih, Retha gak usah di manja terus-menerus nanti anak itu gak tau situasi lagi." Reynand merangkul pinggang Reyna dengan erat. "Gak apa-apa sayang, aku juga kangen sama kalian udah lama kan gak quality time. Lagian ya, adek kayak gitu wajar-wajar aja." Reyna menghela nafas pasrah. "Asal kamu jaga kesehatan aja, pah itu udah lebih dari cukup buatku." Reynand mengangguk. "Gak ada alasan aku buat gak jaga kesehatan, karena aku gak mau kalian semua khawatir. Lagi ya mamih juga pasti kangen sama papah." Reyna tersenyum kecil lantas memeluk suaminya dan menenggelamkan kepalanya di d**a bidang Reynand. "Uhuk permisi, ini anaknya jadi nyamuk pak, buk." seketika itu juga Reynand dan Reyna menoleh ke arah Rean yang tengah duduk di depan televisi. Sedari tadi Rean menyaksikan perdebatan kecil antara Reyna dan Reynand tetapi perdebatan itu yang membuat Rean belajar jika Reynand tak pernah sedikitpun berkata kasar atau melakukan hal kasar kepada bundanya. "Nyari cewek makannya, kak." Reynand mendapatkan cubitan kecil di perut, tentu saja cubitan itu berasal dari istrinya. "Gak usah di dengerin kak, cari cewek gampang, baru masuk SMA aja udah gaya-gaya nyari cewek." Rean dan Reynand tertawa secara bersamaan dengan jawaban Reyna. "Kak, ke kamar ya jagain adek habis itu jangan lupa ke restoran." Rean mengangguk lantas pamit untuk melihat adiknya. Ia yakin Retha masih bergelung dibawah selimut tebalnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD