7. Tepi jurang

1286 Words
Dia yg mengeluh adalah dia yg tak pernah bisa bersyukur, padahal tanpa ia sadari, karunia dari Tuhan telah ia nikmati setiap hari. Bernafas? Makan? Memakai baju yang layak? Di beri tempang tinggal yang enak? Serta kenikmatan-kenikmatan lainnya telah Allah kasihkan kepada Manusia, tetapi kadang manusia itu tak bisa bersyukur atas apa yang di dapati nya. Setelah semua berada di dalam mobil, Retha tak berhenti mengeluarkan air mata. Rasanya dia sangat bodoh telah tertipu oleh bangsa mereka. Jika saja Reynand tak tepat waktu, mungkin dirinya sekarang sudah berada di dalam jurang. Dan berita kematian akan terkabar kan. Allah memang sangat baik pada hamba-hamba nya, termasuk pada dirinya. Mungkin ini sebagai pembelajaran agar kedepannya dia tak se-ceroboh ini lagi. "Dek, udah sayang gak apa-apa." Ucap Reyna, dia tak boleh bersedih. Dia harus bisa menguatkan anak nya. Retha tak menjawab, dia masih terisak. Sementara Reynand melanjutkan perjalanan. "Kak, Gorden nya tutup." Rean mengangguk-angguk kepala. Menutup gorden dan segera memeluk adik nya dengan erat, menguatkan Retha. Bagaimanapun juga dia tak boleh menyalahkan Retha atas semua ini. Retha hanya di halusinasi kan, dan di jahili oleh bangsa mereka. Dan seharusnya dirinya juga lebih hati-hati untuk menjaga Retha dari pengaruh mereka. ** "Sayang," Reyna sedang menyisir rambutnya sendiri, sehabis pulang ke rumah dirinya segera melaksanakan mandi karena badan terasa lengket. Reyna sebenarnya sudah mengerti tatapan Reyna yang sayu terhadapnya. "Cape ya?" Tanya Reynand, yang sekarang sudah berada di belakang Reyna dan Reyna melihat Reynand dari pantulan cermin. "Kenapa?" Tanya Reyna. Reynand menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali, tanpa pikir panjang dia segera menggendong Reyna dan merebahkannya di atas kasur. "Sayang," Reynand membelai lembut wajah Reyna dengan sayang. Sungguh, ia mengagumi Reyna yang sampai sekarang wajah nya tak banyak berubah. Masih cantik sama seperti dulu, tak ada yang berubah meskipun mereka sudah mempunyai anak. Reynand mendekatkan wajah nya ke wajah Reyna, merapatkan bibir nya dan bibir Reyna. Seulas senyum terbit di bibir nya, kala hidung mancung nya dan hidung mancung Reynand bersentuhan. "Mau ya?" Tanya Reynand, dengan suara serak. Reyna yang dari dulu malu-malu segera menganggukkan kepalanya saja. Sebenarnya dia lelah sehabis melaksanakan Operasi pada pasien, tetapi ia tak boleh melalaikan kewajiban. Dia tak ingin berdosa, karena telah menolak keinginan suaminya saat dia tidak mendapatkan tamu bulanan. Reynand mulai memulai aksinya, saat akan membuka baju tiba-tiba saja Reynand di kejutkan. Tuk..tuk..tuk Suara ketukan pintu di ketuk beberapa kali, Reynand menghela nafas dan menatap Reyna penuh dengan sayu. "Siapa sih." Ucap Reynand agak kesal. "Anak kesayangan mu tuh, pah." Jawab Reyna di selingi dengan tawaan kecil. Reynand menghela nafas, memakai baju nya kembali. Tuk..tuk..tuk.. "Sebenar." Ucap Reynand agak teriak, dia segera menyuruh Reynand untuk merapihkan apa yang seharusnya di rapih kan. Lalu dia segera membuka pintu. Mata nya memicing, melihat anak nya yang sudah memakai baju tidur berwarna pink dan boneka di tangannya. Reynand mengerutkan kening, "kenapa?" Tanya Reynand pada anak bungsunya. "Ummm." Retha menggigit jari nya kecil. "Boleh tidak, adek tidur sama papah sama mamih?" Reynand menghela nafas, "kenapa dek? Biasanya juga suka sama kakak." "Huum, ya-yaudah kalau gak boleh. Retha izin ke kamar lagi." Jawab Retha, wajah nya penuh dengan kekecewaan. Reynand tertawa kecil, lalu membukakan pintu dengan lebar. "Silahkan tuan puteri." Ucap Reynand, membuat mata Retha berbinar. "Makasih papah." Retha segera berlari, dan menaiki kasur. Ia segera memposisikan untuk tidur di tengah-tengah. Reyna sudah biasa dengan kelakuan putri kecil nya itu. Manja. Seperti dirinya dulu. Reynand segera menyusul, dan merebahkan tubuh nya di samping Retha. "Takut ya?" Tanya Reyna, sembari mengusap-usap kepala Retha. Retha menganggukkan kepala, memeluk Reyna setelah meletakkan boneka di sampingnya. "Selamat tidur, mamih papah." "Selamat tidur juga, dear." Reynand mencium kepala Retha, lalu mencium kening Reyna. Rutinitas nya sebelum tidur. Setelah itu, tak banyak pembicaraan di antara mereka. Karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Retha harus sekolah, Reynand dan Reyna juga harus bekerja. Benar-benar jadwal yang sibuk. bersambung..... Holla. maaf ya belum di revisi, semoga kalian semua memaklumi nya. Dia yg mengeluh adalah dia yg tak pernah bisa bersyukur, padahal tanpa ia sadari, karunia dari Tuhan telah ia nikmati setiap hari. Bernafas? Makan? Memakai baju yang layak? Di beri tempang tinggal yang enak? Serta kenikmatan-kenikmatan lainnya telah Allah kasihkan kepada Manusia, tetapi kadang manusia itu tak bisa bersyukur atas apa yang di dapati nya. Setelah semua berada di dalam mobil, Retha tak berhenti mengeluarkan air mata. Rasanya dia sangat bodoh telah tertipu oleh bangsa mereka. Jika saja Reynand tak tepat waktu, mungkin dirinya sekarang sudah berada di dalam jurang. Dan berita kematian akan terkabar kan. Allah memang sangat baik pada hamba-hamba nya, termasuk pada dirinya. Mungkin ini sebagai pembelajaran agar kedepannya dia tak se-ceroboh ini lagi. "Dek, udah sayang gak apa-apa." Ucap Reyna, dia tak boleh bersedih. Dia harus bisa menguatkan anak nya. Retha tak menjawab, dia masih terisak. Sementara Reynand melanjutkan perjalanan. "Kak, Gorden nya tutup." Rean mengangguk-angguk kepala. Menutup gorden dan segera memeluk adik nya dengan erat, menguatkan Retha. Bagaimanapun juga dia tak boleh menyalahkan Retha atas semua ini. Retha hanya di halusinasi kan, dan di jahili oleh bangsa mereka. Dan seharusnya dirinya juga lebih hati-hati untuk menjaga Retha dari pengaruh mereka. ** "Sayang," Reyna sedang menyisir rambutnya sendiri, sehabis pulang ke rumah dirinya segera melaksanakan mandi karena badan terasa lengket. Reyna sebenarnya sudah mengerti tatapan Reyna yang sayu terhadapnya. "Cape ya?" Tanya Reynand, yang sekarang sudah berada di belakang Reyna dan Reyna melihat Reynand dari pantulan cermin. "Kenapa?" Tanya Reyna. Reynand menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali, tanpa pikir panjang dia segera menggendong Reyna dan merebahkannya di atas kasur. "Sayang," Reynand membelai lembut wajah Reyna dengan sayang. Sungguh, ia mengagumi Reyna yang sampai sekarang wajah nya tak banyak berubah. Masih cantik sama seperti dulu, tak ada yang berubah meskipun mereka sudah mempunyai anak. Reynand mendekatkan wajah nya ke wajah Reyna, merapatkan bibir nya dan bibir Reyna. Seulas senyum terbit di bibir nya, kala hidung mancung nya dan hidung mancung Reynand bersentuhan. "Mau ya?" Tanya Reynand, dengan suara serak. Reyna yang dari dulu malu-malu segera menganggukkan kepalanya saja. Sebenarnya dia lelah sehabis melaksanakan Operasi pada pasien, tetapi ia tak boleh melalaikan kewajiban. Dia tak ingin berdosa, karena telah menolak keinginan suaminya saat dia tidak mendapatkan tamu bulanan. Reynand mulai memulai aksinya, saat akan membuka baju tiba-tiba saja Reynand di kejutkan. Tuk..tuk..tuk Suara ketukan pintu di ketuk beberapa kali, Reynand menghela nafas dan menatap Reyna penuh dengan sayu. "Siapa sih." Ucap Reynand agak kesal. "Anak kesayangan mu tuh, pah." Jawab Reyna di selingi dengan tawaan kecil. Reynand menghela nafas, memakai baju nya kembali. Tuk..tuk..tuk.. "Sebenar." Ucap Reynand agak teriak, dia segera menyuruh Reynand untuk merapihkan apa yang seharusnya di rapih kan. Lalu dia segera membuka pintu. Mata nya memicing, melihat anak nya yang sudah memakai baju tidur berwarna pink dan boneka di tangannya. Reynand mengerutkan kening, "kenapa?" Tanya Reynand pada anak bungsunya. "Ummm." Retha menggigit jari nya kecil. "Boleh tidak, adek tidur sama papah sama mamih?" Reynand menghela nafas, "kenapa dek? Biasanya juga suka sama kakak." "Huum, ya-yaudah kalau gak boleh. Retha izin ke kamar lagi." Jawab Retha, wajah nya penuh dengan kekecewaan. Reynand tertawa kecil, lalu membukakan pintu dengan lebar. "Silahkan tuan puteri." Ucap Reynand, membuat mata Retha berbinar. "Makasih papah." Retha segera berlari, dan menaiki kasur. Ia segera memposisikan untuk tidur di tengah-tengah. Reyna sudah biasa dengan kelakuan putri kecil nya itu. Manja. Seperti dirinya dulu. Reynand segera menyusul, dan merebahkan tubuh nya di samping Retha. "Takut ya?" Tanya Reyna, sembari mengusap-usap kepala Retha. Retha menganggukkan kepala, memeluk Reyna setelah meletakkan boneka di sampingnya. "Selamat tidur, mamih papah." "Selamat tidur juga, dear." Reynand mencium kepala Retha, lalu mencium kening Reyna. Rutinitas nya sebelum tidur. Setelah itu, tak banyak pembicaraan di antara mereka. Karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Retha harus sekolah, Reynand dan Reyna juga harus bekerja. Benar-benar jadwal yang sibuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD