DUA

663 Words
Fara duduk sendirian di balkon apartemennya bertemankan secangkir kopi dalam gelapnya malam. Tatapannya kosong. Matanya sembab dan rambutnya acak-acakan karena lelah menangis, ia kembali mereka-reka, apa yang salah dalam perkawinannya selain ketidakhadiran anak. Ah, iya. Restu. Fara tidak habis pikir, apa yang membuat Maharani tidak menyukainya sama sekali. Kalau dilihat-lihat, apa sih kekurangannya sebagai perempuan? Ia cantik, kulitnya putih bersih dengan hidung mancung, warisan dari ibunya. Ia pintar, walaupun kalah pintar dari saudaranya Al dan Sam yang melalang buana kuliah keluar negeri dengan beasiswa, sedangkan ia harus puas kuliah di Yogyakarta. Fara juga sopan, ramah dan penurut. Segala titah suami dan mertua diturutinya tanpa bertanya. Semenjak berumah tangga, Fara tidak bekerja karena Rani meninginkannya menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, melayani sang suami. Walaupun pada saat itu, Fara telah dijamin bekerja oleh dua firma arsitek besar karena prestasi dan nilai di ijazahnya yang mendekati sempurna. Ia melepas mimpinya menggapai karir impian semenjak kecil karena mimpi bersanding dengan Andra lebih besar. Semenjak kecil, Al, Fara dan Sam dididik keras oleh sang papa yang merupakan seorang mayor TNI AD. Disiplin keras dari seorang Ibrahim Nashid menjadikan tiga saudara Nashid tumbuh menjadi anak-anak yang pintar, mandiri dan membanggakan orang tua. Hanya saja, Ibra sedikit kecewa karena Fara memutuskan untuk menikah muda, sebuah keputusan yang menurutnya tergesa-gesa sebab jalan Fara masih panjang, dan menikah tidak termasuk dalam daftar yang beliau rencanakan dalam kehidupan Fara, setidaknya sampai ia berumur dua puluh lima tahun. Kini ia terpuruk seorang diri. Sang papa telah berpulang tepat dua bulan setelah pernikahannya dengan Andra, menyusul sang Mama yang telah lebih dahulu berpulang saat Fara masih berusia tiga belas tahun. Semenjak Mama meninggal, Ibra membesarkan ketiga anaknya seorang diri tanpa berniat mencari pengganti. Sering dinas di luar daerah membuat mereka bertiga besar tanpa selalu didampingi Ibra, hanya dijaga oleh ART bernama Teh Narti yang sampai sekarang masih tinggal dirumah peninggalan Ibra. Kakak tertua, Alfaraz, selepas SMA melanjutkan kuliah ke Jerman, hingga saat ini masih menetap disana untuk bekerja. Kemudian Sam, menyusul kuliah ke Singapura lalu ikut bekerja disana. Keduanya tidak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah air semenjak Ibra berpulang. Fara menatap nanar ponselnya. Hatinya ingin, namun segan menghubungi kedua kakaknya. Masih teringat bagaimana kecewanya Al ketika ia meminta izin untuk menikah lima tahun yang lalu. "Nikah?? Masa depanmu masih panjang, Dek. Bagaimana dengan cita-cita kita membuka firma sendiri setelah Abang selesai menuntut ilmu nanti?" "Bang, aku hanya menikah. Bukan untuk pergi jauh." "Tapi..." "Bang, Fara mohon. Fara tidak mau lama-lama pacaran menumpuk dosa." Al menghela napas panjang. Sifat keras kepala Fara tidak sekalipun bisa dibantah. "Baiklah." "Terima kasih, Bang." Al membuktikan keberatannya dengan tidak pulang di hari pernikahan Fara, sedangkan Sam sama sekali tidak bisa dihubungi. Tepat pukul sembilan malam ponselnya berdering. Andra tidak pernah absen meneleponnya setiap hari. Fara masih meringkuk di tempat tidur dengan air mata berlelehan dipipinya, enggan mengangkat. Namun seperti biasa, Andra tidak akan berhenti menelepon sampai Fara mengangkat panggilannya. Fara melangkah dengan lemas ke kamar mandi dan membasuh mukanya. Kemudian ia ke dapur dan mengambil segelas air lalu kembali ke kamar dan meraih benda pipih panjang yang kembali bernyanyi. "Assalamualaikum, Mas" "Waalaikumsalam sayang, kok baru diangkat sih?" Terdengar suara nafas Andra lega. "Maaf, Mas, tadi lagi di toilet." "Kamu sakit, Yang? Suaranya serak begitu?" Fara tercekat mendengar pertanyaan Andra. Lihatlah, suaminya sangat perhatian. 'Apakah kau juga sangat perhatian pada wanita itu, Mas?' "Ah, ga apa Mas, baper habis nonton drakor kok, hehe" "Astaga sayang, kirain kamu sakit. Aku kangen banget yang, masih lama ga sih pulangnya?" Air mata Fara kembali berlarian. Dasar munafik! Makinya dalam hati. "Ehmm .... beberapa hari lagi kan Mas, Tante Laras lagi demam. Aku ga enak ninggalin ttante sekarang." "Oh, ya udah. Kabari ya, kapan pulang. Ntar aku jemput di bandara, oke?" "Oke, Mas" "I love you, Sayang." Fara tercekat, seolah sebuah batu besar menyumbat kerongkongannya. "I said I love you, Sayang." Fara tergagap. "Ah iya, udah dulu ya, Mas. Assalamualaikum." Secepat mungkin iya menutup telepon dan tangisnya luruh seiring badannya ikut jatuh ke lantai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD