TIGA

802 Words
Andra menatap ponselnya dengan heran. Tidak biasanya Fara begini. Ketika berjauhan, mereka biasanya menghabiskan menit-menit yang panjang diujung telepon. Kali ini Fara seperti buru-buru mematikan teleponnya. Tidak lama kemudian, sebuah pesan masuk ke ponselnya menampilkan sebuah foto dirinya dan Livia disebuah restoran. [Kau berhutang banyak penjelasan padaku, Mas.] Andra pucat pasi membaca pesan isterinya seiring ponselnya jatuh ke pembaringan. Jantungnya bertalu-talu ketakutan. Ya Tuhan, tolonglah hambamu! Andra kembali meraih ponsel menghungi Fara. Puluhan kali ia menelepon, pesannya ditutup dengan nonaktifnya ponsel sang istri. Berbagai pertanyaan mampir di kepalanya. Apakah Fara sudah kembali ke jakarta? Atau ada orang lain yang mengirimkan foto tersebut kepada istrinya? Andra menyugar rambutnya kasar. Seharusnya dari awal ia tahu hal ini pasti terjadi. Rasa bersalah yang dulu menggulungnya kembali menyeruak semakin besar ke permukaan. Saat ini, wanita yang teramat ia cintai itu pasti terluka begitu dalam. Entah apa yang diketahui Fara, namun dengan melihat foto itu saja sudah pasti Fara sangat hancur. Tiga bulan yang lalu, Andra sempat berbohong pada istrinya untuk mengurus proyek di Bandung beberapa hari. Saat itu ia tidak tahu mengapa ibunya sangat ngotot mengajaknya ke Bandung untuk menemui seseorang dan ia tidak diizinkan memberitahu Fara tentang hal tersebut. Pagi itu, setibanya di Bandung, Rani mengajaknya ke sebuah rumah yang sedang ramai seperti hendak menggelar pesta. Andra yang terheran-heran menurut saja ketika ia diperkenalkan pada tuan rumah. Seorang gadis berhijab membuatnya mengangkat alisnya dengan bingung, apalagi saat itu sang gadis tengah mengenakan kebaya pengantin. "Livia?" Ingatan Andra kembali pada masa putih abu-abu dimana Livia adalah cinta sekaligus pacar pertamanya. Mereka menjalin hubungan selama dua tahun, kemudian putus begitu saja dipisahkan oleh jarak dan kesibukan masing-masing saat melanjutkan kuliah di dua kota yang berbeda. Andra tersenyum menandang Livia yang semakin cantik dengan kebayanya. Gadis itu menundukkan pandangan menyembunyikan wajahnya yang merona. "Kamu mau menikah?" "Hmm..." belum sempat gadis itu menjawab, Rani memotong pembicaraan mereka dengan wajah berseri-seri. Andra terkejut melihat ibunya telah berganti pakaian dengan seragam pesta. "Nah, ini dia, calon pengantin sudah bertemu." Andra mengerutkan kening tidak mengerti. Rani menyeret mereka berdua ke dalam sebuah kamar yang ia ketahui sebagai kamar pengantin yang didalamnya sudah hadir kedua orangtua Livia. "Apa kabar, Om, Tante?" Andra menyalami keduanya dengan sopan. "Alhamdulillah sehat, Nak Andra." Jawab Laila sedangkan Heru hanya mengangguk dengan wajah datar. "Jeng Rani, ayok ajak Andra ganti pakaian." Ajak Laila sambil memberikan sebuah stelan jas pada Rani, kemudian ia mengajak anak dan suaminya keluar kamar. "Ganti bajumu, Andra!" Andra mengerjap bingung. "Ada apa ini, Ma?" Rani menatap Andra tajam. "Kamu akan menikahi Livia sebentar lagi." Jawabnya Andra terhenyak. "Apa?" Rani mendesis kesal. "Mama tidak sedang bercanda, Andra. Mama sudah lelah menanti istri sialanmu itu memberikan mama seorang cucu!" "Ma!" Andra menatap Rani berang. Bagaimanapun ibunya tidak menyukai Fara, tidak sepantasnya ibunya mengata-ngatai istrinya seperti itu. Selama ini ia sudah cukup menelan rasa bersalah ketika ia diam saja saat Fara berkali-kali disudutkan dan dimaki-maki oleh ibu dan adik-adiknya. Ia tidak sanggup membela Fara. Label durhaka yang seringkali diserukan mama padanya membuatnya tak berkutik. Bukannya Andra tidak tahu, Fara menanggung beban perasaan yang amat berat. Istrinya tertekan dengan sikap mama dan adik-adiknya. Fara tidak pernah mengeluh kepadanya. Sungguh wanitanya amat sabar. Ia tidak pernah mengadu, berkeluh kesah dan menerima mertua dan iparnya sebagai satu paket tak terpisahkan dengannya. "Aku sudah menikah, Ma. Dan tidak pernah berniat menikahi wanita lain kecuali Fara. Aku mencintainya jiwa dan ragaku, Ma!" "Jangan bantah Mama, Andra! Livia adalah gadis yang pantas untukmu, bahkan seharusnya dia yang kamu bawa ke pelaminan, bukan perempuan mandul itu!" Ucap Rani tajam. Andra menatap ibunya dengan muak. "Sudah cukup, Ma! Sudah cukup Mama menghina Fara. Apa Mama tidak berpikir bagaimana perasaannya kalau ia tahu aku mengkhianatinya?" "Mama tidak peduli dan tidak mau peduli, Andra. Hari ini juga kamu menikah dengan Livia. Dia sudah setuju menjadi isteri keduamu!" "Gak, Ma! Aku tidak akan menikahi siapapun kecuali Fara!" "Oh, kamu mau durhaka ya? Kamu tahu surga seorang anak lelaki ada pada ibunya dan surga seorang istri ada pada suaminya. Fara pasti mengerti bahwa surganya adalah dibawah ridhomu, Andra. Dia pasti menerima pernikahanmu, atau  mama sendiri yang akan mendepaknya dari kehidupanmu. Sekarang kau tinggal pilih, menikahi Livia atau mama yang akan membuatmu bercerai dari istrimu!?" Andra menggeram marah mendengar titah ibunya. Buku-buku jarinya memutih menahan marah. Pikirannya kalut. Sedikitpun dalam pikirannya tidak terbersit ingin mengkhianati pernikahannya. Ia sangat mencintai Fara, sangat dan teramat dalam. Fara adalah belahan jiwanya. Separuh hidupnya. Alasan ia sanggup melakukan apapun. Tapi ia lemah jika berhadapan dengan Rani. "Izinkan aku berbicara dengan Livia dulu, Ma." Ucap Andra sambil meremas rambutnya. "Baiklah." Andra meremas telepon genggamnya dengan kalut. Sudah hampir subuh namun matanya tidak sedikit jua terpejam. Ponsel sang istri masih tidak bisa dihubungi. Dalam hati ia menyesal menuruti perintah ibunya sore tadi untuk mengajak Livia, istri keduanya jalan-jalan. Ibunya tengah berbahagia, menantu keduanya sedang berbadan dua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD