Chapter 3

1058 Words
“Vi... Vi... bangun.. Vi..” “Aaaaaaaaa bentar lagi, masih ngantuk.” Violet makin menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya saat mendengar seseorang mengganggu tidurnya. Puri yang datang untuk membangunkan dibuat menggeleng. Ternyata gadis ini susah untuk dibangunkan. “Violet bangun dong, udah pagi nih. Mandi abis itu sarapan, biar kamarnya aku beresin.”  “Ihhhhhh kan aku bilang bentar lagi Kak.” “Tuan Alvaro udah nunggu kamu di meja makan. Dia mau sarapan sama kamu, buruan bangun.” Puri menarik selimutnya agar gadis itu bangun. Violet berdecap kesal karena tidurnya harus diganggu. Biasanya Violet akan bangun jika orang-orang sedang makan siang, bukan sarapan seperti ini. Dengan malas akhirnya Violet bangkit dari tidurnya. Sementara itu Alvaro sudah bersiap di meja makan. Terlihat beberapa pelayan sibuk mempersiapkan makanan untuk sarapan Alvaro dan Violet. Sembari menunggu Violet, Alvaro mengecek jadwal yang baru saja dikirimkan oleh sekretarisnya di dalam ponselnya. Alvaro memijit pangkal hidungnya melihat jadwalnya minggu ini yang penuh dengan pertemuan dengan orang-orang penting. Sepertinya ia harus meminta sekretarisnya mengatur ulang jadwal itu agar setidaknya ia punya setengah hari saja untuk beristirahat. Aktivitas Alvaro terhenti saat mendengar suara keramik yang bertemu dengan sendal, seperti suara hentakan. Alvaro melihat bingung pada Violet yang sedang menuruni anak tangga sembari mengentak-entakkan kakinya. Mukanya terlihat ditekuk. Saat sudah sampai di ruang makan, Violet menatap kesal Alvaro sekilas lalu menghempaskan badannya kasar di kursi. Alvaro memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu bahkan penampilannya. Kenapa gadis itu hanya memakai piyama doraemon? “Kenapa lo lihat-lihat?” Sentak Violet menyadari dirinya sedang diperhatikan. “Kamu kenapa gak ganti baju?” “Ngapain ganti baju? Mandi aja belum,” balas gadis itu santai kemudian mengambil sebuah roti bakar dan melahapnya. Ya memang pakaiannya ini kurang pantas, lihatlah Alvaro tampak begitu rapi dengan jasnya, sementara ia malah menggunakan piyama doraemon yang kamarin ia minta ambilkan sahabatnya di apartemen miliknya. Alvaro menggeleng pelan kemudian ikut memakan makanannya. Ditengah-tengah sarapan mereka, Jeni datang untuk menuangkan teh ke dalam gelas milik Alvaro.  “Mau s**u atau teh Vi?” Tanya Jeni pada Violet. “Tolong sopan sedikit bicara dengan Violet, kalian bekerja untuk dia juga sekarang,” baru saja Violet akan menjawab pertanyaan dari Jeni, Alvaro sudah memotong terlebih dahulu. Mendengar Jeni berbicara dengan hanya memanggil nama kepada Violet membuat Alvaro merasa terganggu. “Maaf Tuan.” Jeni menunduk takut. “Eh jangan marahi kak Jeni. Gue yang minta semua pelayan disini gak usah panggil gue Non, kaku banget tahu gak.” “Tapi..” “Gak ada tapi-tapian, hak gue dong mau dipanggil apa aja.” Alvaro menghela nafas pasrah, sepertinya akan sulit berdebat dengan gadis ini. “Aku mau s**u aja Kak.” Jeni mengangguk kemudian menuangkan s**u pada gelas milik Violet kemudian segera pergi. “Oh iya, katanya lo mau jelasin kenapa oma minta lo bawa gue kesini, sekarang jelasin.”  “Habiskan sarapan kamu, saya tidak terbiasa makan sambil berbicara.” Violet mencibir mendengar balas Alvaro yang terkesan sangat dingin. Ia langsung melahap habis sarapannya. *** “Sejak kecil saya tinggal di panti asuhan, menurut pengurus panti, ia menemukan saya di depan ruko saat saya masih bayi. Oma Sari adalah donatur tetap di panti asuhan itu, ia selalu mencukupi kebutuhan anak-anak panti. Saya menjadi begitu dekat dengan oma, bahkan ia sudah menganggap saya seperti cucunya sendiri. Hingga pada suatu hari saat saya sudah akan masuk sekolah, oma bertanya apa cita-cita saya, saat itu saya menjawab dengan pasti bahwa saya ingin menjadi orang sukses dari yang tersukses.” Alvaro bercerita dengan pandangan menerawang, seolah mengembalikan ingatannya pada saat itu. Sementara Violet terlihat menyimak dengan saksama. “Akhirnya karena saya memiliki kemampuan bahasa inggris yang cukup baik, oma mengirim saya untuk belajar di Finlandia sejak kecil. Oma ingin saya bisa mewujudkan keinginan saya. Saya bisa seperti sekarang, semuanya berkat oma,” lanjutnya. “Kalau lo sedekat itu sama oma, kenapa waktu oma meninggal lo gak datang?” Tanya Violet mengingat kejadian 3 bulan yang lalu saat omanya meninggal. “Saya sudah datang ke rumah sakit sehari sebelum oma meninggal, saat itu kamu tidak ada disana. Sebenarnya saya ingin menemani masa kritis oma, tapi oma meminta saya untuk pergi ke New York mengurus perusahaan beliau yang mulai terbengkalai disana. Akhirnya saya pergi ke New York, baru sekitar satu jam saya disana, saya sudah mendapat kabar bahwa oma meninggal.” Nada Alvaro kini terdengar lirih. Ia terlihat benar-benar terpukul oleh kehilangan sosok yang paling berjasa dalam hidupnya. “Tapi kenapa gue gak pernah ketemu sama lo sebelumnya? Dan kenapa oma gak cerita ke gue?” “Saya bahkan bukan satu-satunya orang yang di sekolahkan oleh Oma Sari karena beliau memang sangat dermawan, namun mungkin sayalah yang paling berhasil. Oma memang tidak pernah menceritakan apa pun tentang kebaikannya kepada orang banyak.” Violet mengangguk kecil membenarkan ucapan Alvaro itu. Oma Sari memang sosok yang sangat baik, bahkan ialah yang merawat Violet setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. “Saya bahkan sangat jarang ke Indonesia setelah di sekolahkan oleh oma. Terkadang oma yang menghampiri saya ke Finlandia atau ke New York saat saya kuliah disana.” “Terus kenapa oma nyuruh gue tinggal sama lo?” “Sebenarnya oma hanya meminta saya untuk menjaga kamu jika beliau tidak ada lagi.”  “Tapi bukan berarti gue harus tinggal sama lo kan?” “Bagaimana kamu mau tinggal sendiri, bahkan kamu tidak tahu caranya bangun pagi.” Violet mengerucutkan bibirnya mendengar sindiran oleh Alvaro. Ya memang diakuinya bahwa ucapan Alvaro itu ada benarnya juga. “Saya juga tidak bisa mengawasi kamu setiap saat, jadi inilah cara saya untuk menjaga kamu. Tinggallah disini dan biarkan saya menjaga kamu.” Violet dibuat tertegun mendengar ucapan Alvaro. Apalagi melihat kesungguhan di mata pria itu. “Oke, gue mau karena ini permintaan oma.” Alvaro terlihat tersenyum tipis mendengar persetujuan gadis itu. Violet kembali tertegun, meskipun hanya tersenyum tipis, namun ia terlihat makin tampan saat sedang tersenyum. Sepertinya Violet harus banyak mengajarinya cara tersenyum setelah ini, hidup pria itu benar-benar kaku. “Oh iya, soal warisan dan semua aset peninggalan oma kamu, kamu tenang saja. Karena kamu adalah cucu satu-satunya oma Sari, semua hartanya jatuh ke tangan kamu termasuk semua perusahaannya.” “Tapi kan gue gak ngerti soal perusahaan. Kuliah aja baru lulus, belum lagi jurusan gue fashion design.” “Aku yang akan urus semuanya, yang penting kamu tinggal terima hasilnya.” Violet mengangguk setuju.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD