Another First Kiss

1629 Words
Sore harinya, Lovarie belum keluar kamar. Dia masih sakit hati karena Jensen seenaknya sendiri seperti biasa. Menganggap ciuman adalah hal lumrah yang memang patut dibuat permainan. Pintu kamarnya terbuka, membuat Lovarie yang sedang rebahan langsung pura-pura tidur. Jensen masuk dan berjalan pelan menuju tempat tidur. Lovarie harus menahan diri agar tidak terkejut karena Jensen tiba-tiba memeluknya dari belakang. Lelaki itu mengusap-usap lengan kirinya. "I know you're not sleeping. It's okay. You have a right to mad at me. I'm a really bad guy, right? Why are you still here, being my best friend? Don't your heart frequently feeling hurt because of me? Aku tahu kamu tidak tidur. Tidak apa-apa. Kamu berhak marah padaku. Aku benar-benar orang jahat, 'kan? Kenapa kamu tetap di sini, menjadi sahabatku? Tidakkah hatimu sering sakit karena aku?" Ucapan Jensen membuat Lovarie makin kuat memejamkan mata. Supaya air matanya tidak keluar. Jarang sekali Jensen bersikap seperti ini. Sungguh. Lovarie tidak tahu harus bagaimana sekarang. Jensen berbisik tepat di telinga Lovarie. "If your first kiss is really on me last night, then I apologise. I'm sorry, Lova. I didn't mean to kiss you when I was drunk. But you have to know something. I'm glad can kiss you when I was sober this morning. Jika ciuman pertamamu benar-benar padaku tadi malam, maka aku minta maaf. Maaf, Lova. Aku tidak bermaksud menciummu ketika aku mabuk. Akan tetapi, Anda harus tahu sesuatu. Aku senang bisa menciummu ketika aku sadar tadi pagi." Baru saja hendak mengatakan balasan, Jensen sudah bangkit dan melangkah ke pintu. "I promise never kiss you without your permission again. Hope your rest of day is better, Lova. Aku janji tidak akan menciummu tanpa izinmu lagi. Semoga sisa harimu lebih baik, Lova." Pintu ditutup. Lovarie langsung membuka mata dan memegangi dadanya yang berdegup kencang. Apa maksud ucapan Jensen? Tidak pernah mencium tanpa izinnya lagi? Berarti, dia akan ... menciumnya lagi? Lovarie menjerit tertahan. Agaknya dia siap sakit hati tiap saat apabila Jensen memperlakukan Lovarie selembut tadi. Lovarie membuka ponsel, menatap room chat-nya dengan Jensen. Foto dia dan Auriga yang sedang berciuman. Mengapa ... rasanya juga mendebarkan? Padahal itu hanyalah ciuman singkat tak berarti seperti kata Jensen, 'kan? Seketika senyum Auriga terbayang di benaknya. Lelaki itu perhatian setiap saat. Benar-benar orang baik dan menghargai perempuan. "Lov, entah jarak rumah kita terlalu deket atau lo harus pasang gorden di jendela, tapi sori, gue liat semuanya!" Mendengar teriakan Auriga, Lovarie langsung balik badan dan mendapati Auriga rebahan di dekat jendelanya sendiri. Ternyata jendela mereka sama-sama rendah sampai terlihat masing-masing kasur mereka. "Jangan bilang lo liat Jensen masuk ke kamar gue?!" Auriga mengangkat bahu. "Enggak sengaja liat. Kayaknya love language dia physical touch, ya? Gue selalu liat Jensen kontak fisik sama lo. Mungkin cuma perasaan gue, sih." Kepala Lovarie menggeleng. Dia turut tengkurap di kasur dan menatap jendela. "Bener, kok. Dia ngaku love language-nya emang physical touch." "Lo sendiri love language-nya apa?" tanya Auriga. "Well, gue enggak tau persis. Mungkin words of affirmation sama quality time." Auriga mengangguk-angguk paham. "Udah gue duga, sih. By the way, lo ... ngapain liat foto itu?" Tubuh Lovarie menegang. Jangan bilang Auriga juga melihat dirinya yang tadi memandangi foto mereka berciuman? Dia gugup. Gadis itu menjawab, "A-anu, it-u ... gue ... cuma pengin liat." "Lo nyesel kita ciuman tadi pagi?" Sungguh, Lovarie sama sekali tidak memprediksi Auriga akan bertanya hal demikian. Ada bagian dari dirinya yang menyesal, tetapi sebagian lagi justru berkhianat. Dia tidak sepenuhnya menyesal. Lovarie menatap Auriga. Laki-laki itu begitu mengerti perasaan Lovarie. Berusaha melindunginya dari gencaran pertanyaan teman-teman Jensen. Maka, salah. Dia bukan tidak sepenuhnya menyesal. Garis bawahi, Lovarie sama sekali tidak menyesal. Lovarie memilih membalikkan pertanyaan. "Lo sendiri?" Senyum Auriga terulas. "Kalo boleh jujur dan emang gue pantang berbohong, gue enggak nyesel. Malah gue seneng first kiss gue ada di lo. Meski nantinya lo bukan second kiss atau third kiss gue, itu enggak papa. Gue bersyukur karena yang pertama ada di gadis sebaik lo." Hati Lovarie menghangat mendengar itu. Dia tertegun. Tidak pernah ada yang bersyukur atas hal yang berkaitan dengan dirinya. Lovarie merasa ... keberadaannya dihargai. Gadis itu mengubah posisi jadi duduk. "Riga, lo tau? Belakangan gue jadi mikir, mungkin sebaiknya gue cinta sama lo aja. Lo dateng di waktu yang salah. Andai aja kita kenal sebelum gue ke London, pasti semuanya bakal baik-baik aja. Gue enggak perlu makan hati tiap hari liat cewek-ceweknya Jensen," ucap Lovarie. Di lain sisi, Auriga hanya dapat tersenyum. Dia juga berharap demikian, tetapi waktu tetaplah waktu. "Lov, apa lo bener-bener ngira gue dateng di waktu yang salah?" Lovarie melebarkan jendelanya, hingga dia dapat merasakan angin musim semi. "Iya." "Menurut gue, ini adalah waktu paling tepat. Supaya gue bisa ada buat lo ketika Jensen nyakitin lo. Gue seneng jadi support system lo, kalo itu bisa bikin lo bahagia. Aneh, ya? Padahal kita baru kenal sebentar, tapi gue yakin, lo juga ngerasain hal yang sama. Jujur lagi, nih, gue suka interaksi kita yang saling terbuka gini." "Ga, cuma sama lo gue seterbuka ini. Ada sesuatu yang dorong gue buat jujur kalo sama lo," sahut Lovarie. Auriga duduk di jendela, membuat kakinya bergantungan karena kamar terletak di lantai dua. "Cuma sama lo doang gue mau terbuka. Kenapa, ya? Padahal, gue bukan tipikal orang yang bisa ramah, apalagi terbuka ke orang baru." Lovarie terkekeh. "Kalo itu setuju, sih. Lo jutek banget ke Cayanne." Lelaki itu ikut tertawa kecil. "Nah, itu contohnya. Kalo emang soal fisik, sori, ya, gue rasa cantikan Cayanne dibanding elo. Berarti, bukan fisik lo yang bikin gue terbuka." "Itu mah jangan diragukan. Cayanne emang pentolan SMA. Bisa lo tanyain tiap kelas siapa aja yang naksir Cayanne," timpal Lovarie. "Seumur-umur gue enggak pernah naksir sama cewek terkenal. Lirik aja enggak. Gue sampe disebut gay karena temen-temen ngira gue enggak suka cewek cantik. Padahal mereka aja yang liat cewek bening dikit naksir." Keduanya sama-sama tertawa dan lanjut membahas Indonesia. Seperti di mana rumah mereka, sekolah, sampai makanan khas. Lima belas menit berikutnya, Lovarie dan Auriga sudah keluar rumah. Mereka hendak pergi ke suatu tempat. Sambil berjalan kaki menyusuri jalanan sore London, mereka mengobrol kecil. "Jadi, Victoria ini sahabat lo pas SMA?" tanya Auriga. Lovarie mengangguk. Dia menyeberang dengan hati-hati. "Bener. Bisa dibilang Jensen versi cewek, sih. Dia slengean juga, tapi mending. Enggak sampe drug dan free s*x. Cuma dia emang doyan mabok dan pake tato." "Sori, tapi Jensen beneran nge-drug?" "Iya. Enggak seaktif temen-temennya, sih, tapi tetep aja bahaya. Dia nge-drug kalo lagi depresi aja. Belakangan udah enggak. Terakhir itu tahun lalu. Setau gue, ya. Entah kalo diem-diem dia nge-drug," jawab Lovarie. Auriga mengusap lengannya yang tiba-tiba merinding. "Gue toleransi apa pun, kecuali drug, sih. Bayangin orang nge-drug aja jijik. Kayak enggak ada cara lain buat lampiasin sesuatu. Stupid." Lovarie tersenyum. "Sama, Ga. Gue mati-matian enggak pergi waktu Jensen nge-drug di kamarnya. Gue enggak mau dia ngerasa sendirian." "Nyatanya, lo yang selalu sendirian. Ditinggalin waktu Jensen udah enggak butuh lo. Dia balik lagi dengan lukanya dan lo selalu ada buat dia. You're more stupid. Kamu lebih bodoh." Mereka mampir di salah satu kafe untuk membeli teh cup. Setelahnya, mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah Victoria, sahabat Lovarie. Kawasan Big Ben memang sering dikunjungi orang. Banyak turis yang datang ke jam raksasa itu hanya untuk duduk di bangku dekat sana. Lovarie menyesap tehnya. "Gue juga heran kenapa harus cinta ke Jensen. Padahal, lo liat sendiri, cowok London lain juga enggak kalah keren. Bahkan banyak yang lebih ganteng dari Jensen." "Banyak pula yang lebih baik," sela Auriga. Gadis berambut sepunggung itu meninju pelan lengan Auriga. "Jensen enggak seburuk itu, ah. Lo cuma belum tau sisi baiknya aja. Kalo butuh bantuan, dia orang yang tepat buat dimintai tolong. Relasi dia juga luas." "Tetep aja lebih baik gue." Senyum Lovarie melebar. "Oh, jadi dari tadi lo lagi promosi diri sendiri, nih? Pengin banget gue taksir?" Giliran Auriga yang terkekeh. "Enggak gitu. Gue cuma bicara fakta. Jensen emang baik, tapi lebih baik gue." "Gue enggak mau bandingin. Kalian baik di jalan kalian masing-masing." Tidak ada yang menyahut lagi sampai mereka tiba di sebuah perumahan. Lovarie berhenti di depan rumah yang berada di dekat pohon besar. Gadis itu membunyikan bel, tetapi tidak ada balasan. Baru ketika bel kembali dibunyikan, sebuah suara menyahut, "Come in! Masuk!" Auriga membuntuti Lovarie yang segera masuk ke rumah sepi tersebut. Mereka melewati beberapa ruangan, sampai Lovarie membuka sebuah pintu besi. Seorang gadis dengan setelan olahraga dan rambut dikuncir sedang memukul samsak. "Lova! You didn't tell me that you'd be here. Lova! Kamu tidak memberitahuku kalah kamu akan kemari," ujar Victoria sambil langsung memeluk Lovarie. "Why are you don't come to my home? I'm waiting for you! Kenapa kamu tidak datang ke rumahku? Aku menunggumu!" Victoria berkacak pinggang. "I have to exercise every day for a month. I'm glad you're here with ... another Asian, right? Aku harus olahraga setiap hari dalam sebulan. Aku senang kamu di sini bersama ... orang Asia lain, 'kan?" Lovarie melirik Auriga. "He's Auriga, my new neighbor. Dia Auriga, tetangga baruku. Ga, dia Victoria." Auriga mengulurkan tangan karena Lovarie menyikut perutnya. "Auriga." Gadis brunette itu menyalami tangan Auriga mantap. "Victoria Freightliners. Nice to meet you, Innocent Guy. Senang bertemu denganmu, Laki-Laki Polos." "Am I looks too innocent? Apakah aku terlihat terlalu polos?" tanya Auriga. Victoria berjengit. "Well, not really. Just see how contrast you are with Jensen. Oh, where are that playboy? Yah, tidak juga. Lihatlah betapa kontrasnya kamu dengan Jensen. Oh, di mana playboy itu?" "He was--" "Always here for you, my Sexy Girl Victoria! Selalu di sini untukmu, Victoria Gadis Seksiku!" Seruan Jensen yang tiba-tiba datang membuat tiga remaja itu menoleh bersamaan. Ruang olahraga tersebut seketika memanas. Lovarie belum bicara lagi dengan Jensen sejak pagi. Auriga menatapnya, meyakinkan tidak akan terjadi hal buruk. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD