Much Better

1500 Words
Lovarie menunggu Auriga di parkiran. Lelaki itu belum selesai kelas terakhir, padahal Lovarie sudah menunggu selama setengah jam. Mereka memang sudah mencocokkan jadwal dan pulang-berangkat bersama. Toh, Auriga diberi fasilitas untuk memakai mobil milik ibu angkat Lovarie. Beberapa mahasiswa yang mengenalnya menyapa dan dibalas ramah oleh Lovarie seperti biasa. Seorang laki-laki keturunan Scottish dengan rambut merah alami mendekati Lovarie. Dia ikut duduk di kap mobil. Cukup terkejut dengan keberadaan lelaki itu, Lovarie menyapa, "Hello, Jeff." Kalau kalian lupa, Jeff adalah pianis di To-Gather. Lovarie sendiri tidak tahu apa yang Jeff lakukan di sini. Setahunya, Jeff pasti kuliah di jurusan musik, mengingat bakatnya dalam memainkan piano. "Hi. I'm a great observer, Lova. I know whatever you hide from everyone. Aku pengamat yang baik, Lova. Aku tahu apa pun yang kamu sembunyikan dari semua orang," ucap Jeff, "just wanted to say that Jensen isn't that person. Hanya ingin bilang kalau Jensen bukan orangnya." Lovarie menelan ludah. Dia tidak pernah dekat dengan Jeff, meski sudah tiga tahun mengenalnya. Yang Lovarie tahu, Jeff memang lebih tua setahun darinya dan Jensen. Jujur, dia tidak tahu apa maksud Jeff tiba-tiba mengatakan hal itu padanya. Jeff turun dari kap mobil, bersama dengan Auriga yang datang setengah berlari. "She's waiting for about thirty-four minutes. You better say sorry. Dia menunggu selama kira-kira tiga puluh empat menit. Lebih baik kamu meminta maaf." "Thanks for accompanying her, Jeff. Terima kasih sudah menemaninya, Jeff." Setelahnya, Jeff pergi. Benar. Begitu saja. Tanpa mengatakan apa pun lagi, tanpa menoleh ke belakang. Bahkan, bertindak seolah dia tidak mengatakan apa-apa pada Lovarie yang masih kebingungan. Auriga menatap Lovarie dengan raut bersalah. "Aduh, sori banget. Tadi dosennya--" "Jeff bukannya jurusan musik kayak Jensen?" Tatapan mata Auriga mengikuti arah Lovarie menatap. Jeff yang berjalan menjauh sambil memakai headphone. "Oh, enggak. Dia sama kayak gue." Lovarie melongo. "Hah? Jeff ambil psikologi juga?" Auriga mengangguk mantap. "Gue kira udah kasih tau lo waktu itu. Dia kakak tingkat gue. Kenapa nanya?" Kepala Lovarie menggeleng-geleng pelan. "Nanya aja. Gue kira dia anak musik." "Enggak semua orang memilih jalan yang ada passion mereka. Kebanyakan orang emang enggak punya kesempatan, tapi beberapa ada yang sengaja enggak ambil jalan di mana minat dan bakatnya berada. Em, ngerti, 'kan?" Lovarie mengikuti Auriga untuk memasuki mobil. "Jadi, orang yang enggak punya kesempatan untuk mendalami passion mereka itu kayak gue contohnya?" Sembari memakai seatbelt, Auriga mengangguk. "Sedangkan Jeff, dia sebenernya bisa aja mendalami dan kuliah jurusan musik, tapi dia emang pengin masuk psikologi." "Lo tau dari mana?" Auriga terkekeh pelan. "Ini rahasia umum anak psikologi, kok. Jeff cukup terkenal karena nilai dia nyaris sempurna di semua mata kuliah," lanjutnya, "lo tadi ngomongin apa aja sama dia?" Mobil sudah melaju pelan, meninggalkan halaman kampus. "Kepo. Udah yang bener nyetirnya, Victoria udah nunggu, nih." "Oh, iya! Gue lupa kita mau ketemu Victoria. Bisa ditinju gue telat lama banget." Lovarie tetiba saja teringat mug hijaunya yang dia titipkan pada Jensen. Cukup aneh karena sampai sekarang Auriga tidak membahas apa pun tentang mug itu. Padahal, sudah lewat dari seminggu. Paling tidak ucapan terima kasih. Bukannya Lovarie pamrih, tetapi dia merasa aneh. Ada yang janggal. Auriga bukan tipikal orang yang lupa berterima kasih. "Ga, lo suka mugnya?" Auriga melirik sekilas, lalu mengangguk. "Mugnya tebel dan enggak gampang pecah. Sayang warnanya putih, cepet kotor. Eh, tapi bukan berarti gue enggak bersyukur, ya. Gue hargai niat Jensen, kok." Alis Lovarie mengerut sedikit. "Kalo mug yang hijau?" "Hijau?" Oke. Ini jelas ada yang janggal. Lovarie tidak berani bicara lagi. Dia sibuk menebak apa yang sebenarnya terjadi. Entah siapa yang berbohong. Auriga atau Jensen. Namun, jika melihat dari wajah Auriga, dia tidak akan menyembunyikan hal sesepele mug. Apalagi, dia percaya dengan kejujuran Auriga. Lagi-lagi dia menelan ludah. Benarkah Jensen yang .... Mengapa? Lupakan soal mug tadi, itu bisa dia buatkan lagi untuk Auriga. Akan tetapi, apa alasan Jensen? Bagaimana bisa Auriga tidak menerima mug hijaunya, padahal dia lihat dengan jelas bahwa Jensen membawanya ke depan pintu rumah Auriga? "Lov? Lo baik-baik aja? Atau ada hal yang gue lewatin?" Lovarie tersenyum tipis. "Oh, enggak. Ngelamun aja. Lo ada rencana liburan ke Indonesia akhir semester nanti?" Bahu Auriga terangkat. "Kayaknya enggak, sih. Pulang enggak pake uang sendiri sama aja bebanin orang tua. Penginnya ambil part-time job gitu. Baru nanti tahun kedua atau ketiga gue balik." Lovarie mengangguk-angguk paham. "Gue juga niatnya cari kerja part-time, sih. Mau bareng?" "Boleh. Lo sendiri ada rencana ke Indonesia lagi?" "At this time I don't think that Indonesia still my home. Saat ini aku tidak berpikir bahwa Indonesia masih rumahku." Auriga menepuk singkat bahu Lovarie. "Sekarang lo punya gue jadi temen lo. Meski kita emang enggak ketemu di Indonesia. Lo bisa ikut gue pulang ke Indo kalo mau, mama gue pasti seneng. Indonesia selalu jadi rumah buat orang-orang di dalamnya, maupun orang yang pernah di dalamnya." Detik berikutnya, Auriga yakin dia salah membuat keputusan dengan melirik ke kiri. Senyum Lovarie yang tulus itu membuat dadanya berdegup tak keruan. Ini tidak benar. Dia harus fokus menyetir. Maka, Auriga meluruskan pandangan sembari berdeham. "Thanks, Ga." *** "You better run before I'll break your bone five seconds later! Lebih baik kamu lari sebelum aku hancurkan tulangmu lima detik lagi!" teriak Victoria. Bukannya menuruti Victoria, Lovarie justru menunjukkan tanda peace sambil menyengir lebar. Dia menahan Auriga yang hendak lari sungguhan. "Jangan mau nurutin Victoria, dia bercanda, kok." Keduanya duduk di hadapan Victoria dan Russell. "You guys don't know how many times she has cursing in every single minute. Kalian tidak tahu berapa kali dia mengumpat tiap menit." Lovarie mengembangkan senyum lebarnya. "I know exactly what are you talking about, Russell. Our impatient Vivi cursing me and Auriga for one hundred times for every second, right? Aku tahu persis apa yang kamu katakan, Russell. Vivi kita yang tidak sabaran mengutuk aku dan Auriga seratus kali setiap detik, 'kan?" Victoria menggigit kentang gorengnya kesal. "You're the one who more impatient than everyone, Stupid Lova! Kamulah yang lebih tidak sabaran dari semua orang, Lova Bodoh!" "Shut up. So what's up guys? Diam. Jadi, apa kabar kalian?" tanya Lovarie. Russell menjawab, "We're good and healthy. To the point, I invite you to attend my birthday party. Do you think you can come? Kami baik dan sehat. Langsung saja, aku mengundang kalian untuk menghadiri pesta ulang tahunku. Apakah kira-kira kalian bisa datang?" "When? Kapan?" Pertanyaan Auriga dijawab oleh Victoria dengan cepat. "Tomorrow night, 7 PM, at his house. Besok malam, pukul tujuh malam, di rumahnya." Lovarie mengangguk pelan. "I think I'll come. Kupikir aku bisa datang. Lo gimana, Ga? Punya agenda lain?" "Gue ada kerja kelompok sampe jam enam, sih. Kayaknya masih keburu. Is it okay if I'll come a little bit late? Apakah tidak apa-apa jika aku akan datang sedikit terlambat?" Russell mengangguk. "It's okay. The dress code is 'Feel The Youth'. And Riga, I suggest you to not wear that kind of shirt because it looks like an adult thing. Tidak apa-apa. Dress code-nya 'Rasakan Masa Muda'. Riga, kusarankan kamu tidak memakai pakaian seperti itu karena terlihat seperti hal dewasa." Auriga bukannya tersinggung justru tertawa. "Hahaha, okay. I have some tees maybe. Or Lova could accompany me to buy those things. Aku punya beberapa kaus sepertinya. Atau Lova bisa menemaniku membeli barang-barang itu." "Seriously you don't have any t-shirt? Serius kamu tidak punya kaus?!" Lovarie merotasikan bola matanya gemas. "He's joking, Victoria. I saw him on t-shirt couple of times. Dia bercanda, Victoria. Aku melihatnya memakai kaus beberapa kali." Auriga menatap Lovarie. "You know me so well, aren't you? Kamu mengenalku dengan baik, bukan?" "Gue kenal lo sejauh lo kenal gue, kok." "Enough, Lovebirds. Anyway, Lova, you'll come with Riga, right? Because Jensen absolutely would come with his stupid girlfriend. Cukup, Lovebirds. Ngomong-ngomong, Lova, kamu akan datang dengan Riga, 'kan? Karena Jensen tentu saja akan datang bersama pacar bodohnya," celetuk Victoria. Lovarie sempat saling tatap dengan Auriga dan mengangguk singkat. "Of course. Even if we aren't a couple, we're still best friend. Tentu saja. Bahkan jika kami bukan pasangan, kami tetaplah sahabat baik." Ucapan Victoria selanjutnya membuat mulut Lovarie dan Auriga sama-sama bungkam. "But friends doesn't staring each other for a few times. Namun, sahabat tidak menatap satu sama lain untuk beberapa kali." Benar saja, menit-menit berikutnya belum ada yang membuka percakapan. Lovarie memanggil pelayan untuk memesan makanan. Victoria kadang memang sangat blak-blakan. Hampir sama dengan Auriga. Lovarie tetap belum bisa beradaptasi. Bahkan, Auriga saja sampai terdiam hingga sekarang. "Don't you think you've talked too much, Vivi? Tidakkah kamu pikir kamu bicara terlalu banyak, Vivi?" Victoria memakan lagi kentang gorengnya, lalu mengangkat bahu. "Maybe yes. Mungkin iya." Dia melihat lagi interaksi Lovarie dan Auriga yang saling lirik. Senyum miring tercetak di bibirnya. "Or maybe no. Atau mungkin tidak." Mereka tidak tahu, bahwa pesta ulang tahun Russell besok membuat beberapa hal berubah drastis. Tidak ada yang tahu juga bahwa dalam waktu dekat, Victoria akan ambil alih cukup besar dalam cerita ini. "Riga is much better for you, Lova. Riga jauh lebih baik untukmu, Lova." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD