Learn, Jensen

1558 Words
Lovarie dan Auriga sudah duduk di jok mobil, bersiap pulang. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, mereka kelelahan. Berjam-jam melangkahkan kaki di jalanan London dengan istirahat sekali dua kali untuk makan membuat mereka kelelahan. Gadis berambut panjang itu sendiri sedang tersenyum menatap tiga lembar foto polaroid yang sudah tercetak. "Thanks udah mau jalan-jalan sama gue, Ga. Lo pasti banyak tugas kuliah yang harus dikerjain." "Well, gue ambil hari libur emang buat santai dan enggak mikirin tugas. Justru hari libur gue bakal enggak bermakna kalo di rumah aja ngerjain tugas. Lagian gue seneng, kok, bisa bareng lo." Lampu merah membuat Auriga menghentikan laju mobil. Dia meminta izin untuk melihat tiga foto tadi. Di polaroid pertama ada foto Lovarie sedang memakan puding dengan mulut yang terbuka. Auriga tertawa melihatnya. "Ini lucu banget," komentar Auriga. Bibir Lovarie mengerucut kesal. "Enggak bagus itu, mau minta ulang enggak boleh." "Kita udah sepakat cuma ambil tiga foto, 'kan? Foto ini cute, kok, beneran." Lovarie menunjuk foto kedua di mana Auriga meringis sambil memegang es krim. Dia tertawa karena di foto tersebut mulut Auriga belepotan karena es krim vanila yang mereka beli. Auriga terkekeh melihatnya. "Gue enggak sadar belepotan gitu. Kenapa lo enggak bilang, hm?" Lovarie mengulum senyum jahil. "Balas dendam, dong," katanya, "tapi yang satu ini favorit gue." Foto terakhir yang mana terdapat Lovarie dan Auriga di dalamnya. Mereka berdiri bersebelahan dengan Auriga merangkul leher Lovarie. Dengan background Oxford Street dan keramaiannya, foto itu terlihat fantastis karena diambil dari jarak cukup jauh. Seorang penduduk lokal menawarkan mereka untuk membantu foto. Lampu kembali berubah hijau. Auriga menyetir mobil lagi dan mengembalikan tiga foto ke Lovarie. Gadis tersebut tersenyum tipis seraya berucap, "Lo enggak keberatan, 'kan, nyimpen foto gue di album lo?" "Harusnya gue yang nanya ke lo. Enggak keberatan nyimpen foto gue di album lo? Secara ... Jensen ...." Raut wajah Lovarie berubah, meski tidak terlalu kentara. Dia mengangguk pelan, mengerti benar arah maksud ucapan Auriga. "Emang kenapa? Gue yang usul kalo kita simpen foto satu sama lain di album masing-masing, 'kan? Berarti enggak papa. Ini tentang gue dan lo." Giliran Auriga yang kehilangan kata-kata. Namun, kalimat berikutnya yang meluncur akan menutup percakapan mereka selama perjalanan. "Ya, kalo ini bukan tentang gue dan lo, pasti selalu tentang Jensen dan lo." Sungguh, Auriga ingin terlahir dengan filter di lidahnya. Dia sering kali mengatakan apa yang ada di pikiran dan hati begitu saja. Maksudnya, bukan berarti Auriga tidak pernah berpikir sebelum berucap, tetapi dorongan jujur dalam dirinya selalu dia utamakan. Meski kadang orang-orang akan sakit hati dengan ucapannya. Seperti saat ini, Auriga tidak berani menoleh sama sekali. Dia tiba-tiba gugup dan berujung membisu. Dia tidak bermaksud membuat Lovarie tersinggung atau bagaimana. Benar-benar, Auriga harus meminta maaf nanti. Lovarie sendiri tidak membalas apa-apa. Sekejam apa pun omongan Auriga, itu adalah kebenaran. Yang kadang-kadang kebenaran itu sulit diterima dan diakui oleh Lovarie sendiri. Jadi, dia memutuskan untuk diam saja daripada makin disadarkan dengan kenyataan. Sampai pulang ke rumah masing-masing pun, tidak ada percakapan berarti. Mereka sibuk dengan isi kepala sendiri. Tanpa keduanya tahu bahwa mereka merasakan perasaan yang sama. Bersalah. *** "Yeah, I think you have to buy a mug for Auriga. Ya, kupikir kamu harus membeli mug untuk Auriga." Terdengar hela napas dari seberang sana. Lovarie memang sedang menelepon Jensen. Tadi lelaki itu bertanya apakah dia harus mengganti mug milik Auriga yang tidak sengaja dipecahkan. "Sure, sure. I'll buy and give it to him tonight. Anything else? Tentu, tentu saja. Aku akan membeli dan memberikan itu padanya. Ada lagi?" Lovarie menatap mug hijau muda yang sudah dia hias dengan motif katak dan tulisan 'Be Happy Like A Frog'. "Would you mind if you bring my gift to him? I mean, it's not real gift, just a mug. Apakah kamu keberatan kalau membawakan hadiahku padanya? Maksudnya, itu bukan kado sungguhan, hanya sebuah mug." "Why should I do? You could give it to him by yourself, right? Well, okay. I'll come to yours before going to his house. Kenapa aku harus melakukannya? Kamu bisa berikan kepadanya sendiri, bukan? Baiklah, oke. Aku akan datang ke rumah kamu sebelum pergi ke rumahnya." Telepon dimatikan begitu saja. Lovarie tidak mengerti mengapa Jensen bertingkah cukup aneh belakangan ini. Biasanya, lelaki itu biasa saja ketika dititipi barang untuk diberikan pada orang lain. Ah, biar saja, dia tidak ingin ambil pusing. Kembali lagi ke mug hijau yang sudah dia hias sendiri tadi sepulang dari Oxford Street. Sebenarnya ini adalah permintaan maaf dari Lovarie karena membuat Auriga berpikir demikian. Dia sudah tahu rasanya menjadi pelampiasan dan pilihan kedua, maka dari itu Lovarie tidak ingin Auriga merasakan hal yang sama. Meski dia tidak tahu, bahwa Auriga sudah merasakan hal itu sejak lama. *** Jensen masuk ke rumah Lovarie dan mendapati gadis itu tengah duduk di ruang tamu, fokus dengan ponsel. Ada sebuah mug yang dibungkus dengan plastik transparan dan sebuah pita. Tiba-tiba Jensen jadi malas ke rumah Auriga. Entah mengapa. "Hi," sapa Jensen sembari duduk di hadapan Lovarie. "Oh, hi. You came earlier. Kamu datang lebih cepat." Lelaki berambut pirang itu meletakkan mug yang dia bawa ke meja, bersebelahan dengan milik Lovarie. "Seriously, why don't you give it to him? Serius, kenapa kamu tidak memberi itu padanya?" Lovarie menunjuk jam tangan yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. "I have to go with my parents. Aku harus pergi dengan orang tuaku." "When? Kapan?" Bunyi klakson mobil membuat Lovarie berdiri, lantas memakai tas selempangnya. "Right now. Uh, sorry, but can you tell him my apology? Thank you, Jensen, you helped a lot. You can stay here for little while if you want, but don't forget to lock--. Sekarang. Uh, maaf, tetapi bisakah kamu memberitahunya tentang permintaan maafku? Terima kasih, Jensen, kamu sangat membantu. Kamu bisa tinggal di sini sebentar, tetapi jangan lupa untuk mengunci--" "No, no, I'll go. Tidak, tidak, aku akan pergi," sahut Jensen sembari menyambar dua mug di meja, lantas mengikuti Lovarie keluar rumah. "You look in hurry, Uncle Phillip. Kamu terlihat buru-buru, Paman Phillip." Phillip yang sedang menunggu Lovarie di mobil tersenyum. "A bit. We have to attend my sister's birthday. See you tomorrow, Jensen. Sedikit. Kami harus menghadiri ulang tahun adikku." Jensen mengangguk, lalu dia melambaikan tangan pada Lovarie yang sudah duduk di jok mobil. Benda beroda empat tersebut langsung meninggalkan perumahan. Jensen menunduk, menatap mug hijau milik Lovarie, yang sebentar lagi akan menjadi milik Auriga. Jelas saja Lovarie membuat mug indah itu sepenuh hati. Kontras sekali dengan mug miliknya yang hanya berwarna putih polos tanpa motif apa pun. Lagi pula, dia hanya tidak sengaja memecahkan mug Auriga, 'kan? Kemudian, mengapa Lovarie sampai memberi Auriga mug baru juga? Apalagi gadis itu memintanya untuk menyampaikan ucapan maaf. Apa yang terjadi di antara Lovarie dan Auriga? Pemikiran itu membuat Jensen melakukan hal yang tidak biasa dia lakukan. Sesaat kemudian, Jensen mengetuk pintu rumah Auriga dan tak sampai semenit, pemilik rumah sudah mempersilakan masuk. Jensen duduk di ruang tengah, lalu meletakkan sebuah mug polos di meja bundar. "Sorry for broke your mug. If Lova didn't tell me that I should buy you a mug, I won't do it. Maaf karena memecahkan mugmu. Jika Lova tidak memberitahuku bahwa aku harus membelikanmu sebuah mug, aku tidak akan melakukannya." Auriga datang dari arah dapur dengan membawa sekaleng soda dan sebotol minuman teh, meletakkannya di sebelah mug pemberian Jensen. "Of course she did. I really don't mind about the mug, but thanks. Tentu saja dia melakukannya. Aku benar-benar tidak masalah tentang mugnya, tetapi terima kasih." Jensen mengambil kaleng soda, membukanya, lantas meminum seteguk. "You like her, right? Kamu menyukainya, 'kan?" Pertanyaan tiba-tiba itu membuat gerakan Auriga yang hendak meminum teh terhenti. Dia menyalakan televisi, lalu meminum tehnya. "I do or I don't, it doesn't change anything. At least, I knew exactly what I feel. Iya atau tidak, itu tidak mengubah apa pun. Setidaknya, aku tahu persis apa yang kurasakan." "What do you mean when you said it all? Apa maksudmu ketika mengatakan itu semua?" tanya Jensen sedikit tersinggung. Auriga menyunggingkan senyum tipis. Bukan tipe senyum mengejek atau merendahkan, tetapi senyum aku-tahu-semuanya-dari-tindakanmu. "Don't lie to yourself, Jensen. That's all. You can assume I know nothing, it's okay. Jangan berbohong pada dirimu sendiri, Jensen. Itu saja. Kamu bisa berasumsi aku tidak tahu apa pun, tidak apa-apa," ujar Auriga, "wanna watch a movie? What about 'Love Actually', a 2003 movie that--. Mau menonton sebuah film? Bagaimana dengan 'Love Actually', film tahun 2003 yang--" "What do you want to say to me? Tell me, right now. Don't make me confused. Apa yang sebenarnya kamu ingin katakan padaku? Katakan, sekarang. Jangan membuatku bingung." Mata Jensen memang terlihat marah, tetapi terdapat kilat ketidaktahuan di sana. Auriga menatap lurus pada televisi, seolah tidak peduli jika sewaktu-waktu Jensen akan melayangkan pukulan ke wajahnya saat itu juga. "Learn, Jensen. Find out by yourself and you'll know everything. That you've missed. Belajar, Jensen. Cari tahu sendiri dan kamu akan tahu semuanya. Yang telah kamu lewatkan." Jensen bangkit sembari meminum sodanya sampai habis. "Thank you for this damn soda and that stupid conversation. Terima kasih untuk soda sialan ini dan percakapan bodoh itu." "Thank you for coming. Terima kasih sudah datang," balas Auriga. Pintu tertutup, Jensen sempurna pergi dari rumah itu. Auriga tidak tahu bahwa kalimat-kalimatnya justru membuat Jensen menyadari satu hal. Sebuah hal yang Auriga sendiri tunggu-tunggu. Bisa jadi, Auriga baru saja menggali kuburannya sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD