The Albums

1556 Words
Suasana ruangan berubah begitu cepat seolah tak terjadi apa pun sebelumnya. Lovarie tertawa sampai perutnya sakit karena menonton film Indonesia bersama Auriga. "Ngomong-ngomong, kita jadi beli tiga album itu?" Pertanyaan Lovarie yang sedang memakan keripik kentang itu membuat Auriga mengangguk. "Mau beli hari ini?" Lovarie mengangkat alisnya. "Boleh. Gue pulang dulu ambil kamera polaroidnya." "Oke. Gue ngeluarin mobil juga." Gadis berambut sepunggung itu menoleh heran. Dia tidak jadi berdiri karena pernyataan Auriga barusan. "Mobil? Lo ada mobil? Beli? Atau dari Indonesia?" Auriga terkekeh, lalu mengeluarkan sebuah kunci mobil dari saku celana. Tanpa perlu tanya milik siapa, Lovarie sudah tahu. Itu mobil ibu angkatnya. Pertanyaannya berganti. Bagaimana bisa Auriga memiliki kunci mobil tersebut? "Gue enggak nyuri. Beberapa hari lalu Aunt Ruby kasih kunci ini. Katanya supaya kalo ke mana-mana lo bisa bareng gue," terang Auriga. Pantas saja belakangan ini mobil merah milik ibunya itu tergeletak di garasi. Cukup berisiko tindakan Ruby karena memberikan kepercayaan kepada orang baru seperti Auriga. Namun, karena dia mengetahui sifat Auriga, Lovarie jadi bersyukur Ruby juga memercayai lelaki baik itu. "Bagus, deh. Jadi punya sopir pribadi." *** Autumn season atau musim gugur merupakan musim favorit Lovarie. Sebab dia akan melihat banyak warna cokelat-merah sepenjuru kota. Bahkan gadis itu berharap setiap hari di London adalah musim gugur. Tidak biasanya Lovarie begitu memikirkan penampilan. Dia tahu, Auriga sudah menunggu di luar rumah dengan mobil siap jalan. Namun, dia masih belum memutuskan hendak memakai apa. Semua pintu lemari pakaian sudah dibuka, tetapi hal tersebut justru menambah bingung. "Lov, are you okay?" teriak Auriga dari lantai bawah. Lovarie membalas, "Iya, sebentar!" Buru-buru diambilnya kaus turtle neck lengan panjang berbahan kain rajut berwarna cokelat tua. Untuk bawahan dia memakai celana panjang tartan dengan warna dasar cokelat muda bercorak kotak-kotak hitam. Sebagai pelengkap, dia meraih sehelai syal tipis warna merah bata. Tidak ada waktu lagi untuk memikirkan gaya rambut. Auriga sudah menunggunya selama empat puluh menit. Gadis itu menyandang sling bag berisi barang penting dan hampir siap. Masalah terakhir datang. Haruskah dia memakai sepatu pantofel berhak atau tidak. Kemarin dia baru saja membeli yang memiliki hak setinggi lima sentimeter. Sedangkan pantofel yang tanpa hak merupakan favoritnya. Dua alas kaki tersebut memiliki model yang hampir sama dengan warna persis. Baiklah, Lovarie memakai sepatu pantofel warna jingga tanpa hak. Kalau dipikir, selisih tingginya dengan Auriga tidak terlalu jelas, jadi tidak perlu memakai sepatu berhak. Sekali lagi menatap pantulan diri, Lovarie tersenyum. Inilah zona nyamannya. "LOVA, GUE TINGGAL, NIH!" "Ih, iya-iya!" seru Lovarie sembari menuruni anak tangga setengah berlari. Sampai di depan rumah, benar saja Auriga sudah menunggu di mobil dengan wajah tertekuk. Lovarie cengengesan, lalu masuk ke mobil dan duduk di sebelah Auriga. "Jangan ngambek gitu, dong, Ga," bujuk Lovarie. Mobil mulai melaju, meninggalkan perumahan. Auriga menjawab, "Lagian lo ngapain lama banget? Enggak perlu dandan juga lo udah cantik." Lovarie meninju pelan lengan Auriga. "Mulai, deh. Flirting terus." "Hahaha, jadi kita mau beli album?" Lovarie mengangguk semangat. "Pokoknya hari ini kita jalan-jalan! Enggak perlu beli barang banyak, yang penting have fun." Auriga menyunggingkan senyum tipis melihat tingkah Lovarie. "Iya, deh, demi lo gue rela pergi-pergi sekarang. Ada rekomendasi tempat? Gue enggak tau di mana tempat belanja." Sempat berpikir, Lovarie akhirnya menjawab, "Gue sempet pengin ke Oxford Street sama Victoria, cuma belum kesampaian. Mau ke sana? Rame banget sayangnya." "Emang kenapa kalo rame?" tanya Auriga heran. Lovarie membuka dasbor mobil, mengambil dua permen buah dari sana. Dia memakan salah satunya, kemudian menjejalkan yang satu ke mulut Auriga. "Lo enggak papa ke tempat rame? Kalo keberatan kita bisa ganti tempat, kok." "No, it's okay. Gue kira apaan coba. Kita di sana sampe malem juga ayo," sahut Auriga sembari mengunyah permen yang diberikan Lovarie. "BTW, di sana ada apa aja? Yakin ada album foto?" Kepala Lovarie menoleh, wajahnya dibuat dramatis dengan mulut melongo. "Serius lo nanya kayak gitu? This is London! It gives you everything more than you needed. Ini London! London memberimu segala sesuatu lebih dari yang kamu butuhkan." Auriga merotasikan bola matanya mendengar penuturan hiperbolis Lovarie. "Iya, deh, iya. Gue cuma mau mastiin aja kali." Kekehan keluar dari mulut Lovarie. "Serius, di sana banyak banget tokonya. Lebih banyak toko baju dan butik gitu. Ada bar, restoran, coffee shop, toserba, galeri, banyak pokoknya. Nanti kita bisa beli albumnya di The Photographers' Gallery, semoga ada." Radio mobil dinyalakan sehingga suasana tidak terlalu sepi. Mereka mengobrol ringan tentang apa saja sampai tak terasa sudah tiba di tujuan. Mobil sudah terparkir dan keduanya menelisik keadaan sekitar. Oxford Street. Benar-benar ramai dan surganya perbelanjaan. Dari pinggir jalan saja sudah terlihat banyak sekali toko brand ternama. Mulai dari pakaian, perhiasan, kecantikan, optik, makanan semuanya lengkap. Bahkan ada juga Disney Store yang merupakan toko mainan dengan karakter Disney. Bagi pecinta belanja, mungkin inilah tempat favorit mereka. "Welcome to London!" seru Lovarie sembari mengarahkan senyum pada Auriga yang sesaat terpesona. Ini tidak seperti musim gugur, karena hatinya justru sedang bersemi. Seorang pria menabrak bahu Lovarie sehingga gadis itu hampir jatuh. Auriga menahannya dan menawarkan tangan untuk digandeng. "Shall we?" Senyuman manis Lovarie ketika menggandeng tangannya menambah kencang degupan jantung Auriga. Dasar kasmaran. Di tengah perjalanan menuju galeri yang disebutkan Lovarie tadi, Auriga bertanya, "Kita punya tiga kali kesempatan foto, 'kan? Sesuai perjanjian. Kira-kira apa?" "Enggak tau. Liat nanti aja. Kalo jalan-jalan itu jangan mikir, biar seru." Kalau yang tidak tahu, pasti mereka akan mengira Lovarie dan Auriga berpacaran. Bagaimana tidak, interaksi keduanya terlalu dekat dan natural untuk disebut sahabat. Genggaman tangan mereka, tatapan, hingga senyum lebar itu membuat siapa pun akan geleng-geleng kepala sambil berpikir pasti keduanya di mabuk cinta. "Lova, kalo disuruh milih jalan-jalan sama gue atau cowok London yang ganteng banget lo pilih siapa?" Pertanyaan konyol itu meluncur dari bibir Auriga, membuat Lovarie tertawa karenanya. Gadis itu menjawab, "Well, tergantung." Alis Auriga tertaut sebab penasaran. "Hah? Tergantung apa?" "Kalo cowok London itu seperhatian lo, mau lap ingus gue ketika nangis, sering ngintip gue lagi tidur dari jendela kamarnya, dan suka pake kemeja putih kayak sales rokok, gue mungkin bakal pertimbangin jalan-jalan sama dia." Dipikir-pikir, Auriga baru pertama kali merasakan hal seperti ini. Di hatinya terdapat kembang api yang meledak-ledak. Pipinya tak dapat ditahan untuk tidak tersenyum. Lovarie sendiri salah tingkah melihat senyum manis Auriga yang tidak dibuat-buat. Lagi pula, siapa yang mau mengucapkan hal bodoh tadi? Lovarie mengutuk lidahnya yang seenak jidat bicara. Gadis itu tidak sadar bahwa dirinya sedikit melupakan kesedihan akibat gagal pergi bersama Jensen. Ini merupakan hal baik, bukan? Setidaknya bagi Lovarie dan Auriga. Jensen di bagian London lain sedang memikirkan Lovarie, padahal dia tengah bersama kekasihnya yang cantik, Cayanne. Ini akan menjadi lebih menarik ketika nantinya Jensen akan melakukan hal di luar dugaan semua orang. Apa itu? Tunggu saja, waktu yang akan menjawab. *** Di dalam galeri, Lovarie mengajak Auriga berkeliling sebentar sambil menjelaskan beberapa lukisan. Sekalipun Auriga tidak terlalu paham dunia lukis, dia tetap mendengarkan saksama, berbeda sekali dengan Jensen. Lelaki berambut pirang itu akan menguap dan terlihat malas ketika Lovarie mengajaknya ke galeri seni. Benar saja, mereka menemukan rak-rak yang menyediakan album foto. Mata Lovarie langsung tertuju pada sebuah album berwarna cokelat terang, hampir terlihat beige. Pada bagian covernya terdapat gambar menara Big Ben, jembatan xxx, bus bertingkat, kompas, perangko, serta tulisan 'London'. Itu terlihat simpel dan klasik karena gambar-gambar tersebut bertumpukan lagi abstrak. Ada benda semacam price tag yang dapat dimasuki foto di bagian depan. Senyum Lovarie segera mengembang. Perfect. Dia menunjukkan album tersebut pada Auriga di sebelahnya. "What do you think? Menurut kamu gimana?" "Looks like it made just for you. Fit in perfectly. Take it, Lov. Sepertinya itu dibuat hanya untukmu. Cocok dengan sempurna. Ambillah, Lov." Sejujurnya, Lovarie masih belum bisa berdamai dengan cara Auriga memanggil penggalan nama begitu saja. Lov. Terdengar seperti 'Love'. Memikirkannya membuat Lovarie salah tingkah sendiri. "Oke, gue ambil ini. Lo mau yang mana?" Tangan Auriga menyusuri rak, sejurus kemudian berhenti di satu titik dan mengambil sebuah album foto berwarna biru dengan aksen cokelat tua. Desain covernya hampir mirip dengan Lovarie, hanya saja di sana terdapat wadah kotak untuk foto, bukan berbentuk price tag. Auriga mengangkat album tersebut, melambaikannya pada Lovarie. "Fits perfectly with yours, right? Cocok dengan milikmu, 'kan?" "Absolutely! Take it! Benar! Ambil!" "Jadi, kurang satu album buat foto kita. Any recommendations? Ada rekomendasi?" Sembari matanya mencari-cari album, Lovarie mengatakan, "Album kita harus berwarna cerah, melambangkan London, tapi simpel. Mungkin yang ...." "Ini," ujar Auriga dan Lovarie bersamaan. Mereka menunjuk satu album berwarna merah dengan cover siluet kota London dan Big Ben-nya yang tinggi. Di bawahnya terdapat tulisan 'LONDON'. Masing-masing tulisan itu dan siluet kotanya berwarna hitam. Simpel, tetapi sangat 'London'. Baik Auriga maupun Lovarie tertawa bersama. Mereka membeli tiga album itu dan keluar dari galeri seni. Lovarie memeluk album-album tersebut dengan senyum lebar. "Keliatannya lo seneng banget," goda Auriga. Lovarie menyenggol Auriga dengan bahunya. "This is the best day ever! Ini hari yang paling baik!" "The best isn't coming yet, Lov. Yang terbaik belum datang, Lov," sahut Auriga, "because this day isn't over yet. Karena hari ini belum berakhir." Auriga mengangkat tangan kirinya, menawarkan sesuatu yang Lovarie tunggu sejak tadi. "Ready to make some memories? Siap membuat beberapa kenangan?" Tiada yang lebih menyenangkan dibanding memiliki seseorang. Auriga dan Lovarie menghabiskan waktu tanpa mengerti apa yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, atau bahkan beberapa tahun lagi. Yang jelas, keduanya sama-sama tahu, mereka nyaman ketika bersama. Itu sudah cukup. Seharusnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD