Some Things Getting Obvious

1582 Words
"Why are you late wake up, Sweetie? Mengapa kamu terlambat bangun, Sayang?" Lovarie mengerjapkan mata karena suara menggelegar yang tiba-tiba menginterupsi tidurnya. Melihat lelaki berambut pirang tatkala dia membuka mata merupakan hal yang sudah jarang terjadi. Semenjak berpacaran dengan Cayanne, lelaki itu sudah tidak sering datang ke rumahnya. Segera gadis tersebut membungkus tubuh dengan selimut. "Lemme sleep any longer! Biarkan aku tidur lebih lama!" "I know you had fun last night. Why you didn't tell me anything? Or it was a date, huh? Aku tahu semalam kamu bersenang-senang. Kenapa kamu tidak cerita apa-apa? Atau semalam itu kencan?" tanya Jensen sembari berkacak pinggang. Dia menatap ke luar jendela, ada Auriga yang sedang duduk santai sembari menyesap teh hangat di kamarnya. "You can't hiding anything from me, Riga. I'm not jealous, because it was you. I trust you won't break her heart. Kamu tidak bisa menyembunyikan apa pun dariku, Riga. Aku tidak cemburu, karena orang itu kamu. Aku percaya kamu tidak akan menyakiti hatinya." "Yup, I'll never do the same thing that you did to her. Yup, aku tidak akan pernah melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan padanya," sahut Auriga enteng. Lovarie langsung terduduk dan memelototi Auriga. "What? Did I say something wrong? Apa? Aku salah ngomong?" Lovarie segera menjawab, "Everything that Jensen did to me was my business. Semua yang Jensen lakukan padaku adalah urusanku." Sempat Auriga lihat Jensen hanya diam menyimak di kamar Lovarie. "Me either, everything that I've said was my business. Aku juga. Semua yang kukatakan adalah urusanku." "Really, guys? You're on dating last night and this morning--. Sungguh, kawan? Kalian kencan semalam dan pagi ini--" "Shut your mouth, Jensen! Tutup mulutmu, Jensen!" potong Lovarie. Dia bangkit dari tempat tidur, lalu menunjuk dua laki-laki sahabat dekatnya. "Congrats! You two succeed of ruining my morning. Stop this dumb conversation. Jensen, get out. Auriga, go away from there. Selamat! Kalian berdua sukses menganggu pagiku. Sudahi percakapan bodoh ini. Jensen, keluar. Auriga, pergi dari sana." Jensen didorong Lovarie keluar kamar. Lelaki itu menepuk-nepuk kepala Lovarie tatkala sudah di depan pintu kamar. "Sorry, didn't mean to do that. Go clean up, I'll be on Riga's house. Breakfast with us, okay? Maaf, tidak bermaksud seperti itu. Sana bersih-bersih, aku akan ada di rumah Riga. Sarapan dengan kami, oke?" Seketika kekesalan Lovarie menguap. Sudah lama dia tidak diperlakukan semanis ini oleh Jensen. Rupanya, meski pura-pura biasa saja pasca Jensen memacari Cayanne, dia tetap saja merindukannya. Lovarie refleks memeluk Jensen. Entah nyali dari mana, yang jelas dia rindu pada sahabatnya. Selain masalah hati, bagaimanapun Jensen tetaplah sahabat terbaiknya. Belakangan ini mereka jarang bersama, membuat Lovarie kehilangan. "I miss spending time with you. Aku rindu menghabiskan waktu denganmu." Kalimat berikut meluncur begitu saja dari bibir Lovarie. Jensen balas memeluk tak kalah erat. "C'mon, don't say that. How about having lunch with me today? Ayolah, jangan berkata seperti itu. Bagaimana dengan makan siang denganku hari ini?" Lovarie mengangguk. "Sounds great. But first of all, we have to eat breakfast. Boleh. Namun, pertama-tama, kita harus sarapan." "Okay, I'll go to Auriga's. Oke, aku akan ke rumah Auriga." Jensen menuruni tangga sedangkan Lovarie kembali ke kamarnya. Dia tak dapat menahan senyum yang sudah teramat lebar. Tatkala melihat ke arah jendela, rupanya Auriga masih duduk manis di sana dengan secangkir teh. "Siapa yang pagi-pagi dibaperin pacar orang? Ya, benar, Lovarie Wisconsin," celetuk Auriga sembari terkekeh. Gadis tinggi itu mendekat ke arah jendela, lalu menggeram, "Lo bisa pagi-pagi enggak perlu nongkrong di jendela, 'kan? Jangan bilang lo sengaja liatin gue tidur?" Bahu Auriga terangkat. "Ini kamar gue, bebas mau ngapain. Salah lo aja kamarnya enggak dipasang gorden." Tidak ingin disalahkan, Lovarie hanya merengut. Auriga terus menatap gadis itu sampai akhirnya menghilang di pintu kamar mandi. Lelaki itu baru saja hendak menyeruput teh sampai terdengar nyaring dari lantai bawah. "RIGA, I DROPPED YOUR MUG! Riga, aku menjatuhkan mugmu!" *** Perut yang tadinya biasa saja seketika keroncongan tatkala Lovarie memasuki rumah Auriga. Aroma roti bakar memenuhi indra penciuman. Namun, aneh, dua sahabatnya tampak tidak akur. Oh, tidak. Tepatnya, Jensen terlihat seolah membujuk Auriga yang sebenarnya memasang tampang biasa saja. Jika sudah begini, Lovarie yakin Jensen pasti membuat kesalahan. Dia berjalan menuju dapur yang tersedia meja konter dengan kursi tinggi. "There's a problem? Ada masalah?" tanya Lovarie sembari duduk di hadapan Auriga yang tengah menyeduh teh hangat. "Nothing. Tidak ada." "Yes. Ada" Jensen dan Auriga menjawab bersamaan dengan jawaban berbeda. Tentu saja Jensen yang mengiakan pertanyaan Lovarie tadi. "What's wrong, Jensen? Ada apa, Jensen?" Lelaki berambut pirang itu menggigit toast with egg-nya sambil berkata, "I swear, I didn't mean to dropped his mug. Sumpah, aku tidak bermaksud menjatuhkan mugnya." Auriga menyodorkan roti panggang dengan selai kacang ke hadapan Lovarie. "Yeah, that's why I said nothing's going on. It was just a mug. Chill, Jensen. Ya, makanya aku bilang tidak ada yang terjadi. Itu hanyalah mug. Santai, Jensen." Lovarie tersenyum dan berujar, "Thanks, this would be delicious. Terima kasih, ini pasti enak." Kemudian dia mulai menyantap roti panggangnya. "Hei, don't you know that Lova prefer chocolate jam? Hei, tidakkah kamu tahu Lova lebih suka selai cokelat?" Pertanyaan Jensen membuat gerakan Lovarie terhenti tiba-tiba. Dia menelan ludah susah payah. Tak sadar gadis itu saling tatap dengan Auriga. "Perlu gue bocorin, atau lo aja yang mau ngomong, Lov?" Suasana menegang. Lovarie memberi sinyal pada Auriga supaya tidak mengatakan apa pun. Sayang, sinyal tersebut justru ditangkap oleh Jensen. "What are you talking about? Apa yang kalian bicarakan?" "Jensen, don't you know that Lova doesn't really like chocolate? I mean, she loves chocolate, but she's rather choose peanut butter for her toast. Jensen, tidakkah kamu tahu bahwa Lova tidak terlalu suka cokelat? Maksudku, dia suka cokelat, tetapi dia lebih suka selai kacang untuk roti panggangnya." Lovarie tertegun tatkala dia melihat bola mata biru Jensen yang meredup. Bukan tersinggung, melainkan seperti ... malu. Selama tiga tahun lebih dia mengenal Jensen, tak pernah Lovarie melihat tatapannya yang seperti ini. Dia segera menyela, "What did you say, Riga? I love chocolate jam on my toast. Can we change the topic? It was just a taste of toast, we shouldn't argument. Apa yang kamu katakan, Riga? Aku suka roti panggang dengan selai cokelat. Bisakah mengganti topik? Itu hanya rasa roti panggang, kita tidak perlu berdebat karenanya." Usai itu, mereka menikmati sarapan dengan tenang. Percakapan mengalir ringan, tetapi Lovarie dapat merasakan Jensen lebih diam dari sebelumnya. Ah, dia harus lebih berhati-hati dalam bicara nanti. Sarapan selesai dan ketiganya menuju ruang tengah, menyalakan televisi. Lovarie menyukai situasi ini. Menghabiskan waktu untuk bersantai dengan dua sahabat baiknya. Benar-benar menyenangkan. Sampai suara dering telepon menginterupsi. Lovarie yang duduk di tengah melirik ponsel Jensen dan bahunya seketika menurun. Panggilan suara dari Cayanne. Seharusnya Lovarie tidak merasa kehilangan tatkala Jensen menjauh untuk mengangkat telepon. Toh, Cayanne memang pacar Jensen, dia memiliki hak untuk menghubunginya kapan saja. Entah apa alasannya, Auriga mengeraskan volume televisi, membuat Lovarie menoleh ke kanan. "Jangan cari penyakit dengan nguping obrolan dia sama Cayanne," ucap Auriga pelan. Demi apa pun, Lovarie ingin sekali menaruh seluruh perasaannya pada Auriga. Akan tetapi, memang terdengar sulit dilakukan jika Jensen masih berdampak besar di hidupnya. Disapa saja senang luar biasa, bagaimana bisa Lovarie hidup tanpa melihat senyum Jensen untuknya? Itu adalah hal terakhir yang ingin dia bayangkan. Beberapa saat kemudian, Jensen kembali ke sofa dan tampak ingin mengatakan sesuatu. Lovarie tak tahan untuk tidak bertanya, "What happened? Apa yang terjadi?" "I ... have to go right now. Is it okay? I mean, our plan for lunch and--. Aku ... harus pergi sekarang juga. Apakah tidak apa-apa? Maksudku, rencana kita untuk makan siang dan--" "No, no, of course it's okay. Go ahead. I'll be here with Riga, right? Tidak, tidak, tentu saja tidak apa-apa. Silakan. Aku akan di sini bersama Riga, 'kan?" tanya Lovarie meminta persetujuan Auriga. Lagi-lagi Auriga mendapat opsi kedua. Dia hanyalah pilihan cadangan ketika rencana utama Lovarie dan Jensen gagal. Tidak apa-apa. Anggap saja kesempatan dari Tuhan. Maka, dia tersenyum dan menaikkan kedua alisnya. "Yup, just order a box of pizza for us. Ya, pesankan saja satu boks piza untuk kami." Senyum Jensen berangsur lebar. "Deal! Love you all! Sayang kalian!" Tak lama berselang pintu rumah Auriga berbunyi tanda ditutup. Lovarie menatap layar televisi dengan tatapan kosong. "Semakin kita berharap, semakin besar kemungkinan sakit hatinya. Gue bukan mau nyalahin lo atau apa saat ini, tapi ... gue di sini, kok." Lovarie yang tadinya berusaha biasa saja seketika terbawa perasaan. Pertahanannya runtuh. Dia menunduk, menurun wajah dengan telapak tangan. "G-gue tau lo selalu ada buat gue, t-tapi jangan ngomong kayak gitu." Auriga terkekeh dan mengacak pelan rambut Lovarie. "Siapa yang bilang Lova enggak pernah nangis, huh? Lo lebih cengeng dari kucing gue. But, it's okay. Gue suka lo nunjukin perasaan lo di depan gue. Selama ini lo simpen sendirian. Sekarang jangan lagi, ya. Lo masih bisa luapin ke lukisan, tapi lebih enak curhat langsung ke gue, 'kan? Senyaman apa pun bicara pada tembok tuli, lebih menenangkan cerita ke orang yang peduli." "Lo peduli sama gue?" "Kalo enggak, buat apa gue bela-belain hapus air mata dan ingus lo itu?" Tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Intinya, Lovarie sangat bersyukur memiliki Auriga sekarang. Meski ucapannya terlalu jujur dan kadang menyebalkan, Auriga-lah yang selalu dapat membuat suasana hati lebih baik. Jensen tidak tahu betapa dia akan menyesal telah banyak membuang kesempatannya bersama Lovarie. Karena, bisa jadi, beberapa tahun mendatang, dia tidak bisa melihat gadis itu lagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD