Bab 11

1260 Words
Afni dan Dika melambaikan tangan begitu melihatku duduk berdampingan dengan Arvan. “Om Arvan, Mama …!” panggilnya. Arvan ikut melambai. Pria itu lebih dekat dengan anak-anak pasca Mas Raga meninggalkan kewajibannya sebagai seorang ayah dan menyuruh Arvan jadi pelindung keduanya. Entahlah, setelah ini akankah Mas Raga menarik Arvan dan memecatnya perihal amarahnya terhadapku. Aku tak tahu. Tapi aku tahu pria egois itu tak mau rugi mengingat semuanya dia yang membayar dan Arvan mendapat gaji juga darinya. “Mereka ceria sekali, ya, Arv. Rasanya aku iri dengan kebahagiaan mereka. Bisa tertawa lepas tanpa beban dan penuh keceriaan.” Arvan mengangguk singkat. Tatapannya jatuh pada mereka yang sedang aktif-aktifnya bermain. “Saya harap Bu Zea juga akan begitu suatu hari nanti. Setelah melepas beban, masa depan cerah akan Ibu gapai. Percayalah, jika kita melepaskan sesuatu yang berat, kita akan mendapatkan sesuatu yang baru juga.” “Ya, semoga saja.” “Mama, aku lapar.” Afni dan adiknya menghambur sambil mengusap perut. “Iya, aku juga lapar. Pengen makan, Ma.” Tampak keringat keduanya bercucuran setelah puas main di kolam bola dan perosotan. “Ya udah, yuk kita ke food court,” ajakku sambil beranjak. Afni berpegangan padaku sementara Dika memegang tangan kanan Arvan. Jika diperhatikan sekilas, kami seperti pasangan suami istri dengan sepasang anak. “Ayo, pesan sekalian, Arv. Mbak Dina juga,” titahku mengangsurkan buku menu. Keduanya kemudian memilih makanan cepat saji. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang dengan aneka pesanan. Afni dan Dika makan dengan lahap. Hatiku terenyuh melihat keduanya yang tidak memiliki beban. Selesai makan, aku membayar bill yang diangsurkan pelayan. Tapi baru beberapa menit, wanita berpakaian khas pelayan ini kembali mendekat. “Maaf, Bu. Kartunya ditolak,” ucapnya sopan. “Apa, ditolak?! Kok bisa?” “Iya, Bu. Kalau tidak percaya, mari ikut saya.” “Coba sekali lagi, Mbak.” Aku beranjak mengikuti wanita itu ke mesin gesek. Sampai dua kali dicoba, benar, kartunya tetap ditolak. Curiga ini ulah Mas Raga, terpaksa aku mengeluarkan kartu milikku pribadi. “Apa ada masalah, Bu?” Arvan bertanya setelah mendekat. Dia melihat wajah bingungku. “Kartunya ditolak, Arv.” “Coba pake kartu saya saja,” ujarnya lagi menawarkan. “Nggak usah, Arv,” tolakku tak enak hati. Masa dibayarkan oleh karyawan sendiri. Aneh saja rasanya. “Coba yang ini, Mbak.” Kuangsurkan kartu berwarna kuning. Dan ya, ternyata berhasil. Syukurlah. Setelah lelah berjam-jam jalan-jalan akhirnya keduanya kuajak pulang kembali ke rumah. Harap- harap cemas, kuharap Mas Raga sudah pergi. Malas rasanya jika sampai ada keributan, sedangkan dua anakku melihatnya. Tapi ternyata dugaanku salah. Terbukti kendaraan putihnya masih terparkir sempurna di halaman, menandakan jika pemiliknya masih stand by di dalam. Lebih dari itu, satu mobil merah juga terparkir di sana. Astaga. Itu mobil milik si gundik! Suara canda manja terdengar masuk ke telinga. Sepasang tukang selingkuh sedang duduk di sofa dengan santainya saat aku mendekat. Mataku sampai membulat melihat Sheva berdiri dengan pakaian santai yang dikenakannya. Pakaian seksi yang tak pantas dipandang dan dilihat oleh kaum Adam. Dia, sejak kapan dia datang dan berani sekali dia menginjakkan kakinya di rumahku. “Sedang apa kau di sini? Dan siapa yang mengizinkanmu kembali ke tempat ini?” geramku langsung begitu sampai di hadapannya. Oh ya Tuhan, semoga tidak ada drama lagi setelah ini, karena jujur aku merasa lelah dengan semuanya. “Santai, Zea. Kenapa kau terkejut begitu?” “Setelah berhasil merebut suamiku, apalagi yang kau inginkan dengan berada di rumahku sekarang?” terangku kesal. Wanita tak tahu malu itu menatapku dengan pandangan mengejek. Seakan paham, Arvan mengajak anak-anak beralih ke taman samping. “Biar aku jelaskan, Zea. Kuberitahu kalau mulai sekarang aku akan pindah ke rumah ini, tepatnya ke rumah Mas Raga.” “Apa kau bilang?! Apa kau tidak salah bicara?!” tanyaku kesal. Siapa yang memutuskan dia boleh tinggal di rumahku. Tidak, tentu saja tidak boleh. “Mas Raga sendiri yang memintaku tinggal di rumah ini. Dan ya, aku langsung menyetujuinya. Dan kurasa aku tak perlu izinmu. Iya, ‘kan?” “Memangnya dimana rumahmu hingga kau harus numpang tinggal di rumah orang lain, terlebih dia bukan suamimu, dan tidak ada ikatan apapun diantara kalian kecuali urusan ranjang!” kecamku emosi. Tidak, melihatnya saja aku muak apalagi tinggal seatap. Tidak terganggu, wanita menjijikan itu malah mendekat pada Mas Raga. “Mas, apa kamu tak memberitahu Zea kalau sebentar lagi kita akan menikah? Lagi pula kamu ‘kan nggak akan bekerja selama 6 bulan, jadi otomatis tidak ada pemasukan sama sekali. Dan kita tidak seharusnya saling bercerai-berai bukan?!” “Benar kau mengizinkan dia, Mas?” tanyaku pada Mas Raga yang masih diam saja. Pria itu selalu tidak berkutik ketika berhadapan dengan si pelakor, bahkan sulit untuk mengambil keputusan. “Kau harusnya terima saja. Untuk sementara Sheva akan tinggal di sini. Kau sendiri yang membuat kekacauan dengan memviralkan kami di media sosial. Jadi jangan salahkan kalau Sheva ikut tinggal di sini. Karena seperti yang dia katakan tadi, selama berbulan-bulan kami tidak mendapat gaji dari kantor dan otomatis pemasukan juga terhenti. Kita bertiga harus berhemat dan salah satunya adalah dengan tinggalnya Sheva di sini. Mas harap kamu tidak membuat kekacauan, Zea.” Aku menganga dengan d**a yang terasa sesak. Apa-apaan itu? Kutatap tajam dua orang tidak tahu diri setelah terus-terusan berbuat m***m dan melakukan zina tanpa henti itu. Kenapa sekarang mereka justru malah lebih mengganggu kehidupanku. Tak masalah jika mereka menikah dan melakukan apapun di belakangku, tapi tidak dengan mempertontonkan kemesraan mereka apalagi tinggal satu atap denganku. Tidak, sampai kapanpun aku tidak sudi tinggal bersama mereka. “Lakukan saja apa yang kalian inginkan. Tapi tidak dengan tinggal di rumahku. Dan Mas, kau boleh menikahinya kapanpun kau mau, terserah. Tapi putuskan sekarang dan pergi dari rumah ini!” usirku berteriak. Wanita itu berdecak merasa ada di atas awan karena Mas Raga membelanya. “Zea, jangan terus membantah. Aku pusing melihat sikap arogan dan tinggi hatimu ini. Apa salahnya Sheva tinggal di sini untuk sementara, sampai dia mendapatkan pekerjaan. Toh, setelah dia kembali bekerja, dia akan dipindahkan ke maskapai yang lain dan tidak akan tinggal di rumah ini lagi. Ini hanya sementara.” Mas Raga menjelaskan seolah semuanya bisa diterima oleh akal sehatku. Bimbang. Otakku terasa buntu. Aku tidak tahu harus melakukan apalagi untuk mengusir keduanya. Jelas tidak mungkin mereka pergi begitu saja, karena Mas Raga masih memiliki tempatnya di rumah ini. Tapi aku tidak ingin tinggal dengan dua orang penikmat lendir itu. Tidak, apalagi anak-anakku. Tak mungkin aku membiarkan wanita itu lebih lama tinggal di sini. Afni dan Dika lambat laun akan menyadari perbuatan papanya dengan si gundik, sementara jika aku pergi dan membawa mereka, Mas Raga dan gundiknya akan keenakan dan mengambil alih semuanya. Tidak. Sepertinya aku harus mendiskusikan semuanya dengan Wike dan orang tuaku nanti. Aku tak bicara lagi. Lebih memilih membiarkan si gundik dengan senyum pongahnya dan dagu yang terangkat. Mungkin puas karena berhasil menjajahku. Tapi tenang saja, ini hanya untuk sementara waktu. Selanjutnya akan kuseret kalian keluar dari rumah ini tanpa ampun sama sekali. Dan lihat saja nanti Mas, dengan acara apapun kupastikan kalian akan pergi. Kutinggalkan mereka dan masuk ke kamar atas. Penasaran apa yang dilakukan oleh Mas Raga sebelumnya. Dan sesuai dugaanku, sepertinya pria itu mencari sesuatu yang penting tapi tidak menemukannya. Imbasnya, keadaan kamar terlihat sangat berantakan dengan seluruh barang-barangku terlempar ke sembarang arah. Baju-baju berserakan dimana-mana. Barang pribadiku bahkan sudah tidak tentu tempatnya, belum lagi beberapa botol parfum yang pecah memenuhi ruangan, menimbulkan aroma yang beradu dengan beberapa skincare lainnya. Benar-benar keterlaluan sekali pria itu. Kenapa dia harus menghancurkan barang-barangku segala. Emosi yang memuncak dengan amarah yang menggebu-gebu membuat kepala berdenyut nyeri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD