Mobil jenazah akhirnya tiba. Sambil membawa tandu, tim forensik segera turun. Mereka bergegas mengangkat mayat korban, berupaya memasukkannya kedalam kantong jenazah, berwarna jingga.
“Tunggu!“ Tiba-tiba Rain menyela.
Pemuda yang sedari tadi begitu serius memperhatikan itu berjalan mendekat, membuka kantong jenazah yang sudah setengah menutup.
“Rambut apa ini?” tanyanya, mengambil sehelai benda menyerupai rambut, yang menempel di ujung kantong jenazah.
Tim forensik yang belum membekali diri dengan alat-alat hanya bisa mengangkat bahu, sampai kemudian, seorang warga berceletuk,” itu seperti rambut gatal yang terdapat pada bambu!“
“Bambu?!” tandas Rain, lalu pria tadi mengangguk.
Matanya terbelalak. Perkataan itu baru saja memberinya petunjuk besar. Tanpa diduga, ia membalik tubuh korban, seolah tak menghargai kerja tim forensik.
Sudah kuduga, pikirnya.
Punggung korban penuh luka baret. Kaos bagian punggung dan kerah belakangnya juga sudah robek. Terdapat pula noda hijau besar, dengan rambut-rambut pendek, berwarna hitam kecoklatan yang baunya cukup tajam.
“Klorofil?” gumamnya, menebak aroma menyengat itu.
Mendapati terselipnya daun bambu muda diantara pakaian korban yang tersembul, seakan menjawab pertanyaannya sendiri.
Robekan kaos ini pasti masih baru, pikirnya.
Rain kemudian menatap rimbunnya pepohonan bambu; tempat yang menutupi area ladang. Baru saja berjalan sebentar, ia segera menemukan daun bambu yang berserakan. Warnanya masih hijau, membuatnya manggut-manggut, puas.
“Begitu, toh?” gumamnya, masih saja tak menyadari pelototan geram dua tim forensik di belakang.
“Maaf pak, kami harus membawa mayat!“ protes salah satu tim medis, tak tahan untuk menyela.
“Oh, silahkan!" Sambil berjalan mundur, mempersilahkan, ia menjawab.
Tiba-tiba, kepalanya terasa pening. Setiap tarikan napas rasanya begitu berat. Makin lama mencoba bertahan, gambaran sekeliling makin terasa pudar. Kesadarannya seolah tertarik, sampai akhirnya, ia menemukan dirinya tengah berdiri, di depan sebuah bangunan besar.
Mungkinkah ini yang mereka sebut, “mimpi di siang bolong?” Pikirnya, masih terdistorsi diantara dunia mimpi dan kenyataan.
Tempat terbengkalai itu kelihatan sudah b****k. Ia tak akan lupa pada gerbang besar yang terkunci rapat, dengan begitu banyak gembok ukuran besar itu.
“Kau..,”
“Bagaimana rasanya mengunjungi masa depan?” tanya sosok seorang gadis kecil, tiba-tiba berada di sebelahnya.
Rain terdiam, memandangi jam tangan di lengannya.
“Apanya yang mengunjungi masa depan?” pikirnya.
Jam menunjukkan waktu istirahatnya yang sebentar lagi akan usai. Ia menatap gadis itu dengan teliti. Rambutnya pirang, bola matanya berwarna coklat terang, dan pupil mata gadis itu rasanya tak berhenti bergerak.
Sungguh, wajah bulenya terlihat kontras dengan bahasanya yang lancar. Melihat perawakannya yang pendek, kemungkinan usianya belum menyentuh belasan tahun. Yang tak bisa dilupakan darinya adalah, ia memiliki t**i lalat kecil di pipi kirinya.
“Kau baru saja melihat masa depan,” kata Sang Gadis lagi.
“Hah?!“
“Lihat mataku!” seru Sang Gadis, “mataku bisa melihat masa depan, dan beberapa orang mampu menerima visual itu,” imbuhnya.
“Bercandamu itu keterlaluan!” sahut Rain.
Mulutnya mungkin menyangkal, tapi tangan sudah mencengkeram radio komunikasi. Ia sendiri tak yakin pada pikirannya sendiri, tapi benda itu tiba-tiba mendesis.
“Rain, kembali ke markas!”
Demikianlah bunyi perintah yang ia terima.
“Diterima, siap!” jawab Rain, “kau dengar? Aku harus kembali. Sisanya kita bicarakan lain kali!” imbuhnya.
“Kau tahu? Dua orang petani bertikai di sini, kemarin sore,” ucap Si Gadis, “ah benar, bicaranya nanti saja! Aku akan meneleponmu sore nanti,” imbuhnya, melambaikan tangan.
Ia sungguh ingin melupakan mimpinya barusan, tapi perasaannya benar-benar buruk. Gadis itu masih melambaikan tangan, padahal ia sudah pergi. Beberapa pernyataan itu kedengaran aneh, tapi ia mengabaikan semuanya. Sekarang, dia baru menyesal.
Apa yang gadis itu katakan menjadi kenyataan. Selain tamparan dari atasannya, hal yang ia alami sebelumnya terulang lagi.
Kembali ditemukan sosok mayat dengan ciri-ciri yang sama persis, dengan yang ia alami dalam mimpinya. Pria paruh baya berpakaian seadanya, memakai celana pendek, dengan luka bacok di kepalanya. Kondisinya pun, serupa dengan yang pernah ia lihat. Darah masih mengalir yang menandakan; kematian baru saja terjadi.
“Ini mustahil!” gumamnya, menampar pipinya sendiri.
“Kenapa Rain?” tanya Kapten Wawan.
“Hanya sedikit pemanasan,” jawab Rain, menyembunyikan rasa heran.
Pipinya masih terasa panas; menandakan dia tak sedang berada di dalam alam mimpi. Ia memeriksa mayat korban sebentar, kemudian menggeleng, tak habis pikir.
Dari bentuk luka dan bukti rumput yang terdapat pada korban, alat yang digunakan pelaku sudah tertebak. Poin pentingnya ialah; rambut aneh di punggung korban, noda hijau, serta daun bambu muda. Setelah memastikan informasi itu sekali lagi, Rain hanya memusatkan fokusnya pada kerumunan warga.
Belum sejam berada di lokasi, ia sontak meyakini seorang pelaku yang menyembunyikan dirinya dalam kerumunan.
“Jangan bergerak!“ teriak Rain, menarik kerah seorang pria paruh baya.
Pria misterius itu memakai kaos lusuh kuning hadiah kampanye. Badannya kurus kering, dengan warna kulit sawo matang, terbakar matahari.
“Kenapa Rain?" tanya Kapten Wawan.
“Tangkap dia!” serunya, “dia adalah pelakunya.” Sambil menujuk-nunjuk pria berkaos kuning tadi, ia terus menyeret pria itu.
“Ah, jangan sembarangan kau! Ini belum genap sejam, dan kita belum menyisir TKP,” ragu Kapten Wawan, “kenapa kamu bisa berkata demikian?“ lanjutnya.
Alasan yang membuatnya dicurigai begitu sederhana. Pria itu tak memperhatikan mayat seantusias kerumunan lain. Bahkan, pria misterius itu lebih perduli pada kedua tangannya.
“Dia dari tadi menggaruk-garuk tangannya,” jelas Rain.
“Kenapa dengan itu? Disini, kan banyak nyamuk?" tanya Kapten Wawan.
“Itu benar! Hanya karena merasa gatal, kenapa kau menganggap ku pelaku?“ sangkal pria tak berdaya itu, masih sambil menggaruk-garuk kedua tangannya yang iritasi.
“Apa nyamuk menggigit telapak tanganmu?"
Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya.
“Apa itu aneh?" balas pria itu.
“Kalau begitu, kau ikut mobil jenazah untuk diperiksa!”
“Saya ini manusia hidup!“ protesnya, seketika menyembunyikan kedua tangannya yang gatal.
“Tim forensik!" Panggil Rain.
“Ya pak!"
Salah seorang tim forensik berseragam putih-putih segera mendekat. Ia kelihatan tergopoh-gopoh, karena pakaian ribet yang dikenakannya.
“Periksa tangan pria ini!” suruh Rain, “apa benar dia terkena gigitan nyamuk?“ imbuhnya.
“Baik pak!" angguk pria yang sebagian besar wajahnya tertutup itu.
Pria kurus itu berusaha kabur, mendapati tim forensik semakin mendekat. Ia meronta-ronta, tapi pelototan polisi muda di hadapannya membuatnya tak bisa melawan.
Terpaksa, ia mengulurkan tangannya yang merah, serta bentol-bentol. Pria itu gemetaran. Ia benar-benar mengalami iritasi parah. Semua orang sampai tak tahan melihat telapak tangan mengerikan itu, tak terkecuali tim forensik. Namun, mereka tetap bersikap profesional. Tanpa mengurangi ketelitian, mereka mulai memeriksa tangan pria itu.
“Ini bukan nyamuk, pak!" diagnosa anggota tim forensik tadi. Pria yang mengenakan pakaian lengkap itu menggeleng, yakin.
“Periksa lebih teliti!" sangkalnya.
“Mungkin sejenis ulat, terdapat semacam rambut-rambut di tangannya."
“Sudah kuduga,” gumam Rain.
“U-Ulat? Oh iya, aku baru ingat kalau aku tadi memegang ulat,” jelas pria tadi, tiba-tiba tertawa, usai menyangkal.
“Benar yang kau pegang itu ulat?“ desak Rain.
“Benar! Lihat saja tanganku ini!" Berharap Sang Letnan muda akan percaya, pria itu tak segan memperlihatkan tangan iritasinya yang memerah, meskipun bagaimana ia mendekatkan tangan kelihatan menggelikan. “Lihat! Lihat, sampai kau puas!” lanjutnya.
“Bukan bambu?" tanya Rain, menaikkan sebelah matanya.
Metanya melotot, menatap pria kurus itu. Sungguh, ia sama sekali tak memperhatikan tangan iritasinya. Jelas sekali jika pemuda itu sama sekali tak perduli. Malahan, matanya kelihatan seperti orang bosan.
"A-Apa maksudmu?"
“Rambut semacam itu juga ada pada bambu, bukan? Di bagian pelindung batang lebih tepatnya.”
Seketika, pria itu menyembunyikan tangannya. Tubuhnya gemetar ketakukan, tak berani menatap Si Letnan Muda.
“Cepat tunjukkan!“ paksa Kapten Wawan.
Ia mencoba menolak, tapi tekanan yang ia rasakan begitu berat. Alhasil, sekali lagi tangan iritasi itu pasrah terentang. Nyalinya benar-benar menciut, melihat pistol dalam celana Kapten Wawan bergoyang kecil, ketika menarik tubuh kurunya.
Kakinya gemetaran hebat. Sungguh, ia tak lagi mampu menyangkal. Sang Kapten mungkin akan membidik kepalanya jika ia menolak. Seketika itu pula, tim forensik yang paling akrab dengan dunia medis mengambil alih. Mereka mencabut salah satu menggunakan pinset, guna dijadikan sebagai sampel. Dengan alat seadanya, mereka segera memriksa benda itu dengan teliti.
“Benar, pak ini bulu bambu!" diagnosa salah satu tim forensik.
Kapten Wawan segera menoleh pada Rain, menunggu konfirmasi dari pemuda berambut lurus itu. Rain yang tanggap sontak mengangguk, memberinya kode. Anggukan itu berarti jika Rain, siap bertanggung jawab atas penangkapan pria kurus itu. Biasanya, hal ini dilakukan oleh atasan berpangkat tinggi.
Namun, Kapten Wawan yang sejatinya berpangkat tertinggi dalam peleton itu justru menunggu komando, karena ketidakbiasaannya memimpin kasus. Sebaliknya, di kepolisian metro pun, pemuda iu acap kali memimpin kasus, meskipun pangkatnya masih Letnan Senior.