bc

File 73

book_age12+
100
FOLLOW
1K
READ
murder
dark
drama
tragedy
twisted
heavy
serious
mystery
detective
supernatural
like
intro-logo
Blurb

"Sederhana saja, sesuatu yang tak ingin kita lakukan pasti akan dilakukan oleh orang lain. Maka, pilihlah apa yang benar-benar harus kita lakukan. Bukan apa yang ingin kita lakukan, karena menuruti keinginan itu layaknya menghitung pasir. Tak ada habisnya!” ujarnya, “dan jika kalian punya waktu untuk mengeluh? Kenapa kalian tak punya waktu untuk memperbaiki sikap???"

Perkataannya seusai pelantikannya menjadi mayor menggema lantang, menyisakan sesuatu yang panas di hati satuannya. Kini, perwira muda itu harus bergelut dengan kasus yang lebih berat, lebih rumit, dan tentunya amat melelahkan.

chap-preview
Free preview
File 1 : Prolog
Gagang telepon bergetar, meronta dari penyangga. Semua orang menatap meja kerjanya, tapi si anggota baru itu masih sibuk sendiri. "Angkat tuh!"  Pemuda itu tersentak, di depan meja kantor celingukan. Si Penegur kemudian mengendikkan kepala, memberi isyarat bahwa teleponnya masih berdering. “Oh, maaf!” Ia buru-buru mengangkat panggilan. Yang masih berada di deretannya tinggal sosoknya seorang diri. Rekan-rekannya semuanya sudah pulang. Satu-satunya yang menemani tinggal anggota divisi intel yang tadi menegur, itu pun tinggal menyiapkan agenda. "Halo?!” terimanya, mengguk pada orang itu, memberi salam. Gagang telepon kantor yang lengket tak lagi ia gubris. Ia mendekatkan itu ke telinga, menunggu jawaban si pemanggil. Tangannya rasanya semakin berkeringat, dan itu membuatnya risih. Merasa dipermainkan, ia menariknya kembali, memeriksa lubang suara dengan jengkel. Telepon masih tersambung, tapi benda hitam mengkilat itu tetap saja senyap, sementara tangannya semakin tak nyaman karena keringat. Saking licinnya, gagang telepon sampai tergelincir.  Spontan tangannya menggeliat, meraih benda itu supaya tak terjungkal ke lantai. Beruntung responnya tepat waktu, tapi ia mulai khawatir bila aksi konyolnya sedang menjadi tontonan. Benar saja, ia mendapati pria itu sedang menatapnya kebingunan. Pemuda itu hanya bisa menggeleng, melempar senyum kecut, pada Si Anggota Intel. Sudah ku duga, duduk menunggu panggilan bukan keahlianku, pikirnya. Jika bukan karena tugas lembur, ia pasti tak akan sudi berlama-lama berada di sana.  Sekali lagi ia dekatkan gagang telepon. Semua keluh kesah ia lupakan, rasa risih yang ia tahan pun, tak lagi ia pikirkan. Yang ia perduli, kliennya tak harus menunggu, begitu ia siap berbicara. Siapa tahu, ada hal genting yang terjadi, dan kliennya butuh waktu untuk menenangkan diri. Akan tetapi, telepon cuman berdengung sedari tadi. Kalaupun ada suara, itu juga amat pelan. Itu membuatnya harus mendekatkan telinga supaya lebih jelas.  Dahinya mengkerut, mendengarkan suara  lebih seksama, tapi suara yang ada hanya desiran, serta gemeresik tak jelas, tanpa ada suara seseorang. Yang membuatnya heran, panggilan itu masih tetap dibiarkan tersambung oleh si pemanggil. “To... long... sa... ya!"  Tiba-tiba ia mendengar suara terbata-bata itu. "Astaga!!!" teriaknya. Ia begitu kaget. Suara itu benar-benar mengganggu, sampai-sampai dadanya rasanya mau melompat. Ia termenung, tanpa sadar menutup telepon. “Apa itu?” Pikirnya, tolah-toleh. Ia tak bisa berkata-kata. Kepalanya sungguh kosong, seolah hilang akal beberapa saat. Malangnya, malam menegangkan masih belum berakhir. Telepon berdering lagi, meronta lagi, memanggil lagi rasa gelisah yang hampir saja reda.  Nafasnya semakin cepat, meningkatkan rasa takutnya. Ia semakin khawatir, apalagi rekannya yang tersisa telah lenyap. Ia tolah-toleh panik setengah mati. Seisi kantor benar-benar telah kosong, melompong, tanpa kehadiran sosok lain selain dirinya. “Ya ampun, pergi kemana sih, dia?” gumamnya,  Ia sempat berdiri, tapi tubuhnya langsung lemas seketika. Dari balik jendela kantor, ia temukan sosok terakhir divisi intel itu tengah berjalan pergi. Teganya mereka, pikirnya, merasa tak dianggap. Mereka sebenarnya sudah memberinya ucapan pamit, hanya saja dia terlalu fokus. Kalau sudah begitu, tak ada yang bisa ia salahkan.  Sialnya, panggilan ini tetap harus ia angkat. Ingin rasanya meninggalkan markas begitu saja seperti mereka, tapi hatinya tak membiarkan itu. Dengan gemetar, ia paksa tangannya yang berkeringat mendekati gagang telepon. "Apa lagi!!!" bentaknya, secepat mungkin mengangkat telepon. "Ada apa, Rain?"  Ia mendesah. Suara si pemanggil ternyata berubah. Lebih berat, sedikit serak, dan itu sudah pasti laki-laki. Napas panjang ia hirup, lega bukan kepalang. Ia merasa seolah-olah baru saja terhindar dari hukum militer, sampai-sampai punggungnya melorot dari sandaran kursi. "Pak Wahyu, kah?!” lega Rain, mengipasi dadanya yang berkeringat, “saya kira yang tadi, pak,” lanjutnya. "Tadi?" "Anu, telepon iseng!" "Aneh, jarang-jarang kita dapat telepon semacam itu,” heran Si Pemanggil, “mungkin, kamu bakalan jadi pembawa keberuntungan di kepolisian kita,” imbuhnya. “Hmm, jadi disini jarang ada telepon iseng, ya?” Pikirnya. "Kenapa, Rain?" Pak Wahyu, Sang Atasan bertanya.  Adanya kekosongan suara, kelihatannya membuat atasannya cemas. "Eng-Enggak, cuma lagi ngelamun,” jawabnya. "Jangan sering ngelamun sendiri, apalagi kamu baru saja naik pangkat,” peringatnya. "Apa hubungannya!?” “Tidak ada, cuman tidak baik saja kalau terlalu banyak melamun!” “Ah, non-logis!” sangkal Rain, “ada perlu apa, nih? Saya sedang sibuk ngurus berkas, nanti malah nggak selesai-selesai!” lanjutnya, protes. "Oh itu, anu, sekalian kasus kemarin kamu ketik, ya!?" "Hah, yang benar saja!” protesnya, “bapak tidak tahu, bagaimana pedesnya, ngetik pake mesin tik tua itu, sih!” "Tolonglah! Besok saya traktir makan bakso, deh,” bujuknya. Rain terlihat enggan. Bahasa tubuhnya kelihatan jelas, tapi perintah atasan tetap saja mutlak.  “Menyebalkan!” gerutunya.  Orang-orang mulai menggunakan komputer, tapi ia masih menggunakan benda menyedihkan itu, tapi ya mau bagaimana lagi? Usai membuang nafas panjang, ia kembali mendekatkan gagang telepon. "Ya sudah, habis ini saya kerjakan,” jawabnya masih terlihat enggan. "Makasih ya! Bisa gawat kalau inspeksi besok belum selesai." "Itu doang kan? Saya tutup nih, saya pengen cepet selesai,” cerocosnya, “teman lembur saya barusan pulang, sekarang saya sendirian. " "Tu ..."  Rain terlanjur menutup telepon. Biarlah, kalau penting juga nanti dia telepon balik, pikirnya. Sungguh, itu adalah kali pertamanya bekerja selarut ini. Begitu diumumkan naik pangkat, ia segera dipindah tugaskan keluar ibu kota. Kehidupan yang ia bangun dengan indah disana pun, terpaksa ia tinggalkan. "Mengabdi pada negara."  Demikianlah yang mereka sampaikan, bahkan sampai-sampai melibatkan pimpinan markas secara langsung. Sudah banyak yang menolak perintah itu, tapi pertimbangannya pastinya panjang. Apalagi, negara tengah berada dalam kekacauan, pasca pengusiran sisa-sisa laten pemberontak. Belum lagi kasus ideologi.  Ini bukan saatnya mencari siapa yang salah, atau menentukan mana yang benar. Jika keadaan memang belum kondusif, maka ini waktunya bekerja sama. Kalaupun harus memilih kambing hitam, ia lebih memilih menyalahkan keputusannya menjadi tentara, di zaman serba kacau ini.  Apa bedanya? Toh, negara ini memang masihlah seumur jagung, pikirnya. Sampai tiba-tiba, telepon yang sama berdering lagi. “s****n!” umpatnya. Muak rasanya melihat benda itu bergetar. Kekesalan yang memuncak tercermin jelas, dari caranya mengangkat gagang telepon dengan kasar. "Apa lagi!!!" "To... long... sa... ya..."  Bukannya dari atasan, malah suara aneh itu yang ia dengar kembali. Sungguh, nada terbata-bata itu terdengar begitu mengerikan. Suara sosok wanita itu seperti berasal dari dasar neraka, sampai-sampai menggetarkan gendang telinga siapapun, yang mendengarnya. Namun, ia tak gentar. Kali ini, ia menahan telepon lebih lama. Tangan kirinya dengan gelatak meraba-raba meja sebelah, meraih seperangkat telepon lain.  Setan mana yang akan menjahilinya dengan cara yang sama dua kali? Rasa tak terbiasa dengan tombol putar, pada telepon tua itu tak menghalanginya. Ia bahkan berhasil terhubung dengan unit intel pusat. Sayangnya, waktu sudah malam. Mereka tak bisa menuruti perintahnya melakukan prosedur peretasan. Sebagai gantinya, mereka memberikan instruksi penyadapan secara mandiri. Mengikuti arahan itu, ia pun, berhasil menemukan alamat Si Penelepon misterius. "Kena kau!"  Begitu puas ia menutup telepon. Sambil tersenyum, ia mencatat alamat hasil penyadapan itu penuh amarah.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Devil Billionaire

read
94.9K
bc

TAKDIR KEDUA

read
26.9K
bc

Si Kembar Mencari Ayah

read
29.6K
bc

Takdirku Menjadi Lelaki Kaya

read
4.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook