File 2 : Stiker Coklat Kayu

1813 Words
Entah apa yang ada dipikirannya. Tak puas hanya dengan meretas, ia bahkan mendatangi langsung tempat itu. Ditengah tugas yang sebenarnya masih menumpuk, ia malah menyempatkan diri keluar. "Nomor 23! Nomor 23!” sebutnya, menghafal alamat yang tertulis dalam kertas lecek yang ia genggam. Namanya, Tikus. Berapa kali pun, ia pastikan, caranya membaca tidaklah salah. Kedengarannya sungguh tidak lazim, akan tetapi demikianlah masyarakat menamai; g**g padat yang dipenuhi rumah-rumah kumuh tak tertata itu. Suka tidak suka, ia harus melewati g**g bernama konyol itu jika ingin sampi ke sana, meskipun terkadang membuatnya ingin tertawa. Wilayah itu nyatanya cukup ramai. Bahkan, itu adalah g**g paling ramai di sekitaran. Anehnya, tempat itu hanya bermuara ke sebuah jalan terbengkalai.  “Kenapa mereka membangun peradaban di tempat semacam ini?” Pikirnya. Tiba-tiba, alam memberikan peringatan. Kakinya terperosok, begitu memasuki jalan utama.  “Ya ampun!” teriaknya, kaget. Ia menggeleng, menatap tempat yang mereka tunjukkan ini. Ia yakin sekali menanyakan arah menuju jalan utama, tapi tempat itu tak lebih dari sekedar jalanan tak terawat. Semak belukar dan rerumputan liar tumbuh begitu subur, bahkan hingga setinggi mata kaki.  “Apanya yang jalan utama?” pikirnya. Ia berkacak pinggang, menekuk bibirnya yang kering kerontang. Wajahnya kelihatan semakin jengkel. Ia memutuskan berhenti sejenak, berpikir sedang dibodohi. Ingin rasanya segera kembali, tapi sebuah wartel tua bercat biru terekam matanya yang sedang gusar. Padahal kelihatan b****k, tapi masih ada sambungan di dalam sana. Seutas kabel hitam pun, terlihat dari balik kaca. Itu artinya, masih ada telepon, meskipun mungkin tak lagi dapat dioperasikan.  “Wartel,” demikianlah bunyinya. Tertulis dengan skotlet merah dengan kondisi yang menyedihkan. Seluruh kaca yang mengelilinginya sudah buram, bahkan tak jarang retak, dan pecah.  Sudah ku duga telepon iseng, pikirnya, menganggap lokasi yang digunakan pelaku adalah wartel itu. Namun, ia merasa tak cukup yakin.  Tempat itu masih terkunci, dan debu berada dimana-mana. Bila seseorang memang baru saja menggunakannya, debu itu harusnya tak ada. Sungguh, rasa penasarannya tak bisa puas dengan penjelasan kurang masuk akal itu. Lagipula, ia masih belum menemukan bangunan beralamatkan Jl. Utama, No. 23, yang ia pegangi.  Tak ada salahnya menelusuri lebih jauh, pikirnya.  Yang tak ia sadari, jalan bertambih sepi. Rumah-rumah pun, semakin jarang kelihatan. Semakin jauh melangkah, wartel tadi kian memberatkan kakinya. Ia terus membayangkan bila yang ada di depan sana hanyalah kehampaan. Pikirannya semakin tak bisa lepas dari wartel itu. Sampai akhirnya, di sebuah perempatan sepi ia memutuskan berhenti. Sampah bertebaran dimana-mana, dan semen pembatas trotoar terlihat rontok di sana-sini. Tempat itu sudah seperti jalanan berhantu. Cat merah dan hitam penanda jalan pun, hampir tak tersisa. Aspal sudah terkelupas, dan dari tanah yang menganga itu, tercipta kubangan raksasa. Beberapa malahan masih digenangi air kotor, hingga rumput-rumput liar tubuh subur. Tingginya, bahkan ada yang mencapai lutut.  Buang-buang waktu saja, pikirnya.  Ia mendecak, merasa berlebihan pada segala hal, tapi matanya lagi-lagi menangkap kejanggalan. Sungguh, selangkah lagi keputusannya akan menjadi bulat, tapi gambaran sebuah bangunan tua, di ujung perempatan menggaruk sisi skeptisnya.  Cat dasarnya mungkin berwarna putih, tapi karena sebagian besar telah luntur dan mengelupas, sehingga kelihatan dekil. Padahal, siluet besar terpagari itu memiliki nilai arsitektur yang cukup baik. Bangunan itu sungguh besar, dan pepohonan rindang mengelilinginya. Ia nyaris melawatkan itu karena pandangannya yang sempat terhalang.  “Bagaimana mungkin ada bangunan sebesar ini, di sini?” Pikirnya. Pada akhirnya, rasa penasaran menuntunnya sampai ke depan gerbang. Di sana, rasa terkejutnya kian meledak. Ia langsung mendapati angka 23 di sudut tembok. Tercetak menggunakan pasangan semen yang bercampur pasir lembut. Walau berdebu, adukan tadi jelas-jelas membentuk angka ganjil itu. Warnanya abu-abu, gelap. Teksturnya timbul, hanya saja kurang rapi, serta kotor dan berlumut. Sebagian sudut, bahkan sudah dijadikan pondasi rumah, oleh beberapa ekor laba-laba.  Ia menyentuhnya, meraba beberapa retakan di sana-sini. Bangunan yang besar pun, bukanlah tandingan semesta. Inilah yang akan terjadi, bila alam mengambil alih. Tanpa renovasi besar-besaran, jelas bangunan itu pasti akan tumbang, khususnya dalam beberapa tahun ke depan. Inilah yang aku sukai dari orang-orang kuno. Mereka selalu membuat bangunan dengan kokoh, pikirnya. Ia memukul-mukul tembok, penasaran soal kondisi bangunan. Ia tersenyum, yakin bahwa itu adalah destinasi tujuan utamanya. Ingin segera menuntaskan dahaga penasaran, serta melampiaskan kekesalan, ia memutari bangunan berpagar itu, mencari bagian yang bisa dibobol. Entah itu semacam lubang, titik yang mudah dipanjat, atau bagian rapuh yang mudah di terobos.  Satu-persatu tembok yang kelihatan berlumut ia tendangi, tapi bangunan itu tetap saja tak bergeming. Jangankan menemukan celah, yang ada ia malah semakin putus asa, mendapati tinggi tembok yang menjulang sampai 2 meter lebih. Ia pasti akan butuh tangga bila ingin memanjatnya, belum bagian ujungnya yang dipagari kawat berduri. Seketika, kekaguman pada kondisi bangunan berubah u*****n. Dua kali sudah ia mengitari halaman, tanpa menemukan sedikit pun, celah. “Bangunan apa ini?”  Pikirnya. Ukuran tempat itu, bahkan sebesar sekolah dasar inisiasi presiden. Sayangnya, coretan tak pantas memenuhi tembok. Andai saja tak ada ulah vandalisme ini, ia mungkin saja bisa menemukan sedikit pencerahan. Merasa putus asa, ia berhenti lagi di depan gerbang. Ia sungguh berharap menemukan jalan masuk. Akan tetapi ia kembali harus menelan pil pahit.  Orang gila! Pikirnya.  Sungguh, pintu gerbang baja itu tebalnya bukan main. Semua ini terlalu protektif untuk ukuran bangunan terbengkalai. Bayangkan, yang penuh karat saja sulit dibobol, apalagi di masa lalu? Maling profesional sekalipun pun, tak akan sanggup menyusup ke dalam sana. Satu-satunya pintu masuk utama menuju ke dalam , nyatanya diproteksi menggunakan tujuh buah gembok yang besarnya tak masuk akal. Andai saja tak ada motif bunga yang menghiasinya, ia pasti akan berpikir jika itu adalah penjara khusus. Ia bahkan nyaris tertipu, karena motif itu sudah menjadi begitu horor akibat karatan. Tidak mungkin, penjara membuat ukiran bunga, kecuali yang ditahan kaum tidak waras, tapi apalagi yang mungkin? Apakah ada sesuatu yang sangat berharga di dalam sana? Sampai-sampai, mereka menganggap proteksi ini tak cukup berlebihan, pikirnya.  Ditengah rasa heran itu, tiba-tiba, suara air selokan yang mengalir mendebur, membawa serta bau tak sedap yang menyebar ke segala penjuru. Ia baru sadar, betapa selokan itu amat kotor. Bentuk cairan yang keluar sudah seperti lendir. Warnanya coklat kehijauan, mengalir amat pelan, bagaikan oli gardan bekas yang dikuras, melalui baut tap. Parahnya lagi, ujung selokan dipenuhi jentik-jentik nyamuk. Anakan-anakan mahluk penghisap darah, yang masih seperti cacing itu menggeliat ria, melompat kesana kemari, seperti orang kaya yang berenang di kolam renang pribadinya.  Yang paling aneh dari semua itu ialah; sama sekali tidak ada daun kering, atau ranting jatuh di sekitar bangunan, padahal pohon-pohon besar menjulang tinggi di sudut-sudut halaman. Sampah yang berserakan di selokan pun, kebanyakan buangan warga sekitar, terbukti dari banyaknya bungkus plastik aneka warna. Zaman dahulu, plastik seperti itu belum digunakan semakro sekarang, sementara bangunan itu kelihatannya sudah terbengkalai sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. “Aneh, apa masih ada yang tinggal disini?” Sambil menutupi hidung, ia merenung. Seketika itu juga, ia menggeleng. Alam bawah sadarnya menyangkal praduganya sendiri. Rumput-rumput dibiarkan tumbuh menjulang, beberapa kaca jendela juga sudah pecah. Bahkan, tanpa adanya lakban hitam yang merekatkan itu, bisa dipastikan kaca-kaca itu bakalan jatuh berserakan.  Ia mendecak, mencermati dua buah stiker bulat, diantara retakan kaca. Warnanya coklat kayu, tapi agak samar. Stiker itu kadang redup, kadang mengkerut, dan kadang hilang begitu saja. Tak jelas benda apa itu, tapi itu kelihatan cukup jelas. Mungkin stiker hologram, pikirnya.  Stiker unik yang bisa berubah-ubah warna, jika dilihat dari sudut berbeda. Itulah stiker hologram. Pikirannya langsung mengarah ke sana, lantaran ia pernah membagikan itu beberapa hari yang lalu. Itu merupakan bagian dari upaya anggota, untuk mendekatkan diri pada masyarakat.  Ia memegang dagu, memutar otak sekali lagi. Ia meneliti sekeliling secara acak dan efisien. Tergolong sepi, menilik lingkungan sebelumnya yang padat penduduk. Jalanan juga senyap. Hanya ada satu rumah di dekat bangunan tadi. Itu pun, tampak tak terawat.  Tertempel tulisan “dijual,” pada jendela rumah yang sudah menumpuk debu. Tulisan tangan dengan spidol hitam besar tak rapi itu, terpampang di jendela tengah, dekat pintu kayu tua yang terlihat reyot. “Mengapa orang-orang seolah-olah menjauhi jalan utama, juga bangunan ini?”  Pikirnya, pusing dengan segala keanehan yang ada.  Ditatapnya kabel-kabel sekeliling, tapi tidak ada kabel komunikasi yang tertuju ke rumah itu. Lagipula, masyarakat umum juga masih jarang menggunakan telepon. Di lain sisi, ia justru melihat seutas kabel lain, mengarah menuju bangunan tua di hadapannya. "Benar, bangunan ini!" Tanpa ia sadari suaranya ikut keluar, saat ia tengah berpikir. "Menyeramkan ya?" Seorang nenek bungkuk tiba-tiba bertanya. Tanpa mendahulukan salam ataupun sapa terlebih dahulu, ia tiba-tiba berdiri di sebelahnya. Pemuda itu tercengang, kaget melihat wanita renta yang tampak kesulitan berjalan itu, sudah ada di sana.  "Dug, dug, dug!"  Suara tongkat yang menghentak, terdengar begitu jelas. Cara nenek itu berjalan pun, amat pelan. “Bagaimana aku bisa tidak mendengarnya?” Pikirnya. Sungguh, takdir yang kejam. Dimana pun, dia berada, entah itu di luar, atau di markas, pada akhirnya selalu saja ada hal baru yang akan membuat pikirannya pening. "Anu, apa ada orang yang tinggal di dalam?" Rain memberanikan diri bertanya.  Ia sedikit membungkuk, ingin terlihat sopan se-alami mungkin. "Siapa kamu?" balas nenek tadi.  Sambil mengistirahatkan tongkat bantu coklatnya yang amburadul, ia mendongak. Mukanya sudah keriputan, dan noda-noda kecoklatan memenuhi wajahnya. Hidungnya yang besar dan kembang kempis membuatnya sedikit risih, apalagi perutnya yang bongsor. Ini pertama kali dalam hidupnya merasa enggan pada seseorang, hingga sebegitunya. "Saya dari kepolisian,” jawab Rain, sedikit merasa sungkan. Saking-sakingnya enggan, tubuhnya sampai bergerak mundur, menjaga jarak. "Lagi, ya? Mau sampai kapan kalian terus datang?" ujar Si Nenek. "Lagi?" sergahnya. "Kamu juga begitu kan? Tempat menyeramkan ini seharusnya dihancurkan saja!”  Tanpa mengatakan apapun lagi, nenek itu kemudian berlalu. Siapa nenek itu, dan apa maksud perkataannya? Ia sungguh heran. Di tengah momen menyaksikan Si Nenek pergi, tiba-tiba alat komunikasi di kantongnya bergemerisik. "Kuda lumping!!!" teriaknya. Ia tersentak, mengambil alat komunikasi yang besarnya memenuhi genggaman tangan itu, dan segera menjawab panggilan, “ya, Rain disini!?" "Kemana saja kamu? Cepat kembali ke markas!" bentak Sang Atasan, kedengaran dari caranya memaki. Seketika, ia menjauhkan alat hitam berantena panjang itu dari wajah. Suaranya benar-benar kelewat kencang. Hal itu sekaligus membuatnya yakin, lokasi masih ada dalam kisaran satu kilo, dari markas. “Rain?!” tegur Sang Atasan, “segera kembali!” "Siap ndan!" jawabnya, mendekatkan kembali radio komunikasi. Dalam perjalan, ia masih saja melirik-lirik bangunan tua itu. Ia begitu yakin, akan ketidakberesan di dalam sana. Belum juga genap dua langkah, ia kembali melihat stiker coklat kayu tadi. Bulatan-bulatan aneh itu terlihat begitu terang, sebelum kembali lenyap, diikuti sebuah garis hitam yang terkelebat dengan cepat. Benda melengkung berwarna merah yang ikut bergabung dalam situasi itu, memaksanya tanggap berpikir. Dilihat dari bentuknya ...  Bando kah? Atau mungkin pita?  Pikirnya. "Bando!? Pita!?"  Ia sontak berbalik, berputar menggunakan bagian tumit sebagai tumpuan. Namun, benda yang ia kira stiker itu telah lenyap. Ia sampai menunggu beberapa saat, tapi benda itu tak kunjung muncul kembali.  Benar-benar kesalahan fatal. Benda yang ia lihat bukanlah stiker hologram, melainkan dua buah bola mata. Terlebih, sepasang bagian tubuh itu sudah menatapnya sedari tadi. Ia kembali berlari menuju bangunan tua itu, menggedor gerbang besi tua yang menghadangnya masuk.  Ia berteriak-teriak, berharap seseorang akan keluar. Suara gembok-gembok bergemerincing lantang, tapi tetap saja tak ada yang keluar. Puluhan tahun lamanya tempat itu terbengkalai. Tak mungkin ada orang yang tinggal di sana. Apakah yang ia lihat benar-benar sepasang bola mata? Pastinya, kemungkinan salah lihat cukup besar, apalagi jaraknya melihat puluhan meter. Sayangnya, alat komunikasinya kembali berdengung. Tak mungkin ia korbankan tugas negara, dan memilih menanggapi rasa penasaran. Seburuk-buruknya prajurit, tak ada yang akan melakukan itu. ... Sesampainya di markas, pimpinannya telah menunggu. Pria berkumis itu berkacak pinggang, menahan pintu gerbang. "Ada apa, komandan?" tanya Rain. Sang pimpinan menggeleng. Sambil mendecak, ia membuka pintu. Tanpa curiga, Rain segera masuk. Saat itulah, sebuah tamparan mendarat di pipinya. Plak! "Kemana saja kamu!!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD