File 3 : Isyarat dari Daun Kering

1398 Words
Rain yang tak pernah menyangka atasan bersahaja itu bisa menjadi begitu marah, tertunduk. "M-Maaf ndan, ada keluarga yang tanya kabar saya, jadi ...” "Sudah, tak usah kau teruskan! Bisa gila aku!" putus Kolonel Wahyu. Wajah pria berkumis itu begitu geram, merah seperti rokok kretek yang baru saja dia jatuhkan, "kamu tahu kenapa saya semarah ini?" lanjutnya, mondar-mandir.  Puntung rokok yang dibuangnya ia injak-injak sampai debu di halaman markas membubung tinggi. Beberapa hari belakangan, cuaca begitu panas. Ini adalah pertanda, bahwa musim penghujan sudah berada di penghujung karir. "Tidak ndan!" jawab Rain. "Di Jalan Sawo Mentah ada insiden! Dan kau telat lima belas menit dari jatah istirahatmu!” Bukan sawo mateng? Pikir Rain, menganggap semua alamat di tempat barunya bekerja, lucu. "Kenapa senyum-senyum?" sergah Kolonel Wahyu. "Tidak ndan, saya hanya teringat perkataan tante saya, tadi." "Sandiwara itu, mau sampai kapan kamu teruskan!?" bentak Kolonel Wahyu, "apa kamu pikir, aku tak tahu? Hm?" imbuhnya, mengintimidasi, sementara Rain membisu. Keringat dingin bercucuran, dan tubuhnya mematung. Mulutnya menganga, tapi tak ada yang bisa ia katakan. Melihat tampang Kolonel Wayu, ia segera tahu; segalanya hanya akan menjadi sia-sia. "Sandiwaramu terlalu amatir! Aku sudah bilang kalau satuan kita kekurangan anggota, dan kau-" sejenak, pria tinggi berwibawa itu menghentikan ucapan. Tangannya kembali gemetar tak mampu mengontrol amarah, "bisa disiplin tidak!?” lanjutnya, mengepalkan kedua tangan. Rain semakin merasa bersalah. Ia hanya bisa tertunduk malu. Bukannya siap siaga, ia malah jalan-jalan ke tempat terbengkalai. Lebih-lebih berdusta, dan kemudian tertangkap basah. Sialnya, kasus besar justru terjadi saat ia meninggalkan pos. "Kau pikir, aku sampai diangkat menjadi kolonel, hanya karena kebetulan?” "Siap, tidak komandan!” jawab Rain, tegas. "Itu terjadi karena aku menemukan gudang s*****a, milik tentara sekutu yang tertinggal." Mulai lagi, deh, dumel Rain dalam hati, yakin Sang Atasan bakal mulai menceritakan kisah heroik masa mudanya yang telah pudar. Ia juga hafal, panjang naskah kisah itu sudah seperti kitab undang-undang hukum pidana. Isinya pun, sama membosankannya seperti mempelajari pasal itu, kalimat demi kalimat. "Saat itu, aku sedang mencari koin 50 rupiahku yang jatuh. Aku melihat sepucuk laras panjang yang tersembunyi di balik rerumputan. Ujungnya masih berbau mesiu dan terlihat bekas goresan yang masih baru. Pelurunya sudah kosong dan ditinggal begitu saja. Disitu saya langsung tahu. Kalau mereka sudah terpojok, dan kami bla, bla, bla ..." “Dari dulu, aku selalu bertanya-tanya, kalau itu bukan kebetulan, terus apa?” Protesnya dalam hati.  Ingin rasanya menyumpal mulut atasannya dengan puntung rokok yang tadi dia buang. Tak cuman membahayakan kesehatan sekeliling, orang itu juga merusak lingkungan dengan membuang sampah sembarangan. "Pasti bakalan lama, nih!” bisik salah seorang prajurit.  Prajurit itu mengangguk, menatap ke arahnya. Rain yang sadar tersenyum kecut, kemudian kembali menundukkan wajah. "Ah, pokoknya, sekarang kamu pergi kesana!" Tiba-tiba saja, Kolonel Wahyu menghentikan dongengnya di tengah-tengah, tak seperti biasanya.  Ia kemudian berseru, "Wawan! Ajak Si Rino ini ke TKP!"  "Siap, ndan!" Seorang prajurit gempal menghormat.  Rain tercengang. Prajurit yang segera menariknya menjauhi halaman markas itu, adalah orang yang berbisik tadi. "Ya sudah kalau begitu!” ucap Kolonel Wahyu. Perwira penuh lencana itu kemudian berlalu, meninggalkan misi penting pada mereka. Kelihatannya, ia cukup percaya pada orang itu.  Apanya yang, “ya sudahlah?” Aku bahkan tak tahu kondisinya, pikir Rain, dongkol. “Lagipula namaku, Rain,” gumamnya. "Ayo, R-Roni!" ajak prajurit tadi, sedikit mengajak bergurau. Rain yang kebetulan sedang jengkel perihal nama, secara tak sadar melampiaskan kekesalan. Matanya melotot, dan wajahnya begitu garang. Ia sampai mendongak, tak perduli dianggap menantang. Prajurit gempal yang memang sengaja menggoda hanya bisa tertawa.  Rain semakin bertambah emosi, tapi pria berpipi bulat itu tertawa geli. Ia tak mau menjadi kekanak-kanakan dengan menantangnya, hanya karena nama. Baginya mungkin lucu, tapi Rain terlanjur menganggapnya memiliki kepribadian yang buruk. Usianya kelihatan cukup matang, tapi bentuk tubuhnya masih tegap dan berisi. Rambutnya pun, sangat armed, ditunjang kulit yang berwarna gelap, terbakar matahari. Benar-benar bisual veteran militer sejati. Bekas luka kelihatan disana-sini, semakin memperlihatkan segudang pengalamannya. "Kenapa?"  Pipinya yang tembem sekilas bergerak, memperlihatkan garis yang kelihatan cukup menggelikan bagi Rain. Pemuda itu tertawa, secara alami memperbaiki moodnya yang sempat kacau. "Eng, enggak,” jawabnya. Keduanya akhirnya memasuki mobil patroli. Warnanya putih, bermotif garis merah biru, khas mobil kepolisian. Yang membedakan hanya gambar pohon; logo identitas wilayah. Meskipun dari luar kelihatan masih mulus, tapi sebenarnya mobil pabrikan Jepang itu sudah memiliki masalah serius pada starter.  Rain tersenyum, berpikir bila atasannya sengaja memberinya mobil b****k. Ia langsung turun, membuka kap mobil, dan menanyakan kunci-kunci. Sementara Kapten Wawan masih sibuk memutar-mutar kontak, pemuda itu segera menurunkan segelondong dinamo starter sendirian. “Apanya yang rusak?” tanya Kapten Wawan, tapi pemuda itu hanya diam. “Bantu aku memasangnya lagi!” seru Rain, menyodorkan kunci pas. Pemuda itu sama sekali tak menjelaskan apapun. Ia hanya menyuruhnya mengencangkan beberapa baut. Lalu tiba-tiba, ia berseru, “stater mobilnya!” Kapten Wawan menggeleng. Ia sama sekali tak mengharapkan apa-apa, ketika memutar kontak. Setengah jam berlalu, dan ia hanya memutar beberapa baut.  Dia pasti bercanda, pikirnya, meragukan ilmu perbengkelan pemuda itu.  Namun, suara mesin langsung menyala, dalam sekali satrter. Seketika, Kapten Wawan tercengang, tak bisa berkata-kata. “Aku hanya mengakali cool stater-nya,” jelas Rain, seraya naik ke mobil, “benda itu terkadang tidak sinkron, kedengaran jelas dari suaranya. Katakan untuk menggantinya, nanti,” imbuhnya. “T-Tentu,” jawab Kapten Wawan, masih tak menyangka.  Tanpa ilmu perbengkelannya, mereka mungkin tak bisa kemana-mana. Apalagi, Si Gempal itu tak pernah mau tahu soal perawatan. Yang dia perduli, mobil bisa berjalan ketika dia butuh. Ironisnya lagi, ia sejak awal sudah memilih duduk di kursi kemudi. Dilihat dari emblem di seragamnya, mungkin letnan. Satu bintang diatasnya, lebih tepatnya. Rain masih menatapnya, sejak kali pertama mobil menyala. "Oh ini?” tegur Kapten Wawan, yakin jika pemuda itu sedang tertarik pada seragamnya, “ini seragam lamaku,” lanjutnya, menerangkan.  Ia menoleh sejenak, lalu kembali berfokus pada setir mobil dan jalanan. "Lama?" sahut Rain. "Baru saja minggu lalu, saya dipromosikan menjadi kapten,” terangnya. Pantas saja, tidak mungkin orang se-berpengalaman dia masih letnan, pikir Rain. "Aku tahu juga lho,” kata Kapten Wawan lagi, melengos dari jalanan, sampai-sampai menerjang lubang-lubang besar.  "Ha?! Apa?! Tidak kedengaran!” teriak Rain. "Kamu baru naik pangkat, kan?!” tanyanya, tak kalah lantang, “masih semuda ini saja sudah jadi letnan,” imbuhnya. "Ah bisa saja, ndan,” balas Rain, agak bersopan.  Wajah Kapten Wawan sangat sumringah, mendengar panggilan itu. Kelihatan sudah kalau dia tipe orang yang bekerja keras demi pangkat. Rasa bangga saat diseniorkan tergambar jelas dari reaksinya, pura-pura menoleh pada spion mobil.  Di sisi lain, Rain semakin pucat. Mobil mulai memasuki jalanan berbatu terjal, sama sekali tak bersahabat, terutama bagi makanan dan cacing dalam perut. Tak ada yang bisa dipilah dari jalanan mengerikan itu, tapi Kapten Wawan menggasaknya tanpa kenal ampun. "Kita sudah sampai,” ucap Kapten Wawan.  “Huft, huft!” Rain yang masih syok hanya bisa melirik geram. 30 menit terakhir yang ia rasakan sudah seperti menonton film horor seharian penuh. Sungguh, sosok kapten dengan gaya mengemudi ugal-ugalan di kursi sopir itu, pantas mendapat dua-tiga pukulan. Sambil mencengkeram bangku penumpang yang tak lagi empuk karena busa di dalamnya telah rusak itu, ia merangkak keluar. Orang gila! Umpatnya dalam hati. Sang Kapten kemudian mengacung, menunjuk ke arah kerumunan. Lokasi merupakan pertigaan, di sebuah pedesaan. Di sana, beberapa polisi masih berupaya menghalau kerumunan.  Rain yang masih tegang berupaya mempersiapkan diri. Matanya mulai mempelajari semuanya begitu ia melangkahkan kaki. Jalanan masih berbatu, rumput menjulang tinggi, daun-daun bambu kering juga berserakan dimana-mana. Kondisi jalan dan daun membuatnya yakin, jika jalan itu jarang dilalui.  Umumnya, salah sorang warga desa pasti ada yang mau berlapang d**a membersihkan jalanan, apalagi jika itu merupakan jalur rutin. Toh, pertigaan juga mengarah menuju sebuah kuburan. Pahala sebesar itu pasti tak akan dibiarkan begitu saja. Lain urusannya kalau tempat itu jarang dilalui.  Dilewati saja jarang, kenapa harus dibersihkan? Demikianlah logikanya. Pohon bambu di sekeliling semakin membuat lokasi itu terlihat gelap, dan terkesan menyeramkan. Rain manggut-manggut, meyakini analisisnya. "Bagaimana situasinya?” tanya Kapten Wawan, memandang salah seorang prajuritnya, yang mendekat. "Siap! Untuk saat ini, aman, ndan!” jawab prajurit kelelahan itu.  Peluh menutupi keningnya yang gelap. Suaranya yang sedikit terengah, seakan mempertegas penat raganya. Pria rajin itu masih menghormat, hingga Kapten Wawan memberinya isyarat. "Kapan tim forensik akan datang?" tanya Sang Kapten. "Kami sudah meneleponnya sekitar setengah jam yang lalu. Dilihat dari kondisi medan, sepertinya akan sedikit memakan waktu,” jawabnya. Forensik?! Apa ada mayat disini? Tebak Rain, dalam hati. "Bagaimana dengan kondisi TKP?"  "Masih belum berubah sejak kedatangan kami, ndan." "Bagus! Keluarga korban?" "Tenang, kami berhasil meyakinkan mereka untuk melakukan otopsi.”  "Baiklah, kerja bagus!" puji Kapten Wawan, "kami akan memeriksanya sebentar. Setelah itu, istirahatkan pasukan, dan siaga melakukan pengamanan, terutama saat mobil ambulan datang,” imbuhnya, memberi perintah dengan antusias. "Siap!" Prajurit itu menghormat, menghentakkan kakinya dengan begitu keras. Usai menurunkan tangan, ia pun kembali bertugas. Sementara itu, Rain bersama Kapten Wawan mulai menginvestigasi TKP.  Dugaan pemuda itu benar. Sebujur mayat penuh luka gores, tergeletak di pinggir jalan. Beberapa bagian bahkan masih mengucurkan darah. Ia terperangah, melihat lubang menganga yang masih berdarah, di kening pria malang itu. Tengkoraknya bahkan tersembul, bergariskan beberapa retakan. Putih, berlumur darah, mencuat jelas, dan terlihat amat menyakitkan. "Pasti keningnya dicongkel menggunakan arit,” gumam Rain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD