"Arit?” sergah Kapten Wawan, tak sengaja mendengar ucapannya, “apa yang membuatmu berpikiran demikian?” imbuhnya.
"Lihat saja jidat mayat itu!” tunjuk Rain, “terlihat tidak rata bukan? Pelaku pasti menggunakan arit untuk membacoknya,” lanjutnya, menjelaskan.
"Aku juga bisa lihat, tapi kenapa kamu bisa se-spesifik itu mengidentifikasikannya?” protes Kapten Wawan, “memangnya kamu peramal? Hanya melihatnya sekilas saja langsung tahu?" lanjutnya, ketus.
Rain mendehem, menggerakkan telunjuknya yang masih mengacung.
"Kalau begitu, benda hijau itu apa?" tunjuknya, tak kalah ngeyel.
Kapten Wawan bergegas mendekat. Menggunakan semacam lidi, ia mencukil benda kecil kehijauan itu dari dalam kening mayat. Suara lidi ketika bersinggungan dengan remukan tulang yang menyembul berdetik, membuat para warga bergidik ngeri.
"Rumput?” terkanya, membolak-balik benda hijau berlumuran darah, yang kini menempel pada lidi.
Kapten Wawan menoleh ke belakang, memelototi kerumunan warga yang ngeyel, menyaksikan lebih dekat. Padahal, para petugas terus berupaya menghalau mereka.
"Dan benda yang biasa-"
"Arit!” potong Kapten Wawan, “kau mau bilang, benda itu yang biasanya digunakan untuk memotong rumput, bukan?” lanjutnya, sedikit jengkel.
Rain mengangguk, kelihatan amat yakin. Kapten Wawan sebenarnya tak membenci analisis pemuda itu. Hanya saja, wajahnya kelihatan sok, dan tingkah menyebalkan para warga membuat rasa kesalnya berlipat-lipat.
“Bisa minggir tidak, sih?!” Dengan lantang, ia menyuruh kerumunan warga, untuk mudur dari garis kuning. Menyambung reaksi Kapten Wawan, para petugas langsung bertindak lebih tegas. Begitu situasi agak kondusif, ia mendekati lagi pemuda itu.
“Dengar, ya! Itu hanya potongan kecil, bisa saja dia menggunakan pisau? Kita tetap harus-"
"Saya juga paham!" Rain balas memotong, merasa tak menyukai nada bicara Kapten Wawan. “Saya tak pernah menyuruh anda untuk menjadikan perkataan saya sebagai referensi penuh. Pastinya, penyelidikan lebih lanjut tetap harus dilaksanakan,” imbuhnya.
“Lantas, apa yang membuatmu berpikir begitu jauh?” tanya Kapten Wawan.
"Bukankah itu sangat jelas? Anda hanya perlu menjadi lebih jeli!" ujar Rain.
“Oh ya? Bisakah kau menjelaskan, dimana letak ketidakjelian mataku ini? Maklum, aku sudah tua,” kata Kapten Wawan, “padahal, kemarin saya masih bisa memasukkan benang kendalam jarum,” imbuhnya, merasa tersindir.
Rain menggeleng. Perkataan tadi sudah membuktikan bila Kapten Wawan memang tidak teliti. Reaksinya tak akan seperti itu jika memang apa yang dia katakan keliru.
"Saya tak sedang meledek, pak! Melihat anda mengambil rumput dengan lidi saja sudah kelihatan, mata anda masih normal,” ucapnya, “tapi menurut bapak, tidakkah hal itu kelihatan aneh?” lanjutnya, mengendikkan kepalanya ke arah mayat.
Kapten Wawan menggeleng. Ia sama sekali tak menemukan keanehan yang pemuda itu maksud. Dua kali sudah ia memperhatikan mayat, tapi tetap saja tak menemukan apa pun.
"Apanya yang aneh?” tanyanya.
"Lihat kondisi kening korban!" seru Rain.
Sang Kapten Baru menatap mayat pria paruh baya itu makin cermat. Sungguh, tak ada yang ia peroleh selain perasaan jijik, heran, bingung, seta tak mengerti. Mungkin, rasa kesal menghambat kinerja otaknya memproses informasi. Apalagi, yang ia pikirkan saat itu hanyalah membuat kata-kata balasan, untuk kembali menyanggah sosok berpangkat rendah, yang kelihatan sok tahu itu.
“Apa anehnya?“ tanya Kapten Wawan, lagi-lagi gagal menemukan letak kejanggalan yang diributkan Rain.
“Lihat remukan tulang di kening korban!” serunya, “bisakah pisau membuat pola semacam itu?“
Kapten Wawan hanya mengendikkan bahu, malas memikirkan apapun. Rain tak hilang kesabaran. Ia kemudian memperagakan gerakan seperti orang yang sedang menusuk sesuatu.
“Jika pelaku menusuk menggunakan pisau, maka ia harus mengeluarkan tenaga yang amat besar,” jelasnya, “tak mudah membuat lubang sebesar buah jambu biji itu,” imbuhnya.
“Tinggal keluarkan otot saja! Apa susahnya?”
“Masalahnya, tidak ada bekas garis yang mengarah ke bawah, di sana!”
“Memang tidak ada!” sanggah Kapten Wawan, enteng.
Rain berpaling, mengambil sebuah potongan bambu yang tergeletak di pinggir jalan. Di sana, terdapat sebatang pohon bambu yang belum selesai digergaji. Kemungkinan, Si Pemilik belum selesai memotongnya, ketika keributan tiba-tiba terjadi. Tak cukup sampai di situ, ia juga meminjam sebilah belati dari salah seorang anggota.
“Tusuk bambu ini!“ suruh Rain, tak sadar sedang berbuat kurang ajar. Orang itu jelas-jelas atasannya, tapi ia dengan santai menyodorkan sebilah bambu, beserta belati tajam berukuran sedang. Ia mengangguk, memberi isyarat agar Kapten Wawan mengambilnya.
Lucunya, Kapten Wawan menuruti kemauan Rain. Bukan berarti tidak tersinggung, ia hanya ingin mempermalukan Si Pemuda kurang ajar itu. Penuh emosi, ia menusukkan belati pada bambu tadi, sampai benda itu menancap cukup dalam. Setelah itu, ia menariknya kuat-kuat sampai belati itu terlepas dengan mudahnya.
“Demonstrasi macam apa ini?" gumam Sang Kapten. Sambil mengembalikan dua alat peraga itu, ia bertanya, “terus, bagaimana hasilnya?”
Rain tak lantas menjawab. Terlebih dahulu, ia kembalikan belati tadi. Ia kemudian menatap bekas tusukan pada bambu, sebelum memperlihatkannya.
“Anda menusuk secara berdiri, maka bentuknya lurus dengan titik pusat di tengah, serta mengecil di bagian atas dan bawahnya,” jelas Rain, “sekarang saya tanya, apa bentuk luka di kening korban modelnya seperti itu? Silahkan anda bayangkan posisinya dari sudut manapun!” lanjutnya.
Kapten Wawan merebut bambu itu lagi. Dengan seksama, ia periksa bekas lurus pada bambu. Seketika itu juga ia pun, merasa ragu. Ia menatap mayat korban, membandingkan bekas luka di kepala korban, dengan hasil tusukkannya. Luka di kening korban sekarang bentuknya setengah lingkaran, dimana sisi kanan tegak berdiri. Bila diasumsikan pelaku menusuk dalam posisi berdiri, sebagaimana yang dia peragakan, maka bekasnya harusnya seperti yang terjadi pada bambu, lurus. Sementara jika miring atau melintang, bagian kanan tak akan mungkin tegak berdiri.
“Tapi kan, tekstur bambu jauh berbeda dengan tulang!” sanggahnya, “kalau ini lebih keras, pasti juga akan pecah,” lanjutnya.
Rain mendesah, berjalan mengelilingi kerumunan. Para warga sontak melangkah mundur, was-was akan disuruh semakin ke belakang. Namun, pemuda itu hanya meminjam sebilah arit dari salah seorang petani, kemudian kembali lagi ke TKP.
Tiba-tiba, ia menancapkan arit itu pada bilah bambu yang sama. Suaranya berderak lantang, sampai-sampai ujung arit menancap begitu dalam. Bahkan, ia sendiri kesulitan menariknya kembali. Kapten Wawan tertawa, berpikir pertunjukkan demonstrasinya gagal. Namun, ia dibuat terkejut saat pemuda itu mencongkelkan arit. Dalam sekejap mata, arit terlepas begitu saja.
Pemuda itu kemudian bertanya dengan tampang puas, “masih ingat dengan posisi tulang, sebelum anda memasukkan lidi?”
Kapten Wawan terdiam. Jelas ia masih ingat bagaimana tulang itu masih menyembul, kemudian terjatuh saat ia memasukkan lidi. Ia menatap bekas luka berbentuk setengah lingkaran itu, dan mulai membayangkan; andai kata pelaku menggunakan pisau. Bentuknya pasti tak akan menjadi setengah lingkaran, karena titik tumpu beralih ke bagian bawah. Kemungkinan besar segitiga siku-siku. Rain sudah mengembalikan lagi arit tadi pada pemiliknya, tapi ia masih saja merasa heran.
Kurasa itu memang agak kurang masuk akal, pikir Kapten Wawan.
Pemuda yang matanya kelihatan seperti orang mengantuk itu masih belum berhenti bekerja. Ia sudah mendekati mayat itu lagi, dan bahkan semakin serius meneliti keadaan.
“Karena teksturnya keras, maka bagian yang tercongkel itu akan menonjol keluar seperti sebelumnya, sementara sisa bagian lainnya utuh, sebab arit memiliki bentuk lebih fleksibel,” jelasnya, “namun, jika menggunakan pisau, sisi bawah akan hancur terdorong punggung pisau,” imbuhnya.
Kapten Wawan tertegun. Pemuda itu seperti bisa membaca pikirannya. Habis sudah kalimat pedas yang bisa ia gunakan, untuk membantah analisis itu. Tak ingin terlihat semakin bodoh, ia memutuskan ikut bergabung; memandangi mayat korban. Kapten gempal itu sungguh sangat berharap, bisa menemukan petunjuk penting, sebelum pemuda itu makin besar kepala.
“Siapa dia ndan?“ bisik salah seorang prajurit, terkesan.
“Dia orang baru, yang dari ibukota itu,“ jawabnya ketus, “jadi, menurutmu bagaimana ciri-ciri pelaku?“ alihnya, merasa analisis Rain patut dipertimbangkan.
“Pelaku? Yang benar saja! Ini, bahkan merupakan pembunuhan yang mustahil dilakukan,” jawab Rain.
“Hah?!!“
Kapten Wawan dan bawahannya berteriak. Rain menggeleng, mendapati sosok berpangkat Kapten itu plonga-plongo. Ia berjalan lagi lebih jauh, menerawang ke arah rumput dan rindangnya pepohonan bambu. Tempat itu jaraknya begitu jauh, puluhan meter dari tempatnya berdiri.
“Saya tak menemukan secuil bukti apa pun, yang tertinggal,” gumamnya, “entah luka karena kuku, bekas telapak tangan, keringat, semacam tanah, atau tanda lainnya,” lanjutnya, mondar-mandir.