Ada pepatah mengatakan bahwa jangan pernah kalian para kaum Adam membuat kaum Hawa emosi, karena, mereka tidak akan segan-segan menghancurkan dunia. Entah siapa yang membuat perumpamaan demikian, tetapi, Harlan dengan sangat senang hati akan mengakui kebenarannya. Penjelasan dosen saat ini sama sekali tidak diperhatikan olehnya. Pikirannya melayang ke kejadian beberapa jam yang lalu. Mungkin, sekitar setengah jam yang lalu lebih tepatnya. Sesekali, Harlan akan melirik Ine yang duduk di sudut kelas di belakang. Gadis itu menopang dagunya dengan sebelah tangan sementara tangannya yang lain memutar-mutar bolpoin yang dipegangnya. Tatapan matanya mengarah pada buku yang berada di atas meja namun Harlan sangat yakin kalau gadis itu sama sekali tidak membacanya. Gadis itu sedang melamun.
“Harlan, bisa berhenti melamun dan memperhatikan penjelasan saya sebentar?”
Pertanyaan bernada dingin dari dosen di depannya membuat Harlan menoleh dan tersenyum menyesal. Laki-laki itu mengucapkan kata maaf dan memutuskan untuk memperhatikan beliau sekarang. Meskipun tak dapat dipungkiri, otaknya masih melayang kepada Ine.
Dia memang bersalah. Ya, Harlan tahu akan hal itu. Pipi kanannya pun masih terasa sedikit nyeri akibat tamparan keras Ine. Bagaimana tidak? Dia sudah mencium bibir gadis itu. Melumat dan melahap bibirnya dengan rakus, tanpa memberikan Ine kesempatan untuk menghindar maupun mengambil napas. Sebelah tangannya menahan pinggang Ine sedangkan sebelah tangannya yang lain menahan tengkuk Ine. Dia bisa merasakan tubuh gadis itu berontak dan sekuat tenaga melepaskan diri dari ciuman panas Harlan. Sampai kemudian, Harlan lah yang melepaskan gadis itu. Laki-laki itu bahkan tidak peduli dengan kedua mata Ine yang memerah dan berkaca-kaca, juga tidak peduli dengan keterperangahan Mitha maupun orang-orang yang menatap ke arahnya.
“Kenapa?” tanya Harlan saat itu sambil tersenyum sinis dan melipat kedua tangannya di depan d**a. “Mau protes? Mau nangis? Siapa yang nyuruh lo buat terlalu dekat sama cowok lain? Lupa kalau status lo sekarang itu tunangan gue? Hebat banget di depan mata gue lo berani selingkuh!”
Airmata itu bergulir turun dari kedua mata Ine. Lalu, dengan satu gerakan cepat, Ine menampar keras pipi Harlan hingga kepala laki-laki itu menoleh ke samping. Mitha yang melihat hal itu hanya bisa diam dan memalingkan wajahnya. Untuk saat ini, dia setuju dengan perbuatan Ine pada sahabatnya. Sahabatnya itu memang sudah keterlaluan.
Mendapat perlakuan seperti itu dari Ine membuat Harlan menahan emosinya kuat-kuat. Dia memegang pipinya yang terkena tamparan Ine lalu menatap wajah gadis itu dengan tatapan santai. Dia bahkan tersenyum tipis saat melihat Ine menangis dan berusaha mengontrol emosinya yang sudah membuncah. Terlihat dari gerakan d**a dan bahu Ine yang naik-turun secara tidak beraturan.
“Elo benar-benar jahat, Lan....” Suara Ine terdengar serak dan bergetar, membuat Harlan terdiam dan senyum itupun menghilang dari wajahnya. Dia mungkin tersenyum di depan, tetapi jauh didalam lubuk hatinya, dia menyesali perbuatannya. Sangat menyesal. Sejujurnya saat ini, Harlan sangat ingin memeluk tubuh gemetar Ine dan mengucapkan maaf sebanyak-banyaknya. Tapi, dia terlalu gengsi untuk melakukan hal itu.
“Loh? Kenapa jahat? Gue berhak ngelakuin apapun yang gue inginkan sama lo, Ne... lo itu calon isteri gue. Kita udah dijodohin, ingat?” alih-alih meminta maaf, Harlan justru mengucapkan kalimat menyakitkan tadi dengan nada mencemooh. Hal yang langsung dia sesali didalam hatinya. Tapi lagi-lagi, egonya melarang keras untuk meminta maaf.
“Gue. Benci. Sama. Lo. Harlan.” Ine menatap Harlan tepat di manik mata dengan bara meletup yang begitu besar. “GUE BENCI SAMA LO!”
Dan begitulah. Harlan sama sekali tidak berusaha mengejar Ine yang berlari seperti kesetanan sambil terus mengusap wajahnya yang berurai airmata. Harlan hanya membeku di tempatnya, menatap punggung Ine dan tidak berbuat apa-apa. Laki-laki itu hanya terus memegang pipinya.
“Ya! Kelas hari ini saya bubarkan. Jangan lupa kumpulkan tugas kalian minggu depan.” Suara berat itu membuat Harlan tersadar dari lamunannya dan menatap sekelilingnya. Semua teman-teman sekelasnya sudah merapihkan peralatan kuliah mereka dan bersiap mengikuti sang dosen yang sudah terlebih dahulu pergi meninggalkan kelas.
Sepi. Hanya hembusan angin dan dentingan jam dinding yang menguasai keadaan di kelas itu. Harlan mendesah keras dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Laki-laki itu menengadah dan menatap langit-langit kelasnya dengan tatapan menerawang. Rasa sesal itu kembali datang dan menghimpit rongga dadanya. Begitu sesak dan menyakitkan. Dia ingin meminta maaf tetapi gengsi. Haaah! Lagi-lagi gengsi... lagi-lagi gengsi... padahal, gengsi tidak mempunyai salah apa-apa terhadap Harlan, tetapi, mengapa laki-laki itu selalu menyalahkan gengsi, ya?
Mungkin, alasan sebenarnya dia tidak ingin meminta maaf adalah karena dia tidak berani melakukannya. Bukankah orang yang bersalah memang selalu tidak berani dan takut untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan?
Tiba-tiba, Harlan mendengar suara langkah kaki. Laki-laki itu langsung menundukkan kepala dan menatap Ine yang ternyata baru saja akan melenggang keluar dari dalam kelas. Rupanya, Harlan tidak sadar bahwa sedari tadi, dia hanya berdua saja dengan Ine di ruangan ini. Harlan langsung menegakkan tubuhnya ketika Ine melintas tepat di depannya.
“Ine...,” panggil laki-laki itu pelan. Namun, gadis itu seolah tuli. Dia terus saja berjalan tanpa memedulikan panggilan Harlan. Akhirnya, Harlan bangkit dari posisi duduknya dan langsung mencengkram lengan Ine. Ketika tubuh Ine berbalik untuk menatapnya, Harlan tertegun. Kedua tatapan mata Ine itu begitu tajam dan menyiratkan kebencian yang teramat sangat. Tanpa sadar, Harlan melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Ine dan mundur beberapa langkah.
Dia berani bersumpah, merasakan ujung mata pisau yang sangat tajam menghujam tepat di jantung dan ulu hatinya kala melihat tatapan kebencian dari mata gadis itu.
@@@
Rizan tersenyum-senyum sendiri ketika melihat cincin yang melingkar manis di jari manis tangan kirinya. Dia sah menjadi tunangan Cecillia, meskipun dia harus berpura-pura tidak menerima rencana perjodohan semalam di depan semuanya. Sudah sejak lama sebenarnya Rizan menyukai gadis itu. Tepatnya saat SMA. Dia kagum dengan kepribadian Cecillia. Cantik, berbakat, pintar dan pandai bergaul. Dia berbaur dengan siapa saja tanpa memandang status sosial seseorang. Dia gadis yang sangat baik hati dan menjunjung tinggi keadilan. Dan satu lagi yang membuat Rizan begitu tertarik dan menyukai Cecillia...
Gadis itu tidak menyukainya dan menganggapnya sebagai musuh!
Tentu saja Rizan harus mengikuti alur permainan yang diciptakan oleh gadis itu. Alasannya? Apalagi kalau bukan karena dia ingin selalu berada di dekat Cecillia? Berdebat dengan gadis itu, mengejeknya, menyulut api pertengkaran, emosi dan amarah Cecillia yang selalu meledak-ledak kalau menghadapi dirinya, dan lain sebagainya adalah hal yang selalu ditunggu-tunggu oleh Rizan. Saat mengetahui bahwa Cecillia berpacaran dengan Freddy, rasa-rasanya Rizan ingin sekali menghajar laki-laki itu dan menceburkannya ke lahar yang mengalir. Cemburu banget, gila!
Begitu mendengar kabar putusnya Cecillia dengan Freddy karena laki-laki itu berselingkuh dengan sahabat Cecillia, Rizan senang bukan main. Dia sebenarnya ingin memukuli Freddy, namun sudah keduluan oleh Harlan. Akhirnya, Rizan hanya bisa melompat-lompat di atas kasurnya, seperti anak kecil yang kegirangan karena dibelikan mainan baru oleh kedua orangtuanya. Membuat Shabrina harus mengambil sapu lidi dan memukuli punggung laki-laki itu sampai dia mengaduh kesakitan.
“Lo nggak senang karena udah tunangan sama gue, kan?”
Satu suara bernada ketus itu membuyarkan lamunan Rizan. Laki-laki itu mendongak dan mendapati wajah kusut Cecillia. Gadis itu berdiri berkacak pinggang dan menaikkan satu alisnya ketika tatapannya bertemu dengan tatapan Rizan. Senyum Rizan terlihat sangat manis dan hangat di kedua mata Cecillia namun gadis itu menolak untuk mengakui. Meskipun kini, jantung gadis itu berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
“Bencana tau tunangan sama lo!” dengus Rizan sambil terkekeh geli. Laki-laki itu menarik napas panjang dan berusaha menormalkan degup jantungnya yang mulai tidak karuan karena gadis yang disukainya diam-diam itu kini berdiri tepat di depannya. Gadis yang sudah menjadi tunangannya.
“Terus... kenapa lo senyam-senyum nggak jelas sambil ngeliatin cincin lo itu?” tanya Cecillia lagi. Masih dengan nada ketus dan tidak bersahabat yang sama. Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa tidak ada orang yang melihatnya sedang bercakap-cakap dengan si kucing garong ini. Kalau sampai ada yang melihat mereka, bisa gawat. Dia bisa digosipkan berpacaran dengan Rizan.
“Gue lagi menertawakan kesialan gue aja karena udah dipaksa bertunangan sama lo.” Rizan mengangkat bahu tak acuh dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dilipatnya kedua tangan di depan d**a.
“Cih... gue juga ngerasa sial banget karena disuruh tunangan sama lo, tau!” sungut Cecillia. “Lo ada waktu?”
“Kenapa nanya-nanya? Udah mulai membuka hati buat gue dan sadar kalau lo sangat beruntung karena mendapatkan tunangan ganteng seperti gue?”
“You wish!” Cecillia melempar kertas yang ada di atas meja Rizan dan menggeram kesal karena lemparannya meleset. “Kita harus ngomong sekarang juga!”
“Soal?”
“Pertunangan kita tentu aja.” Cecillia memutar kedua matanya jengkel. “Kita harus membatalkan pertunangan ini.”
“Caranya?”
“Nggak tau.” Cecillia menarik lengan Rizan dengan kesal. Kesal karena laki-laki itu malah bersantai ria dan tidak memikirkan bagaimana caranya agar mereka berdua bisa terlepas dari ikatan konyol ini. “Makanya kita harus ngomong dan ngebahas hal ini sekarang! Rizaaaaan, buruan, dong! Lo berat, tau!”
@@@
Mereka berdua pergi ke kafetaria kantor dan memilih tempat yang aman untuk berbicara. Sudut ruangan yang menjadi pilihan mereka. Selain karena dirasa aman, tempat lain sudah lumayan penuh dengan karyawan lain. Kening Rizan kontan mengerut ketika mendapati para karyawan yang memenuhi kantin kafetaria pada jam-jam seperti ini. Masih jam sepuluh lewat sedikit. Masih jauh untuk dikategorikan sebagai jam makan siang. Mungkin, karena si Bos sedang dinas keluar negeri, mereka merasa bebas untuk bersantai-santai ria.
“Pesan satu nasi rawon dan satu nasi goreng seafood. Minumannya, satu es kopi dan satu jus Mangga.” Rizan menyebutkan pesanannya dan Cecillia ketika pelayan datang menanyakan makanan yang akan dipesan oleh keduanya. Sepeninggal si pelayan, Cecillia menyipitkan matanya dan mengerutkan keningnya menatap Rizan yang memasang wajah polos tak berdosa.
“Apa?”
“Lo tau darimana kalau gue doyan sama nasi goreng seafood sama jus Mangga?” tanya gadis itu menyelidik. “Lo sering nguntit gue, ya?”
“Sembarangan!” omel Rizan langsung. Laki-laki itu mendengus dan menjitak pelan kepala Cecillia, membuat gadis itu mendesis jengkel dan mengusap kepalanya. “Semalam, gue liat lo pesan makanan itu. Gue hanya berpikir kalau mungkin itu makanan kesukaan lo, makanya gue pesanin aja.”
Sebenarnya, Cecillia tidak puas dengan jawaban Rizan itu. Karena dia melihat Rizan hanya sibuk memainkan ponselnya sekarang, sambil tersenyum sendiri layaknya orang gila, Cecillia akhirnya mengangkat bahu tak acuh dan memutuskan untuk tidak memikirkan hal tersebut.
Padahal, Cecillia sama sekali tidak tahu bahwa selama ini, Rizan mengetahui semua tentangnya. Mulai dari warna favorit, makanan kesukaan, minuman kesukaan, film dan musik terfavorit sampai aktor-aktor tampan yang selalu membuat Cecillia histeris karenanya. Jason Statham, Tom Cruis, Logan Lerman, Alexander Ludwig, Drwe Seeley, Keanu Reeves, Liam Hemsworth dan masih banyak lagi jejeran aktor kesukaan Cecillia yang dihafal oleh Rizan diluar kepala. Penyuka segala macam jenis film, tetapi lebih suka action dan horror. Jesse McCartney, Lemonade Mouth dan Avril Lavigne adalah penyanyi yang paling diidolakan gadis itu. Juga...
“Hellooooow kucing garoooong!”
Seruan Cecillia sekaligus lambaian tangan gadis itu tepat di depan wajahnya membuat Rizan tersentak. Laki-laki itu mengerjapkan kedua matanya dan kini fokus menatap Cecillia yang terlihat sangat kesal. Makanan dan minuman yang sudah dipesannya pun ternyata sudah berada di atas meja. Holy crap! Sudah berapa lama dia melamun?
“Mau makan dulu apa mau langsung ngebahas soal kita?” tanya Rizan santai, berusaha menenangkan jantungnya sendiri yang mulai berulah. Laki-laki itu menggosokkan kedua tangannya untuk menghilangkan kecanggungan yang mulai dia rasakan.
Kenapa rasanya begitu salah tingkah hanya karena berhadapan dengan Cecillia?
“Makan sambil ngebahas juga boleh,” balas gadis itu sambil mulai menyendokkan nasi goreng kedalam mulutnya. “Jadi... lo punya rencana untuk batalin pertunangan yang udah terlanjut dijalanin ini?”
“Sejujurnya sih, belum ada,” ucap Rizan sambil memainkan sedotannya didalam gelas es teh manisnya. Bukan belum ada, tapi emang gue nggak mau ngebatalinnya, tambah laki-laki itu dalam hati.
“Gimana kalau kita bawa pacar masing-masing ke orangtua kita supaya mereka batalin semuanya?”
Ucapan Cecillia itu membuat Rizan tersedak es teh yang baru saja mengalir kedalam tenggorokannya. Laki-laki itu langsung terbatuk-batuk dan menatap Cecillia yang sedang menyantap makanannya dengan santai.
“Maksud lo bawa pacar masing-masing apa?” tanya Rizan dengan suara tegas. “Lo udah putus dari Freddy dan lo juga tau kalau gue nggak punya pacar. Terus, kita mau bawa pacar darimana? Alam gaib?”
“Ya... sewa orang buat jadi pacar pura-pura atau minta tolong ke teman-teman di kantor kita kan bisa, Zan....”
“Lo udah gila?”
Kegiatan makan Cecillia terhenti. Gadis itu langsung mendongak dan menatap Rizan tepat di manik mata laki-laki itu. Tatapan kesal dan jengkel yang terlihat begitu jelas. Enak saja Rizan mengatainya gila seenak dengkulnya.
“Gue? Gila?” ulang Cecillia. “Gila dari sisi mananya, coba? Itu ide yang sempurna! Kita bisa bikin Oom Victor dan Tante Shabrina, juga nyokap-bokap gue terpaksa batalin pertunangan kita yang udah terlanjur dilaksanain semalam.”
“Lo pikir gampang nyuruh orang berpura-pura jadi pacar kita?”
“Soal itu biar gue yang urus. Lo tinggal setuju aja. Lagian, lo kenapa, sih? Kayak yang nggak setuju gitu sama rencana gue. Jangan-jangan, lo emang menginginkan pertunangan ini, ya? Lo suka sama gue? Lo mau gue jadi isteri lo, gitu?”
“Ngomong itu disaring dulu, Non!” sungut Rizan sambil menyantap nasi rawonnya dengan kesal. “Terserah lo aja! Gue nggak mau ikut campur tapinya kalau rencana lo ini gatot alias gagal total!”
“Tenang aja,” sahut Cecillia sambil nyengir kuda. “Ini bakalan berjalan dengan lancar. Gue akan minta Orlan buat jadi pacar bohongan gue, dan gue akan minta tolong Sonia untuk jadi pacar bohongan lo.”
Rizan hanya bergumam tidak jelas dan kembali melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda. Selera makannya sudah hilang entah kemana. Diliriknya Cecillia sekilas yang kini terkiki geli sambil menyantap makanannya. Sepertinya, gadis itu sangat bersemangat dengan rencana yang baru saja dia kemukakan untuk menggagalkan pertunangan mereka.
Ugh! Rizan Alaska Pradipta... lo benar-benar pengecut! Ngomong ke Cecillia kalau lo emang beneran suka dan cinta sama dia aja susahnya minta ampun. Lo bisa ngalahin puluhan orang di kelas lo demi meraih juara satu. Lo bisa ngalahin tiga anak dari SMA lain dalam debat bahasa Inggris. Lo bisa bungkam dosen dengan argumen lo. Lo bisa bikin dosen penguji kagum dengan semua presentasi dan argumen lo saat sidang skripsi. Tapi, hanya berkata pada Cecillia bahwa lo cinta sama dia saja, lo nggak berani?!
What a coward!
“Lo ngomong apa tadi?”
Pertanyaan Cecillia itu membuat Rizan mengerjapkan kedua matanya dan mendongak. Matanya menatap langsung ke manik mata Cecillia yang kini terlihat sangat horror di kedua mata Rizan.
“Ngomong apa maksud lo?”
“Lo bilang kalau lo... cinta sama gue?”
Bloody hell!
Rizan Alaska Pradipta dengan tololnya sudah menyuarakan isi benaknya kepada Cecillia Andalucya Alvinzo!
@@@
Ine menuruni tangga kampusnya dengan langkah lunglai. Gadis itu memijat pelipisnya perlahan, berusaha menghilangkan rasa pusing yang sudah menderanya sejak insiden ciuman paksa yang dilakukan oleh Harlan tadi pagi. Semua mata kuliah yang dijelaskan oleh dosen tidak ada yang masuk kedalam otaknya. Gadis itu masih bisa merasakan nyeri pada bibirnya akibat ciuman kasar dari musuhnya itu.
Pada dua anak tangga terakhir, Ine menghentikan langkahnya. Dia menghembuskan napas keras dan memutuskan untuk duduk ditangga. Rasa pusing ini semakin gencar menyerangnya. Membuatnya mengerjapkan kedua matanya agar penglihatannya berfungsi dengan maksimal. Kenyataannya, semua yang dia lihat seakan berputar hebat, membuat gadis itu berdecak jengkel.
“Anemia gue kumat kayaknya,” gumam gadis itu pelan. Dia juga baru sadar bahwa dia hanya makan semalam, saat acara yang diadakan oleh kedua orangtua si b******k Harlan itu berlangsung. Juga saat pertunangan konyol yang harus dilakukannya terjadi. Dia sudah berusaha menolak dengan mengatakan bahwa dirinya menyukai Rizan, namun tetap tidak ada perubahan.
Perlahan, kedua mata Ine menutup. Gadis itu menyandarkan kepalanya pada penyangga tangga yang terbuat dari besi. Besi itu terasa dingin di wajah Ine, namun dia membiarkan. Lambat laun, rasa pusing itu semakin menguasainya.
“Loh... itu bukannya si Ine, Lan?” tanya Mitha saat akan menuruni tangga. Gadis itu menoleh untuk mengetahui reaksi Harlan, namun wajah sahabatnya itu hanya terlihat datar. Sedatar tivi plasma yang sedang marak dijual di pasaran. Membuat Mitha gemas setengah mati.
“Biarin aja,” sahut Harlan malas. Laki-laki itu mulai menuruni anak tangga dengan tatapan yang jelas-jelas tidak pernah berpaling dari tubuh Ine. Mitha mengikuti langkah sahabatnya di sebelahnya. Dia khawatir setengah mati pada Ine. “Dia udah gede. Bisa jaga diri pastinya.”
Sesampainya di samping Ine, Mitha menghentikan langkahnya namun Harlan tetap melanjutkan. Mitha mengguncang tubuh Ine pelan seraya memanggil nama gadis itu, namun Ine tidak menyahut. Tanpa sengaja, Mitha menyentuh lengan terbuka Ine dan langsung terperanjat ketika merasakan suhu tubuh Ine yang tinggi.
“Harlan! Ine sakit!” seru Mitha keras. Langkah Harlan seketika terhenti. Dia bergeming di tempatnya. Tidak menoleh dan tidak melakukan apa-apa. Kedua tangannya terkepal kuat di sisinya. Rasa sesal itu kembali hadir dan menyerangnya tanpa ampun.
“Harlan!” seru Mitha lagi. “Ine kayaknya pingsan! Lo tega ngelakuin hal ini sama dia?!”
“Biarin aja,” balas Harlan dengan nada yang tidak bisa dipahami oleh Mitha. Gadis itu terkejut bukan main saat mengetahui Harlan yang begitu dingin dan tidak peduli terhadap Ine yang notabene adalah tunangannya sendiri. “Nanti juga ada yang nolongin dia.” Harlan memutar tubuhnya dan langsung menarik lengan Mitha. “Ayo, kita pulang!”
Mitha hanya bisa pasrah ditarik seperti itu oleh Harlan. Sesekali, dia menoleh ke arah Ine yang masih duduk sambil menyandarkan kepalanya pada penyangga tangga. Gadis itu sepertinya memang benar-benar pingsan karena sakit.
“Harlan, stop!” Mitha menarik lengannya yang ditarik paksa oleh sahabatnya itu. Ditatapnya Harlan dengan tatapan tegas dan tajam. “Lo benar-benar b******k, Lan!”
“Gue? b******k?” ulang Harlan sambil tertawa keras. Tawa yang hambar. “Dia yang b******k, Tha! Ine yang b******k! Gue udah mau minta maaf sama dia di kelas tadi dan dia ngasih tau gue lewat tatapan matanya kalau dia benci sama gue! Sialnya lagi, gue emang kayaknya mulai suka sama dia tapi gue ogah buat ngakuin! Kebayang, nggak, sih, gimana rasanya suka sama orang yang udah lo anggap musuh?! Kebayang, nggak, sih, gimana rasa bersalah gue sama dia karena udah maksa nyium dia?! Gue ngerasa bersalah! Banget, sampai gue ngerasa sesak dan sakit tapi ego gue nggak memperbolehkan gue untuk mengakui hal itu! Ya! Gue emang b******k! Gue benar-benar b******k, damn it!”
Selesai berkata demikian, Harlan memutar tubuhnya dan berjalan dengan langkah lebar ke arah tangga kampus. Dari tempatnya, Mitha hanya bisa melongo dan detik berikutnya, dia mencibir sambil mengulum senyum.
“Nah... tinggal ngaku suka sama si Ine aja susahnya minta ampun.”
Harlan berhenti tepat di depan Ine. Napas laki-laki itu terengah-engah. Perpaduan antara langkah kakinya yang lebar juga karena emosi yang mulai menyeruak keluar. Emosi karena menyukai sang musuh. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, Harlan menyusupkan lengannya ke lekukan lutut Ine dan sebelah tangannya lagi diletakkan di bahu gadis itu. Dalam sekejap, Ine sudah berada didalam gendongan Harlan.
“Lo memang benar-benar menyusahkan, Ine! Lo tau? Gue bahkan ngerasa gue mulai gila dan nggak waras sekarang karena....” Harlan menarik napasnya dan membuangnya dengan keras. Dia tidak peduli dengan tatapan-tatapan yang mengarah kepadanya saat ini. “Karena gue ngerasa gue rela ngelakuin apapun asal lo baik-baik aja. I’ll protect you....”
@@@