Chapter 5-Panic!

4027 Words
Ada yang punya pisau bermata sangat tajam? Oh... atau gergaji, mungkin? Benda yang menyerupai sabit yang selalu dibawa si muka seram dalam film Scream juga boleh, kok. Apapun, deh... asalkan bisa melenyapkan Rizan saat ini. Melenyapkannya hingga ke dasar bumi yang paling dalam. Supaya dia tidak harus membawa rasa malu ini kemana-mana. Bayangin aja, dia dengan tololnya sudah menyuarakan isi hatinya di depan Cecillia? Mengatakan tanpa sadar kalau dia sebenarnya mencintai gadis itu? Gadis yang kini menatapnya dengan tatapan tajam, setajam tatapan Suzanna saat bermain dalam film-film horrornya yang jumlahnya berjibun itu. Tatapan menuntut Cecillia itu membuat Rizan memaki dirinya sendiri dalam hati dan buru-buru menyeruput minumannya. Ketika rasa segar dan dingin itu masuk kedalam kerongkongannya, hal tersebut nampaknya belum bisa menghilangkan kegelisahan dan kegugupan Rizan saat ini.             “Rizan Alaska Pradipta... sebaiknya lo harus menjelaskan maksud ucapan lo barusan ke gue!” Cecillia mengetuk meja dengan sebelah tangannya. Kedua mata indahnya tak lepas dari wajah Rizan. Memberikan sensasi menakutkan bagi laki-laki itu.             “Lo dengar sendiri, lah, apa yang baru aja gue ucapin tadi,” ucap Rizan setelah menghela napas panjang. Dia sebenarnya bisa saja berbohong pada Cecillia, mengelak atau semacamnya. Hanya saja, dia berpikir lagi. Mungkin ini memang sudah merupakan waktu yang tepat bagi dirinya untuk mengungkapkan perasaannya kepada Cecillia. Meskipun dia sangat yakin bahwa Cecillia akan langsung membencinya tanpa ampun. Well... it’s not a big deal for him, actually. Toh, gadis itu memang sudah membencinya sejak dulu.             “Lo gila!” desis Cecillia sambil menggelengkan kepalanya dan langsung menggebrak meja. Gadis itu bangkit berdiri dan bermaksud meninggalkan Rizan, ketika dia merasakan lengannya dicekal dengan sangat kuat hingga tubuhnya berputar. Kini, dia kembali berhadapan dengan Rizan. Kegelisahan dan kegugupan yang sempat ditangkap oleh mata Cecillia beberapa saat yang lalu di wajah dan sikap tubuh Rizan kini sudah menghilang tak berbekas. Tergantikan dengan kedua mata yang menyorot tegas.             “Lo mau tau apa yang lebih gila, Cil?” tanya Rizan. Pertanyaan yang memberikan kesan pada Cecillia bahwa dia sama sekali tidak membutuhkan jawaban. Dan memang gadis itu tidak berniat untuk menjawab. Cecillia hanya diam, menatap tajam Rizan dan berusaha melepaskan cekalan tangan laki-laki itu pada lengannya. Suara kasak-kusuk beberapa pegawai yang berada di kafetaria itupun tidak dipedulikan oleh keduanya.             “Lo mau tau apa yang lebih gila lagi, hah?!” ulang Rizan lagi dengan nada yang sedikit lebih tinggi daripada sebelumnya. Membuat Cecillia terlonjak kaget dan mengerjapkan kedua matanya. Rontaannya berhenti seketika itu juga. “Gue udah suka sama lo sejak SMA dan semenjak itu pula lo sama sekali nggak menganggap gue ada! Lo pandang gue dengan sebelah mata! Lo anggap gue musuh bebuyutan lo tapi gue sama sekali nggak keberatan asalkan dengan cara itu, gue bisa terus dekat sama lo!”             Bukan main terkejutnya Cecillia ketika dia mendengar penjelasan Rizan barusan. Gadis itu hanya bisa membeku di tempat dan kini membiarkan kedua tangan Rizan memegang kedua bahunya dengan tegas dan sedikit mengguncang tubuhnya.             “Lo tau gimana cemburunya gue saat gue liat lo bisa dekat sama semua teman laki-laki lo, tapi lo menganggap gue seolah sebuah parasit? Lo tau gimana rasanya gue kepengin banget nonjok muka si Freddy saat dia berhasil jadi pacar lo? Lo tau semua itu, nggak?! HAH?! Nggak, kan?! Yang lo tau adalah lo benci sama gue dan muak liat muka gue!”             Oke. Semua ini membuat Cecillia sedikit takut. Pasalnya, Rizan tidak pernah bersikap sebegini serius dan menakutkannya selama ini. Laki-laki itu adalah laki-laki humoris yang selalu menanggapi kibaran bendera perangnya setiap waktu. Meskipun begitu, Rizan sama sekali tidak ada niat untuk mencelakai atau menjahatinya, walaupun mereka selalu terlibat perdebatan alot dan pertikaian mulut. Namun sekarang, Cecillia justru merasa was-was dan bersikap waspada. Takut kalau tiba-tiba Rizan akan berubah menjadi brutal dan langsung menyerangnya tanpa ampun.             Cinta itu bisa menyesatkan dan membutakan seseorang, bukan?             “Zan... gu—gue rasa, lo butuh minum....” Takut-takut, Cecillia berusaha melepaskan diri dari cengkraman Rizan. Namun, laki-laki itu tidak membiarkan. Rizan justru semakin mengeratkan cengkraman kedua tangannya pada pundak Cecillia, membuat gadis itu sedikit meringis karena rasa perih yang menjalar pada pundaknya.             “Gue nggak butuh minum! Gue butuh elo! Gue. Butuh. Elo. Cecillia!” Rizan mengucapkan kalimat tadi dengan penekanan kata pada setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Sanggup membuat Cecillia mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan menelan ludah dengan susah payah. “Harus dengan cara apalagi gue nunjukin rasa cinta gue ke lo? Gue udah berusaha untuk memperlihatkannya sama lo, tapi lo sama sekali nggak meresponnya, Cil!”             “Gue nggak cinta sama lo, Zan... lo tau kalau kita nggak cocok. Kerjaan kita setiap waktunya hanya bertengkar.” Cecillia berusaha meredam rasa takutnya pada Rizan. Dia bisa melihat tubuh Rizan menegang saat mendengar ucapanya barusan. Tanpa sadar, kedua tangan laki-laki itu meluruh turun dari pundak Cecillia dan langkahnya refleks mundur beberapa langkah. Menciptakan jarak diantara keduanya. Cecillia sebenarnya tidak tega mengatakan hal barusan, namun kalau dia tidak mengatakannya, dia takut akan membuat Rizan semakin berharap lebih. “Gue tetap pada rencana awal gue. Gue akan minta tolong sama Orlan buat jadi pacar bohongan gue. Kalau lo memang nggak bisa ngelakuinnya, gue ngerti, kok. Gue bisa ngelakuinnya sendiri dan....”             “Gue terima usul lo.”             Suara Rizan yang terdengar sedikit lirih di kedua telinga Cecillia itu membuatnya mengerjapkan kedua mata. Gadis itu memiringkan kepala dan sedikit menyipitkan matanya, mencari tahu akan keseriusan dalam ucapan Rizan barusan.             “Tapi....”             “Lo tenang aja,” potong Rizan cepat. Laki-laki itu memaksakan seulas senyum dan menarik napas panjang. “Gue akan minta Sonia buat pura-pura jadi pacar gue dan kita akan meyakinkan kedua orangtua gue dan orangtua lo kalau kita sudah memiliki pasangan hidup sendiri.”             Selesai berkata demikian, Rizan berjalan melewati Cecillia dan menepuk pundak gadis itu beberapa kali. Dia sempat menatap wajah Cecillia, meneliti keseluruhan wajah manis gadis itu. Kemudian, Rizan mendekatkan wajahnya pada wajah Cecillia dan berbisik, “Soal tadi, lupain aja. Anggap aja gue lagi ngelantur.”             Ketika Rizan benar-benar sudah meninggalkan kafetaria, Cecillia menghembuskan napas berat dan menatap ke arah meja tempatnya dan Rizan duduki beberapa saat yang lalu.             “Maafin gue, Zan...,” ucap Cecillia lirih. @@@ Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit yang berwarna putih. Disusul kemudian hidungnya mencium aroma khas dari minyak kayu putih dan obat-obatan. Dia memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing dan mencoba bangkit dari posisi tidurnya. Kepalanya masih terasa berat dan suhu tubuhnya juga masih sedikit tinggi. Ine mendecakkan lidahnya kesal. Tatapannya kini beralih pada sesuatu yang menutupi tubuhnya. Bukan selimut, karena benda tersebut berada tepat di kedua kakinya. Menutupi bagian kakinya sampai ke lutut. Benda yang sekarang sedang menutupi tubuhnya adalah sebuah jaket. Jaket berwarna hitam. Jaket yang sepertinya sangat familiar.             Tapi... milik siapa?             Tiba-tiba, pintu ruangan tersebut terbuka. Ine menoleh dan langsung terbelalak kala melihat siapa yang memasuki ruangan tersebut. Langsung saja, gadis itu melempar selimut yang menutupi kakinya dengan asal-asalan, juga dengan jaket yang membungkus tubuhnya. Ine kemudian mulai turun dari tempat tidur dan langsung berusaha menyeimbangkan tubuhnya ketika dia merasakan dunia sedang berputar hebat.             “Kalau masih sakit, lebih baik tetap di tempat tidur.”             Suara berat itu menembus kabut kesadaran Ine. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya dan sadar bahwa kini, orang yang baru saja dijodohkan dengannya semalam, juga orang yang sudah menciumnya dengan paksa di depan mahasiswa-mahasiswa lain, sedang menahan tubuhnya dengan cara melingkarkan kedua tangannya di pinggangnya. Harlan.             “Nggak usah sok baik sama gue, Lan!” desis Ine sambil menjauhkan tubuhnya dari laki-laki itu. Ine harus berusaha menyeimbangkan tubuhnya kembali dan harus berpegangan pada meja yang berada di dekatnya. Tatapan matanya sangat tajam kala menatap Harlan yang menatapnya tanpa ekspresi. Wajahnya datar, begitu juga dengan kedua matanya. “Jangan pikir kalau dengan berlaku baik sama gue sekarang, itu bisa menghapus dosa lo ke gue saat lo mencium gue dengan paksa di depan banyak orang! Apa tamparan gue tadi belum cukup menyakitkan buat lo?”             “Gue kesini untuk jenguk lo. Lo pikir, siapa yang udah bawa lo ke ruang kesehatan? Lo pikir, itu jaket siapa? Apa ini balasan buat orang yang udah bersikap baik sama lo, Ne? Gue rasa, Tante Suchi sama Oom Arsyad nggak pernah berlaku seperti ini sama orang lain.” Harlan mendekati kasur yang baru saja ditiduri oleh Ine dan duduk di tepinya. Laki-laki itu menoleh dan menatap Ine yang masih bertahan di tempatnya. “Mau sampai kapan lo berdiri disitu? Meskipun lo menyangkal dengan berkata bahwa lo udah baik-baik aja, kenyataannya, tubuh lo berkata lain. Yang gue liat, kedua kaki lo masih gemetar untuk dipakai berdiri.”             Ine berdecak jengkel dan menghembuskan napas dengan kasar. Mau tidak mau, gadis itu berjalan menuju kasur dan duduk dengan jarak yang agak jauh dari Harlan. Gadis itu menarik napas panjang dan memijat pelipisnya sejenak. Rasa pusing itu kembali menderanya. Membuatnya kesal setengah mati. Dia paling benci merasa tidak berguna seperti ini. Oh ya, satu lagi. Dia memutuskan untuk duduk bukan karena ucapan Harlan, ya! Tapi karena dia memang sudah capek terlalu lama berdiri, meskipun belum ada lima sampai sepuluh menit.             “Soal ciuman gue tadi....” Harlan menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. “Gue minta maaf. Gue... gue khilaf.”             Hening.             Ine sama sekali tidak bersuara. Dia hanya terus memijat pelipisnya meskipun gadis itu sedikit terkejut dengan permintaan maaf yang dilontarkan oleh Harlan barusan. Ketika Harlan melirik Ine sekilas dan mendapati gadis itu masih asyik dengan kegiatannya, laki-laki itu kembali menarik napas panjang dan bangkit berdiri.             “Gue tau, gue emang b******k. Tapi, setidaknya lo bisa, kan, memberi respon atas permintaan maaf gue barusan? Apapun itu, akan gue terima. Lo boleh maki-maki gue, lo boleh mukulin gue, lo boleh ngatain gue apapun, tapi seenggaknya, lo bicara.” Harlan mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Ada rasa sesak dan sakit yang tiba-tiba saja menghujam ulu hati juga jantungnya.             “Sekarang ini, isi kepala gue adalah kata-k********r yang belum pernah gue ucapin ke siapapun, Lan. Bukan hanya sekedar makian seperti b******k atau semacamnya. Ini lebih kasar daripada makian-makian itu. Dan gue nggak mau kelepasan ngucapin hal itu di depan lo. Gue nggak terbiasa bikin orang lain sakit hati.”             Tapi lo bikin gue sakit hati dengan cara mengobrol dengan mesra sama laki-laki lain, Ne!             “Dan gue juga nggak mau tangan gue yang berbicara sama lo,” lanjut Ine lagi. Kini, gadis itu membuka kedua matanya dan menatap Harlan tepat di manik mata. “Gue harap, lo tinggalin gue saat ini juga.”             “Lo pulangnya gimana?” tanya Harlan. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya akan keadaan Ine. Gadis itu sedang sakit dan Harlan tidak mau membiarkannya pulang sendiri.             “Gue udah dua puluh tiga tahun dan gue hafal arah jalan pulang gue,” jawab Ine dengan nada ketus. “You better go, now....”             Keduanya masih saling menatap dalam diam. Harlan berusaha menembus dunia milik Ine tetapi gadis itu membentengi diri. Akhirnya, Harlan menyerah. Laki-laki itu menghembuskan napas dan memutar tubuhnya untuk berjalan keluar ruang kesehatan.             “Lan...,” panggil Ine. Harlan berhenti melangkah dan melirik gadis itu sekilas tanpa memutar tubuhnya. Dia masih memunggungi Ine dan menunggu kalimat selanjutnya dari gadis itu. “Jaket lo....”             “Seenggaknya, lo masih bisa nerima jaket itu untuk menghangatkan tubuh lo saat pulang nanti.” @@@ “Liburan?”             Pertanyaan Cecillia yang menggema itu membuat Anna dan Keizo menutup telinga mereka dengan kedua tangan, sementara Harlan nampak tenang dan asyik menyantap makan malamnya. Sama sekali tidak terpengaruh dengan teriakan sang Kakak barusan. Laki-laki itu dari luar memang terlihat biasa-biasa saja, menikmati capcay goreng dan ayam goreng buatan sang Bunda. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa didalam hati juga pikirannya, Harlan sedang memikirkan Ine. Memikirkan keadaan dan kondisi gadis itu. Apakah Ine baik-baik saja? Apakah Ine sampai di rumah dengan selamat? Dia pulang naik apa? Apa demamnya sudah turun? Apa dia diantar oleh seorang laki-laki?             Ugh! Pemikiran yang terakhir itu sanggup membuat nafsu makan Harlan menghilang. Tadinya, nafsu makannya masih ada, mengingat ini adalah makanan kesukaannya. Yah... meskipun tidak menggebu-gebu dan kalap seperti biasanya kalau dia bertemu dengan capcay goreng dan ayam goreng, sih. Tapi, setidaknya selera makan itu masih ada, sebelum dia memikirkan satu kemungkinan Ine pulang ke rumah dengan diantar oleh laki-laki lain.             “Tapi, Bunda... ngapain, sih, pakai acara liburan segala? Cecill, kan, harus kerja.” Suara cempreng sang Kakak kembali terdengar, membuat Harlan sadar dari lamunannya dan menghela napas jengkel. Si Ine itu emang berbakat jadi hantu!             “Jum’at ini, kan, tanggal merah, Sayang...,” ucap Keizo sambil meminum jus jeruknya. “Sabtu dan Minggu kamu libur, Kan? Harlan juga nggak ada jadwal kuliah. Begitu juga dengan Ine, kata Oom Arsyad dan Tante Suchi.”             Nah loh... Harlan mengerjapkan kedua matanya dan langsung fokus menatap wajah sang Ayah. Kenapa jadi bawa-bawa Ine?             “Maksud Ayah?” tanya Harlan. Sementara itu, di sampingnya, Cecillia sudah menepuk jidatnya sendiri. Sepertinya, gadis itu sudah menangkap maksud ucapan Ayahnya barusan.             “Kita akan liburan bersama keluarga Ine dan keluarganya Rizan. Di villa Oom Victor yang ada di Bandung. Pemandangannya bagus disana. Ada bukit-bukit kecil, juga ada hutan-hutan di dekat villa. Kalian pasti senang disana.” Keizo mengelap mulutnya dengan serbet dan bangkit berdiri. Dirangkulnya pinggang Anna dengan mesra sambil tersenyum lembut ke arah kedua anaknya. “Jadi... besok malam, kalian harus udah packing, ya.”             Sepeninggal Anna dan Keizo yang sudah menghilang kedalam kamar, Harlan dan Cecillia masih bertahan di meja makan. Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Harlan dengan degupan jantungnya yang tiba-tiba saja meningkat drastis, sedangkan Cecillia yang bingung bagaimana dia bersikap di depan Rizan nantinya. Kemudian, gadis itu meninggalkan Harlan dan berjalan menuju teras rumahnya. Dia mengeluarkan ponselnya dan mencari nama seseorang. Begitu nama yang dicarinya berhasil ditemukan, dengan gerakan cepat, Cecillia menekan tombol berwarna hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga kanan. @@@ Ponsel di atas meja kerjanya berbunyi, ketika Orlan sedang asyik membuat laporan keuangan yang diminta oleh sang manajer perusahaan di tempatnya bekerja. Laki-laki itu mengerutkan kening ketika melihat nama Cecillia berkelap-kelip nakal di layar ponselnya. Dengan kebingungan yang semakin memuncak, bertanya-tanya ada gerangan apakah, Cecillia meneleponnya, Orlan langsung menjawab panggilan telepon tersebut dan berjalan ke arah kasurnya. Dia duduk di tepi kasur lalu merebahkan tubuhnya begitu saja disana.             “Kenapa, Cil?” tanya Orlan ramah. “Tumben nelepon gue.”             “Orlan! Gue perlu bantuan lo, nih!” seru Cecillia di ujung sana yang sukses membuat kening Orlan semakin berkerut karena heran.             “Bantuan? Bantuan apa?”                 “Jadi pacar gue, ya!”             “WHAT?!” teriak Orlan kaget dan langsung bangkit dari posisi berbaringnya. Laki-laki itu memindahkan ponselnya dari telinga kanan ke telinga kiri. “Lo abis salah makan, ya, Cil? Apa obat lo udah habis?”             “Sinting, lo! Gue masih sehat jasmani maupun rohani, juga akal pikiran, kali!” gerutu Cecillia keras, membuat Orlan mengulum senyum. Dia masih terlalu shock untuk bisa tertawa kala mendengar gerutuan Cecillia itu.             “Terus? Ada tsunami dimana sampai lo nekat nembak gue kayak tadi? Atau... ada badai maha dahsyat yang baru aja menghantam rumah lo sampai lo mendadak aneh kayak gini, Cil?”             “Orlan Sayang... dengarin gue baik-baik, ya. Gue sama Rizan itu dipaksa tunangan sama orangtua kita masing-masing!”             “Hah? Lo ngelantur apaan, sih, Cil? Kalau lagi bikin sinetron, jangan yang kacangan gitu juga lah!”             “Ih, gue serius!”             Mendengar gerutuan Cecillia yang sepertinya hampir putus asa itu membuat Orlan terdiam. Apa... apa memang benar yang dikatakan oleh gadis itu? Bahwa dia dan Rizan sudah ditunangankan oleh kedua orangtua mereka masing-masing? Lantas, kenapa Cecillia justru memintanya untuk menjadi pacarnya?             “Orlan? Helloooooow! Lo nggak mendadak mati karena ucapan gue, kan?”             “Eh... iya, Cil... gue masih hidup.” Orlan buru-buru memusatkan perhatiannya lagi kepada gadis itu. “Lo serius udah tunangan sama Rizan?”             “Iya! Orangtua gue sama orangtua si kucing garong itu sahabatan dari SMA. Dan gue dipaksa tunangan sama Rizan. Lo, kan, tau sendiri kalau gue eneknya setengah mati sama tuh orang. Nah, lusa, keluarga gue, keluarga Rizan sama keluarganya Ine....”             “Siapa Ine?” potong Orlan.             “Teman kampusnya Harlan, adik gue. Orangtuanya juga sahabatan sama orangtua gue dan orangtua Rizan.”             “Gila... jangan-jangan, si Ine-Ine itu dijodohin juga sama adik lo?”             “Iya! Bisa, nggak, gue selesaiin dulu cerita gue?”             Mendengar nada ketus dari suara Cecillia, Orlan langsung berhenti berbicara dan menahan senyumnya.             “Nah... intinya, orangtua kami mau ngadain liburan di villa-nya Oom Victor yang notabene bokapnya Rizan, di Bandung. Nah, gue sama Rizan udah bikin rencana kalau kita bakalan bawa pacar kita masing-masing ke hadapan orangtua kita supaya mereka terpaksa membatalkan pertunangan yang sudah terjadi ini. Gue nyalonin lo sebagai pacar bohongan gue dan pacar bohongan Rizan adalah Sonia.”             “Mahal, nggak, bayarannya?” tanya Orlan bercanda. Terdengar gerutuan dari ujung sana yang langsung membuat Orlan terbahak keras.             “Oke... gue akan bantuin lo.” Orlan menarik napas panjang dan menghembuskannya keras. “Tapi, Cil... menurut penglihatan gue, sepertinya Rizan emang beneran suka sama lo, deh.”             Terdapat jeda yang cukup panjang. Orlan sempat berpikir bahwa Cecillia sudah memutuskan hubungan telepon namun ternyata sambungan itu masih terhubung. Orlan tidak tahu kalau saat ini, di teras rumahnya, Cecillia sedang menahan napas dan menekan dadanya dengan sebelah tangan akibat jantungnya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak tidak karuan akibat ucapannya barusan. @@@ Mereka semua sampai di villa milik Victor tepat pukul dua siang. Rasa lelah langsung tergantikan dengan pemandangan yang sangat indah yang disajikan disana. Halaman belakang yang luas, kolam renang yang begitu menggoda juga pemandangan-pemandangan indah lainnya yang ada disana. Di dekat halaman belakang tersebut ada sebuah jalan yang menuju kedalam hutan. Menurut Victor, hutan terlihat sangat indah kalau dilihat pada jam-jam seperti sekarang.             Suasana sebenarnya sempat menjadi aneh dan canggung tatkala Orlan dan Sonia muncul di halaman rumah Rizan pagi itu. Sekitar pukul sepuluh pagi, mereka semua memang sepakat berkumpul terlebih dahulu di rumah Victor dan nantinya akan berangkat bersama-sama.             “Mah... Pah... kenalin. Ini Sonia, pacar Rizan. Dan yang itu namanya Orlan, pacar Cecillia.” Rizan merangkul pundak Sonia yang menganggukkan kepalanya memberi hormat pada Victor dan Shabrina yang terkejut. Begitu juga dengan Keizo dan Anna.             “Pacar?” tanya Shabrina dengan kening berkerut. “Tapi, kan... kamu sama Cecillia udah tunangan, Zan.”             “Sebenarnya waktu itu, aku sama Cecillia udah mau cerita ke Papa sama Mama juga Oom Keizo dan Tante Anna kalau aku sama Cecillia udah punya pacar. Tapi, kalian semua nggak ngasih kami kesempatan untuk menjelaskan.”             Setelah menghubungi Orlan waktu itu, Cecillia langsung menelepon Sonia dan kembali menjelaskan duduk persoalan yang sedang dia alami bersama Rizan. Penjelasan yang sama seperti yang dia jelaskan pada Orlan sebelumnya. Setelah mendengar kata setuju dari Sonia, Cecillia langsung menelepon Rizan dan menceritakan semuanya. Dan selama dia bercerita, jantungnya dengan tidak tahu malu terus saja berulah. Membuat gadis itu kesal dan ingin rasanya pergi ke rumah sakit untuk mencari jantung baru.             “Kalian... benar-benar pacarnya Cecillia dan Rizan?” tanya Anna menyelidik. Wanita itu langsung menatap Cecillia dengan tatapan horror, sementara yang ditatap malah melengos ke arah lain.             “Ya, Tante...,” jawab Orlan sopan sambil menampilkan senyuman mautnya. Senyuman yang tentu saja tidak mempan di depan Anna. Dia sudah terlalu kebal dengan jenis senyuman seperti itu.             “Yah... mau bagaimana lagi? Kalau memang seperti itu kenyataannya, mungkin, kita harus memikirkan ulang tentang pertunangan Cecillia dan Rizan,” ucap Keizo bijak. Ingin sekali rasanya Cecillia melompat kegirangan saat mendengar ucapan Ayahnya itu.             Dan disinilah mereka sekarang. Di villa mewah yang sanggup membuat Orlan dan Sonia terpesona. Mereka memang pernah mendengar bahwa Rizan adalah orang kaya, tetapi tidak disangka akan sekaya ini. Mereka berdua masuk bersama Rizan dan Cecillia, setelah sebelumnya, kedua orangtua dari dua orang yang suka bertengkar tersebut telah lebih dulu masuk kedalam rumah.             Saat akan mengeluarkan ranselnya dari dalam bagasi mobil, Harlan melihat Ine sedang terduduk di atas rumput sambil meringis dan bersungut-sungut ria. Laki-laki itu menoleh kedalam dan melihat bahwa hanya tinggal dirinya dan Ine yang masih berada di luar villa. Setelah menutup pintu bagasi dengan bantingan, Harlan membersihkan kedua tangannya, memakai ranselnya dan langsung menghampiri Ine.             “Ne? Lo ngapain duduk di rumput kayak gitu?” tanya Harlan dengan kening berkerut. “Gue yakin sofa didalam sana lebih nyaman dan enak buat didudukin ketimbang rumput-rumput ini.”             “Gue bukannya sengaja duduk disini, O’on! Gue jatuh. Kepeleset! Kaki gue kayaknya kekilir.” Ine mencoba untuk bangkit berdiri namun langsung jatuh terduduk lagi. Membuat Harlan berdecak dan menggelengkan kepalanya.             “Umur lo sebenarnya berapa, sih, Ne? Masa jalan aja bisa jatuh?”             “Namanya juga kepeleset, dodol! Emangnya gue bisa memprediksi kapan gue akan kepeleset, gitu?”             Setelah saling tatap dengan sengit, Harlan menarik napas panjang. Laki-laki itu kemudian membungkuk, menyelipkan tangan kanannya ke lekukan lutut Ine dan tangan kirinya di leher gadis itu. Lalu, dengan satu gerakan cepat dan mudah, Harlan sudah mengangkat tubuh Ine kedalam gendongannya.             “Eh? Eh?! Harlan! Turunin gue!” seru Ine sambil berontak dan berusaha untuk turun dari gendongan Harlan. Anehnya, Harlan sama sekali tidak merasa terganggu dengan tingkah gadis itu. Dia tetap berjalan sambil sesekali membenarkan posisi tubuh Ine.             “Ine, bisa diam, nggak?” tanya Harlan ketus. “Kalau lo berontak lagi, jangan salahin gue kalau lo bakalan gue taruh di kamar gue dan gue kunci disana!”             Ancaman yang ampuh karena Ine langsung diam dan mengerucutkan bibirnya. @@@ Semua orang sedang berkumpul di ruang santai saat Cecillia memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di halaman belakang villa. Gadis itu merenggangkan otot-otot tubuhnya dan berjalan menuju hutan. Kata Victor, hutan sedang indah-indahnya jika dilihat pada waktu-waktu seperti sekarang ini. Membuat Cecillia penasaran setengah mati dan ingin tahu, seperti apa keindahan hutan tersebut.             Semakin lama dia berjalan, rasanya semakin gelap keadaan disekitarnya. Cecillia terus saja berjalan. Dia sama sekali tidak merasa takut dengan suasana yang mulai gelap karena dia cukup terpesona dengan hutan ini. Memang benar kata Victor, hutan ini memang terlihat indah kalau dilihat pada waktu seperti sekarang ini.             Tiba-tiba, gadis itu mendengar sesuatu. Seperti sebuah suara. Suara gonggongan lebih tepatnya. Gadis itu menelan ludah susah payah dan menoleh. Tubuhnya seketika membeku kala melihat dua ekor anjing liar yang sedang menjulurkan lidahnya. Seperti sedang mengejek ketakutan gadis itu saat ini. Air liur anjing-anjing itu jatuh ke tanah. Tanpa basa-basi, sambil menjerit keras, Cecillia langsung berlari. Dia menoleh ke belakang dan bisa melihat kedua anjing itu mengejarnya dengan cepat.             Cecillia rasanya ingin sekali menangis. Napasnya juga sudah tidak beraturan. Dia melihat ada sebatang pohon besar di depannya dan langsung memanjatnya tanpa pikir panjang. Gadis itu memegang dahan pohon dengan tangan gemetar dan melihat dua anjing tersebut sedang melompat-lompat, berusaha untuk naik juga ke atas pohon. Tanpa sadar, dia sudah menangis dan berteriak minta tolong.             Mendadak, dua anjing itu pergi setelah Cecillia melihat beberapa batu bata besar melayang ke arah hewan-hewan tersebut. Gadis itu mengusap airmatanya dan mengerutkan kening karena tidak mengerti. Siapa yang sudah melempar anjing-anjing itu dengan batu bata besar?             “Cil? Lo nggak apa-apa, kan?”             DEG!             Satu suara bernada cemas dan khawatir itu membuat Cecillia menoleh ke bawah. Gadis itu merasa jantungnya kembali berdetak cepat meskipun dia sudah berhenti berlari. Di bawah, muncul sosok Rizan yang sedang menatapnya dengan tatapan khawatir.                   “Ri... zan...?”             Tadinya, Rizan berniat bersantai di halaman belakang villa Ayahnya. Namun, saat itu matanya menangkap sosok Cecillia yang sedang merenggangkan otot-otot tubuhnya dan masuk kedalam hutan. Dia merasa perasaannya tidak enak dan akhirnya memutuskan untuk mengikut gadis itu secara diam-diam dari belakang.             “Lo nggak apa-apa, kan? Bisa turunnya, kan?”             Mendengar pertanyaan itu, Cecillia kontan celingak-celinguk dan baru sadar kalau dia berada di atas pohon.             “Nggak bisa, Zan...,” kata gadis itu memelas. Ingin menangis lagi rasanya.             “Lah? Terus tadi lo manjatnya gimana?”             “Mana gue tau! Gue kan lagi ketakutan dan kalut banget. Apapun bisa dilakukan oleh manusia kalau sudah dalam keadaan terdesak, Zan!” sungut Cecillia. Dan... dia mendengar sesuatu. Seperti suara desisan. Gadis itu menoleh dan tubuhnya kembali menegang.             Ular!             Ular yang tidak besar, tetapi juga tidak kecil. Ular yang berukuran sedang tapi sanggup membuat Cecillia membeku di tempatnya. Rizan juga sepertinya menyadari kehadiran ular di pohon itu. Jantungnya berdegup kencang dan dia semakin khawatir terhadap Cecillia.             “Cil! Dengar gue! Lo turun pelan-pelan, usahain jangan takut.” Rizan mencoba memberi petunjuk pada Cecillia namun sepertinya sia-sia saja. Gadis itu bergeming dan menatap ular di depannya dengan tatapan takut.             “Cil! Gue akan kesana, oke? Lo dengar gue, kan? Gue akan kesana!” seru Rizan panik. Baru saja laki-laki itu akan memanjat pohon tersebut ketika dia mendengar suara jeritan Cecillia. Rizan mendongak dan terkejut saat melihat tubuh gadis itu melayang tepat di atasnya. Tanpa ampun, Cecillia jatuh menimpa Rizan hingga keduanya jatuh ke atas tanah.             Mata Cecillia masih terpejam. Ketakutan itu masih terasa kental di tubuhnya. Dia tidak ingat bagaimana persisnya dia terjatuh dari atas pohon, yang jelas, begitu dia melihat ular tersebut mulai bergerak ke arahnya, dia berteriak dan terjatuh begitu saja.             “Lo aman sekarang.”             Suara Rizan itu menembus kabut ketakutannya. Cecillia perlahan membuka kedua matanya dan terpaku saat mendapati jarak tubuhnya dan tubuh Rizan yang begitu dekat hingga dia bisa merasakan helaan napas laki-laki itu. Kemudian, seakan tersihir dengan kehadiran Rizan, Cecillia membiarkan laki-laki itu menangkup wajahnya dan menarik kepalanya hingga keningnya dikecup oleh Rizan.             “Kenapa lo doyan banget bikin gue khawatir, Cil?” tanya Rizan setelah kecupan pada kening gadis itu selesai. Kedua tangannya masih menangkup wajah Cecillia yang hanya bisa terdiam.             Namun tidak dengan jantungnya yang meliar! @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD