Re- Tired (Part 2)

3240 Words
Setelah selesai sarapan, Nabila pamit menuju kamarnya, merapikan seluruh bajunya dan juga baju Andrew, setelah siap ia segera berkemas untuk ikut ke rumah sakit. Ketika ingin keluar dari kamarnya, Andrew masuk dan berdiri di hadapannya. "Kalau sudah siap, aku antar kamu ke rumah, kamu gak usah ikut ke rumah sakit. Tata rumah itu karena sudah lama tidak terurus" ucap Andrew. Nabila menatap wajah Andrew sendu. "Apa aku gak boleh lihat Mbak Lisa sebentar?" tanya Nabila pelan. "Bisa, tapi nanti. Kamu turuti saja perintahku" ucap Andrew. Dilihatnya 2 koper besar serta 2 tas kecil sudah tertata rapi diatas kasur. "Biar aku bawa kopernya, kamu bawa tasnya, kita berangkat sekarang" ucap Andrew segera berlalu membawa koper besar tersebut. Nabila mengerjap sesaat namun segera ia beranjak membawa tas kecil itu. "Hati-hati dijalan" ucap Tio dan Liliana. Andrew dan Nabila menyalami tangan kedua orang tua itu sambil mengangguk. "Aku pamit Ma, Pa" ucap Nabila pelan. Mama dan Papanya hanya mengangguk. ~ Nabila tiba disebuah rumah mewah tidak bertingkat, tapi luar biasa luasnya. Terkesan elegan dengan kesederhanaanya. "Tunggu apa lagi? Ayo turun" ucapan Andrew membuyarkan lamunan Nabila, lelaki itu sudah melenggang dengan koper besar, masuk ke pekarangan rumah dan membuka pintu utama. Segera Nabila turun dari mobil Andrew dengan tas kecil dikedua tangannya. Dalam rumah itu masih bersih, hanya sedikit jendela yang kotor terkena debu. "Aku pulang malam, bersama Hellina" ucap Andrew berlalu pergi. Nabila menatap kepergian Andrew. "Sebaiknya aku langsung bersih-bersih" ucap Nabila segera melakukan kegiatan bersih-bersihnya. ~ Rumah itu selesai dibersihkan ketika jam menunjukkan pukul 14.56. Ternyata sudah setengah hari Nabila membersihkan rumah tanpa istirahat sama sekali, perutnya keroncongan. "Apa di kulkas ada makanan?" tanya Nabila segera berlalu ke ruang dapur. Ia menemukan satu packs roti tawar didalam kulkas, serta selai strawberry, dan se-cup margarine. "Aku pikir roti bakar selai strawberry cukup mengganjal perut" ucap Nabila tersenyum. Segera Nabila melakukan ritual bakar-membakarnya, setelah siap, ia segera menikmati roti bakarnya sendirian. Setelah dirasa kenyang ia kembali membuka kulkas, mencari bahan untuk makan malamnya. Hanya roti tawar, margarine, tahu, kacang panjang yang sudah layu dan selai strawberry. "Apa aku pergi ke supermarket saja? Sepertinya dekat sini masih ada yang menjual ayam potong dan beberapa bumbu dapur". Nabila segera mengunci rumah membawa dengan membawa dompetnya, dengan berjalan kaki ia berkeliling komplek perumahan elite ini. Nafasnya sudah setengah-setengah, akhirnya ia menemukan supermarket yang masih buka. Nabila memilih-milih ayam potong yang diletakkan di freezer. Setelah mengambil sosis packs, satu ekor ayam, kentang, daun bawang, wortel dan daun sop, serta serenteng sachet bumbu penyedap rasa ayam, Nabila segera membawa keranjang belanjaannya ke kasir. "Semuanya 75 ribu" ucap kasir lelaki yang sepertinya seumuran dengan Nabila. "Ini" ucap Nabila memberikan uang seratus ribu dan mengambil belanjaannya dan segera berlalu dengan tergesa, sudah jam 4 sore, ia lupa waktu dan harus segera memasak makan malam sekarang, takut Andrew tiba ketika makanan belum matang. "Kembaliannya 25 ribu" ucap kasir itu melihat Nabila yang sudah keluar dari super market, "Lah Mbak, kembaliannya!". "Susul aja, biar gue gantiin bentar" ucap lelaki teman kasir lelaki yang melayani Nabila tadi. "Oke, bentar ya" ucap lelaki itu segera berlari. Nabila berjalan dengan tergesa, dan sudah hampir tiba di rumahnya, namun sebuah deru motor berada di belakangnya. "Akhirnya" ucap seseorang tak dikenal. Nabila segera membalikkan badan, dan terkejut melihat lelaki yang menjadi kasir belanjaannya tadi. "Loh?" ucap Nabila kaget. "Maaf Mbak, ini kembalian Mbak 25 ribu, saya panggil Mbak sudah pergi jauh, jadi saya susul. Jadi disini rumah Mbak?" tanya lelaki itu tersenyum. Nabila ikut tersenyum, "Astaga saya sampai lupa, maaf Mas saya jadi ngerepotin. Biar buat bensin Mas saja, terimakasih" ucap Nabila. "Lah, gak bisa gitu Mbak, ini kewajiban saya, ini uang Mbak-nya" ucap lelaki itu. "Gak apa-apa Mas, biar buat Mas aja, kasian sampai nyusullin saya kesini" Nabila tersenyum manis. Lelaki itu ikut tersenyum, namun segera sadar. "Tapi Mbak.." ucap lelaki itu ragu. "Gak apa-apa Mas, ambil aja, terimakasih yaa" ucap Nabila. "Harusnya saya yang bilang makasih, kalau gitu saya pulang dulu" ucap lelaki itu. "Silahkan, hati-hati dijalan" ucap Nabila. Lelaki itu tersenyum lagi, dan menstarter motor matic-nya, "Makasih Mbak emm...". "Nama saya Nabila" ucap Nabila. "Oke, saya Satya, Makasih Mbak Nabila, mari" ucap lelaki itu. Setelah lelaki itu pergi Nabila segera masuk ke dalam rumahnya. Nabila memotong daging ayam, memotong sosis, kentang bentuk dadu, wortel bentuk bunga tipis, daun sop dan daun bawang potong rajang kecil. Sup ayam sosis sepertinya pas untuk malam ini, besok ia akan ke supermarket lagi untuk mengisi kulkas rumah, persediaan beberapa hari nanti. Nabila tersenyum puas ketika sup sudah matang, dan rasanya pas. Jam menunjukan pukul 6 sore, Nabila segera beranjak mandi dan mengganti pakaiannya menjadi piyama tidur. Karena bosan, Nabila segera beranjak menuju ruang tamu. Menonton televisi mungkin akan membuat moodnya membaik. Sesekali Nabila melirik ke arah pintu utama, melihat tanda-tanda akan datangnya Andrew dan Hellina. Pukul 19.00 Nabila mulai merebahkan tubuhnya di sofa, 19.55 Nabila memanaskan sup dan menata nasi diatas meja makan, 20.35 Nabila kembali menyibukkan diri menonton channel sinetron, 21.15 Nabila sibuk dengan handphonenya, 22.05 Mata Nabila sudah setengah kantuk, 22.35 Nabila kembali memanaskan sup. "Apa aku telpon aja ya?" tanya Nabila pelan, "Hmm.. Tunggu setengah jam lagi deh". Pukul 23.05 mata Nabila sudah tidak bisa diajak berkompromi, dengan bersandar di sofa, Nabila tertidur. Tepat pukul 23.30 pintu utama rumah berderit, mata Nabila membelalak. Dilihatnya Andrew dengan wajah lelah, dan Hellina dalam gendongannya tertidur. "Mas.." ucap Nabila menghampiri Andrew. Andrew menatap Nabila dingin. "Aku sudah siapkan sup, sebaiknya kita makan, Hellina sudah makan?" tanya Nabila. "Minggir" ucap Andrew dingin. "Tapi, aku sudah nunggu dari sore, aku sengaja ke supermarket buat beli bahan makanan, setidaknya.." ucapan Nabila terhenti Andrew sudah menyentak tubuhnya, agar menjauh dari tubuhnya. Nabila menatap punggung Andrew dan wajah Hellina yang kelelehan. Beberapa menit menunggu Andrew keluar dari kamar Hellina, akhirnya lelaki itu keluar, Nabila segera berlari menghampiri Andrew. "Mas, ayo makan, aku akan panaskan supnya lagi, aku sengaja gak makan tadi buat makan bersama, tadinya aku pikir Hellina dan kamu akan pulang habis Maghrib, ternyata malah larut malam, aku menyiapkan tiga piring nasi diatas meja" ucap Nabila tersenyum. Andrew menaikkan sebelah alisnya, "Aku sudah makan". "Hmm, setidaknya cicipi sedikit" ucap Nabila. "Tidak, aku sudah kenyang" ucap hendak melewati tubuh Nabila, namun lengannya ditarik oleh Nabila. "AKU BILANG AKU SUDAH MAKAN" ucap Andrew berteriak, nafasnya naik turun. Nabila menunduk, ia takut, seumur hidup baru kali ini ia dibentak dengan kasar. Dilepasnya lengan Andrew pelan. "Tadinya aku gak ada maksud lain untuk ajak kamu makan, aku tau mungkin kamu sudah makan di luar" Nabila membuka suara menatap manik mata Andrew yang membelalak kaget, "Kalau kamu gak cinta sama aku, setidaknya jangan benci aku, apa susahnya menerima apa yang aku persembahkanku sebagai bentuk pengabdian" Nabila menatap mata Andrew sendu. "Aku tidak meminta dan berharap apapun dari pernikahan ini, setidaknya hargai aku, jika tidak sebagai ISTRIMU, setidaknya sebagai IPARMU" ucap Nabila pelan. Napasnya sudah tidak beraturan, ia marah, kecewa, semua bercampur jadi satu. Air matanya luruh begitu saja, sakit sekali, dadanya serasa ditusuk ratusan pisau dan jarum. Sesakit inikah bertahan pada suatu harapan yang tidak menghasilkan apapun? Sungguh, sehari ini saja Nabila hampir gila, melakukan pekerjaan rumah hingga selesai, pergi ke supermarket, memasak makan malam dengan semangat. Dan dedikasinya? Hanya dibalas dengan bentakan, serta tatapan kebencian. Nabila segera merapikan meja makan, dan sup dimasukkan ke dalam kulkas. Air mata yang mengalir sejak tadi segera dihapusnya. Napsu makannya hilang begitu saja. Percuma ia makan jika perutnya menolak untuk diisi. "Kalau aku menangis dihadapannya sekalipun, dia tidak akan pernah peduli" ucap Nabila segera beranjak menuju kamar Andrew. Knop pintu diputar, Nabila menyembulkan kepalanya, dilihatnya Andrew duduk ditepi ka sur dan mengusap kasar wajahnya. "Mas, boleh aku masuk?" tanya Nabila pelan. Andrew membalikkan tubuhnya dilihatnya Nabila tersenyum, senyum dipaksakan. "Aku mau izin tidur di kamar lain, boleh?" tanya Nabila masuk ke dalam kamar. Andrew mengernyitkan dahi, "Ya, sebaiknya begitu, aku takut Hellina melihat kita berdua satu kamar padahal kita tidak melakukan apapun, jadi.." ucapan Andrew terhenti ketika Nabila menyela ucapannya. "Aku paham, maka dari itu aku minta izin sekarang" ucap Nabila menautkan kedua tangannya didepan. "Ya" ucap Andrew dingin. "Oh ya, boleh aku minta 5 permintaan?" tanya Nabila. Andrew menatap Nabila heran, bukannya gadis dihadapannya tadi emosi dengannya, kenapa sekarang terlihat biasa saja. Sekebal itu kah hatinya?. "Kemarin malam, kamu sudah meminta 5 permintaan kamu kan? Sekarang boleh aku meminta permintaan aku ke kamu?" tanya Nabila. ~ Mata Andrew menyipit, heran. "Sama seperti kamu yang punya syarat dalam pernikahan ini, boleh aku juga ajukan syarat untuk pernikahan ini?" tanya Nabila. Andrew mengangguk sekali. "Yang pertama bisakah kita berdamai? Rasanya sakit sekali ketika kamu tatap dengan kebencian, kedua setidaknya makanlah makanan yang aku siapkan, yang ketiga izinkan aku mengunjungi Mbak Lisa sendirian pun aku gak apa-apa, keempat jangan pulang larut malam karena aku takut sendirian kalau memang terlambat setidaknya kirimi aku pesan atau telpon, dan yang kelima..." ucapan Nabila terhenti. Andrew menaikkan sebelah alisnya menunggu Nabila melanjutkan ucapannya. "Aku masih belum dapat yang kelima, empat itu saja dulu. Gak apa-apa kan?" tanya Nabila . Andrew hanya mengangguk satu kali. "Kalau gitu aku permisi, selamat malam" ucap Nabila tersenyum lalu berlalu dari kamar itu. Andrew hanya menaikkan sebelah alisnya memandangi kepergian Nabila. "Itu saja? Tidak meminta yang lain?" tanya Andrew keheranan. Nabila segera merebahkan dirinya ke atas kasur, air matanya turun begitu saja. Ia memang tersenyum tadi, tapi ia tidak bisa berlama-lama memakai topeng bahagianya. "Yang kelima? Bisakah aku mempertahankan pernikahan ini tanpa bercerai?" tanya Nabila pelan. ~ Derap langkah sepatu fantopel khas pria mengalun dan berhenti tepat di sebuah kasur dimana Lisa betah bertahan dalam tidurnya. Lelaki itu adalah Andrew, ia mengecup puncak kepala istrinya, tersenyum, diletakkannya sebuket bunga disamping istrinya. "Lihat, aku bawa bunga, kesukaan kamu" ucap Andrew, segera ia meraih kursi dan duduk disamping Lisa berbaring. "Kamu gak capek tidur terus?". "Gak kangen sama aku? Sama Hellina?". "Gak bosen disini terus?". "Lis, aku harus gimana?". "Aku selalu berharap kamu sadar Lis, karena aku takut". "Aku takut Hellina yang masih kecil harus kehilangan sosok Ibunya". "Aku takut aku gak tepatin janji aku". ~ Andrew POV Melihat wajahnya yang tersenyum aku bahagia, melihat wajahnya yang sendu, aku ikut sedih. Sebenarnya aku tidak ingin menyakiti hatinya, tapi mau bagaimana lagi? Jika ditanya, apakah aku menyesal menikahinya maka jawabannya adalah tidak sama sekali. Aku malah bahagia, sangat bahagia. Tapi, aku tidak bisa mengkhianati istriku, Lisa. Kisah percintaanku rumit sekali bukan?. Aku mencintai Nabila, tapi aku menikah dengan Lisa, Nabila adalah adik dikampus yang sama denganku berada setahun dibawah angkatanku. Ia orang yang ku cinta ketika kami pertama bertemu, dan aku menjadi himpunan mahasiswa yang ikut membantu mahasiswa dan mahasiswi baru yang mengikuti ospek. Di hari itu aku melihatnya, aku mencintainya sampai hari ini. Berdosa memang jika aku mengungkapkan ini semua, tapi aku memang benar-benar mencintainya. Setelah lulus dan mulai mapan, aku datang kerumah Nabila. Berbekal tekad ingin mempersuntingnya, tapi ketika aku ingin mengajukan permintaan untuk meminang Nabila, aku malah ditujukan pada Lisa, karena orang tuanya tidak ingin Lisa dilangkahi. Karena dalam adat istiadat keluarga Nabila, mereka menganut yang tertua yang menikah lebih dahulu. Alhasil, orang tuaku mendukung aku untuk menikah dengan Lisa. Mereka ingin lekas-lekas memiliki cucu. Berdosa memang jika aku saat ini masih menyimpan rasa untuk Nabila, sementara Lisa sudah sah menjadi istriku. Maka dari itu ketika menikah aku tidak ingin terlalu dekat dengan dirinya, aku takut melakukan kesalahan dan berujung menyakiti hati Lisa dan Hellina, mereka orang yang sekarang ada disampingku. Jujur, aku tidak tahu hatiku dimana sekarang. Disatu sisi aku takut kehilangan Lisa suatu saat nanti yang membuat Hellina harus kehilangan sosok Ibunya. Tapi, disatu sisi aku takut melepaskan Nabila ketika Lisa sadar nanti. Maka dari itu, sebaiknya aku fokus dengan Lisa, demi Hellina. Ku biarkan Nabila berjalan sendiri dengan kehidupannya, karena aku yakin dia lebih baik pergi dari kehidupanku. Aku tidak mungkin bisa membahagiakannya karena sudah ada 2 sosok yang memang harus ku bahagiakan saat ini. Nabila bisa pergi jika dia mau, ia bisa pergi ketika sudah lelah dengan sikap dinginku. Itulah harapanku, aku takut ketika aku peduli dengannya aku malah semakin mencintainya, dan aku akan kehilangan 2 orang penting dihidupku sekarang, aku tidak ingin itu terjadi. Lamunanku terhenti ketika mendengar langkah heels berjalan masuk menuju ruangan ini. Aku mengangkat wajahku, ku dapati gadis yang ingin ku hindari saat ini berdiri didepanku. hanya berbataskan tubuh rapuh Lisa yang tak kunjung bangun dari tidurnya. Nabila. Ya, dia berdiri dihadapanku sekarang. "Tenang saja Mas, aku cuman sebentar kok" ucap Nabila angkat bicara. Ku tatap wajahnya yang menatap lembut pada Lisa. Ku lihat ia berkaca-kaca, disentuhnya wajah dingin Lisa. "Cepat sadar Mbak Lisa.." ucapnya pelan, dan aku mendengarnya. "Aku kesini cuman buat antar makan siang kamu, Hellina tadi ikut, cuman dia tunggu diluar. Kalau gitu aku pamit lagi" ucap Nabila meletakkan kantong plastik hitam ke arahku. Ku sambut dan segera ku letakkan diatas nakas disamping kepala Lisa. Ku lihat Nabila berbalik dan mulai berjalan keluar dari ruangan ini. Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak memanggil namanya, karena dengan cara ini aku mengusir namanya di hatiku. Ku pandangi bungkusan plastik itu, tanpa sadar ku raih dan ku buka wadah plastik bertuliskan tupperw*re itu. Nasi dan ayam goreng kremes bertabur telur dadar dan sambel terasi kesukaanku. Tanpa sadar aku tersenyum dan segera menikmati masakannya. Ku akui masakannya jauh lebih enak dari buatan Lisa, tak lebih dari 10 menit aku sudah menghabiskan makan siangku. Ku letakkan kembali tempat makan itu diatas nakas. Dan sekarang aktivitasku kembali memandangi wajah Lisa, berharap ia sadar dan orang yang dilihatnya pertama kali adalah aku, suaminya. ~ ~ Nabila POV Tersenyum, aku pandangi wajahnya yang terlihat menikmati masakanku. Sungguh, dengan melihatnya seperti ini aku merasa sangat bahagia. Setidaknya dia masih mau memakan masakanku. Aku tidak berharap apapun dari pernikahan ini, sudah ku katakan itu padanya. Aku hanya minta permintaan yang ku yakin akan dilakukan, karena tidak perlu pengorbanan melakukannya. Cukup 'terima' saja yang aku persembahkan. Aku tersenyum miris mengucapkan kata 'terima', karena disini aku yang berjuang dan berkorban, meskipun tidak terlihat dan takkan pernah dihiraukan sama sekali. Aku tidak perduli. Aku sudah tahu pernikahan ini tidak akan berlangsung lama, hanya sementara. Setelahnya kami akan berpisah. Berpisah, rasanya aku belum siap untuk berpisah dengannya, entah kenapa, semakin dia melukaiku, semakin aku yakin untuk bertahan. Bertahan untuk pernikahan ini, bukan bertahan untuk mengharap ia mencintaiku juga sepertiku. Aku tersadar dari lamunanku ketika sebuah tangan mungil menyentuh kakiku. Segera ku sejajarkan tubuhku dengan gadis kecil berkepang dua dihadapanku ini. "Ante, Papa da di lam ya? (Tante Papa ada di dalam ya?)" tanya Hellina dengan wajah polosnya menatapku. Tersenyum, ku usap wajahnya yang lembut ini, "Iya sayang, Papa kamu ada di dalam". "Ina dak oleh asuk ya ante? (Lina enggak boleh masuk ya Tante?)" tanya Hellina lagi. "Bukan gak boleh, tapi Papa perlu waktu sama Mama kamu, kita pulang yuk, kita main barbie-barbiean lagi?" tanyaku. Hellina segera tersenyum antusias, "Mau ante, yo ita ulang! (Mau Tante, ayo kita pulang!)". "Oke, let's go!" ucapku tersenyum segera menggendong tubuh mungil ini. Sebenarnya lelah memang menggendong tubuh Hellina yang mungil ini, mungil begini tapi beratnya lumayan, apalagi ketika aku memakai heels seperti ini, aku merasa sedikit tidak nyaman menggunakannya. Aku dan Hellina tiba didepan rumah pukul 1 siang, gadis kecil ini sudah tertidur dipangkuanku, segera aku membayar taksi yang ku tumpangi ini dan keluar. Untung saja Hellina tidak terbangun ketika aku sudah sampai didepan pintu rumah. Ku rogoh tas sling bag coklat mudaku dan membuka kuncinya. Pintu terbuka. Segera aku menidurkan Hellina di box tidur di kamarnya. Aku harus merapikan rumah, tadi pagi aku tidak sempat berbenah karena sibuk menata makan siang dan memandikan Hellina yang rewel itu. Dia sangat sulit jika mandi, dia harus di iming-imingi ice cream dahulu. Meski begitu, aku menyayangi ke ponakanku itu. Walau bagaimanapun dia juga seperti anakku, lebih tepatnya anak tiriku. Baru 15 menit aku membersihkan rumah, Hellina menangis memanggil namaku, segera aku berlari menghampirinya. "Ante, yin bie.. (Tante main barbie)" ucap Hellina masih menangis. Ku peluk tubuhnya dan menciumi puncak kepalanya berulang-ulang, "Iya, yuk kita main, kita main barbie Elsa sama Rapunzel ya, tapi jangan nangis. Hellina akhirnya berhenti menangis, ku dudukkan ia di karpet berbulu lembut di ruang tamu. "Sebentar Tante ambilin barbienya ya, jangan nangis oke" ucap Nabila. Hellina mengangguk bersemangat. Segera ku tinggalkan dia menuju ruangan mainannya, ruangan iji penuh dengan mainan, mungkin Mbak Lisa dan Mas Andrew sudah menyiapkan mainan ini jauh sebelum Hellina lahir, makanya ruangani ni penuh dengan mainan. Aku kembali dengan dua barbie dan sepaket tas berisi pakaian, dan high heels dari barbie itu, "Nah, ini barbienya". "Yeyy" ucap Hellina menyambut mainannya. "Hellina mau yang mana? Elsa, atau Rapunzell?" tanyaku. "Sa (Elsa)" ucap Hellina mengambil barbie Elsa dan memeluk barbie itu. "Okey, Tante Rapunzell oke" ucapku. Aku dan Hellina sibuk bermain barbie hingga tak sadar waktu, melihat Hellina yang tertidur memeluk bonekanya, membuat mataku juga ikut meredup. ~ Andrew POV. Aku terbangun dari tidurku, ku pandangi wajah Lisa yang masih tetap tertidur. Ku usap wajahnya lembut. Ku lirik jam dinding dihadapanku. Pukul 17.03, sebaiknya aku pulang lebih dulu, Hellina pasti merindukan aku yang seharian ini tidak bermain dengannya. Aku segera bangun dari dudukku, dan mencium puncak kepala Lisa. "Aku pulang dulu cepat sembuh, Hellina dan aku kangen kamu" ucapku tersenyum kecut. Ku langkahkan kaki ku keluar dari rumah sakit, dan pikiran yang melayang entah kemana. Ku parkirkan mobilku di depan pintu rumah, dan segera aku mengetuk pintu utama rumah. Tok tok tok.. "Assalamu'alaikum Hellina" ucapku. "Hellina, ini Papa sayang" ucapku. Tak ada tanda-tanda orang di dalam rumah. "Nabila, Nab ini aku" ucapku sedikit kencang. Tak juga ada tanda pintu dibuka, aku segera mendorong pelan pintu setinggi 2 meter itu. Terbuka, ada rasa was-was dalam hatiku, takut terjadi apa-apa dirumah, apalagi Hellinaku juga ada disini. "Hel, Hellina" panggilku sedikit tak sabar, aku berjalan cepat menuju ruang tamu. Aku bernafas lega melihat Hellinaku tertidur dengan tenangnya, dan dipeluk oleh.. Nabila. Ia juga tertidur disamping Hellina. Hatiku terenyuh melihat adegan ini. Sungguh, ada rasa menyesal memperlakukan Nabila sejahat ini, setelah apa yang ia korbankan untuk Hellina. Aku tahu, pernikahan ini bukan permintaan Nabila, aku hanya memainkan peran jahatku, agar terlihat aku membencinya. Melukainya bukan hal yang ku inginkan, tapi mau bagaimana lagi, aku takut kehilangan Hellina. Segera ku usap wajah Hellina yang tertidur, aku tersenyum melihat ekspresi tidur Nabila yang tenang sekali, seperti bayi yang baru lahir. Tanpa sadar, aku menyentuh puncak kepalanya. "Maaf" ucapku pelan. Mata Nabila mengerjap, saat tanganku masih menyentuh puncak kepalanya. Segera ku tepiskan tanganku dan kembali mengusap wajah Hellina. Mata Nabila sendu namun seketika membelalak dan bangun dari posisinya. "Mas.." ucapnya pelan. Aku hanya mengangguk. "Astaga, maaf, aku ketiduran. Makan malamnya.." ucapannya terhenti. "Gak usah dipikirin, makan diluar juga gak apa-apa" ucapku singkat lalu menggendong tubuh mungil peri kecilku, meninggalkan Nabila yang masih mencerna ucapanku. Aku tersenyum, "Kamu sudah mempersembahkan yang cukup baik untuk aku dan Hellina sebagai bentuk pengabdian. Maka dari itu aku berikan dedikasi untukmu hari ini, setidaknya aku tidak dicap terlalu jahat sama kamu, Nabila.." gumamku pelan. Ku letakkan tubuh Hellina ke box ranjangnya, masih ada waktu satu jam untuk aku mandi dan melaksanakan ibadah. Segera aku keluar dari kamar, ku dapati Nabila berdiri didepan pintu kamar Hellina. Tangannya saling bertautan, ku rasa.. Dia sedang gelisah sekarang. "Kenapa?" tanyaku heran. "Apa, sebaiknya kamu dan Hellina makan dirumah saja?" tanyanya menatapku sendu. Aku mengernyitkan dahiku heran. Bukannya aku sudah katakan kalau aku mengajaknya makan diluar tadi?. "Gak usah siapin makanan, makan diluar kan juga bisa?" tanyaku. "Aku janji bikin makanan kesukaan kamu apa aja, asal jangan makan diluar sama Hellina. Kalau kalian makan diluar, aku makan sendirian" ucapnya tertunduk. ~BERSAMBUNG~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD