another baby

1890 Words
Kiara terbangun dengan kondisi rumah yang sepi, tidak seperti biasanya. Ia terbiasa dibangunkan rengekan Alex yang terdengar dari baby monitor, atau Mas Bara yang bangun terlebih dulu dan selalu menghujaninya dengan morning kisses di seluruh bagian wajah. Tempat tidur ukuran king size itu hanya ia tiduri sendiri. Mas Bara tidak ada di sebelahnya. Hari ini hari Sabtu, mestinya Mas Bara tidak pergi ke kantor. Lagipula, seingatnya Mas Bara tidak ada jadwal bertemu kolega atau rekan bisnis akhir pekan ini. Mengenakan dress rumahan favoritnya, Kiara bangkit dan berjalan menuju toilet. Setiap kali usia kandungannya menginjak 24 minggu, Kiara tidak ada pilihan lain selain mengenakan dress favoritnya itu atau baju Mas Bara. Pakaiannya yang lain terasa ketat di bagian perut, membuatnya tidak nyaman dan sulit bernapas. Untuk datang ke pesta ulang tahun perusahaan keluarga Tantono minggu lalu saja, Mas Bara harus meminta desainer merancangkan dress khusus untuk istrinya. Setelah buang air kecil, Kiara melihat ada flek dan cairan di pakaian dalamnya. Memang sudah mendekati due date. Kata dokter kandungannya, due date anak keduanya akan jatuh di tiga hari kedepan. Mengingat Alex yang lahir jauh dari perkiraan dokter, Kiara tidak terlalu mencemaskan flek dan cairan yang muncul. Bergegas ia mengganti pakaian dalamnya dan menuju dapur. Suami dan anaknya perlu makan. Pemandangan indah ia temukan di dapur. Suaminya sedang fokus menumpahkan s**u sapi ke dalam gelas, sementara putra mereka berada dalam gendongannya. d**a bidang Mas Bara memang menjadi sandaran favorit semua orang di rumah ini. Semenjak Alex lahir, Kiara memutuskan untuk mengabdikan diri seutuhnya pada keluarga. Rumah baru mereka kini memang tidak semegah rumah sebelumnya. Namun setidaknya, Kiara bisa menghandle rumah ini sendirian. Bahkan sejak kelahirannya, Alex sama sekali belum tersentuh tangan pengasuh lain selain Papa dan Mamanya. Berat memang mengurus balita yang sedang aktif-aktifnya dengan kondisinya yang hamil tua, namun Kiara menikmatinya. Tentu saja Mas Bara jauh lebih menikmatinya. Ini yang selama ini Mas Bara inginkan pada Kiara. "Selamat pagi, Abang Al," kata Kiara sambil mencium kening dan pipi tembam Alex. Alex sudah dibiasakan dipanggil Abang sejak masih bayi oleh Mas Bara. Kiara sempat protes, takut Alex tidak tahu bahwa namanya Alex dan hanya tahu namanya adalah Abang. Sebagai jalan tengah, mereka memutuskan memanggil Alex dengan panggilan Abang Alex atau Abang Al. "Adiknya nanti banyak, Ki. Harus dibiasakan," begitu alasan Mas Bara yang membuat Kiara memutar mata. "Selamat pagi juga, Papa," kali ini Kiara mencium pipi Mas Bara. Ia harus berjinjit untuk melakukannya. Mas Bara tersenyum dan membalas dengan ciuman di bibir. Alex yang terhimpit protes karena sedikit ruang. "Mama, mau Mama," celotehnya sambil tangannya meraih Kiara, meminta digendong. Di usianya yang masih 15 bulan, Alex sudah bisa mengucapkan beberapa kata seperti Mama, Papa, mau, ball, car, please, mamam, dan lain sebagainya. Salahkan Kiara yang tahu betul bagaimana menstimulasi anak agar cepat perkembangan motorik dan sensoriknya. Kiara mengambil Alex dari gendongan Mas Bara. Sempat ada khawatir di wajah Mas Bara, mengingat perut Kiara yang sudah sangat besar dan Alex yang semakin berat. Kiara mengangguk seakan meyakinkan bahwa mereka akan baik-baik saja. "Tadi dia kebangun pagi banget. Masih demam kayaknya, Ki," kata Mas Bara sambil menuang madu di atas panekuk buatannya. Kiara meraba kening dan leher Alex, mengecek suhu tubuhnya. Memang masih demam namun tidak ada gejala lain yang serius. Mungkin akan tumbuh gigi. Tetap saja Kiara merasa kasihan jika melihat Alex yang biasanya sangat aktif, sekarang menjadi lemas dan hanya bisa bermanja pada Papa Mamanya. "Kok aku tidak dibangunkan?" tanya Kiara. "Habis kelihatannya kamu capek banget karena semalam," jawab Mas Bara dengan senyum nakalnya. Semalam setelah berhasil menidurkan Alex, Mas Bara dan Kiara menghabiskan malam dengan intim. Entah sudah berapa kali mereka melakukannya dalam semalam, yang pasti s**********n Kiara masih cenat-cenut karenanya. "Nakal," kata Kiara. Kakinya menginjak kaki Mas Bara. Sebenarnya ia hendak mencubit lengan Mas Bara, namun kedua tangannya penuh karena menggendong Alex, memastikan tubuh Alex tidak menekan perutnya. "Tapi kamu sayang, kan?" goda Mas Bara yang menyuapinya dengan panekuk. Kiara hanya bisa tertawa sambil menikmati panekuk terenak yang pernah ia rasakan. Mas Bara hanya bisa memasak panekuk, dan ia melakukannya dengan baik. Jika akhir pekan seperti ini, jam makan selalu menjadi momen manis. Mas Bara menyuapi Kiara, sementara Kiara memastikan Alex menghabiskan makanan yang ada di hadapannya. Alex memang sudah dibiasakan makan sendiri sejak usia setahun. Tinggal didudukkan di high chair, sodorkan semangkuk makanan dan sendok biru favoritnya, Alex akan menghabiskannya dalam hitungan menit. "Kayaknya sudah mulai turun, Ki," kata Mas Bara mengelus perut buncit Kiara. "Tadi sudah muncul flek sih, Mas," balas Kiara. "Dibuat jalan sama aktivitas aja, Ki, biar cepat prosesnya," kata Mas Bara lagi yang ditanggapi anggukan dari Kiara. Seusai makan, Kiara bangkit dan mencuci piring serta membersihkan dapur. Rasanya sudah hal biasa baginya untuk mengurus rumah. Seperti bukan lagi tuntutan Mas Bara. Sebenarnya kontraksi sudah dirasakannya sejak Mas Bara mengelus perutnya tadi. Namun belum seberapa sakit, jadi ia memilih tidak memberitahu Mas Bara. Lagipula tidak ada persiapan khusus jika ia memberitahu Mas Bara. Untuk kelahiran kali ini, mereka tetap akan melakukannya di rumah, tanpa ada orang lain membantu. Hanya Kiara, Mas Bara, dan Alex. ___________ Alex baru saja tertidur setelah harus digendong bolak-balik dari taman belakang ke halaman depan. Balita seusianya memang sedang benci-bencinya tidur siang, ditambah giginya yang mau tumbuh membuat suasana hati Alex sedang tidak baik. Kontraksi yang dirasa Kiara semakin terasa karena Alex tidak mau digendong oleh Mas Bara. Jadilah Kiara menggendong Alex di sela-sela kontraksi yang kian intens. "Sebentar lagi aku harus membicarakan progres anak perusahaan yang terbaru lewat Skype, kalau ada apa-apa kamu langsung ke ruang kerja aku, ya," kata Mas Bara kemudian mengecup kening Kiara yang mengangguk sembari tersenyum. Di rumah baru mereka, ada satu kamar kosong yang disulap menjadi ruang kerja Mas Bara. Teleconference dan pekerjaan kantor yang bisa diselesaikan dari rumah, akan ia kerjakan di situ. Waktunya di rumah jadi jauh lebih banyak. Mainan Alex yang berserakan di ruang keluarga perlahan-lahan Kiara punguti. Ia harus berkali-kali berdiri dan berjongkok. Sesekali berhenti karena kontraksi menyerang. Sepertinya satu atau dua hari lagi anak kedua mereka akan lahir, Kiara bisa merasakan kepala bayinya yang sudah turun ke panggul. Kegiatan membereskan mainan ini mungkin bisa mempercepat kelahiran. Belajar dari pengalaman melahirkan Alex, Kiara bisa mengira sakit seperti apa yang akan ia rasakan sehingga tidak begitu terkejut. Bayi yang akan keluar dari rahimnya berukuran besar, beratnya mungkin 4 kilogram. Hal itu wajar karena gen keluarga Tantono. Ia bisa berhasil mengeluarkan Alex tanpa robekan di mulut vaginanya, begitupun dengan anak kedua dan seterusnya nanti. Ia akan baik-baik saja karena tubuh wanita diciptakan untuk ini. Lenguhan keluar dari bibir Kiara setelah menahan hasrat untuk mengejan saat kontraksi menyerang. Kian lama kian intens. Ia menanggalkan celana dalam yang sudah basah oleh cairan. Mas Bara harus ia beri tahu kalau sepertinya anaknya ingin lahir hari ini juga. Belum sempat ia masuk ke ruang kerjanya, Mas Bara sudah menghampiri Kiara yang sedang merebahkan badan di sofa, menunggu kontraksi yang baru saja menyerang untuk berakhir. "Boleh tolong cek pembukaanku, Mas? Rasanya tidak lama lagi," rintih Kiara. Mas Bara mengecek pembukaannya layaknya seorang profesional. Tangan kanannya sibuk mengecek, sementara tangan kirinya sibuk mengelus perut Kiara yang kian turun. "Tujuh, Ki. Sudah lama ya kontraksinya? Kok tidak bilang?" tanya Mas Bara sambil melepaskan handscoon yang digunakannya. Belum sempat Kiara menjawab, sebuah kontraksi menyerangnya lagi. Mas Bara sebenarnya tidak butuh jawaban Kiara, sebab ia sudah tahu sejak pagi tadi dari ekspresi wajah Kiara. Dengan bantuan Mas Bara, Kiara bangkit berdiri, mencoba menghilangkan sakit dengan berjalan. Tangisan Alex terdengar dari kamarnya, membuat Mas Bara bergegas menghampiri. Alex sudah tertidur tiga jam. Sudah pukul tiga sore. Itu tandanya ia sudah kontraksi selama hampir delapan jam. "Mau Mama, Papa. Mau Mama," rengek Alex dalam gendongan Mas Bara yang mencoba menenangkan Alex. Jika baru bangun tidur memang Alex selalu mencari-cari Mamanya. Kiara tidak bisa diam saja melihat putranya menangis meminta untuk ia gendong. Dengan langkah perlahan, ia menghampiri Mas Bara dan mengambil Alex dari gendongannya. "Halo, Abang Alex, anak ganteng Mama. Ini Mama," ucap Kiara. Punggung kecil putra dalam pelukannya itu ia tepuk-tepuk kecil. Seiring redanya tangis putranya, kontraksi itu datang menyerang lebih hebat lagi. Tidak mungkin untuknya berteriak, ada Alex di gendongannya. Ia mengambil dan membuang napas keras-keras, mencoba menghilangkan sakit dengan menggoyangkan pinggul ke kanan dan kiri. Mas Bara tahu Kiara sedang kontraksi, punggung Kiara dipijatnya pelan, mencoba memberi efek relaksasi. Tidak lama setelah Alex sudah tenang dalam pelukan Kiara, air ketubannya pecah. Dengan sigap Mas Bara mengambil Alex dari gendongan Kiara, mendudukkannya di sofa ruang keluarga. Di lengan kursi sudah Kiara siapkan handuk dan kain untuk persiapan kelahirannya jadi Mas Bara tidak perlu jauh-jauh mengambil handuk untuk menutup air ketuban yang pecah. Lengan Mas Bara diremas Kiara. Ia ingin berteriak karena sakit namun ia tahan sebab ada Alex yang tidak harus tahu Mamanya kesakitan. Mas Bara tidak henti-hentinya menciumi Kiara. "Aku suka melihatmu begini, Ki. Menahan teriak karena takut membuat anakku takut, sementara anakku yang lain sedang mencoba keluar lewat lubangmu yang sempit. Aku makin cinta, Ki," bisik Mas Bara di telinga Kiara. Kiara duduk di sofa, menyandarkan punggungnya. Mas Bara yang berjongkok di lantai bisa melihat area kewanitaan Kiara. Ada rasa bangga dalam benaknya. Perempuan di hadapannya merintih kesakitan karenanya dan mau melakukan hal yang sama berkali-kali untuknya. "Mau aku cek, Ki?" tanya Mas Bara yang disambut anggukan mantap Kiara. Mas Bara tahu Kiara sudah sangat ingin mengejan. "Sudah 10, Ki. Mau posisi begini saja?" tanya Mas Bara lagi sambil melepas dan membuang handscoon ke plastik kecil di sampingnya. Kiara mengangguk mengiyakan. Mas Bara mengambil bantal sofa dan menumpukkan di belakang Kiara, memberi punggung Kiara penyangga agar tidak lelah. Jam menonton televisi Alex sudah selesai jam 10 tadi, namun Mas Bara memilih menyalakan televisi dan memutar kartun kesukaan Alex sebagai distraksi. Menyambut kontraksi yang baru datang, Kiara mengejan keras. Berusaha untuk tidak membuat suara sedikitpun agar Alex tidak bingung atau takut. Mas Bara siap sedia berjongkok di bawahnya untuk menangkap bayi mereka. Kiara terengah-engah. Sudah berulang kali ia mengejan namun kepala bayinya tak kunjung keluar. Mas Bara mengulurkan tangan kanan untuk menggenggam tangan Kiara, tangan kirinya mengelus perut Kiara. Ia bisa melihat tonjolan yang dibentuk kepala bayinya di area intim Kiara. Ukurannya memang besar sehingga harus ada usaha ekstra untuk mengeluarkannya dari lubang kecil milik Kiara. Kiara mengejan lagi dan lagi. Berulang kali ia mengejan sampai kepala bayi berhasil menyembul keluar. Ingin teriak rasanya sewaktu kepala besar bayi itu melebarkan lubang sempitnya. Jika tidak ada Alex yang sedang fokus menonton televisi di sampingnya, tentu Kiara sudah menjerit dari tadi. "Ahh.." lenguhan keluar dari mulut Kiara tatkala seluruh bagian kepala berhasil keluar dari lubangnya. Mas Bara yang menyambut, mengelus-elus kepala bayi mereka. Senyum Mas Bara membuat Kiara semakin bersemangat. Beberapa kali mengejan, pundak dan seluruh tubuh bayi mereka berhasil keluar. Sama halnya dengan Alex, bayi kedua mereka juga lahir langsung ditangkap oleh Papanya. "Abang Alex, coba lihat Papa lagi gendong siapa?" kata Mas Bara, menunjukkan pada Alex adik barunya yang sedang menangis kencang. Tangan Kiara membantu Mas Bara membersihkan bekas darah dan cairan yang menempel di tubuh bayi merah mereka. "By, Papa. By!" seru Alex yang mencoba menyentuh hidung adiknya dengan jari telunjuk gendutnya. "Iya, Abang. Ini baby," ucap Kiara mengelus rambut Alex. Tangan Kiara bergerak menyibak paha bayi keduanya untuk melihat jenis kelaminnya. "Abang Al, ini namanya adik Andrew," kata Mas Bara. Alex tidak terlalu peduli nama adiknya, yang jelas ia masih sibuk bermain dengan jemari kecil adiknya. Rasa sakit yang Kiara rasakan tidak ada apa-apanya setelah melihat senyum Mas Bara dan dua putranya. "Mungkin kita harus menunggu Andy umur dua tahun dulu baru memberinya adik, ya, Ki. Kasihan juga lihat kamu." Ketika Mas Bara mengatakan itu, Kiara senang bukan kepalang. Harusnya ia tahu bahwa Mas Bara tidak bersungguh-sungguh. Andy baru saja berulang tahun yang pertama, dan perut Kiara sudah terisi benih Tantono lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD