I love you

2178 Words
Pekerjaan rumah sudah Kiara selesaikan. Ia telah membersihkan dapur, menyiram tanaman di taman belakang dan halaman depan, merapikan ruang bermain anak-anak, mengganti sprei di kamar anak-anak dan kamar utama, memindahkan pakaian bersih ke dalam walk-in closet milik anak-anak dan miliknya sendiri serta Mas Bara. Perutnya yang sudah mulai membesar cukup membuat tenaganya terkuras. Posisi perutnya menyulitkan pergerakannya. Punggungnya juga mulai terasa sakit karena beban perut besarnya. Setidaknya hari ini Kiara hanya perlu membereskan rumah, tidak lagi harus menuruti permainan kejar-kejaran dengan dua balita aktif kesangannya. Alex dan Andy diantar Papanya ke rumah Kakek dan Nenek, orang tua Kiara, tadi pagi. Kebetulan kantor pusat perusahaan keluarga Tantono berada di kompleks yang sama dengan rumah orang tuanya, sekalian saja mereka berangkat bersama dengan Mas Bara berangkat kerja. Siang nanti akan ada perayaan ulang tahun pernikahan Papi dan Mami Kiara yang ke-31. Rencananya, Alex dan Andy akan menghabiskan waktu dengan Kakek dan Nenek sampai acara tiba. Bukan main cintanya Papi dan Mami pada kedua cucunya. Maklum saja, Kiara dan Mas Bara adalah sama-sama anak tunggal, dan itu artinya cucu Papi Mami Kiara dan Ayah Ibu Mas Bara hanyalah anak-anak dari mereka saja. Sepulang dari kantor nanti, Mas Bara rencananya akan menjemput Kiara terlebih dahulu sebelum berangkat ke venue tempat acara berlangsung. Rumah mereka berada di tengah-tengah antara kantor dan venue. Lagipula akan repot sendiri jika Kiara membawa mobil sedan miliknya. "Setengah jam lagi aku jemput, ya, Ki. Jangan lama-lama dandannya," kata Mas Bara lewat sambungan telepon. Kiara tertawa geli mendengar Mas Bara mengomentari dirinya yang sering lama berdandan. Sebenarnya bukan lama bersolek wajah, lebih ke lama memilih baju untuk dikenakan. Setelah kehamilan keduanya dengan Andy, Mas Bara mengajak Kiara ke maternity store. Beraneka macam dress dan outfit ibu hamil diborongnya, lengkap dengan celana jeans khusus. Alasannya adalah karena Kiara seringkali menolak diajak jalan-jalan atau sekedar makan di luar rumah. Ia tidak punya banyak koleksi baju hamil, padahal ia akan selalu hamil. "Iya, Ganteng," jawab Kiara. Mas Bara selalu merasa malu jika ada yang memujinya ganteng padahal sejak dulu ia selalu digandrungi banyak perempuan sampai Kiara mati rasa soal cemburu. Pastilah kini pipi Mas Bara memerah. "Curang, ya, ngegodain aku waktu kita lagi jauh. Jadi susah mau kiss attack-nya," kata Mas Bara diselingi tawa. Kiss attack adalah salah satu cara Mas Bara menghibur sekaligus menghabiskan tenaga anak-anak agar cepat lelah dan tertidur. Mas Bara akan mengejar dan menyerang anak-anak dengan ciuman di sana-sini. Mulai dari rambut, wajah, perut, bahkan sampai telapak kaki. Anak-anak menyukainya, dan jika Mas Bara sedang nakal, Kiara yang juga dapat serangan pun ikut menyukainya. "Oh ya, Ki. Nanti aku kayaknya tidak usah ganti pakaian. Jadi, kamu saja ya yang mencocokkan sama pakaianku sekarang. Jasku warna hitam," lanjut Mas Bara. "Kemejanya?" tanya Kiara. "Lupa, ya? Padahal tadi kamu yang pasangin kancing," sahut Mas Bara. "Maaf, Ganteng, tapi kamu tidak spesial. Ada tiga laki-laki yang hari ini aku pasangin kancing dan baju," kata Kiara. Senyuman tersungging di pipinya mengingat tiga laki-laki tampan yang mewarnai hidupnya. "Warna putih, Kiara. Dan untuk dasi, warna merah marun," kata Mas Bara. "Iya, tahu kok, kan tadi aku yang pasangin," balas Kiara sembari tertawa. "Kamu ada dress merah, kan, Ki? Kayaknya aku pernah menemani kamu beli," tanya Mas Bara. "Seingatku juga ada, Mas. Semoga saja masih muat," jawab Kiara. "Muat, lah. Perut kamu belum besar banget, masih 25 minggu," kata Mas Bara. "Ini aku sudah di basement, ambil mobil. Tunggu aku, ya," lanjutnya sebelum telepon berakhir. ________ "Wow, Ki," komentar Mas Bara sewaktu Kiara memasuki mobil. Mas Bara menunggu Kiara di depan rumah, karena mereka sudah terlambat sepuluh menit dan akan makin terlambat jika Mas Bara masuk ke dalam rumah. "Iya, aku gendut. Dress merahku hanya ini. Cepat berangkat, nanti Mami marah," kata Kiara. "Iya, aku yang ngegendutin," sahut Mas Bara yang kemudian memberi ciuman singkat di bibir Kiara sebelum melaju ke jalanan. Kiara mengenakan satu-satunya dress merah yang ia punya. Ia membelinya sewaktu hamil Alex dengan usia kandungan 3 bulan untuk menghadiri pesta pernikahan salah seorang teman. Kiara suka detail dressnya. Dress di atas lutut itu punya renda-renda lucu dan menggemaskan. Hanya saja rasanya terlalu mengekspos perut buncitnya. Setiba di venue, sudah banyak tamu undangan yang hadir. Kebanyakan adalah kolega Papi-Mami dan keluarga besar. Mas Bara terlihat sangat jangkung jika berada di sekeliling keluarga besar Kiara. Bahkan Papinya hanya setinggi 170 cm, 10 cm lebih pendek dibanding Mas Bara. Setelah Papi dan Mami tahu putri dan menantunya sudah tiba, acara inti segera dimulai. Tidak ada yang mewah, hanya Papi dan Mami meniup lilin di atas kue ditemani anak, menantu, dan cucu-cucu serta menyanyi dan berdansa bersama tamu undangan lainnya. "Untung aku pakai high heels, Mas," kata Kiara yang bersandar pada d**a Mas Bara. Secara bersamaan mereka bergerak ke kiri dan kanan mengikuti irama lagu. Alex dan Andy sibuk memakan kue dengan sepupu-sepupu jauh mereka. "Pendek, sih," sahut Mas Bara disambut tawa kecil dari Kiara. Tidak sampai lama mereka menikmati romansa berdua, sebab Alex mulai ribut dengan anak sepupu Kiara yang seumuran dengannya. Sebelum berakhir pertengkaran dan salah satu ada yang menangis, Mas Bara sigap mendatangi mereka, meninggalkan Kiara sendiri. Kiara berjalan menuju meja undangan, bermaksud menyapa dan bercengkerama dengan para tamu. "Aduh, Kiara. Tetap cantik ya, walau sudah jadi Mama anak dua," kata seorang tante. "Eh habis ini tiga, ya," tambahnya. Kiara hanya menanggapi dengan anggukan, tangannya mengelus perut buncitnya yang terpampang nyata di balik kain mini dressnya. "Tiap kali kita ketemu, pasti Kiara lagi hamil deh," celetuk tante lainnya. "Iya nih, seenak itu kali ya hamil anak dari si Bara," tambah yang lain. "Lagian tidak perlu kerja, kan, Ki. Duit Bara sudah banyak, percuma kamu dulu jungkir balik sekolah kedokteran." "Kerja dong, Mbak. Kerjaan Kiara sekarang jadi mesin anak sama teman ranjang setianya si Bara." "Iya, produksi lancar terus, ya, Ki." Kiara hanya diam dan tersenyum. Tangannya masih mengelus perut buncitnya. "Ya sudah, tante sekalian. Saya mau ke anak-anak dulu," pamit Kiara. Sebenarnya pergi menuju ke anak-anak hanyalah sekadar alasan yang dibuat Kiara. Ia tak sungguh pergi, melainkan menyelinap di antara keramaian tamu lainnya. Telinganya masih menangkap apa yang dikatakan keluarga besar serta kolega Papi dan Mami tentangnya. "Padahal dulu Kiara cantik banget, pintar lagi." "Iya, Jeng, sekarang badannya jadi jelek. Gelar dokternya jadi nganggur." "Perut sudah gede begitu, masih saja pakai mini dress. Mau pamer perut isi bayi Tantono? Payudaranya juga jadi gede dan tidak kencang lagi, Jeng." "Saya dengar dari mantan supir pribadinya Bara, katanya Kiara memang tidak pernah melahirkan dibantu dokter atau bidan. Padahal si Alex sama Andy waktu lahir beratnya sekitar 4 kilogram." "Kasihan ya, Kiara. Pasti perutnya penuh stretch mark. Jadi alat pemuas nafsu si Bara, disuruh jadi babysitter anak-anaknya juga. Duit banyak tapi bayar orang buat bantu istri saja tidak mau." Panas kuping Kiara mendengar mereka yang tak kunjung berhenti membicarakannya. Ia berlari menuju toilet sekencang yang bisa dilakukannya dengan perut besarnya. Airmatanya tak mampu ia tahan lagi. Di mata keluarga besarnya, Mas Bara tersudutkan. Seakan-akan selama ini Mas Bara mengekangnya berlebih. Ia mencintai Mas Bara dan ia tidak suka Mas Bara dianggap suami tidak becus. Sebenarnya Kiara marah karena apa yang dikatakan mereka ada benarnya. Kiara sendiri merasa ia hanya sebagai pemuas nafsu Mas Bara di urusan ranjang, tugasnya hanya berkali-kali hamil, mengurus rumah, dan sudah. Kiara marah karena ia sendiri merasa diri tidak berguna karena itu. Pukul tujuh malam, acara berakhir. Sepanjang perjalanan Kiara hanya diam. Biasanya Kiara suka mengajak Mas Bara mengobrol tentang banyak hal sewaktu di perjalanan. Kali ini tidak. Perjalanan pulang ke rumah hanya diisi suara dari MP3 mobil. Celoteh dua balita di kursi belakang itu tidak ada. Dua-duanya tepar. Kiara menggendong Andy yang masih lelap menuju kamar tidurnya, sementara Mas Bara menggendong Alex. Punggung Kiara rasanya sakit karena berdiri di atas high heels terlalu lama. Dengan satu tangan menyangga punggung dan tangan lainnya mengelus perut yang kram karena kelelahan, Kiara menyiapkan baju untuk anak-anaknya agar bisa tidur lebih lelap. Tanpa disuruh, Mas Bara membantunya mengganti pakaian anak-anak. Setelah memberi ciuman selamat malam di kening anak-anaknya, Kiara bersiap-siap untuk tidur. Dilepasnya dress merah yang ia kenakan, diganti dengan kaos milik Mas Bara dan celana jogger. Posisi bantal dan guling sudah ditata sedemikian rupa oleh Kiara agar nyaman tidurnya. "Kiara, kamu marah, ya?" tanya Mas Bara memeluknya dari belakang. Kiara bisa merasakan badan Mas Bara yang tidak mengenakan baju. Mas Bara tidak bisa tidur mengenakan atasan. "Terus kenapa, hm?" tanya Mas Bara lagi setelah mendapat balasan gelengan dari Kiara. Bukan lagi gelengan atau kalimat yang menjadi balasan untuk Mas Bara. Kali ini yang ia dapat justru isak tangis Kiara. "Ada yang sakit? Bayi kita nendang kencang? Perut kamu masih kram? Kaki kamu pegal?" cecar Mas Bara dengan banyak pertanyaan. Kiara masih menangis terisak, membuat Mas Bara mempererat pelukannya. "Aku jelek, Mas. Aku gendut. Tidak cantik lagi. Aku tidak ada gunanya. Aku hanya bisa hamil terus, Mas. Aku tidak berguna. Aku bukan istri yang becus, aku bukan Mama yang baik, Mas," kata Kiara di sela-sela tangisnya. Mas Bara tahu ada yang tidak beres di pesta ulang tahun pernikahan mertuanya tadi. Semenjak pulang dari sana, Kiara menjadi berbeda. Mas Bara tidak tahu harus merespon apa, lagipula Kiara berhak meluapkan emosinya. Jadi, Mas Bara hanya memeluk Kiara yang masih menangis dengan lebih erat lagi. Pukul lima pagi, Mas Bara bangun menemukan Kiara sudah tidak lagi di pelukannya. Ia mendengar suara flush dari toilet di kamar mereka. Pintu toilet ia buka pelan-pelan, ia menemukan Kiara yang sedang menggelung rambutnya, memunggungi Mas Bara. Perlahan Mas Bara berjalan menghampiri Kiara yang masih memunggunginya. Sebuah ciuman ia daratkan di pipi Kiara. Senyum manis diberikan Kiara sebagai balasan. Matanya masih sembab karena tangisan semalam, membuat hati Mas Bara teriris. "Ikut, yuk," ajak Mas Bara. Ia tak butuh jawaban Kiara. Ditariknya lengan Kiara, membawa Kiara keluar dari toilet. Kedua tangan Kiara diarahkannya ke atas. Kiara bingung bukan main. "Kamu diam dan menurut saja, ya," perintah Mas Bara. Kiara menurutinya. Tangan Mas Bara bergerak melepas kaos miliknya serta celana jogger yang dipakai Kiara. Tidak berhenti di situ saja, bra serta celana dalam Kiara ikut dilucuti oleh Mas Bara. Kiara makin dibuat bingung. Jika hanya meminta seks, Mas Bara selalu tinggal bilang dan Kiara menyanggupi. "Satu-satu, ya, Ki. Aku ngomong jangan dibantah, jangan dipotong," kata Mas Bara, menurunkan kedua tangan Kiara. Mas Bara menyentuh puncak kepala Kiara, mengelus rambutnya. "Ini spot favoritku kalau mau cium kamu, makanya aku suka kamu lebih pendek dari aku." Tangan Mas Bara berlanjut pada daun telinga Kiara. "Kalau tidak ada dua telinga ini yang siap sedia, aku tidak tahu lagi harus bercerita panjang lebar tentang semua hal ke siapa." Tangannya kemudian menunjuk mata Kiara. "Kalau tidak ada mereka, aku akan sering bingung pilih warna dasi yang cocok." Selanjutnya hidung Kiara. "Kalau tidak ada ini, aku juga akan bingung setengah mati memilih parfum yang pas. Semua wangi sepertinya sama saja." Berikutnya mulut Kiara. "Kalau ini, apapun kalimat yang keluar dari sini, aku tidak akan pernah bosan dengerin. Sering ngangenin." Mas Bara kemudian menyentuh kening, pipi, dan bibir. "Semua tadi juga spot favorit aku kalo mau kiss attack." Tangan Mas Bara berlanjut menyentuh d**a Kiara. "Semua laki-laki di rumah ini sebenarnya lemah. Kalau lagi moodnya jelek, larinya ya kesini. Mendengar degup jantung kamu selalu relaxing, Ki." Berikutnya p******a Kiara. "Dari sini, kamu bisa memberi anak-anakku apa yang mereka paling butuhkan yang tidak bisa aku beri. Bekal mereka bisa sehat, kuat, dan pintar kamu maksimalin dari sini untuk mereka." Tangan Mas Bara bergerak ke perut buncit Kiara. Mas Bara kini berlutut, jemarinya mengusap satu persatu stretch mark yang ada. "Nah kalau di sini, anak-anakku pernah merasakan menjadi satu sama kamu. Bukti cinta kita semua kamu jaga dari sini. Stretch mark ini, mereka saksi betapa kerennya kamu menjaga dan membesarkan mereka sampai mereka bisa hidup sebagai individu utuh sendiri." Berikutnya organ kewanitaan Kiara yang Mas Bara tunjuk. "Dari sini aku tahu betapa kamu benar-benar menyerahkan diri kamu untuk keluarga kita. Untuk aku, untuk anak-anak kita. Perjuangan kamu selalu membuat aku makin mencintaimu, Ki." Tangan Mas Bara menyentuh kaki Kiara dari atas sampai telapak. "Kaki ini sudah yang paling kuat yang diberikan pada manusia, Ki. Harus siap sedia mengejar anak-anakku yang super aktif itu, juga menumpu tubuhmu sewaktu menggendong mereka karena aku yakin semua suka berada dalam gendonganmu." Kemudian tangan Mas Bara menyentuh telapak tangan Kiara, membawanya pada bibir Mas Bara. Dikecupnya punggung tangan Kiara. "Dan dari sini, anak-anakku bisa merasakan lembutnya sentuhan, hangatnya pelukan, nikmatnya dekapan, dan lezatnya masakan. Papanya juga suka sih." Mas Bara kembali berdiri. Entah sejak kapan Kiara sudah menangis sesenggukan, Mas Bara tidak tahu pasti. "Aku mencintai kamu, Ki. Aku selalu suka melihat kamu mengurus dan mengasihi aku dan anak-anakku. Aku suka melihat kamu mengandung anakku, penuh akan bukti cinta kita. Aku menikmati tiap detik bersama kamu. Aku menikmati tiap saat aku menjadi saksi perjuangan dan pengorbanan penuh kasih sayang kamu untuk kita." "Kamu cantik, Ki. Hamil atau tidak sama cantiknya. Itu sebabnya anak-anakku ganteng, ya walaupun Papanya juga ganteng sih. Kamu pintar, Ki. Aku bangga anak-anakku punya Mama yang lulusan terbaik Fakultas Kedokteran ternama. Aku senang anak-anakku dibesarkan di tangan lulusan spesialis dokter anak terbaik di kampusnya. Terima kasih, Ki." Tangis Kiara makin pecah. Dipeluknya Mas Bara seerat yang ia bisa dengan perut buncit menghalangi. "Kamu bisa memilih melakukan apapun yang kamu mau, kali ini aku berjanji tidak akan melarang dan akan mendukung seratus persen," kata Mas Bara. "Benar begitu?" tanya Kiara. "Iya," jawab Mas Bara. "Aku ingin terus mengandung anakmu, Mas. Merawat dan membesarkan mereka. Aku ingin terus menjadi orang yang menunggumu pulang dari hari yang melelahkan, menjadi orang yang kamu tuju untuk apapun itu," ucap Kiara. "Aku menikmati menjadi ibu dari anak-anakku, Mas. Asalkan Papanya tetap kamu," lanjut Kiara. Mas Bara tertawa kecil sebelum menunduk dan menghadiahi Kiara kecupan manis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD