away

2185 Words
Mas Bara duduk di tepi tempat tidur besar di kamarnya dan Kiara. Ia menyaksikan Kiara memasukkan pakaian dan perlengkapan sehari-harinya. Perutnya makin besar. Usia kandungannya sudah hampir 36 minggu dan dia masih ngotot ingin pergi ke luar kota. "Kamu yakin berangkat, Ki?" tanya Mas Bara. Melihat Kiara packing barang selalu menggemaskan. Ia bisa sibuk mondar-mandir kesana kemari, memastikan tidak ada yang tertinggal. Seringkali Mas Bara meminta tolong Kiara untuk membantunya packing, karena melihat Kiara berpikir serius sampai kedua alisnya bertaut selalu membuat Mas Bara gemas. "Iya, Mas. Tidak sampai dua hari. Malam nanti berangkat dan besok malam aku pulang," jawab Kiara yang baru keluar dari toilet membawa sekotak peralatan mandi. Tangan kanannya masih menyangga punggung yang makin sakit, apalagi dibuat berjalan. "Tidak bisa, ya kalau Wanda yang ke sini?" tanya Mas Bara lagi. Kiara berhenti, ditatapnya mata Mas Bara. Jika sedang berbicara serius dengan Mas Bara, Kiara selalu memintanya untuk duduk agar Kiara tidak perlu mendongak jika ingin menatap mata Mas Bara. "Mas," ucap Kiara lirih. Tangan kanannya tidak lagi menyangga punggungnya, kali ini kedua tangannya bergerak mengusap rambut Mas Bara. Trik ini selalu berhasil jika ingin merayu Mas Bara. "Aku sudah lama tidak bertemu Wanda, terakhir bertemu sewaktu dia datang ke pernikahan kita. Lagipula Wanda adik Mas Bian, teman kamu SMA, tidak akan macam-macam. Aku akan baik-baik saja. Wanda sudah bilang ke kamu kalau akan mengantar-jemput aku ke Bandara setiba di sana," jelas Kiara panjang lebar. "Iya, aku tahu. Tapi.." "Mas, tidak setiap hari Wanda pulang ke Indonesia. Kalau bukan karena seminar internasional yang dia datangi, mungkin dia tidak akan pulang ke sini. Boleh, ya?" rayu Kiara yang kini menghujani kening Mas Bara dengan ciuman. Kiara bisa mendengar dengusan Mas Bara yang mulai menyerah berdebat dengannya. "Boleh saja sebenarnya. Tapi.." "Tapi apalagi, Mas?" "Kalau aku kangen, gimana?" Kiara tertawa mendengar pertanyaan Mas Bara. Semenjak memutuskan untuk menikah, Kiara memang belum pernah bepergian tanpa ditemani Mas Bara. Padahal Mas Bara sangat sering meninggalkannya dan anak-anak di rumah untuk pertemuan atau acara kantor di luar kota, namun tidak pernah Kiara protes atau merajuk karena rindu. "Waktu kamu pergi, aku tidak pernah sampai sedih gini," ledek Kiara. "Aku pergi sendirian, ya. Kamu pergi bawa anak aku. Kangennya jadi double," sahut Mas Bara. Tawa Kiara kian lepas. Mas Bara yang ditakuti banyak orang di kantornya itu bisa merajuk gemas begini ternyata. Tangan Kiara masih seru memainkan rambut Mas Bara karena gemas. "Kalau kaki kamu pegal nanti, siapa yang memijat? Siapa yang mengoleskan krim stretch mark? Siapa yang membuatkan s**u hangat?" tanya Mas Bara mencecar Kiara yang tertawa geli. "Aku bisa minta tolong Wanda untuk pijat kaki. Aku bisa mengoleskan krim sendiri, bisa membuat s**u sendiri juga, Mas Ganteng," jawab Kiara lembut. Suaminya hanya terlalu sayang dan protektif. "Kamu yakin anakku akan bisa tidur tanpa dengar suara Papanya?" tanya Mas Bara lagi. Tangan Mas Bara bergerak mengelus perut Kiara yang makin membesar saja. "Ya sudah, sekarang ngobrolnya dibanyakin deh," kata Kiara. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Mas Bara baru saja. Ketiga anaknya, Alex, Andy, dan yang masih di dalam kandungan, semua selalu tenang jika sudah diajak mengobrol Mas Bara. Pernah sewaktu hamil dengan Alex, perut Kiara terus menerus ditendangi sampai ia terjaga dari tidurnya. Mas Bara hanya perlu mengelus perut Kiara sambil mengajak bicara perutnya, dan Alex kecil bisa tenang. Hal itu terbawa sampai kini, anak-anaknya lebih senang dibacakan buku dongeng oleh Papanya dibanding Kiara. Padahal Papanya tidak bisa mengganti-ganti karakter suara seperti yang Kiara lakukan jika membacakan mereka buku. Selalu dengan nada yang datar. Resleting koper kecil yang akan dibawa Kiara sudah ia tutup. Hari Minggu ini menjadi hari terakhirnya berada di rumah sebelum menikmati sehari semalam bebas dari kegiatan rumah tangga. "Papa belum kamu tinggal ikut Mama saja sudah kangen, Nak," kata Mas Bara memulai obrolan dengan anak yang dikandung Kiara. Geli sebenarnya melihat Mas Bara seperti ini, tapi Kiara suka. Tidak semua istri dianugerahi suami yang tulus dan penyayang. "Jangan tendangin Mama kencang-kencang, ya. Kasihan Mama pergi sendiri, Papa harus kerja dan menemani Abang Al sama Abang Andy." "Jangan nakal ke Mama, yang boleh nakalin Mama hanya Papa." Kiara tertawa geli mendengarnya. Kemudian Mas Bara menghujani perut Kiara dengan ciuman manis. Anaknya belum lahir namun sudah sering dapat kiss attack dari Papanya. Pesan singkat dikirimkan Kiara untuk Mas Bara. To: Sayang Pagi, Ganteng. Sudah wangi semua, kan? Jangan lupa Alex hari ini ada jadwal sekolah, Mas. Masuk jam 10. Kiara sudah mendarat pukul 10 malam kemarin. Lama penerbangan dari kota mereka ke kota tempat seminar Wanda hanya dua jam. Semalam, Kiara di antar ke bandara oleh Mas Bara serta anak-anak. Sekarang pukul 7 pagi, mestinya Mas Bara sudah bangun. Mas Bara paling tidak bisa bangun siang, tubuhnya sudah diatur otomatis untuk bangun maksimal jam 6 pagi. From: Sayang Pagi juga, Manis. Serumah hanya aku nih yang sudah wangi. Jangankan wangi, Ki, anak-anak bangun saja belum. Mana tega mau bangunin. Sayang mengirimkan foto Benar dugaan Kiara. Mas Bara pasti sudah bangun, dan sudah pasti akan mengalah jika anak-anak sulit dibangunkan pagi. Berkali-kali Mas Bara luluh jika melihat anak-anak merengek minta sesuatu atau menangis jatuh karena ulah mereka sendiri. Manis memang, tapi kesabaran dan kebaikan Mas Bara itu akan mempertegas kesan bahwa Mama adalah orang tua yang jahat dan Papa adalah orang tua yang baik di mata anak-anak. To: Sayang Gimana tidak nyenyak, tidurnya di kamar Papa sih. Pasti semalam tidurnya telat, banyak bercanda dan nonton kartun. Foto manis yang dikirim Mas Bara menunjukkan anak-anak yang tidur memenuhi tempat tidur kamar utama. Biasanya kegiatan tidur di kamar Papa dan Mama hanya berlaku akhir pekan saja, dan jam tidur tetap dimulai pukul 9 malam. Bukan lagi pesan singkat yang menjadi balasan pesan yang dikirim Kiara, namun sebuah panggilan dari Mas Bara yang ia terima. "Kok kamu tahu? Marah, ya, Ki?" tanya Mas Bara dari ujung telepon. Kiara tertawa geli mendengar suara cemas dari Mas Bara. "Maaf, ya, Ki. Kita bertiga sama-sama susah tidur semalam," kata Mas Bara. "Kok bisa?" tanya Kiara sedikit was-was takut terjadi sesuatu pada anak-anak, atau Mas Bara hanya akan mengombalinya seperti biasa. "Mereka tidak dapat kecupan selamat malam dari Mama, aku juga susah tidur karena tidak ada kamu untuk aku peluk," jawab Mas Bara. "Pak Bara Tantono, gombalnya nanti saja, masih pagi!" teriakan Wanda membuat Kiara tertawa kencang. Telepon tadi memang sengaja Kiara atur mode loudspeaker. Wanda selalu tidak percaya sewaktu Kiara mengatakan bahwa Mas Bara sangat jago merayu gombal. Ia sudah menduga Mas Bara akan mengatakan gombalan andalannya itu. Setiap kali mereka berjauhan, alasan Mas Bara jika susah tidur selalu itu. Seperti tidak ada alasan lain. Akhirnya itu menjadi bukti agar Wanda percaya. "Dasar Wanda, ganggu saja," balas Mas Bara. "Sana deh, kalian senang-senang berdua. Jangan terlalu capek, ya, Ki," tambahnya. "Oh, iya, Mas. Sepertinya anak-anak harus kamu bangunkan paksa deh. Takutnya mereka terlambat makan malah makin cranky seharian, kamu juga nanti terlambat datang ke kantor," ujar Kiara memberi saran. Saat sedang liburan saja, Kiara masih memikirkan Mas Bara dan anak-anaknya. Betapa Mas Bara beruntung memiliki Kiara. "Tapi kalau dibangunkan paksa tetap cranky nanti, Ki," sanggah Mas Bara. "Kamu usap-usap punggung dan pipi mereka sama panggil namanya pelan-pelan. Biasanya tidak akan cranky, kalaupun iya paling hanya sebentar," kata Kiara. Setelah mengiyakan saran Kiara, Mas Bara menutup telepon. Sebenarnya Mas Bara cukup handal dalam merawat anak-anak mulai dari memandikan, mengganti popok, menyiapkan sarapan, membuatkan s**u, sampai menidurkan mereka. Hanya saja ini kali pertama Mas Bara melakukan kesemuanya sendiri tanpa ada Kiara yang menunjukkan mana yang benar dan salah. "Ternyata Bang Bara cinta mati ya, Ki, ke lu," kata Wanda yang duduk di depan meja rias. Hari ini sampai besok, tidak ada jadwal seminar untuk Wanda hadiri, karenanya Kiara menyusul Wanda. "Kalau tidak ya untuk apa gue mau bolak-balik dihamili, Wan," sahut Kiara yang berdiri di samping Wanda, memakai lipcream. Tawa Wanda pecah seketika. Ia jadi teringat semasa sama-sama duduk di bangku SMA, berkuliah di Fakultas Kedokteran dan sewaktu memutuskan sama-sama mengambil spesialisasi dokter anak. Kiara tidak pernah mengaku kalau ia dekat dan berpacaran dengan Mas Bara yang namanya sudah dikenal banyak orang karena perusahaan keluarganya. Padahal sering sekali teman-teman mereka membicarakan Mas Bara di depan Kiara. Jarak usia lima tahun membuat Mas Bara dan Kiara tidak pernah benar-benar menempuh studi bersamaan, jadi jarang menghabiskan waktu kencan di luar. Sewaktu Kiara masih menempuh pendidikan S1, Mas Bara sudah mulai mengambil S2 di Singapura. Sewaktu Kiara wisuda dan diambil sumpah dokter, Mas Bara tidak datang karena studi S3-nya di Jerman tidak bisa ditinggal. Barulah sewaktu Kiara lulus pendidikan dokter spesialis, Mas Bara datang dan menarik perhatian banyak orang. Sejak saat itu semua orang tahu bahwa alasan Mas Bara berkali-kali menolak putri konglomerat yang dijodohkan dengannya adalah karena kekasihnya masih sibuk mencari ilmu. "Ada rencana balik ke RS, Ki?" tanya Wanda sewaktu menikmati sarapan di salah satu kedai teh kesukaannya. Kiara terdiam, bingung hendak menjawab pertanyaan Wanda dengan apa. "Ada, sih. Tapi kayaknya tidak mungkin deh, Wan," jawab Kiara. Sebenarnya Kiara ingin seperti Wanda, bekerja di salah satu rumah sakit ternama di Belanda dan mendapat dukungan seratus persen dari suaminya yang sama-sama berprofesi sebagai dokter anak. Kiara selalu ingin membuat anak kecil bahagia, menikmati masa kecil mereka semeriah mungkin tanpa merasakan sakit. Kiara ingin pergi dari negara satu ke negara lain, memperjuangkan pemerataan kesehatan anak. Tapi ia juga ingin terus menjadi istri yang bisa dihamili Mas Bara semaunya, menyaksikan tumbuh kembang anak-anak mereka tanpa terlewatkan sedikit saja, memastikan mereka makan sehat, tidur nyenyak, dan selalu ada untuk mereka. Kiara mau menyerahkan semua waktu dan tubuhnya untuk Mas Bara, tanpa membaginya untuk lainnya sedikitpun. "Kenapa?" tanya Wanda. Kiara akhirnya menumpahkan segala yang selama ini dirasakannya pada sahabatnya itu. Hormon yang meningkat karena hamil itu membuat airmatanya mengalir deras, padahal ia sudah berusaha untuk tidak menangis. Kiara menceritakan semuanya, dan Wanda bersedia mendengarkan cerita Kiara. "Ki, gue tahu lu selalu suka menulis. Lu bisa menulis buku anak-anak, terus diterbitkan. Lu masih bisa melakukan semua dari rumah tapi juga tetap punya pekerjaan menjanjikan yang lu suka," saran Wanda setelah Kiara lebih tenang. "Jadi, lu tidak perlu takut sulit bagi waktu untuk anak-anak, dan juga tidak lagi dipandang ibu rumah tangga biasa yang hanya bisa meminta uang dari suami. Bang Bara juga masih bisa terus-terusan buang spermanya ke rahim lu, Ki," lanjut Wanda sambil tertawa kecil. Kiara tersenyum mendengar saran dari Wanda. Kenapa ia tidak pernah terpikirkan ide itu sebelumnya? Ia merasa sedikit tidak bersyukur karena berkeluh kesah tentang kehidupannya sebagai istri dan ibu pada Wanda. Mereka sudah sama-sama hampir berusia kepala tiga, sama-sama sudah menikah hampir lima tahun. Bedanya hanya kini rahim Kiara sudah pernah dihuni tiga bayi, sementara Wanda belum sama sekali. From: Sayang Update 09.15. Sudah bangun, sarapan, dan mandi semua. Belum ganti seragam sekolah sama baju buat ke kantor sih. Sejauh ini belum ada yang tanya Mama mana. Maaf, Mama, tapi Papa lebih seru dibanding Mama. Sayang mengirimkan foto Notifikasi di ponsel Kiara membuat senyum di bibirnya kian lebar. Dua jagoannya itu selalu menggemaskan, membuatnya ingin menciumi pipi tembam mereka. To: Sayang Terima kasih update-nya, Papa. Pasti lagi hectic nih, nanti saja kalau sudah beres semua baru kirim updatenya, Ganteng. Jangan lupa bawa diaper bag Andy ke kantor ya! Tidak ada balasan. Pasti Mas Bara sedang pontang-panting menyiapkan anak-anak. Rencananya hari ini Mas Bara membawa Andy ke kantor bersamanya. Bukan kali pertama Mas Bara mengajak anak-anak ke kantornya, namun ini kali pertama Mas Bara mengajak mereka tanpa Kiara ikut serta. Kiara membayangkan kerepotan Mas Bara menggendong Andy sambil membawa diaper bag dalam setelan jas. Benar-benar hot Papa. Selepas sarapan, Kiara dan Wanda melanjutkan berbelanja ke pusat pertokoan. Semua booth yang dirasa menarik mereka masuki. Kiara lupa kapan terakhir kali ia masuk pusat pertokoan tanpa mendorong stroller bayi. Sampai jam makan siang, belum ada balasan dari Mas Bara masuk. Padahal pesan sebelumnya dari Kiara sudah dibaca. Kiara cemas berpikir yang tidak-tidak. To: Sayang Hectic-nya sampai lunch break, ya? Balasan cepat tiba dari Mas Bara. From: Sayang Gawat, Ki. Jangan berisik, di ruanganku lagi ada bosku. Sayang mengirim foto. Kiara tersenyum manis melihat foto Andy yang dikirimkan Mas Bara. Andy mengenakan setelan tuxedo mini yang menggemaskan, sedang bermain-main di ruang kerja Mas Bara di lantai tertinggi kantor pusat perusahaan. Jika Mas Bara yang mendapat tugas memandikan anak-anak, pasti rambut mereka akan dibuat jabrik. Dan jika Mas Bara sudah keasyikan mendandani anak-anak dengan macam-macam gaya, Kiara hanya bisa pasrah. To: Sayang Bosmu itu aku yang kirim. Biar ada yang marahin pegawai-pegawai kamu yang suka genit ngegodain kamu. From: Sayang Bosku tahu aku tergodanya hanya sama kamu. Mas Bara dan kemampuannya membuat kupu-kupu berterbangan di perut Kiara sangat patut diacungi jempol. Setelah puas berjalan-jalan dan bercerita tentang apa saja, Kiara dan Wanda pulang ke hotel tempat mereka menginap. Perut Kiara sebenarnya sudah mulai kram karena terlalu lelah berjalan, namun tidak enak rasanya jika harus merepotkan Wanda. Kandungannya sudah hampir mendekati due date yang jatuh di minggu depan. Sejak siang, ia tidak memegang ponsel sama sekali karena terlalu asyik menghabiskan waktu bersama Wanda. Setiba di hotel, ternyata ada beberapa pesan masuk. Di antaranya ada pesan terpenting, pesan dari Mas Bara. From: Sayang Update jam 14.00, Alex sudah aku jemput tadi, sudah makan semua dan sekarang mereka berdua lagi tidur. Update jam 17.30, sudah mandi semua. Apa Papanya perlu foto pakai handuk gini juga? Sayang mengirimkan foto Karena mereka sudah jadi anak-anak baik seharian ini, aku kasih izin nonton TV sebentar, ya. Biar anteng juga waktu aku foto buat update ke Mamanya. Habis ini kita mau makan di luar, ya, Papa tidak jago masak seperti Mama. Sayang mengirimkan foto Foto-foto yang dikirimkan Mas Bara membuat hati Kiara merekah rasanya. Ia tidak sabar untuk pulang dan memeluk ketiga kesayangannya. Ia juga tidak sabar untuk menceritakan pada Mas Bara tentang ide menulis buku anak-anak yang didapat dari Wanda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD