Kenapa? kenapa ada orang sepertimu di dunia ini? Kau bahkan tidak berbalik, ketika aku memanggil namamu berulang kali.
****
"Aauuhh..." keluh Zora sambil menahan darah yang menetes dari bagian lengan dan kakinya. Karena kesal, Zora mendongakkan kepalanya menatap siluet pria dengan badan kekar, yang hanya terdiam melihat Zora dengan tatapan acuh. Padahal Zora sedang kesakitan setengah mati, karena cakaran dari serigala dan panah dari pria itu.
"Tck," decak pria tersebut sambil memutar bola mata malas. Membuat Zora kesal dan langsung menahan kaki si pria agar tidak pergi. Carlos Gardolph. Dia tidak sengaja memanah Zora, sebab Carlos kira Zora adalah rusa yang akan di santap oleh serigala. Benar sih, Zora hampir disantap oleh serigala, tapi Zora bukan rusa.
"Kau yang memanah aku?" tanya Zora yang tidak mau salah paham. Namun bukannya menjawab, Carlos malah pergi begitu saja.
"Bisa memanah tidak, 'sih?! kau harusnya mendengar aku teriak tadi," cetus Zora. Namun lagi-lagi, Carlos tidak mengindahkan teriakan Zora.
Merasa sebal dengan Carlos yang tidak mau bertanggung jawab itu. Zora akhirnya melemparkan sendal yang dia pakai, tepat dikepala Carlos. Melihat incarannya berhasil, Zora langsung tersenyum puas. Namun senyuman Zora hilang, karena beberapa detik kemudian Carlos berbalik badan dan menatap Zora tajam. Nyali Zora langsung menciut,
Tapi ternyata, Carlos mengabaikan Zora lagi dan melangkah pergi. "Sakit... hei! Jangan pergi begitu saja," cetus Zora.
"Kau bukan targetku," sahut Carlos dengan entengnya. Membuat Zora berteriak frustasi, karena saking kesalnya.
"Target apanya! kau memanah lenganku, dan tidak mau tanggung jawab pula. Kau pikir, darahku ini mau menetes dengan sia-sia?" Carlos masih berjalan dengan acuh. Membuat Zora semakin emosi dan berteriak lagi.
"Kalau kau tidak berhenti, pantatmu akan berbulu! kau tidak akan bisa buang air besar, dan tidak akan punya pacar!" mendengar celotehan dari Zora. Carlos memutuskan untuk berbalik, dan mendekati Zora. Bertujuan menyuruh gadis itu agar diam. Entah menyumpalnya dengan apapun, asal gadis berambut pirang pendek itu menutup mulutnya.
Sebenarnya, Zora hanya menggertak saja. Dia mana bisa mengutuk orang. Apalagi, Zora tidak tau siapa pria yang ada di hadapannya ini. Dan yang Zora takutkan, adalah aura menusuk dari pria itu.
"Kalau kau berteriak terus, aku akan memakanmu," desis Carlos sambil melangkah mendekati Zora.
Tapi hal tak terduga terjadi. Langkah Carlos sampai terhenti beberapa detik, karena harum yang sangat manis mampir di indra penciuman Carlos. Saat tengah menikmati harum tersebut, perhatian Carlos teralihkan pada gadis yang masih bergumam tidak jelas di depannya itu. Entah kenapa, Carlos seperti begitu tertarik untuk semakin mendekati Zora. Mendekati harum manis tersebut.
Cup.
Bibir tebal milik Carlos, sukses menempel di bibir ranum milik Zora. Carlos memejamkan matanya. Menikmati rasa manis, yang tidak pernah ia cicip sebelumnya. Namun, disaat Carlos benar-benar sedang menikmati. Tiba-tiba Zora memukul tubuh Carlos beberapa kali. Walau tidak sakit, tetap saja Carlos merasa terganggu. Hingga akhirnya, Carlos melepaskan tautan bibir mereka.
"Siapa, kau?" tanya Carlos dengan nada rendah. Sedangkan Zora hanya terdiam bingung karena masih kaget. Dia tidak tau siapa pria bertubuh kekar di hadapannya ini, tapi Zora tau.... bahwa dia tidak bisa bertindak gegabah.
"Kau bisu?" tanya Carlos lagi.
"Tidak!" cetus Zora, tidak terima dengan apa yang Carlos katakan.
"Aku d-dari....."
"Aku bertanya, kau ini siapa. Bukan dari mana," potong Carlos. Saking kesalnya, Carlos memutuskan untuk pergi saja dari pada emosi nantinya. Meninggalkan gadis yang menurutnya tidak jelas di depannya iti. Mungkin karena gelap juga, jadi mereka tidak saling melihat wajah satu sama lain. Jadi Zora pun, tidak mengetahui bahwa Carlos sebenarnya adalah Pangeran.
"Tunggu! P–paman.... tunggu!" teriak Zora, dan langsung mengejar Carlos dengan tertatih. Sedangkan Carlos, berhenti sebentar untuk mendengarkan lebih jelas panggilan apa yang Zora gunakan untuknya.
"Tunggu aku sebentar, Paman." Sudah jelas, Zora memanggil Carlos dengan panggilan 'Paman'. Namun Carlos masih bisa mengontrol emosinya, Carlos hanya melanjutkan langkahnya.
"Tunggu...." isak Zora yang merasa sangat kesakitan. Ditambah dengan suasana menyeramkan dari hutan itu. Namun beberapa detik kemudian, Zora bisa bernafas lega karena melihat adanya cahaya bulan di seberang sana.
Setelah sukses keluar dari hutan gelap tersebut. Pandangan Zora langsung terkunci, pada Carlos yang tengah fokus pada bidikan panahnya. Mata yang yang menyorot tajam, hidung mancung serta tulang rahang yang lebar, terukir indah di wajah Carlos.
Tapi saat detik-detik panah itu akan dilepasakan, Zora malah berteriak karena saking kagetnya dengan ketampanan Carlos. Sedangkan Carlos, langsung menghela nafas kasar. Berusaha agar tidak terkuasai emosi dan amarah. Rusa yang tengah dia incar, lari begitu saja karena teriakan Zora.
"Pangeran Carlos," ucap Zora dengan mata berbinar-binar.
"Maaf, aku sudah mengutukmu tadi. Aku pikir kau orang jahat, aku pikir kau paman-paman. Aku pikir—"
"Sst," potong Carlos, sambil mengisyaratkan Zora agar diam. Padahal, Zora baru saja ingin membungkuk hormat pada Carlos.
"Kemari," ujar Carlos. Sedangkan Zora yang bingung kenapa, hanya berjalan perlahan. Mendekati pangeran dari kerajaan Herodotus itu. Namun, Zora langsung berlari kencang dan berlindung di balik badan kekar milik Carlos, ketika mendengar suara para Rogue yang tadi mengejarnya.
"Haahh.... di sini kau rupanya," ucap pria berambut pirang sambil mendekati Zora. Tapi ketika menyadari keberadaan Carlos, kelompok tersebut jadi terdiam bingung. Bingung, karena seperti mengenal pria yang tengah bersama Zora itu. Yang jelas, tidak ada yang berani mendekati Carlos karena aura kuat miliknya.
"Jangan mendekat! atau dia akan menghajarmu habis-habisan," ancam Zora sembari sedikit mendorong Carlos. Membuat kelompok Rogue memundurkan diri karena was-was.
Kelompok Rogue itu hampir menyerah, mereka kira Zora sudah tidak bisa diambil dari Carlos. Mereka hampir saja igin pergi, dan melepaskan Zora. Namun, Carlos justru melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan Zora yang sudah tidak bisa menyusul langkah besar dari Carlos. Kakinya seperti mati rasa karena cakaran serigala tadi.
"Ahahaha! kau pikir dia akan melindungimu? berhentilah hidup di dalam mimpi, Sayang..." papar salah satu pria, sambil mendekati Zora yang ketakutan setengan mati. Ya, Zora pikir Carlos akan melindunginya, pikiran bodoh macam apa itu.
Zora menggigit bibirnya sendiri untuk menahan tangis. Dia tidak mau terlihat lemah, apalagi didepan orang-orang menyebalkan ini. Zora memejamkan matanya erat- erat, bersiap dengan apa saja yang akan pria-pria itu lakukan padanya.
Sraattt!
Sebujur anak panah mengenai pria di depan Zora. Di susul dengan beberapa anak panah lagi, yang langsung menghabiskan sebagian dari kelompok Rogue. Sisanya, telah berlari terbirit-b***t karena ketua mereka sudah mati terpanah. Memang ya, kekuatan suatu kelompok terletak pada pemimpinnya.
Sedangkan Carlos, merasa kesal karena terus menerus gagal memanah buruannya. Jadi, Carlos memanah kelompok Rogue saja sebagai pelampiasan rasa kesalnya.
Braak!!
Perhatian Carlos teralihkan, dengan Zora yang tiba-tiba menggenggam pakaian Carlos erat. "Aku kira... aku kira kau meninggalkan aku," isak Zora.
"Apa yang akan aku dapatkan jika membiarkanmu mati?" desis Carlos, menatap Zora yang terlihat begitu mungil jika dibandingkan dengan dia.
Carlos terdiam sebentar, kemudian memalingkan wajahnya karena merasa terlalu lama menatap Zora.
"Ayo," ajak Carlos.
Zora mengusap sisa air matanya, lalu menaiki kuda bersama Carlos. Dan perlu kalian ketahui, bahwa ini pertama kalinya Zora naik kuda. Zora terlahir dalam keluarga yang sangat sederhana. Mereka bahkan memilih tinggal di pelosok Herodotus, yaitu daerah Fictory.
Dikarenakan, di sana lebih banyak rumput untuk kambing dan ternak lain yang mereka pelihara. Di Fictory masih tersisa banyak tanah luas, yang bisa Zora gunakan bebas sebagai tempat pakan ternak-ternaknya. Namun, kambing-kambing tersebut sudah banyak dijual untuk memenuhi kebutuhan.
Awalnya memang tidak ada masalah. Keluarga Zora terhitung harmonis. Tapi semua berubah ketika Zora beranjak dewasa. Keluarganya tiba-tiba memperlakukan Zora semena-mena. Tapi, Zora pikir itu hanya bercandaan. Mana mungkin mereka membenci Zora tanpa alasan. Tapi, kejadian hari ini telah membuktikan semuanya. Keluarga Zora, memang tidak menginginkan Zora.
Suatu hari Zora berfikir, mungkin Zora terlalu manja hingga membuat keluarganya jengkel. Zora tidak seperti Kakaknya yang cantik, dan juga berbakat dalam hal apapun. Bahkan, Kakak Zora bekerja di kota sebagai model. Tapi yang Zora herankan, Kakaknya sama sekali tidak membantu keuangan keluarga. Orang tua Zora hanya menjadikan Kakaknya, sebagai patokan publik agar dibangga-banggakan.
Sedangkan Zora, hanya gadis biasa yang bekerja sambil mengurus rumah. Zora cantik, tapi tidak seberbakat Kakaknya yang bisa mengambil pekerjaan apapun. Namun Zora, adalah gadis yang paling bertanggung jawab dikeluarga.
Tanpa terasa, mereka telah sampai di kastil utama kerajaan Herodotus. Pandangan Zora langsung terpesona, melihat taman nan bangunan yang begitu indah. Sampai perhatiannya teralihkan, ketika Carlos menyuruhnya turun dari kuda. "Pangeran—"
"Panggil saja Carlos," potong pria bermata tajam itu. Kemudian melenggang pergi, meninggalkan Zora yang bingung. Bingung kenapa tidak boleh memanggil, 'Pangeran'. Padahal, itu kan memang statusnya sebagai penerus Kerajaan Herodotus.
Padahal Carlos hanya merasa geram, karena suara lucu Zora jadi terngiang-ngiang di kepalanya. Pangeran... pangeran... entah kenapa Carlos jadi sebal sendiri.
"Panger...an, maksudku Carlos, tunggu sebentar," pinta Zora yang tidak enak memanggil Carlos sembarangan.
"Kenapa kau mengikuti aku?" tanya Carlos dengan wajah malas.
"Karena kau yang membawaku kesini," sahut Zora. Membuat Carlos memutar bola matanya malas.
"Tidak boleh?" tanya Zora dengan tatapan polosnya.
"Ayo," ajak Carlos. Lalu berjalan cepat masuk ke dalam kastil, dengan Zora yang mengintilinya dari belakang. Jujur, Zora sedikit kesusahan karena langkah Carlos sangat lebar dan cepat. Padahal Kakinya sangat sakit dan darah menetes di lantai sepanjang Zora berjalan.
"Kakaaaakkk," teriak Carla sambil meloncat dari lantai 5. Adik Carlos itu memang tidak punya rasa takut.
"Eh, siapa ini?" bingung Carla ketika melihat keberadaan Zora yang asing baginya.
"Menjauhlah, dia sedang berdarah," titah Carlos pada Carla, karena tidak ingin Carla menjadi haus karena melihat dan mencium darah.
"Kakak pikir aku selemah apa?" cetus Carla, yang hanya berjalan mendekati Zora.
"Kalau begitu obati dia," titah Carlos lagi. Lalu duduk di kursi, tanpa menghiraukan Carla yang bingung dengan kehadiran Zora. Tapi karena Carla cekatan, langsung saja mendekati Zora dan menyuruh Zora untuk duduk.
"Apa Kakak–ku menyakitimu?" tanya Carla. Disahuti dengan gelengan pelan dari Zora. Sedangkan Carla, langsung mengobati lengan Zora terlebih dahulu.
Jujur saja Zora seangat kaget, karena bertemu dengan Putri dari kerajaannya. Apalagi di dalam kastil langsung, tanpa adanya oengawalan khusus dan tertutupi olah banyak orang. Biasanya, Zora hanya bisa melihat keluarga kerajaan saat ada acara khusus. Jadi Zora tidak bisa melihat sejelas ini.
"Kenapa dengan wajahku?" tanya Carla yang merasa terganggu karena Zora tidak berhenti menatapnya.
"Kau lebih cantik dari yang aku lihat sebelumnya, Putri," ucap Zora.
"Jadi sebelum ini aku jelek?"
Sontak, Zora langsung menggeleng cepat. Takut Carla marah ataupun tersinggung. "Maksudku, kau lebih luar biasa dari yang aku lihat di foto selama ini."
"Begitu ya," gumam Carla yang masih fokus mengobati lengan Zora.
"Jadi bisakah kau berhenti menatapku?" tanya Carla. Membuat Zora segera menunduk, sadar akan perbuatannya yang tidak sopan dengan menatap sang putri terlalu lama.
Ditambah, Zora merasa tidak enak karena yang mengobatinya ini adalah seorang Putri. Namun perhatian Zora teralihkan, saat melihat sepasang Suami-Istri, yang tengah berjalan bersama dengan menggadeng tangan.
"Luna!" teriak Zora saking kagetnya sambil berdiri. Begitu juga Carla, yang ikut kaget. Padahal Carla tidak tahu apapun.
Zora tidak menyangka. Dia bisa bertemu dengan sang Luna yang sangat dia idolakan sejak kecil. Bahkan, Zora sampai beberapa kali mengikuti lomba di sekolah. Agar Zora bisa ikut tour atau jalan-jalan di kastil dan bertemu dengan para pemimpinnya itu. Tapi Zora tidak pernah menang, karena nilainya tidak begitu tinggi. Bisa dibilang, Zora ini hanya murid dengan nilai standar dan kepintaran yang biasa-biasa saja.
Zora juga mengoleksi buku, tentang kisah sang Luna. Buku tersebut berjudul, 'Phoenix For Alpha'. Menceritakan tentang bagaimana perjuangan Belve, untuk mengendalikan kekuatan Phoenix. Ditambah dengan permasalahan percintaanya dengan sang Alpha, yang juga ditulis disana.
Phoenix ini merupakan takdir yang hanya di miliki beberapa mahluk saja. Dan Belve, adalah salah satu dari mereka. Namun ada kabar yang pernah Zora dengar. Bahwa Phoenix bisa memakan jiwa pemiliknya yang lemah. Maka dari itu, Zora sangat mengidolakan Belve sebagai sang Luna. Karena artinya, jiwa Belve sangat kuat, hingga bisa mengendalikan kekuatan Phoenix.
"Ah, eum... maaf," lirih Zora gugup.
"Hai," sapa Belve yang sedikit bingung dengan Zora. Bingung kenapa ada gadis asing, bersama dengan kedua Anaknya. Dan pakaian yang Zora pakai, robek dengan noda darah terpampang disana.
"Ada apa denganmu? kau baik-baik saja?" tanya Belve iseng. Belve hanya ingin tau jawaban dari Zora, padahal sebenarnya Belve hanya ingin membuat Zora lebih tenangm
Zora menangguk semangat, "Yes, Luna."
"Bohong," cetus Belve sembari tersenyum. Belve pikir, jika Zora bukanlah orang yang baik mungkin Zora akan mengatakan bahwa dia sangat kesakitan agar tidak di pulangkan dan tinggal di kastil. Namun Zora justru berbohong bahwa dia baik-baik saja.
Kemudian, wanita berambut panjang itu mendekati Zora. Mengamati tubuh ramping Zora, sambil tersenyum tipis. "Carla, kemarikan obatnya."
Mendengar permintaan dari sang Mama, Carla segera memberikan kapas yang sedang dia pegang. "Dia terluka parah, Mama."
"A–aku tidak apa-apa, Putri. Sungguh," gelagap Zora saat melihat raut wajah Carla yang khawatir.
Carla, walau sifatnya sedikit keras terutama saat bertarung. Tapi sebenarnya dia ini anak yang sangat perhatian. Terutama pada wanita dan anak kecil. Berbeda dengan Carlos, yang selalu acuh pada apapun selagi tidak ada yang menganggunya.
"Kau bilang kau sakit, 'kan?" tanya Carlos. Membuat seluruh pandangan, tertuju pada pria bertubuh kekar itu. Belve tersenyum, melihat bertapa miripnya Carlos dan Derren. Anak dan Papa–nya itu, duduk dengan angkuhnya di kursi masing-masing. Ditambah, wajah tampan keduanya yang membuat Zora serasa tertampar oleh pesona kekuarga kerajaan.
Zora yang terlalu gugup dan takut, hanya diam sambil mengamati Belve yang duduk di sebelahnya. Zora benar-benar tidak menyangka. Bisa bertemu dengan seluruh anggota keluarga Garldolph, apalagi posisi sedekat ini.
"Siapa namamu?" tanya Belve lembut, sambil terus mengobati luka di Kaki Zora.
"Zoralyn Maddison," jawab Zora pelan.
"Apa kau dari Herodotus? jelas-jelas kau memanggilku Luna," tanya Belve lagi.
Zora mengangguk, "Ya. Aku dari Herodotus, Luna."
"Berarti kau ini adalah Werewolf atau Vampire? jadi kenapa kau tidak mengubah diri menjadi Werewolf saja, untuk melawan tadi?" papar Carlos. Membuat Zora melototkan matanya kaget.
"Ah iya... aku lupa," lirih Zora dengan wajah memerah malu. Bagaimana bisa seorang Werewolf bisa lupa dengan jati dirinya. Zora bahkan hanya berlari, dan berteriak meminta tolong. Padahal, Zora bisa saja melawan dengan kekuatan Werewolf yang dia punya. Atau jika tidak, lari Werewolf itu lebih cepat dari pada manusia.
"Saking bingungnya, aku sampai lupa..." gumam Zora lagi. Membuat Belve dan Carla terkekeh pelan. Beberapa menit kemudian, Belve selesai mengobati Zora. Jujur, Belve sedikit kaget dengan luka lebar di sepanjang kaki Zora. Tapi gadis itu hanya meringis saat terkena obat.
"Dari bagian mana kau?" tanya Derren, dengan nada dingin khas.
"Kenapa bisa bertemu dengan Carlos?" imbuh Belve.
"Aku dari daerah Fictory, Alpha–Luna," jawab Zora pelan. "Aku di kejar kelompok Rogue. Dan tanpa sengaja berpapasan dengan Pangeran."
Belve menghela nafas kasar. "Harusnya jangan pernah berhubungan dengan kelompok itu."
"Bukan aku, tapi orang tuaku, Luna." Zora menunduk sedih. "Mereka.... menjualku," lanjutnya.
Membuat seisi ruangan terdiam. Merasa kasihan dengan apa yang Zora alami. "Huh! Biarlah, siapa yang membutuhkan orang tua seperti mereka," teriak Zora.
Namun setelah tersenyum lebar, Zora kembali menunduk sambil menangis. "Siapa yang butuh... keluarga..." isaknya.
"Dasar aneh..." gumam Carlos dalam pikirannya. Melihat Zora yang berteriak semangat, lalu menangis begitu saja.
Belve yang kasihan melihat Zora, langsung memeluk gadis itu erat. Belve paham betul, bagaimana sedihnya jika tidak dihargai dalam sebuah keluarga. Belve juga bisa tahu, seberapa sedih Zora sebenarnya. Tapi, selalu Zora sembunyikan di balik senyum manisnya. "Jangan menangis," lirih Belve.
Namun bukanya berhenti, Zora justru menangis kencang sambil mengusap-usap air matanya sendiri. Membuat Belve dan yang lain sedikit panik dan kaget karena tangisan Zora yang seperti anak kecil. "Luna.... kau sangat baik. Aku... aku sangat menyukaimu, Luna."
Belve terkekeh pelan, "Kau penggemar beratku, 'hah?"
Zora mengangguk. "Kau hebat sekali, begitu juga Alpha—"
Zora langsung memalingkan wajahnya, ketika tidak sengaja menatap Derren. Takut. Sungguh menyeramkan tatapan itu. "Pangeran juga—"
Ucapan Zora kembali terpotong, ketika melihat Carlos dengan aura menyeramkan, seperti Derren. "Kalian berdua. Jangan menatap seperti itu," pinta Belve.
"Lalu?" tanya Carlos sebal. Tapi beberapa detik setelah sadar dengan siapa dia bicara, Carlos segera menunduk. Takut dengan tatapan intens dari Mamanya itu.
"Putri Carla, juga sangat terkenal di tempat tinggalku. Kau lulus tingkat Warrior, diusia yang begitu muda. Hebat..." papar Zora.
"Terimakasih. Aku kerja keras untuk mengalahkan Kakakku," Carla melirik Carlos dengan tatapan sombong. Kemudian, Kakak beradik itu saling beradu tatapan tajam. Biasa. Mereka memang akur, dan menjadi musuh dalam waktu yang bersamaan.
"Kau bisa tinggal disini kalau kau mau," ujar Belve.
"Boleh?" Belve dan Derren mengangguk. Berbeda dengan Carlos yang masih menatap tajam.
"Aku bisa bekerja menjadi Omega—"
"Kami tidak butuh Omega lagi," potong Carlos.
"Lalu? aku tinggal di sini untuk apa?" heran Zora. Namun pertanyaannya di jeda dengan kehadiran seorang Omega, yang membawa setelan Dress untuknya.
"Ini," ujar Carla.
Zora hanya menerimanya bingung. Bingung mau ganti baju dimana. Karena dia tidak bisa berjalan sehabis diberi obat. Namun beberapa detik kemudian, dia di kejutkan dengan api besar yang mengelilinginya. Tidak panas, tapi sedikit takut karena itu adalah api milik sang Luna.
"Ganti saja, tidak ada yang bisa melihat," jelas Belve.
Setelah Belve keluar dari lingkaran api tersebut, Zora segera mengganti pakaiannya dengan milik Carla. Gaun feminim namun terkesan sedikit sexy, dengan garis leher rendah. Memperlihatkan belahan d**a Zora, yang membuat Carlos menggeram pelan.
"Ganti," cetusnya.
"Kenapa? dia cocok memakai ini," sahut Carla yang tidak terima.
"Yaa, menyebalkan sih. Lebih nyaman memakai dress tidur saja, iyakan?" gurau Carla sendiri.
Zora mengangguk kikuk. "Tak masalah, aku suka dress ini, kok."
Brakk!!
Carlos menendang meja yang ada di depannya, hingga membuat seluruh teh tumpah begitu saja. Sedangkan Derren yang tidak ingin marah, segera pergi meninggalkan tempat itu. Begitu juga dengan Belve. Biarlah anak-anak muda itu mengurusi masalah mereka sendiri, pikir Belve.
"Aku bilang ganti," titah Carlos.
"Kenapa Kakak semarah itu? jangan bereaksi berlebihan, Kak. Terserah dia mau memakai apa. Memang apa urusanmu?" cetus Carla tidak terima.
"Tidak usah ikut campur, Carla. Pergilah belajar," Carlos berdiri dari tempatnya. Kemudian mendekati Zora dan Carla. Tapi, bukannya menuruti perintah dari Carlos. Carla justru menyerang Kakaknya itu, dengan secepat kilat. Membuat Carlos terpental beberapa meter dari tempatnya.
"Berani melawan, 'hah?" geram Carlos. Lalu melepaskan jas hitam yang ia kenakan dan melemparnya ke sembarang arah.