Air Mata Ainun

1382 Words
"Maaf, aku tidak bisa." Suara Danis pelan tapi terdengar jelas. "Kamu bisa pergi sendiri, kan? Gak usah manja." Katanya kembali membuat Ainun menelan ludah. "Ta-tapi aku pendarahan, Mas. Aku takut naik angkutan umum atau transportasi online." Suara Ainun lirih dan sedikit bergetar, membelai perutnya yang masih rata. "Maafkan aku, Ainun. Hari ini ada acara penting sampai malam." Danis memberi alasan. "Tapi hari ini Mas libur, kan?" "Cerewet. Bisa tidak sekali seumur hidupmu kau tidak menggangguku?" Danis menatap tajam perempuan yang telah dinikahinya tiga tahun lalu...tanpa cinta. Almarhum Papa adalah sahabat ayah Ainun, entah apa istimewanya perempuan berparas sederhana itu di mata Papa, sehingga meminta Danis yang kala itu banyak digandrungi wanita dan mapan menikahinya. Menolak? Bisa saja, tapi kondisi Papa sedang sakit keras ketika itu. Rumah tangga tanpa cinta? Danis tersenyum pahit, kembali menatap Ainun yang diam terpaku, sepertinya perempuan itu tak menduga kalau dirinya sama sekali tidak tertarik dengan bayi yang ada di rahimnya. Ada kristal samar yang terlihat di sudut Ainun. "Baik, tidurlah sudah malam. Kamu sedang hamil kan? Belajar berjiwa besar, terima kenyataan kalau suamimu ini sibuk. Hari Sabtu itu reuni dengan bekas kawan SMA, jadi aku tidak ingin absen hanya untuk mengantarmu ke dokter kandungan." Ya Allah, reuni lebih penting dari bayi dalam rahimnya, buah cinta sekaligus penerus silsilah keluarga? Berulang kali Ainun mengusap d**a. "Ma-maksudmu Mas? Bayi ini tidak cukup berharga? Bahkan untuk mengetahui dia baik-baik saja pun engkau tidak mau?" Suara Ainun tercekat. "Dari awal dirimu tak berharga di mataku, pun bayi dalam rahimu." Suara Danis sinis. Deg. Serrrr Ainun menelan ludah. Kalimat Danis lebih tajam dari sembilu juga lebih pedas dari serbuk cabe level sepuluh. Danis boleh saja menganggapnya hina, tapi menganggap rendah bayi di rahimnya sangat menyakitkan. Hati seorang ibu terluka, Ainun tersedu. "Ayolah, Ainun. Jangan lebay. Aku ngantuk. "Baiklah, Mas." Jawab Ainun lirih, ada yang tak kuasa ditahan mengalir derasa di sudut matanya. "Selamat malam." Suara Ainun bergetar, saat tubuhnya berbalik menghadap tembok dan menangis diam-diam. *** Langkah Ainun sedikit terseok saat turun dari angkutan umum yang membawanya ke rumah Mama mertua, ibunya Danis . Untuk sampai di halaman rumah besar bercat putih tulang itu, Ainun harus berhenti beberapa kali. Selain tenaganya yang nyaris punah dia juga merasakan kepalanya yang terus keliyengan gak karuan. Beruntung dokter kandungan mengatakan kalau bayinya baik-baik saja dan memberi obat penguat dan vitamin serta menyarankan Ainun untuk banyak beristirahat. Adapun perasaan tubuhnya yang lemah dan gak karuan seperti yang dirasakannya saat ini adalah hal biasa untuk wanita hamil muda. Meski sedikit berkeringat dingin, Ainun memaksa berjalan, melintasi halaman rumah mertuanya yang luas. Dengan erat ditentengnya kantong berisi kue nastar yang dipesannya dari seorang kenalannya, pesanan Mama mertuanya beberapa waktu lalu. Ainun memegang erat tentengannya seolah takut terjatuh dari pegangannya yang terasa lemah. Setidaknya, saat Danis tidak menganggapnya berharga, ada Mama yang akan memandang keberadaan dan bersuka cita dengan kabar kehamilan dirinya. Perlahan langkah kaki Ainun menjejak teras dan mendekati pintu saat tak sengaja telinganya sayup mendengar tawa dan obrolan dari orang yang sangat dikenalnya di ruang tamu. "Bagaimana, Nita? Senang kan bisa perawatan di tempat langganan Mama?" Suara Mama terdengar renyah menyebut Anita, istri almarhum Aditya adiknya Danis yang meninggal karena kecelakaan enam bulan yang lalu. "Tentu saja, Ma. Mas Danis juga dengan sabar menungguiku sampai selesai. Bahkan dia juga gak keberatan mengantar aku makan di restoran Jepang kesukaanku." Terdengar Anita menjawab dengan manja. Meski tidak keras tapi karena Ainun berada begitu dekat dengan pintu suara Anita dan Mama terdengar jelas. "Danis memang bisa diandalkan, Sayang. Kamu kalau mau diantar kemana-mana, tinggal bilang Danis. Iya kan, Dan?" tanya Mama, Ainun mendengar nada suara Mama begitu hangat. Nada bicara yang tidak pernah dia dapatkan selama tiga tahun menjadi menantunya. "Bolehkan, Mas Danis?" tanya Anita terkesan sangat manja di telinga, membuat Ainun mendecih sebal. "Untuk Anita, boleh saja." Suara Danis santai "Tentu saja, Danis. Dari pada waktumu habis untuk istrimu yang katrok itu." Mama menimpali. "Iyalah, Ma. Lagian aku juga dulu menikahinya hanya karena menuruti permintaan almarhum Papa." Danis mendengus. "Aku sudah berjuang mencintainya, tapi aku tidak berhasil." Danis mendengus. "Aku muak dengan pernikahan, ini." "Perasaan kita sama, Danis. Lagi pula dari awal Papamu memintamu menikahi putri sahabatnya itu, aku tidak setuju." Suara Mama yakin. "Aku ragu untuk terus hidup bersama Ainun, aku lelah..." "Ya sudah, ceraikan saja Mas Danis." Suara Anita terdengar genit dan tidak berperasaan. "Ide bagus," timpal Mama bersemangat. "Entahlah, sepertinya cukup masuk akal." Suara Danis menjawab kalem dan tanpa beban. "Haha. Good." Ya Allah, Rabby....! Ainun memekik lirih dalam hati, dadanya terasa berdesir perih. Lututnya gemetar, bibirnya mengatup pilu. Tangan yang tadi siap mengetuk pintu dan bibir yang akan mengucap salam, mendadak lunglai dan getar. Bahkan Danis tidak berbicara tentang kehamilannya? Bahkan pria itu, selesai reuni dan berjumpa kawan SMAnya memilih mengantar adik iparnya ke salon mewah untuk perawatan dan makan-makan di restoran, ketimbang mengantarnya memeriksakan diri di dokter kandungan? Hati Ainun berdenyut lirih. Ada yang tidak sanggup dia tahan, air mata menganak di kedua matanya. Kue pesanan Mama jatuh begitu saja di lantai menimbulkan suara sedikit berisik. Toples kue yang terbuat dari kaca berserakan berikut isinya, terburai laksana hati dan harga diri Ainun yang musnah tidak bersisa. "Ainun?" Danis yang pertama keluar memeriksa keadaan tampak kaget, tak menduga Ainun ada di depan pintu dan menyimak pembicaraan mereka. Ainun yang terduduk di teras perlahan mengangkat wajah. Danis menelan ludah, mata coklat Ainun bertabur luka dan air mata. "Mas?" "Iya Ainun, ayo masuk." Danis terlihat gugup dan berusaha menjangkau tubuh istrinya agar berdiri dan mengikutinya masuk ke dalam rumah. "Tidak usah." Ainun menggeleng. Meski susah payah dia bangkit, menatap pria tak berperasaan di hadapannya. "Kamu pasti pusing, ayolah." Danis berusaha mengelabui Ainun dengan berpura-pura manis. Bagaimana pun tidak lucu bertengkar di rumah Mama. Ainun menggeleng. Mengibas tangan Danis di pinggangnya "Terimakasih aku sudah mendengar semuanya. Mas, tidak usah berpura-pura baik padaku. Mengertilah, kau tidak harus jadi pria sejati untuk menyadari istrimu yang hamil ini lebih penting dari adik iparmu yang manja, cukup kau menjadi pria yang waras." Ainun terisak. "Apa maksudmu?" Danis tertahan. "Dengar Mas, jika kau tidak pernah menghargai keberadaan ku, setidaknya anak yang ada di rahimku cukup untuk menjadikan mu sedikit punya hati nurani." Ainun tersenyum getir. "Sebagai pria terpelajar harusnya engkau sadar betul bahwa mengantar istrimu yang pendarahan ke dokter lebih penting dari pada mengantar adik ipar lebay mu ke salon." Ainun tersengal menahan gusar, Danis terdiam, tak menduga Ainun perempuan yang selama ini begitu penurut dan lembut bisa menentangnya "Dan juga Mama, jika aku hina di hadapanmu dan putramu, cukup satu hal katakan pada anakmu, ceraikan aku saat ini juga." Ainun menunjuk ke arah wanita yang selama ini dianggapnya bijaksana. Wanita yang dianggapnya bisa jadi pelindung dan menyayanginya nya ternyata juga tak lebih dari seorang penipu ulung. Menyakitkan. Mama yang tiba-tiba muncul bersama Anita tampak menatap tak bersahabat. Wajahnya sinis dan menyimpan permusuhan. Ainun tersenyum kecut. "Baik, ayo ceraikan Danis. Bukankah kamu menunggu lama untuk melepas istrimu yang jelek dan tak berkelas ini?" Tak terduga tanpa berpikir, Mama mengangguk dan tersenyum sinis, melirik ke arah putra kesayangannya. Danis sedikit gelagapan. "Mas, gak berani? Hah, Cemen." Anita mengompori, melihat Danis sedikit gugup, tampak gusar dan kecewa. Ainun tersenyum dingin. "Apa yang kau tunggu, Mas Danis. Lihatlah Mama dan Anita menunggu momen indah ini. Kamu takut aku menangis? Kamu takut aku hancur dan terluka? " Ainun memandang pria di hadapannya, mendekati pria yang bergelar imam dalam hidupnya. "Aku takut kau hancur, kau sedang mengandung anakku." Suara Danis sedikit berat. Ainun menggeleng. "Aku tidak akan hancur. Aku sedang hamil atau tidak, aku tidak akan menangisi perpisahan denganmu. Aku malah akan menangis jika terus bermimpi mendapat cinta dan ketulusanmu," desah Ainun lirih. "Dan kalaupun aku hancur, bukankah itu bukan urusanmu Mas? Bukankah selama ini, aku menangis, sedih dan terluka pun kau tak pernah perduli." Ainun tersenyum sendu. Danis sejenak terdiam. Ainun menyeka air matanya. "Terimakasih, kau sudah mengajariku bagaimana manisnya perasan terluka dan tak berharga. Terimakasih, kau pernah menjadi bagian dari hidupku, aku permisi." Ainun perlahan bangkit dan menjauh. Berjalan terseok menuju jalan raya. "Ainun tunggu." Langkah Danis terhenti, entah mengapa ada sekelumit iba, mengingat di rahim Ainun ada benihnya. Mama mengejar dan menyentak tangannya "Biarkan dia pergi." Suara Mama tegas. Mencengkram erat tangan putranya. Danis terpaksa berhenti. Matanya terpaku menatap tubuh Ainun yang perlahan hilang bersama angkutan kota yang melesat pergi, meninggalkan noktah sepi di hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD