Aku Tak Selemah Yang Kau Kira

821 Words
Ainun berjalan terseok memasuki angkutan kota. Sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh. Drrt. Drrrt. Gawainya tidak henti bergetar. Terlihat banyak pesan masuk dari Danis. Ainun melengos. Untuk apa suaminya mengejar dengan pesan yang tidak berhenti, seolah dirinya berarti? Apa belum cukup membuat luka di dalam hatinya menganga lebar? Apa belum puas melihat dirinya selama ini hancur dan terluka? Dalam sakit hati dan rasa yang terhina, Ainun memegang perutnya. Ada perasaan khawatir karena angkutan kota melaju kencang dan beberapa kali melintasi jalan berlobang dan membuat guncangan cukup keras. Gusti Allah, jangan sampai bayi ini kenapa-kenapa. Ainun tidak perduli meski Danis tidak menginginkannya. Dengan atau tanpa Danis, Ainun bahagia dengan kehamilannya. Ainun turun dari angkot dengan langkah sedikit gemetar. Meski hatinya memaksa pergi sejauh yang dia mampu, tapi otaknya melarang. Bukankah dokter tadi mewanti-wani untuk beristirahat. Meski sakit dan terhina, Ainun memutuskan kembali ke rumah hari ini. Demi bayi dalam perutnya, sesakit apapun Ainun memilih pulang dan beristirahat. *** Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, saat Ainun merebahkan tubuh di ranjang di kamar belakang, selesai solat magrib . Wajah Ainun tampak sendu menatap jendela kamar yang tertutup tirai. Kamar yang lebih kecil dari kamar utama tempat dia selama ini tidur bersama Danis. Ada rasa nyeri yang sulit diungkapkan mengingat percakapan suaminya dan Mama juga Anita. Ainun tahu, Danis tidak mencintainya, tapi mendengar dengan kepala sendiri kalimat-kalimat menyakitkan dari pria yang selama ini menjadi belahan jiwanya begitu mengguncang jiwa. Ainun terluka. Ainun menghela napas, rumah terasa sepi. Danis belum kembali, bahkan sampai waktu menjelang Isa, Ainun belum mendengar suara mobil Danis kembali. Mungkin dia masih asyik bercengkrama di rumah Mama dan mengatakan iya pada semua permintaan Anita yang menertawakan kekalahannya hari ini. Ainun tersenyum getir, menyadari kalau sosok Anita bahkan jauh berharga bagi seorang Danis dan Mama. Perempuan lebay dan genit itu ternyata memiliki kedudukan istimewa di mata mertua dan suaminya dibanding dirinya. Baiklah, Ainun tak mau sakit dan lemah, perlahan bangkit untuk berjalan ke dapur dan makan masakannya tadi pagi, kemudian minum obat dan vitamin. Nasi dan sayur terasa hambar di mulutnya, tapi itu tidak membuat Ainun menyerah. Dengan penuh perjuangan dia menghabiskan satu piring nasi dan segelas air putih. Kuy, makan biar kuat menghadapi kenyataan, bisik hati Ainun tersenyum pahit. Ainun menghentikan gerakan mencuci piring bekas makannya saat tidak menyadari kalau Danis sudah kembali pulang dan menghampirinya di dapur. "Eh, kirain dah pergi jauh." Tak diduga, terdengar Anita mencebik di belakang punggung Danis. Sepertinya perempuan satu ini tidak tahu malu ikut pulang ke rumah ini bersama Danis. "Kupikir dia sudah minggat, Mas. Tahunya masih ada di sini." Anita tertawa mengejek. "Makanya, aku bilang dari tadi talak secepatnya, biar tidak jadi benalu dalam hidupmu." Hey. Ainun terbelalak, bukan hanya ucapan dan kata-kata Anita yang kurang ajar tapi sikapnya pun tidak kalah kurang ajar. Dengan tak canggung Anita memeluk pinggang Danis yang nota Bene hanya seorang mantan kakak ipar. "Heh, Ainun. Kenapa masih di sini? Tak tahu malu." Anita kembali bertanya sambil melotot, merasa yakin nyali Ainun akan menciut. "Aku masih di sini? Kamu bertanya atau mengigau Anita?" Ainun balas bertanya. Wajah lembutnya tenang dan percaya diri, membuat Anita menelan ludah. "Ini rumahku. Harusnya aku bertanya, ngapain kamu malam-malam ikut ke rumahku?" Ainun balik membentak. What. Anita yang tidak menduga balasan Ainun mundur selangkah ke belakang. " Jawab." Tanpa diduga,Ainun membentak. "Aku...aku," jawab Anita tersedak. "Jawabannya cuma satu, pertama kau tidak tahu malu, kedua kau perempuan jalang murahan." Ainun tertawa pelan "Apa maksudmu, Ainun?" "Danis bukan suamimu, dia hanya mantan kakak iparmu. Hanya orang t***l yang tidak menganggap sikap dan kata-katamu tidak kurang ajar." Ainun menyimpan piring yang barusan dicucinya dengan kasar ke atas meja. Brak. Anita dan Danis terperanjat kaget. "Mas, aku istrimu. Ngapain kunyuk yang berlindung atas nama adik ipar itu ikut ke mari?" Ainun meradang. "Jawab." Tanpa diduga Ainun membentak Danis. "Se-sebentar, Ainun. Anita... untuk beberapa hari akan menginap di sini. Dia ingin melupakan bayangan Aditya." "Haha, modus." Ainun tertawa sinis. "Kau percaya? " Ainun menatap suaminya dengan gusar. "Bahkan aku tahu kalau perempuan yang kau anggap adik ipar itu hanyalah seorang jalang yang akan menghancurkan rumah tangga kita." "Ainun, jaga mulutmu." Danis melotot. "Anita istri adikku, dia sedang bersedih. Wajar aku ingin menghiburnya." "Menghibur? Menghibur perempuan yang telah menusuk harga diri istrimu dari belakang? Haha." Ainun tertawa mengejek. "Baiklah, urus kunyuk satu ini selama tinggal di sini. Aku tidak Sudi melayaninya apalagi menghiburnya." Ainun balik arah, dengan kepala tegak meninggalkan Danis dan Anita di dapur "Mas, aku dibilang kunyuk. Huhu." Anita merajuk dengan lebaynya membuat Ainun yang mendengar rajukan Anita kembali balik arah karena mual. "Heh, Anita. Harap kau tahu, mungkin kunyuk lebih berharga dari padamu, karena dia tidak pernah lebay mengemis perhatian suami orang lain. Faham?" Ainun kembali membentak, sejurus kemudian gegas kembali masuk kamarnya dengan kasar membanting pintu. Brug. Suara bantingan pintu kamar Ainun terdengar keras. Danis menelan ludah, tak menduga kalau Ainun yang selama ini terlihat lemah, lembut dan pemaaf, bisa bersikap segarang singa betina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD