3 : Perihal Pendidikan

1300 Words
Setelah beberapa hari menangisi sosok ayahnya yang sedang berada jauh dari keduanya, kini Altair dan Alesha merasa senang karena tak lama lagi Johan akan pulang. Terutama Alesha, anak perempuan itu sangat gembira tatkala Aleya memberitahukan mengenai kepulangan Johan ke rumah, besok. Alesha sibuk mengirim pesan suara kepada Johan penuh dengan nada-nada kerinduan, hati Johan berdesir, ia juga merindukan kedua anaknya dan juga errr, ibu mereka. "Alesha, sudah dulu main hp-nya. Papa kalian pasti pulang, tunggu sampai besok ya." Suara Aleya menginterupsi, ia datang dengan membawa dua gelas s**u untuk anak-anaknya. Alesha yang sedang duduk di ruang tamu pun mendongakkan kepala, ia melihat sang ibu sambil mengerucutkan bibirnya. "Aku masih kangen Papa, Alesha mau Papa cepat pulang." Seperti itulah Alesha, ia masih tidak sabar jika harus menunggu satu hari lagi. Aleya menggelengkan kepala pelan, ia pun mendudukkan dirinya di sofa dan meletakkan dua gelas s**u rasa vanila dan cokelat itu. "Satu hari, Sayang! tidak akan lama. Sekarang kan Papa masih bekerja, kalau Alesha ganggu Papa terus Papa tidak fokus kerjanya, bagaimana? Nanti dimarahin sama teman-temannya." Aleya mencoba untuk merayu sang anak agar mau melepaskan ponsel yang masih anak gadisnya genggam. Alesha terus menerus mengirimi Johan pesan suara, atau biasa disebut voice note Whattsap. Meski Johan belum menanggapi pesan dari anaknya, tapi Alesha masih gencar mengiriminya pesan. Aleya merasa tidak enak pada Johan karena bagaimana pun juga ia dan pria itu tak memiliki hubgan apa-apa, meskipun status keduanya merupakan orangtua bagi Altair dan Alesha. Aleya takut jika Johan merasa terganggu dengan tingkah sang anak yang kadang bersikap manja. Bukan rahasia lagi jika Johan memang sangat memanjakan Altair dan Alesha, pria itu benar-benar ingin memberikan yang terbaik pada anak-anaknya, Johan sama sekali tidak keberatan. Hanya saja, Aleya masih tetap merasa enggan dan tidak enak hati. Alesha menghentikan aktifitas memencet tombol suara di aplikasi whattsap, ia menatap ibunya sekali lagi lalu dengan ajaibnya mengangguk pasrah.  Ia berpikir jika yang dikatakan Aleya benar adanya, bagaimana jika nantinya sang ayah dimarahi oleh temannya karena terus dikirimi pesan. "Iya, Ma." Anak perempuan itu mengulurkan tangannya untuk mengembalikan ponsel milik Aleya. Aleya pun tersenyum simpul lalu menerima uluran tangan sang anak. "Alesha pintar! Nanti Mama beri tahu kalau Papa sudah menjawab ya." Alesha pun mengangguk patuh. "Ini susunya diminum dulu, setelah itu belajar membaca ya," Aleya mengambil s**u cokelat kesukaan Alesha. Sudah sejak Alesha pulang dari sekolahnya, anak itu langsung meminta ponsel Aleya untuk menghubungi sang ayah hanya guna memastikan bahwa Johan akan benar-benar pulang besok. Aleya pun menurutinya, sejujurnya Johan pernah mengatakan bahwa ketika Altair dan Alesha merindukannya dan ingin menghubunginya, maka Aleya pun diminta untuk mengabulkannya saja. Tak peduli kapan dan dimana Johan berada, ia mau agar Altair dan Alesha berkomunikasi padanya. Namun, Aleya tetap tahu diri, ia tak mau mengganggu waktu kerja pria itu. Alesha meminum segelas susunya dengan patuh, menghabiskannya hingga tandas tak tersisa. "Al masih main sama Kakek?" Aleya mengedarkan pandangan ke seluruh ruang tamu, ia tak mendapati anak laki-lakinya berada dimanapun. "Al masih main di depan sama Kakek." Alesha menjawab pertanyaan ibunya. Aleya mengangguk kecil, ia pun bangkit berdiri dari duduknya untuk memanggil anak laki-lakinya. "Oh ya, Alesha ke kamar dulu ya, nanti Mama susul setelah manggil Altair." "Baik, Ma." jawab Alesha, anak itu pun memberingsut dari sofa kemudian berjalan menuju kamar, tepatnya meja belajar yang ditaruh di dalam kamarnya. Di rumah ini, rumah yang menjadi suka duka Aleya sejak kecil sampai dewasa, ia tinggal bersama kedua anak dan juga ayahnya, Hartono. Usia Hartono yang tak muda lagi, ditambah dengan beberapa riwayat penyakit membuat pria baya itu sering bolak-balik keluar masuk rumah sakit. Hartono juga harus menjalani terapi untuk kesembuhan stroke-nya. Johan membiayai seluruh pengobatan Hartono, pria itu juga ingin menebus kesalahannya di masa lalu. Aleya berdiri di depan rumah, di sana tepatnya ayunan yang menjadi favorit anak-anaknya, ada Altair dan juga Hartono yang sedang bermain ayunan bersama. Hati Aleya terasa damai, ia senang melihat anggota keluarganya berkumpul seperti itu. Saat ini hidupnya sudah sangat lengkap, ia dikelilingi oleh orang-orang baik yang juga menyayangi dirinya. Ia bersyukur atas itu, setelah rasa sakit yang ia alami selama beberapa tahun, akhirnya sekarang sudah membuahkan hasil yang baik. Ia ingat bagaimana sulitnya hidup sendiri, hidup tanpa ada orang yang mendukung, hidup tanpa arah dan kepastian. Aleya tidak akan melupakan bagaimana ia berjuang untuk mendapatkan kebahagiaannya sekarang. "Leya, ada apa?" Hartono yang menyadari keberadaan anaknya terlebih dulu pun menolehkan kepala, ia menatap Aleya dengan kening berkerut. Aleya mengusap setitik air mata yang sempat ia teteskan dengan secara tidak sadar, ia pun mengulas senyuman lebar dan berjalan semakin mendekati kedua laki-laki itu. "Waktunya Altair minum s**u, terus belajar membaca sama Alesha." Jawab Aleya dengan tenang. Hartono menganggukkan kepala mengerti, sudah rutinitas Aleya membuatkan segelas s**u pertumbuhan bagi anak-anaknya lalu mengajarkan materi-materi pembelajaran sekolah seusia mereka. "Al minum s**u dulu dan belajar membaca dulu, gih." Hartono menghentikan dorongan ayunan cucunya, ia memberitahu Altair untuk menjalankan rutinitas hariannya. "Iya, Kek. Tapi setelah itu main ayunan lagi ya." ujar Altair. Hartono pun menganggukkan kepala lalu berujar, "Tentu saja, setelah Al belajar nanti kita main sepuasnya." Altair melebarkan senyumnya, mata indah itu berbinar gembira.  "Kakek janji?" "Janji, Sayang! Ya sudah gih sama Mama kamu, belajar yang pintar ya." Hartono mengelus-elus puncak kepala sang cucu, ia sangat menyayangi Altair dan Alesha, dengan kehadiran mereka, hidupnya tak lagi kesepian. Altair menolehkan kepala ke arah Aleya berada, ia pun mengangguk kuat-kuat dan turun dari ayunannya. "Ayo belajar, Ma." ujar anak itu dengan semangat empat lima. Aleya terkekeh pelan. "Ya, ayo." "Aku tinggal ke dalam dulu." Aleya berujar pada sang ayah. Hartono mengangguk mempersilahkan. "Semangat mengajar!" "Pastinya, Ayah!" Setelah mengatakan hal itu, Aleya pun mengajak Altair masuk ke dalam rumah, sebelumnya ia menyuruh sang anak untuk menghabiskan s**u yang ia buat sebelum masuk ke kamar dan belajar bersama saudari kembarnya. "Sudah?" Tanya Aleya. "Sudah habis, Al pintar kan?" Altair terseyum memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tumbuh dengan rapi. "Iya, anak Mama pintar sekali." Keduanya pun menuju ke dalam kamar, di sana sudah ada Alesha yang memainkan pensil di atas kertas untuk mencoret-coret. "Al duduk di samping Alesha, kita mulai belajar membaca nama-nama buah ya." Aleya berseru. Ia pun mengambil buku materi sekolah anak-anaknya. "Al baca yang keras." Aleya menunjuk gambar buah jeruk. Altair pun memincingkan mata untuk memfokuskan pikiran.  "Je- r - uk." Anak itu mengeja dengan susah payah. "He'em, lalu dibacanya apa?" Tanya Aleya dengan lembut, ia harus mengajar dengan halus. "Jer-uk, jeruk?" Altair tampak berpikir sejenak sebelum mengatakannya. "Ya, benar! Wah pintarnya anak Mama." Aleya bertepuk tangan kecil, Altair pun merasa senang. "Alesha, Ma, Alesha mau membaca." Tiba-tiba saja anak perempuan itu berujar, Alesha juga tak mau kalah dari saudara kembarnya. Aleya mengalihkan perhatiannya, ia menatap anak gadisnya dengan fokus. "Baiklah, sekarang gantian Alesha ya." Jari-jemari Aleya tertuju ke arah gambar buah melon, ia juga meminta Alesha untuk membacanya. "Me-lo-n." ejanya dengan susah payah. "He'em, terus?" "Melon." "Benar sekali, Alesha juga sudah pandai ya." Puji Aleya. Alesha pun tersenyum gembira, ia senang karena mendapat pujian dari mamanya. Perlu diketahui, meskipun Johan sangat memanjakan anak-anaknya dengan menuruti semua keinginan mereka, tapi pria itu cukup keras untuk mengharuskan agar Altair dan Alesha bersungguh-sungguh dalam hal pendidikan, walau saat ini keduanya masih tingkat taman kanak-kanak. Saat Johan bertandang ke rumah Aleya, ia gencar memberikan pertanyaan-pertanyaan seputar pendidikan tingkat taman kanak-kanak. Johan sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya, baginya pendidikan itu sangatlah penting. Bersama tak selalu sama, jalan tak selalu mulus. Terkadang, sering terjadi perselisihan pikiran antara Aleya dan Johan mengenai pendidikan anak-anaknya, Aleya merasa jika Johan terlalu menekan Altair dan Alesha agar menguasai materi yang cukup tinggi, sedangkan usia mereka belum sepadan dengan materi yang diterimanya. Namun, Johan tetaplah Johan yang masih keras kepala. Ia berkata bahwa pendidikan adalah pondasi utama, harus diajarkan sejak anak-anak masih kecil. Aleya juga membenarkan hal itu, mau tak mau ia harus menuruti keinginan Johan selagi memabwa dampak positif bagi Altair dan Alesha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD