Hari minggu adalah hal yang paling dinantikan Abel, selain sangat suka dengan perkedel kentang. Bocah sembilan tahun itu juga jatuh cinta dengan tidur. Namun, bukannya bisa menikmati tidurnya, bocah itu malah merasakan guncangan pada tubuhnya.
"Bangun. Sudah pagi." Kali guncangannya semakin kuat.
Rasanya Abel malas sekali bangun pagi ini, bukan karena hari libur ia bisa bermalasan-malasan, melainkan karena ia baru saja tertidur ketika tengah malam. Salahkan saja perutnya yang tiba-tiba keroncongan. Ini semua karena dirinya tak menghabiskan makan malamnya dan memilih naik ke kamarnya.
"Nghh..." Abel tetap tak mau membuka matanya. Ia malah berubah posisi menjadi tengkurap membuat seorang wanita yang kini tengah membangunkan Abel gemas.
"Bangun, Abel. Sudah pagi!" Aya berulang kali menahan tangannya ingin menepuk p****t gendut milik anak angkatnya yang menggoda minta ditepuk itu.
"Siapa yang bilang ini sore, sih, Bu?" Abel berujur tanpa membuka matanya, terdengar rengekan darinya. Ia sudah hapal suara Aya. Bibirnya mengerucut sebal akibat mimpi indahnya terganggu, juga tentang kemari malam.
Ugh, mengingatnya bocah sembilan tahun itu menjadi kesal. Kesal terhadap dirinya sendiri. Kenapa ia tidak menuruti keinginan Aya untuk makan lebih pelan? Kenapa ia malah ngambek dan pergi? Hah.
Aya menarik nafasnya pelan, jika saja hari ini ia tidak ada janji dengan dokter yang akan melakukan pemeriksaan kesehatan pada Abel, wanita itu enggan untuk masuk ke dalam kamar ini.
Tadi malam setelah pertengkaran antara Agra dan dirinya, lelaki yang berstatus suaminya itu meminta maaf padanya. Awalnya Aya hanya mengabaikannya, namun saat merasa bahwa disini dirinya juga salah, ia memaafkan sekaligus meminta maaf pada suaminya itu.
"Bu, bangunya nanti aja. Abel masih ngantuk..."
Aya yang sudah ingin bergerak untuk membangunkan Abel secara paksa, terhenti. Hatinya tiba-tiba tak tega untuk membangunkan anak itu. Menghela nafas lelah, Aya melirik jam tidur berbentuk Roket yang berada diatas nakas kamar ini. 7.15, masih ada cukup waktu sebelum jam delapan pagi.
“Lima belas menit lagi, sesudah itu bersiap-siaplah. Kita akan pergi.”
“Apaa? Lima belas menit?” Abel membuka matanya, kantuknya hilang. Ia yakin lima belas menit tidak akan cukup dan ia tak yakin bisa bangun tepat waktu, jadi bocah itu memilih bangun dari tidurnya.
Aya masih berada di kamar Abel, memperhatikan bocah itu melamun mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang entah pergi kemana malam tadi. “Hoamm....”
Wanita itu spontan menutup mulut bocah itu, Abel mengerjapkan matanya beberapa kali, melihat perlakuan Aya yang begitu mirip seperti ibu pada anaknya.
“Huh, bau sekali!” Aya segera menarik tangannya, mengendus tangannya dan pura-pura merasa jijik.
Abel menatap Aya biasa saja, ia malah sedikit terkekeh, matanya menyipit beberapa saat. Bocah sembilan tahu itu sudah memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan perkataan Aya lagi.
“Kita mau kemana, Bu?” tanya Abel sambil menggaruk-garuk lehernya.
“Rumah sakit,” jawab Aya sambil berjalan menuju lemari pakaian yang berada disudut kamar. “Lho ini kenapa disini ada kain lap?” tanya Aya sambil mengambil satu potong baju kaos bewarna kuning yang gambarnya sudah memudar.
Anak laki-laki yang berada di atas kasur itu meringgis. Apa baju-bajunya terlihat seperi kain lap? Maaf saja kalo begitu.
“Itu baju-baju Abel, Bu,” katanya pelan seraya bangkit dari kasur. Abel langsung bergerak merapikan tempat tidurnya, sedikit kesulitan karena kasurnya yang sekarang lebih besar dari sebelumnya.
Hanya itu dan beberapa hal kecil lainnya yang bisa Abel lakukan, setidaknya kehadirannya disini tak membuat pekerjaan Ibunya itu bertambah.
“Sudah cepat sana mandi,” titah Aya tak mau dibantah. Abel mengangguk, ia membuka piyama dan celananya dengan santai. Wanita yang berada disana hampir saja memekik ketika Abel ingi menurunkan celana dalamnya.
“STOPPP IT!” teriak Aya menujuk Abel.
“Heheh, maaf, Bu,” sesal bocah itu, pasti Aya merasa tak nyaman karena ia membuka bajunya disini. Bagaimana pun mereka bukanlah Ibu dan anak yang sesungguhnya.
Abel memungut piyama dan celananya yang berada di lantai hanya dengan celana dalam, saat ia memutar tubuhnya tuk berjalan ke kamar mandi. Aya tiba-tiba memintanya berhenti sebentar, astaga! anak laki-laki sembilan tahun itu sontak membulatkan matanya ketika melupakan sesuatu.
“Abel mandi dulu—- awwhh.” Abel merasakan tanganya ditarik kuat membuatnya tak bisa kabur.
“Ini kenapa?” tanya Aya, pasti wanita itu sudah melihat punggung Abel. Tangannya ingin menyentuh punggung itu namun bocah sembilan tahun itu menepis tangan Aya.
“Bukan apa-apa kok, Bu. Cuman jatuh dari sepeda,” kata Abel beralasan. Ia beberapa kali menggerakan bola matanya ke kanan dan ke kiri, kemana saja asal tak melihat ke arah Aya.
“Tidak ada luka jatuh dari sepeda seperti ini!” tanpa sadar Aya membentak Abel, membuat tubuh bocah itu bergetar dan disadari ibu angkatnya itu. Wanita itu menghela nafasnya, bagaimana pun ia khawatir dengan keadaan anak angkatnya itu. Karena kata Arga, Abel itu sudah menjadi anak mereka dan ia menjadi ibunya, jadi sudah sewajarnya itu bertindak seperti ini. Dipegangnya lembut pundak Abel lalu diputarnya tubuh anak laki-laki itu perlahan.
“Saya minta maaf sudah membentak kamu,” kata Aya menyesal. “Tapi, bisa jelaskan luka apa yang ada di punggung kamu?” Aya bertanya sambil meringgis, membayangkan anak sekecil ini mendapatkan luka seperti pasti akan begitu sakit. Apalagi tak hanya bagian punggung namun juga bagian seluruh tubuhnya yang tertutupi jika mengenakan pakaian.
Ah, pintar sekali orang yang melakukan ini pada Abel.
Abel masih bungkam, antara takut atau tak ingin lagi membahas hal yang sudah. Pernyataan dari Aya membuatnya mengingat kejadian-kejadian itu, hal yang membuat luka-luka dibagian sekujur tubuhnya terluka.
“Saya akan membawa kamu ke Rumah sakit untuk pemeriksaan kesehatan. Apa tanggapan orang-orang disana nanti jika kami yang merupakan orang tua adopsi kamu tidak tahu mengenai hal ini?”
Tanggapan? Apa ibu angkatnya itu hanya memikirkan perkataan orang lain? Apa Aya tak memikirkannya?
“Itu luka yang Abel dapat waktu tinggal di keluarga yang pernah adopsi Abel dulu, sebelum dikembalikan ke Panti lagi,” ceritanya dengan nada pelan. “Bukan mareka yang salah tapi karena Abel aja yang telalu nakal.” Bocah itu perlahan melepaskan genggaman Aya pada tangannnya. Ia ingin segera pergi dari hadapan Ibunya itu.
Aya menatap kepergian Abel dengan menghela nafas, bocah itu sungguh memiliki nasib yang begitu malang. Sudah mendapatkan luka lalu dikembalikan.
Saat pintu kamar mandi tertutup, Aya mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Ia langsung mencari kontak orang kepercayaannya. “Halo?”
“Cari informasi mengenai keluarga yang pernah mengadopsi Abel Rekarsana, saya ingin kamu menjebloskan mereka ke penjara. Nanti saya akan memberikan buktinya.”
Tut.
Aya tak akan pernah membiarkan orang itu hidup dengan damai, ia tahu sekali itu merupakan tindakan p**********n seorang anak. Ah, jika pun anak itu memang begitu nakal, tak seharusnya mereka melukai anak itu seperah ini.
“Abel sudah bangun?” Arga bertanya pada Aya yang menghampirinya di dapur saat pria itu sedang memasak untuk sarapan mereka.
Aya tak menjawab pertanyaan Arga, isteri dari pria itu memilih mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dingin. Hanya sekali teguk, gelas itu kosong ketika.
Aya menyodorkan ponselnya pada sang suami, wanita itu sempat memotret panggung Abel sebelum bocah itu masuk ke dalam kamar mandi.
“Nampaknya bocah itu mengalami k*******n pada keluarga yang mengadopsinya sebelum kita, Mas.” Aya geram, bagaimana bisa orang-orang itu tega menyakiti anak sekecil itu. Giginya berglematuk.
“Mas telepon pengacara Mas dulu,” kata Arga serius. Ia bahkan tak ingin berlama-lama menatap foto yang diambil isterinya itu.
“Sudah aku urus, Mas,” ujar isteri Arga.
“Kamu?” tanya Arga tak yakin.
“Iyalah, bagaimana pun dia anak aku, Mas.”
Aya langsung mengalihkan pandangannya pada Arga ketika mengatakan perkataan barusan, suaminya itu tiba-tiba tersenyum lebar.
“Apa kamu bilang tadi?” tanya Arga.
“Ahh— itu aku lapar banget, Mas.”
Arga terkekeh melihat isterinya salah tingkah, ternyata perkiraannya benar. Aya memang menyayangi Abel namun isterinya itu terlalu malu untuk mengakuinya.
Ketika nasi goreng spesial buatan Arga telah selesai dibuat, Abel turun mengenakan kaos yang menurut paling bagus dan celana berbahan jeans. Anak itu tersenyum kecil ketika Arga memintanya duduk di meja makan.
“Enak?” tanya Arga pada Aya yang telah melahap nasi goreng lebih dulu. Wanita itu hampir menghabiskan nasi goreng yang ada dipiringnya.
“Lebih enak buatan aku,” katanya membuat Arga menggelengkan kepala. Pria itu ingin bertanya pada Abel, namun bocah itu belum menyentuh makanannya.
“Lho Abel kok belum makan?” Arga bertanya. “Abel enggak suka nasi gorengnya ya? Mau Ayah buatin apa?”
Abel menggeleng dengan cepat, ia malah menatap Aya yang sedang makan dengan lahap.
“Abel mau makannya tunggu Ibu selesai aja, takut buat Ibu terganggu sama suara makan Abel.”
Aya sontak menghentikan tangannya yang hendak menyendokan lagi nasi goreng, ia langsung menatap Abel yang tersenyum kecil ke arahnya. Tak ada tatapan kebencian atau dendam. Senyuman itu sendu yang membuat hati Aya terasa dicubit.
Wanita itu menyuapkan lagi nasi goreng ke mulutnya, kebetulan itu suapan terakhir karena Aya memang meminta porsi yang sedikit pada suaminya.
“Abel,” panggil Aya ketika wanita itu menyelesaikan makannya.
“Sini, dekatan,” katanya membuat Abel mengerutkan dahinya. Akan tetap ia menuruti kemauan Ibunya itu.
Aya mengambil piring Abel ketika bocah itu sudah berada di dekatnya. “Aaaa...”
Abel terdiam ketika Aya mengarahkan sendok berisi nasi goreng ke arahnya. “Buka mulutnya, nanti kita terlambat,” katanya wanita itu berujar tegas.
“Tap—awhhhhh nyam nyam...”
Aya dan Arga tergelak ketika Abel hendak protes namun ibu angkatnya itu lebih dulu memasukan makanan ke dalam mulut kecilnya yang begitu cerewet. “Makan dulu, lihat tubuh kamu seperti batang singkong. Kurus sekali,” omel Aya sambil memberikan satu suap lagi.
Apa tidak ada perumpaan yang lebih baik lagi dari batang singkong? Batin Abel dalam hati. Namun ia tetap menerima suapan yang diberikan Aya. Sesekali Arga menimpali dan memberikannya minum.
Tapi, entah mengapa nasi goreng yang masuk ke dalam mulutnya bertambah enak berkali-kali lipat. Ah. Apa ini yang dimaksud dengan tangan ajib seorang Ibu?