bc

CEO dari desa: Lelaki yang mereka tinggalkan

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
HE
confident
boss
drama
tragedy
bxg
serious
campus
city
small town
disappearance
poor to rich
like
intro-logo
Blurb

Dibesarkan di desa terpencil oleh neneknya, Aldian adalah anak yatim piatu yang hidup sebatang kara. Setelah kematian sang nenek, ia memutuskan merantau ke kota. Tak punya uang, pendidikan, atau koneksi—yang ia miliki hanyalah tekad dan mimpi.Tahun demi tahun ia habiskan dengan kerja keras, jatuh bangun, hingga akhirnya menjadi CEO muda dari sebuah perusahaan besar. Saat bisnisnya membawanya kembali ke kota itu, masa lalu pun menyambutnya—termasuk cinta pertama dan sahabat lama yang kini jadi rival.Akankah Aldian bertahan dalam dunia keras yang pernah menolaknya? Ataukah luka lama akan mengubahnya selamanya?

chap-preview
Free preview
BAB 1 — Langkah Pertama Tanpa Nenek
Hujan turun deras membasahi tanah merah pekarangan rumah kecil di ujung desa. Aroma basah rerumputan bercampur dengan bau tanah yang baru digali. Di hadapan gundukan tanah itu, seorang pemuda berdiri kaku, tubuhnya basah kuyup, namun tak bergeming. Mata itu menatap kosong, seolah seluruh harapan terkubur bersama jasad terakhir yang menyayanginya. “Nek...” bisiknya lirih. Suaranya hampir hilang ditelan gemuruh langit. Itu adalah hari keempat sejak nenek Aminah meninggal dunia—satu-satunya keluarga yang Aldian miliki. Hidup bersama sejak ia berusia lima tahun, setelah orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tragis, membuat Aldian lebih dekat pada neneknya daripada siapa pun di dunia ini. Kini, semuanya telah tiada. Rumah reyot berlantai tanah itu tak lagi hangat. Tak ada suara batuk nenek, tak ada aroma sayur bening kesukaannya. Hanya kesunyian dan dingin yang membekap. Aldian menatap langit yang kelabu. Usianya baru dua puluh dua. Tak punya ijazah, tak punya tabungan, bahkan tak punya tempat lain untuk berpulang. Tapi dalam keheningan itu, ada satu hal yang masih ia punya: tekad. “Aku harus pergi dari sini...” gumamnya. Ia tahu, tinggal di desa hanya akan membuatnya terjebak. Orang-orang di sini memandangnya sebagai "anak yatim piatu yang kasihan." Tak satu pun benar-benar percaya bahwa anak tukang kebun itu bisa jadi sesuatu. Bahkan guru SMP-nya dulu pernah berkata, "Aldian, kamu itu baik, tapi dunia ini keras. Jangan mimpi tinggi-tinggi." Namun justru itu yang menyulut semangatnya. Malam itu, setelah mengemasi tas lusuh peninggalan ayahnya, Aldian melangkah keluar rumah. Ia tak membawa apa-apa, kecuali tiga potong pakaian, dua lembar uang dua puluh ribuan, dan sebuah buku catatan kecil berisi tulisan neneknya: “Hidup itu berat, Nak. Tapi kamu lebih kuat dari hidup.” Ia berjalan kaki menuju terminal desa. Bus malam ke kota berangkat pukul 20.00. Tak ada yang melepasnya. Tak ada pelukan. Tak ada ucapan hati-hati. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang mengiringi kepergiannya.Kota itu asing. Tapi Aldian yakin, di sanalah hidupnya akan berubah. Terminal kota begitu berbeda dengan yang Aldian bayangkan. Lampu neon yang berkelap-kelip, suara klakson kendaraan yang tak henti-hentinya, dan lautan manusia yang berjalan cepat membuat dadanya sesak. Ia menarik napas panjang, menatap ke arah gedung-gedung tinggi yang menjulang seakan menantang. Langkah pertamanya adalah mencari pekerjaan. Dengan bekal dua puluh ribu rupiah dan semangat yang belum padam, Aldian mulai melangkah menuju kawasan industri di pinggiran kota. Setiap jalan yang dilalui terasa seperti rintangan baru; jalan berlubang, bau asap pabrik, dan tatapan sinis dari orang-orang kota yang terburu-buru. Hari pertama sebagai buruh kasar di sebuah pabrik pengolahan makanan adalah pukulan berat baginya. Tangan yang terbiasa mengaduk tanah di kebun nenek harus beradaptasi dengan mesin-mesin berat dan pekerjaan berulang yang melelahkan. Tubuhnya yang belum terbiasa kerja fisik berat sering kali gemetar dan pegal, namun ia tidak pernah mengeluh. “Kamu orang baru ya?” tanya seorang pria paruh baya sambil menyeka keringat. “Namaku Pak Joko. Jangan menyerah, Nak. Kerja keras di sini memang berat, tapi kalau konsisten, kamu bisa naik level.” Kata-kata Pak Joko sedikit menguatkan hati Aldian. Meski terasa berat, ia tahu ini adalah langkah kecil menuju mimpinya. Malam harinya, di kos sederhana yang ia sewa dengan harga murah, Aldian membuka buku catatan neneknya. Di sana tertulis sebuah pesan yang selalu ia ingat: “Kamu lebih kuat dari hidup.” Pesan itu menjadi lilin kecil di tengah kegelapan yang ia rasakan. Hari-hari berlalu, tubuh Aldian semakin kuat, tapi tantangan baru muncul. Ia sering merasa rindu rumah, rindu nenek, dan rindu ketenangan desa. Namun ia tahu, ia harus bertahan demi masa depan. Suatu sore, saat sedang istirahat, Aldian bertemu dengan seorang gadis yang bekerja di kantor pabrik. Namanya Sari, perempuan muda yang ramah dan penuh semangat. Mereka mulai berbincang, dan dari perbincangan itu, Aldian merasakan harapan baru tumbuh di hatinya. “Kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu cari kursus bahasa Inggris atau komputer. Biar kamu bisa kerja yang lebih baik,” kata Sari dengan senyum tulus. Aldian tersenyum, pertama kali sejak lama hatinya merasa sedikit ringan. Mungkin, langkah pertama tanpa nenek ini bukan akhir dari segalanya. Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama: bangun pagi, kerja di pabrik, pulang ke kos, dan belajar sedikit demi sedikit. Tubuh Aldian yang dulu lemah mulai terbiasa dengan kerasnya kerja fisik. Tangan-tangannya yang dulu halus mulai bersisik dan kuat. Namun, kehidupan di kota juga membawa masalah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Suatu malam, saat sedang pulang, ia melewati gang gelap yang jarang dilewati orang. Sekelompok anak muda yang sedang mabuk menghampirinya. Mereka mengejek asal-usul Aldian sebagai anak desa dan mencoba mengintimidasi. “Eh, anak kampung! Apa kamu kira kamu bisa hidup di sini? Kembali aja sana!” ejek salah satu dari mereka. Aldian hanya menunduk, mencoba menghindar, tapi salah satu dari mereka mendorongnya hingga terjatuh. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena marah yang membara. “Tunggu!” seru Aldian sambil bangkit perlahan. “Aku mungkin dari desa, tapi aku di sini bukan untuk kalah sama kalian.” Mereka tertawa sinis dan berlalu, tapi kejadian itu menguatkan Aldian. Ia sadar, selain kerja keras, ia juga harus kuat mental untuk bertahan. Beberapa minggu kemudian, Sari datang dengan kabar baik. “Aldian, aku sudah cari info kursus komputer yang murah dan dekat sini. Mulai minggu depan, kamu mau ikut?” Mata Aldian berbinar. Ini adalah kesempatan untuk naik kelas, keluar dari pekerjaan kasar, dan mulai membangun masa depan. “Terima kasih, Sari. Aku akan coba.” Pelan-pelan, Aldian mulai belajar mengetik, menggunakan software dasar, dan berkomunikasi dengan lebih percaya diri. Setiap langkah kecil itu membuatnya merasa hidupnya mulai berubah. Namun perjuangan belum selesai. Aldian harus menghadapi rasa rindu yang dalam pada neneknya, rasa sepi di malam-malam panjang, dan tekanan untuk tidak menyerah. Di akhir bab, Aldian menulis di buku catatan kecil peninggalan neneknya: "Aku tak tahu apa yang menanti di depan, tapi aku janji akan terus melangkah. Untuk nenek, untuk diri ini yang dulu rapuh, kini mulai kuat." Musim hujan berganti kemarau, dan Aldian sudah hampir tiga bulan hidup di kota. Tubuhnya yang dulu rapuh kini terlihat lebih tegap, meski matanya kadang masih menyimpan kesedihan yang dalam. Pagi itu, saat hendak berangkat kerja dan kursus, Aldian menerima kabar dari pemilik kos. Tagihan sewa kamar belum dibayar selama dua bulan. “Kalau kamu tidak bisa bayar bulan ini, kamu harus keluar,” kata ibu kos dengan nada tegas tapi tidak kasar. Aldian menggigit bibir, hatinya panas. Uang hasil kerja di pabrik memang sedikit, apalagi harus membayar kursus dan makan sehari-hari. Ia tahu, jika keluar dari kos, ia akan kehilangan tempat berteduh satu-satunya di kota ini. Malam harinya, setelah pulang kerja dan belajar, Aldian duduk di trotoar, menatap lampu jalan yang mulai menyala. Ia mengingat pesan nenek: “Hidup itu berat, tapi kamu lebih kuat dari hidup.” “Ini bukan saatnya menyerah,” gumamnya. Keesokan harinya, Aldian memutuskan mencari kerja tambahan. Ia bertanya ke Pak Joko di pabrik dan beberapa orang di pasar malam. Beruntung, ada sebuah kedai kecil yang membutuhkan pelayan paruh waktu. Meski lelah, Aldian menerima pekerjaan itu. Setiap malam, setelah pulang dari pabrik, ia membantu di kedai sampai larut. Uang tambahan itu membuatnya bisa bayar kos tepat waktu dan melanjutkan kursus. Tapi yang lebih penting, itu memberi rasa percaya diri yang baru. Suatu sore, di sela waktu istirahat, Sari datang membawa kabar menggembirakan. “Aldian, aku sudah daftar kamu ke lomba keterampilan komputer di kampus tetangga. Kalau menang, hadiahnya beasiswa!” katanya penuh semangat. Mata Aldian melebar. Ini adalah peluang besar yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Aku akan berusaha sekuat tenaga,” jawab Aldian. Hari lomba tiba. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia bertekad memberikan yang terbaik. Saat mengerjakan soal-soal dengan fokus, ia teringat semua perjuangan yang telah dilalui. Ketika pengumuman keluar, nama Aldian disebut sebagai juara kedua. Suasana seketika berubah. Teman-teman kursus mengerubunginya, memberi selamat. Sari tersenyum bangga. Aldian merasakan getaran hangat di d**a. Ini bukan sekadar juara, tapi awal dari sebuah kehidupan baru yang selama ini ia impikan. Di malam yang tenang, ia kembali membuka buku catatan neneknya. Kali ini, ia menulis dengan tinta hitam yang mulai pudar: "Nenek, aku sudah mulai melangkah. Terima kasih sudah percaya aku bisa lebih dari sekadar anak yatim piatu dari desa. Aku akan terus maju, demi kita." Langkah pertamanya tanpa nenek mungkin penuh kesepian dan air mata, tapi kini, Aldian tahu, ia tidak pernah benar-benar sendiri.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
51.1K
bc

Setelah Tujuh Belas Tahun Dibuang CEO

read
1.2K
bc

TETANGGA SOK KAYA

read
52.2K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
31.0K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.7K
bc

Pacar Pura-pura Bu Dokter

read
3.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook