Another Disaster

1569 Words
“shift sore, dok?” sapa dr. Kurniawan yang tiba-tiba berada di sampingnya. Dana mengangguk, lalu kembali melambaikan tangan pada Lani yang mengantar dengan masih mengenakan seragam batik SMA-nya yang memiliki warna mencolok. Dia merasa tak enak, karena selalu merepotkan mama Marisa dan Lani. Mereka berdua begitu baik dan banyak berkorban untuknya. Adik sahabatnya itu bahkan rela mengantarkannya sebelum pergi sekolah saat ia mendapat shift pagi dan sesaat setelah ia baru pulang sekolah jika Dana mendapatkan shift sore. Untung saja, Jalan-jalan di Sampit tidak padat merayap dan jarak antar bangunan yang berupa Fasilitas umum seperti, Kantor pemerintah, rumah sakit bahkan kantor polisi tidak terlalu jauh, berbeda dengan negara asalnya. “Siapa?” tanya dr. Kurniawan menatap Lani yang tersenyum lalu memutar motornya. “Adik dari sahabat saya. Dr. Kur shift sore juga?” ucap Dana memotong nama Kurniawan menjadi Kur, seperti para perawat lain membuat dr. Kurniawan mendelikan mata. “KUR?! Dokter kira saya ayam dipanggil Kur-kur segala,” decaknya kesal membuat Dana terkekeh lalu mengangkat singkat bahunya. “Terlalu sulit kalau saya harus memanggil dr. Awan. Kesannya nama Awan itu bukan nama dokter banget gitu.” Dana berjalan tanpa memperdulikan dokter muda itu. Dr. Kurniawan terkekeh menatap wanita Korea di depannya. Bertanya-tanya bagaimana dokter wanita Korea ini bisa berbicara bahasa Indonesia dengan begitu fasih. Terlebih, saat mengucapkan kata berakhiran -R. seingatnya dari mantan-mantan pacarnya yang terkena K-drama and K-pop Syndrome ia tau bahwa orang-orang Korea pada umumnya  tidak dapat menyebutkan beberapa huruf di akhir kalimat, seperti R dan S. Logat mereka akan terdengar aneh jika mengucapkannya. Tapi, mendengar Dana dengan begitu fasih menggunakan bahasa Indonesia membuatnya mengernyit.  Dokter cantik itu selalu bisa membuatnya terkejut. Diikutinya langkah Dana, hingga akhirnya ia berada di samping dokter cantik itu “Dr. Dana nggak salah lahir kan?” tanya dr. Kurniawan membuat Dana berhenti dan menatapnya bingung. “Maksudnya?” “Iya ... dokter seharusnya bukan lahir di Korea, melainkan dilahirkan khusus untukku.” Dana hanya terkekeh kecil mendengar gombalan dr. Kurniawan. Tak menanggapi gombalan ala pria playboy yang ingin mendapatkan hati para wanita. Perangai dokter di depannya ini mengingatkannya pada Donghae, kakak kandungnya. Pria yang selalu tebar pesona pada semua wanita yang ia anggap menarik. Yah, walaupun tidak ada salahnya jika dilihat wajah kakaknya dan dr. Kurniawan yang bisa dikatakan sangat tampan. Lady Killer mungkin julukan yang tepat untuk mereka berdua. Kegombalan seperti itu tak berpengaruh apa-apa untuknya. Hatinya seolah sudah membeku sejak Won meninggalkannya dulu. “Sepertinya, dokter satu-satunya wanita yang tidak tertarik dengan pesona saya,” degus dr. Kurniawan membuat Dana terkekeh. Menatap kaget melihat perubahan mimik muka dr. Kurniawan saat melihat dr. Enno berpapasan dengan mereka. “Sepertinya, ada satu wanita lagi yang tidak tertarik dengan pesona dr. Kur,” kekeh Dana meninggalkan dr. Kurniawan yang membatu menatap dokter cantik berhijab itu tanpa kedip. Senyum Dana menghilang saat melihat sepasang kekasih yang sedang duduk berdua, di salah satu balkon ruang perawatan. Si wanita, ia yakini pasien rumah sakit ini. Wajahnya terlihat begitu pucat. Tubuh lemah wanita itu bersandar di bahu si pria yang dengan sabar berbicara seraya terus membelai rambut kekasihnya. Tiba-tiba, d**a Dana terasa nyeri. Rasanya ada ribuan benda tajam yang menusuk dadanya, saat ingatan kebersamaan ia dan Won kembali terputar. Sudah hampir seminggu, sejak Dana datang di Sampit. Selama seminggu itu pula, Dana mencoba untuk tidak lagi mengingat kebersamaannya dulu dengan Won.  Hatinya sudah cukup lega saat dia sudah mulai melupakan rasa kehilangan Won. Namun, saat ingatan itu datang sendiri tanpa bisa ia cegah. Rasa sakit teramat sangat di dadanya kembali ia rasakan. Dana mengangkat kepala, berusaha menahan air mata yang ingin kembali keluar. Ia sudah berjanji pada mendiang Won dan dirinya sendiri untuk tak pernah menangisi kepergian pria yang selalu mengisi ruang terdalam di hatinya itu.  Dana menghela napas dalam, mencoba menetralkan detak jantung dan rasa sakit yang ia rasakan. Matanya menjelajahi ke arah selasar rumah sakit dan melihat dr. Sakti berada di seberangnya, terdiam dengan mata yang seolah terfokus kepadanya. Dana tersentak, saat tanpa sengaja mata mereka bertemu. Seolah atasannya itu sedang memperhatikannya dari kejauhan. Dana mencoba tersenyum dan menundukan kepala mencoba menyapa. Namun, dokter itu dengan cepat membuang muka dan pergi menjauh.  Sepertinya dr. Sakti semakin tidak menyukai keberadaannya di rumah sakit ini. Baru tiga hari ia berada di rumah sakit ini, tapi penolakan yang dilakukan atasannya itu semakin menjadi-jadi. Dengan langkah lunglai Dana mencoba berjalan menuju tempat kerjanya. Sebisa mungkin, ia harus menyingkirkan perasaan sedih itu dan melakukan semua pekerjaannya sebaik mungkin. ****** Ini merupakan hari terburuk untuk Dana. Ingatan tentang Won tadi membuat mood-nya down. Pikirannya kosong. Beberapa kali, ia ketahuan sedang melamun hingga akhirnya mendapat teguran dari  dr. Sakti yang sedang menangani pasien yang memerlukan perawatan intensive. Beruntung, pasien yang datang sore hari tak sebanyak pasien saat siang. “Bad day, dok?” tanya Tika kembali menyodorkan gelas berisi es Capucinno yang di bawahnya diberi parutan cincau yang menyegarkan. Dana mengambil es itu, lalu tersenyum simpul. Diseruputnya es itu, merasakan bagaimana  perpanduan rasa kopi dan rasa cincau yang menyegarkan. Dana kembali melamun. Pikirannya kosong. Jika rumah sakit ini tak kekurangan tenaga dokter dan ia bisa mendapatkan izin pulang, Ia ingin melakukannya. Yang Dana perlukan sekarang adalah pulang, masuk ke dalam kamar dan menyendiri. Pergi sejauh mungkin dari orang-orang agar otaknya bisa berpikir jernih. Ia perlu menenangkan dirinya sendiri. “Dokter tidak apa-apa?” tanya Tika dijawab gelengan lemah Dana. Ditatap Dana yang berwajah murung. Ia ingin bertanya apa masalah yang membuat perubahan di wajahnya, namun ia segan. Rasanya tak etis bertanya masalah pribadi, di saat mereka baru saja saling mengenal. “Dok, ada pasien yang baru datang,” ujar Mira tiba-tiba. “Nggak ada dokter lain?” tanya Tika mengerti mencoba mengerti mood Dana yang lagi down. “Nggak ada. Yang piket hari ini cuman dr. Dana, dr. Kur sama dr. Sakti. Dr. Kur lagi nanganin pasien yang lain, sedangkan dr. Sakti lagi ngerujuk pasien yang dia tangani tadi ke ruang intensive.” Dana yang sedang menatap Mira hanya bisa menghela napas. Sepertinya, ia tak bisa  lari dari kenyataan bahwa ia adalah seorang dokter yang harus menolong para pasiennya. Dia berdiri, lalu berjalan meninggalkan Mira dan Tika yang terkejut menatapnya. Dana sedikit tersentak saat melihat seorang bapak-bapak paruh baya yang sedang dipapah dua pria berumur 30 tahunan. “Bapaknya kenapa, Bu?” tanya Dana pada ibu-ibu berjilbab segitiga yang ia ikat sembarangan di lehernya. “Itu dok,” ucapnya dalam logat yang tak biasa didengar telinga Dana. Dia yakin, pasien ini berasal dari suku pendatang layaknya dirinya. “Kakinya sakit, terus ngeluarin nanah.” Dana menatap kaki bapak yang sedang di papah itu. Sedikit mengernyit saat melihat kaki kanan bapak itu ditutupi plastik hitam kemudian, beralih menatap wajah bapak itu yang terlihat lemas.  Diabetes basah. “Taruh bapaknya di ranjang,” pinta Dana pada dua orang pria yang sedari tadi memapahnya. Dana memasang sarung tangan lateks dan menutupi wajahnya dengan masker. Meminta Tika mengambilkan gunting, pinset dan beberapa peralatan standar pertolongan pertama lainnya. Dana berusaha mencari keberadaan dr. Kurniawan, berharap pria itu mau menggantikannya. Harapannya musnah, saat melihat dr. Kurniawan sedang merawat pasien lain di ranjang yang tak jauh darinya. Ia tak mungkin meminta dr. Sakti menggantikannya, mengingat raut tak suka dokter itu yang selalu ia perlihatkan. Tangan Dana bergetar saat mulai menggunting plastik hitam yang menutupi kaki bapak itu. Gunting dan pinset yang ia pegang terjatuh seketika saat melihat luka pada kaki bapak itu sudah mulai membusuk, jika diperlihatkan lebih jauh terlihat ada benda bergerak dari lukanya membuat Dana bergedik ngeri dan reflek menjauhkan tubuhnya. “WHAT ARE YOU DOING?!” teriakan dr. Sakti yang menggema dari arah belakang mengagetkan Dana. Ia membalikan kepala dan menatap takut saat dr. Sakti menatapnya dengan penuh amarah. “Berdiri, biar saya yang menangani,” ucapnya dingin dan tegas, bergerak ke arah samping Dana, membuat dokter cantik itu berdiri. “Kamu ke ruangan saya setelah ini selesai!’ perintahnya tegas saat Dana berada di sisinya. Dana menelan air liurnya. Aura menyeramkan terpancar dari tubuh dr. Sakti membuat ketakutan yang Dana rasakan semakin menjadi-jadi. Kepalanya menuduk, matanya melirik apa yang dr. Sakti lakukan kepada pasien diabetes itu. Tangannya begitu terampil membersihkan luka yang sudah mulai membusuk itu. Mengambil satu persatu binatang bergerak yang membuat Dana sedikit jijik tadi.  “Kenapa ibu membawa bapak kemari saat penyakitnya sudah parah seperti ini?!” tegJr dr. Sakti dengan sedikit keras membuat ibu-ibu yang membawa bapak tadi tersentak. Luka bapak yang sudah membusuk itu berhasil ia bersihkan dan menutup luka itu dengan beberapa lapis kasa steril agar tidak terbuka. “Nggak tau bakal separah ini, dek,” jawab ibu itu dalam logat lokal asing menatap takut-takut dr. Sakti yang sudah berdiri sembari berkacak pinggang. “Seharusnya ibu tau penyakit suami ibu. Jika ibu terlambat sedikit saja. Kami mungkin akan menghilangkan semua bagian luka yang membusuk, terlebih jika dokter yang menanganinya tidak dapat melakukan hal yang benar!” Kepala Dana semakin menunduk tanpa berani terangkat. Mengetahui kata-k********r dan kerasa yang baru saja diucapkan dr. Sakti ditunjukkan kepadanya. Dia malu akan sikapnya. Seharusnya sebagai seorang dokter, ia harus bisa menahan jijik dan ketakutannya. Seharusnya ia sadar bahwa kesadaran masyarakat Sampit akan kesehatan begitu rendah sehingga membuat mereka datang ke rumah sakit saat penyakit yang mereka atau sanak saudara mereka derita sudah begitu parah.  Apa yang ia lakukan hari ini membuatnya gagal menjadi dokter yang baik. Dokter yang seharusnya bisa melayani, bahkan mengabdikan diri kepada para pasiennya tanpa memikirkan hal lain, selain upayanya untuk merawat dan menyembuhkan pasien.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD