His Anger

1659 Words
Dana berjalan tanpa berani menatap dr. Sakti yang berjalan mendahuluinya. Dilihat dari langkahnya, Dana tau ada kemarahan di balik mimik wajahnya yang datar. “Masuk.” Suara datar dr. Sakti yang menggema membuat Dana bergedik ngeri. Dengan langkah ragu, ia berjalan memasuki ruangan dokter itu. “KAMU PIKIR APA YANG KAMU LAKUKAN?!” Teriak dr. Sakti membanting berkas yang ia bawa tak lama setelah Dana menutup pintu. Dana terlonjak kaget, menatap wajah dr. Sakti yang memerah menahan amarah. Kedua tangannya berada di pinggang berusaha memberi aura antimidasi yang membuat Dana semakin ketakutan. “JIJIK?! BAGAIMANA MUNGKIN DOKTER BISA JIJIK MELIHAT PASIENNYA SENDIRI?!” Sakti menatap Dana yang terdiam, “Kamu pikir di sini negara asalmu yang masyarakatnya sadar akan kesehatan. SADAR dr. Dana Lee, DI SINI KALIMANTAN. Dimana mayoritas masyarakatnya tidak peduli akan kesehatan dan akan pergi ke rumah sakit jika memang keadaannya sudah parah!” ucapnya kembali dengan amarah membuat Dana semakin menundukan wajahnya. “..dan apa yang kamu perlihatkan. Menjatuhkan gunting dan pinsetmu hanya karena melihat belantung di kaki mereka. KAMU PIKIR KAMU SIAPA?!” Sakti menatap Dana tegas. Melihat kebodohan yang baru saja Dana lakukan membuatnya emosi. Seharusnya, dokter dapat menahan rasa jijiknya, setidaknya dihadapan pasien dan keluarganya. Melihat bagaimana sikap Dana tadi yang menatap luka pasien dengan tatapan jijik membuat turun tangan. “Dua hari ini saat melihat bagaimana cara kerjamu merawat pasien, saya mulai berpikir bahwa kamu, bukanlah orang yang seperti saya pikirkan saat pertama kali melihatmu. Tapi, melihat cara kerjamu hari ini. Saya cukup kecewa, ternyata kamu memang tipe dokter yang sama persis dalam pikiran saya. Tipe dokter yang jijik melihat pasiennya sendiri. Dr. Lee, you’re not a good doctor?” ucap Sakti membuat Dana tersentak. “Kamu bisa keluar.” Pikiran Dana kosong saat dr. Sakti memintanya keluar. Reflek melangkah pelan, mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Tubuh Dana lunglai saat ia menutup pintu ruangan. Kakinya lemas, tak mampu menahan beban tubuhnya. Dadanya seakan kembali diremas. Air matanya ingin jatuh namun sekuat mungkin ia tahan. You’re not a good doctor. Kata-kata yang baru saja dikeluarkan dr. Sakti terus terngiang di kepalanya. Perkataan demi perkataan yang diucapkan dr. Sakti benar sepenuhnya. Apa yang ia lakukan tadi merupakan contoh nyata bahwa ia memang bukan dokter yang baik. Hal tadi memang suatu hal yang mengejutkan untuknya. Melihat bagaimana luka bapak itu membusuk dan pergerakan makhluk hidup disana membuatnya sedikit tersentak. Tak pernah sekalipun, ia menemui masalah itu saat masih magang di rumah sakit Korea. Setidaknya, pasien yang mempunyai riwayat penyakit sejenis akan lebih menjaga kebersihan dirinya  dan juga apa yang ia makan sehingga hal tersebut tak pernah terjadi pada mereka. Tatapan Dana terus tertunduk menatap ke arah lantai. Mental breakdown. Itu mungkin istilah yang Dana rasakan hari ini. Mentalnya benar-benar down. Air mata Dana perlahan ingin menetes, namun sekali lagi ia berhasil mengangkat kepalanya dan menahan air matanya agar tidak terjatuh. Dana memejamkan mata, menghela napas dalam sebelum akhirnya berjalan menuju ruang IGD. Langkahnya terhenti saat melihat para perawat dan dr. Kur yang berkumpul di meja administrasi. Tatapan mereka menatapnya khawatir membuat Dana sedikit memaksa dirinya untuk tersenyum. Dana tak dapat menatap wajah mereka lebih lama, dia terus melangkah menjauhi mereka yang melambaikan tangan memintanya untuk mendekat. Rasanya, ia tak punya muka untuk bertemu mereka setelah apa yang ia perbuat tadi. ***** Dana memandang kosong pada halaman depan rumah sakit yang masih dipenuhi mobil-mobil dari pegawai rumah sakit dan wali pasien. Jam sudah menunjukkan pukul 20.15, lewat 15 menit dari jam kerjanya berakhir.  Seratus meter di depan, jalanan utama sudah mulai gelap dan sepi. Tidak seperti Seoul dan beberapa kota besar di Korea lainnya, yang masih ramai di jam seperti ini. Kata-kata yang Sakti ucapkan tadi masih begitu terngiang di telinganya. Saat-saat menunggu waktu kerjanya berakhir layaknya neraka. Ia harus terlihat tegar dan melakukan hal terbaik untuk pasiennya yang lain. Saat melihat pasien yang seharusnya ia tangani tadi, ada rasa bersalah yang menyelinap. Seharusnya, ia tak melakukan hal seperti tadi. “Eonni!” panggil Lani sudah berada di hadapan Dana tanpa ia sadari. Menatap bingung saat melihat raut sedih dan sendu yang Dana perlihatkan tadi. “Eonni, wae?” tanyanya yang tak ditanggapi Dana, dokter cantik itu langsung duduk di belakang Lani dan meminta adik sahabatnya itu menjalankan motornya. Dana bersyukur saat Lani tidak mengeluarkan sepatah katapun, seperti biasanya. Adik sahabatnya itu seolah mengetahui bahwa Dana tidak ingin bicara ataupun menjawab pertanyaan. Ia masih terdiam memandang langit kota Sampit. Untuk pertama kalinya, setelah beberapa hari ia dapat melihat gugusan bintang yang indah di kota ini, langit mengikuti suasana hatinya. Mendung, tanpa ada satu bintangpun yang mempercantik tampilan malam seperti biasanya. “Dana kenapa?” tanya Marisa saat Dana masuk ke dalam rumah dan berjalan meninggalkannya tanpa menyapa seperti biasanya. “Biarkan Eonni sendiri dulu, Ma. Sepertinya, hari ini begitu berat untuknya,” ucap Lani menahan tangan Marisa yang ingin mengejar Dana. Marisa menghembuskan napas dalam,melihat Dana yang sudah menutup pintu kamar. Hari ini begitu berat untuknya. Batin Dana terkekeh membenarkan ucapan Lani. Hari ini memang begitu berat untuknya. Ingatan tentang Won yang tadi tiba-tiba datang, kesalahan terbesarnya sebagai seorang dokter membuat harinya menjadi begitu berantakan. Kakinya yang sedari tadi ia paksa untuk menopang tubuhnya akhirnya tak berdaya. Tangisannya yang sedari tadi ia coba tahan, perlahan mulai keluar. Isakan-isakan kecil keluar bersamaan dengan bunyi hujan yang turun mengenai atap seng rumah ini. Bahkan, langit Sampit ikut menangisi kesalahannya. Jika saja tadi, ia dapat memisahkan masalah pekerjaan dan hatinya. Ini semua tak akan pernah terjadi. Ia terlalu banyak memainkan perasaan akan masa lalunya yang kelam. Masa lalu yang membuatnya terjebak dalam satu dimensi sehingga tidak memikirkan keadaan orang lain. Bagaimana mungkin ia tak memikirkan bagaimana perasaan pasien dan walinya saat melihat ia menjatuhkan gunting dan menatap luka bapak itu dengan jijik. Selama ini impian terbesar Dana adalah menjadi seorang dokter. Mengobati penyakit orang lain tanpa memperdulikan agama, ras bahkan kekayaan mereka, melihat rona bahagia di wajah mereka saat ioa telah berhasil melaksanakan tugasnya. Namun, apa yang telah ia perbuat tadi mengecewakan dirinya sendiri. Air mata Dana jatuh semakin deras berbanding lurus dengan air hujan yang jatuh membasahi bumi Habaring Hurung[1]. Suara gemuruh petir yang saling menyambar menutupi isakan-isakan keras yang akhirnya Dana keluarkan. Kakinya menekuk, ditundukkan kepalanya ke arah lututnya guna meredam suara tangisnya yang semakin mengeras. “Dana... buka pintunya. Mama bawaan lilin,” ucap Marisa dari balik pintu, tak lama setelah listrik tiba-tiba padam. Dana hanya mengangkat kepala, tak merespon ketukan bahkan gedoran pintu yang dilakukan Marisa. Ia ingin menyendiri, menumpahkan semua tangis dan sesak di dadanya. “Dana eonni, nggak bakalan ngelakuin hal bodoh lagi, mah. Percaya sama aku,” ucap Lani menghentikan gedoran pintu Marisa. Dana menghapus air matanya setelah merasa sedikit lega. Perkataan Lani seolah menyadarkannya. Dia memang tidak akan melakukan hal bodoh seperti yang ia lakukan di Korea dulu. Dadanya masih sedikit nyeri tapi ia berusaha untuk menahan rasa sakit itu. Matanya menerjab mencoba fokus di dalam kegelapan. Suara hujan yang cukup deras menjadi backsound dari semua rasa bersalah yang ia rasakan. Di saat-saat seperti ini, ia begitu merindukan keluarga dan para sahabatnya yang selalu ada untuknya di saat terburuk wajah sedih mereka saat ia melakukan hal bodoh dulu kembali terbayang. Membuatnya menyadari bahwa ia tidak boleh menyerah atas semua keputusan yang ia ambil. Dering handphone yang terdengar dari tas tangan yang ia bawa menyadarkannya. Dengan cepat, ia mencari keberadaan handphone. Dana mendesah saat melihat Id-caller yang terlihat di layar smartphone miliknya. Omma... Tersenyum lemah. Ibu-nya memang selalu tau apa yang terjadi dengan Dana sekarang. Dana berdehem menghilangkan suara bindengnya akibat terlalu banyak menangis.  “Ehem ... Ehem ...,” dehemnya sekali lagi, lalu mengangkat telepon Ibunya. “Omma...,” panggil Dana mencoba ceria. “Uri Aegi-ya[2]..”Pekik Eunhae ceria saat mendengar suara putri tercintanya. “Muksuri wae I re?[3] tanya Eunhae khawatir mendengar suara Dana yang terdengar berbeda. “Aniyo Omma, Nan Gwenchana. Aku hanya terlalu merindukan kalian sehingga sedikit menangis.” “Kau ingin kembali ke sini. Aku akan meminta Ayahmu dan Dina menyiapkan pesawat pribadi perusahaan untuk menjemputmu,” ucap Eunhae cepat membuat Dana terkekeh. Seperti biasa, sikap berlebihan yang diperlihatkan ibunya selalu bisa meringankan semua perasaan sedihnya. “Aku baik-baik saja, Omma.  Jangan khawatir,” ujar Dana lembut membuat Eunhae mendesah. “Bisakah kita Video call, aku ingin melihat wajah putri cantikku.” “Tidak bisa sekarang, Omma,” tolak Dana cepat. “Wae?” tanya Eunhae cepat. “Di sini sedang mati lampu..” ...Dan aku tak ingin omma melihat wajah muramku. Lanjut batin Dana. Dia tak ingin ibunya melihat wajah sembabnya dan membuat ibunya itu tambah khawatir. “Ya.. Bagaimana mungkin?!” pekik ibunya keras sehingga membuat Dana harus menjauhkan smartphone itu dari telinganya. “Aku harus terbiasa dengan mati lampu mulai sekarang,” ucap Dana mencoba meredakan kekhawatiran mamanya. “Tak bisakah kau kembali dan melanjutkan internship itu di sini saja. Aku begitu merindukanmu. Begitupula, Appa. Aku bahkan tak tau harus berkata apa jika Donghae datang dan menanyakan keberadaanmu nanti.” Dana tersenyum getir, “Aku juga sangat merindukan kalian. Tapi ..., aku tak bisa meninggalkan tanggung jawabku di sini.” Benar, ia memang tak bisa melepaskan semuanya. Dana sudah berjanji untuk mengabdikan dirinya di kota kecil ini. Setidaknya, ia harus bisa berubah menjadi dokter yang baik untuk semua orang di Sampit, sebelum akhirnya ia kembali ke kota asalnya. “Araseo,” desah Eunhae akhirnya mendengar ucapan keras kepala putri bungsunya ini. “Katakan padaku, kalau kau butuh ataupun ingin sesuatu. Aku akan menyuruh Dina mengirimkannya ke sana.” “Aku mengerti, Omma. Jangan khawatir aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku akan sangat merindukanmu,” ucap Dana mengucapkan kata perpisahan kepada ibunya. Entah mengapa, ia merasa sedikit lega saat mendengar suara ibunya. Rasanya, setelah ini ia bisa memikirkan semuanya dengan lebih jernih dan memutuskan apa yang terbaik untuknya di Kota kecil ini. [1] Motto Kabupaten Kotawaringin timur (Sampit) [2] My baby. Panggilan kesayangan untuk putra atau putri yang masih dianggap sebagai bayi. [3] Suaramu kenapa? (bahasa Korea)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD