Feeling Better

1665 Words
“Sudah bangun?” sapa Marisa yang sedang membawa satu mangkok penuh nasi goreng menuju meja makan. Dana tersipu, melihat jam yang sudah menunjukan pukul 7.30 pagi. Ini rekor bangun pagi terlamanya selama di Sampit. Biasanya ia selalu bangun jam 4 atau minimal jam 5 pagi mengikuti rutinitas yang terjadi di rumah ini. “Eonni, Aku sudah memasukkan dua buah sendok makan di freezer,” ucap Lani tiba-tiba mengagetkan Dana dan memberikan dua sendok makan yang sangat dingin, dia mengangguk menyadari bahwa Lani terlalu banyak menonton drama korea yang malakukan hal ini sehabis menangis. “Kamu tidak sekolah?” tanya Rona memegang matanya yang membengkak. “Libur,” ucap Lani meminta Dana meletakan sendok dingin itu di kedua matanya agar bisa  kedua matanya agar mengempeskan kantung matanya yang membengkak. “Ayo makan,” pinta Marisa yang sudah berada di meja makan. Dana tersenyum lega saat keluarga barunya tak menanyakan kejadian kemarin. Rasanya ia masih belum ingin menceritakan semuanya kepada siapapun. Dia tak ingin menambah beban keluarga Dina yang menerianya dengan tangan terbuka. Malam tadi, dia hanya perlu pelempasan atas hal-hal tak biasa yang dia jalani di kota kecil ini. “Eonni, mau ikut aku? Hari ini eonni mulai dapat shift malam, kan?” tanya Lani saat Dana sedang memainkan makanannya tanpa berminat untuk memakannya. “Kemana?” “Jalan, Shoping. Ayolah eonni.” Dana ingin menyetujui permintaan Lani tapi saat mengingat apa yang ia telah perbuat. Rasanya tak pantas ia bersenang-senang setelah semua hal yang tejadi. “Sebaiknya kamu pergi sendiri,” ucapnya pada akhirnya membuat Lani ikut menghela napas. Lani terdiam menyadari apa dibalik alasan penolakan Dana. Ia tau bahwa orang-orang Korea tidak seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka tidak ingin melakukan hal-hal yang menyenangkan diri mereka sebagai bentuk dari rasa bersalah dan pertanggung jawaban mereka. “Lani-yah...,”panggil Dana tiba-tiba menyadari apa yang dia butuhkan. Lani yang sedang melanjutkan makannya, terhenti dan menatap Dana yang memandangnya dengan pandangan yang tak dapat ia mengerti. “Bisa temani aku ke suatu tempat?” tanya Dana dengan tatapan menerawang membuat Lani dengan cepat mengangguk. Dia akan menuruti semua permintaan sahabat kakaknya ini  agar membuatnya tersenyum kembali, seperti kemarin. Setidaknya, ada binar di wajah cantiknya. ***** Dana tersenyum simpul menatap rambut barunya. Rambut berwarna coklat yang ia miliki sudah berganti menjadi warna hitam dengan potongan segi panjang. Membuat kepalanya terasa lebih ringan. Mengganti gaya rambut selalu menjadi andalan untuknya jika ingin merubah suasana hati. Merubah dirinya menjadi orang yang baru. Menjadi dokter yang akan selalu siap sedia menolong orang lain tanpa memperdulikan apapun. Siang tadi, ia meminta Lani untuk mengantarkannya ke salah satu milik penata rambut profesional Indonesia yang berada di daerah pertokoan MT Haryono. Setidaknya, ia dapat membuat perasaannya menjadi sedikit lebih baik. Ternyata benar seperti kata orang, mempunyai adik perempuan yang sebaya membuat semuanya menjadi lebih menyenangkan. Rasanya tadi ia ingin membiarkan Lani mencat ombrey rambutnya. Jika tidak mengingat peraturan Indonesia yang tidak memperbolehkan anak sekolah untuk mewarnai rambutnya. Melihat bagaimana senyum di wajah Lani membuat rasa nyeri di dadanya sedikit terangkat. “Rambut baru, dok?” tanya Resti yang masuk ke dalam ruang ganti membuat perubahan di raut wajah Dana. Entah mengapa, dia masih merasa sungkan untuk kembali bertemu dengan perawat dan dokter jaga yang melihat keadaan kemarin. Dana tersenyum lemah meninggalkan Resti yang menaruh tasnya di dalam loker. Kakinya menghantarkannya ke lorong panjang rumah sakit ini. Taman-taman rumah sakit yang gelap tanpa penerangan yang memadai. Hanya bagian panjang lorong yang diberi lampu sehingga membuat suasana rumah sakit sedikit mencekam. Langkah Dana terhenti saat melihat jendela di salah satu ruang perawatan kelas 3 terbuka. Di sana, ia melihat bapak-bapak yang seharusnya ia rawat kemarin berada di sana, sedang berbicara dengan istri dan anak perempuan yang ia yakini anaknya. d**a Dana kembali nyeri. Rasa bersalahnya kembali menghampiri saat melihat kaki kanan beliau yang terbalut perban.  Kau tak akan pernah menjadi dokter yang baik sebelum kau menunjukan penyesalanmu, Lee Dana. Dana membenarkan ucapan batinnya. Ia memang tak akan pernah bisa berubah sebelum menunjukan penyesalannya kepada pasangan suami-istri yang mendapatkan sikap teledornya. Dihembuskan napasnya dalam, sebelum akhirnya berjalan memasuki ruangan itu. “ma-maaf saya mengganggu,” ucap Dana sedikit gugup membuat keluarga kecil itu menatapnya. Tangannya bergetar, ia coba genggam guna menghilangkan perasaan gugup yang ia rasakan. Dia takut istri bapak itu akan membentaknya karena tak ingin merawat suaminya yang sedang beristirahat. “Iya, dok.” “Mohon maafkan kesalahan saya,” ucap Dana menundukkan badan hingga sudut 90 membuat keluarga kecil itu terlonjak kaget. “Aduh dokter nggak perlu kayak gini,” ucap Ibu itu menyentuh kedua tangan Dana sehingga membuat Dana mengangkat badannya. “Maaf atas ketidakmampuan saya merawat suami ibu,” ucap Dana bergetar membuat ibu itu tersenyum lembut. “Biasa ja, dok. Saya mengerti keadaan suami saya kemarin memang membuat siapa saja akan terkejut melihatnya. Dokter tidak perlu menyalahkan diri dokter, terutama sampai menundukan badan kayak gini.  Nggak pantes. Nggak elok,” ucap ibu itu ramah membuat Dana tak mengerti. Di Korea ia diajakan untuk menunduk serendah-rendahnya jika melakukan sebuah kesalahan tapi, di kota kecil ini sikapnya disebut tak pantas. Dana menatap ibu itu dengan tatapan tak mengerti membuat wanita paruh baya itu menatapnya lembut. “Jangan pernah tunduk bahkan bersujud ke sesama manusia. Mereka sama derajatnya di mata Yang di Atas. Kita manusia hanya boleh bersujud-Nya.” Dana terdiam saat mendengar ibu itu menunjuk ke arah atas. Ia tersenyum, baru mengerti sekarang kenapa Dini dan Dina tak pernah mau menundukkan badan mereka lebih dari 30 kepada siapapun, termasuk Bos besar ataupun tetua Korea yang mereka temui. Agama mereka mengajarkan mereka untuk tidak menundukkan badan atau bahkan bersujud, kecuali saat mereka sholat. “Mau roti, dok?” Ibu itu menawarkan roti. Dana menatap ke arah nakas kecil yang berada di samping bapak itu yang hanya satu botol air putih kemasan besar dan beberapa roti-roti murah. Ia tersenyum miris, melihat bagaimana keluarga ini masih menawarkan roti kepadanya, padahal ia yakin keluarga itu masih bingung dengan biaya perawatan yang harus mereka bayarkan nanti. Keramahan dan kesederhanaan orang Indonesia membuat hatinya menghangat. Sepertinya orang-orang Indonesia akan membuatnya belajar bagaimana untuk menjalani hidup ke depan, tanpa pernah kembali melihat ke belakang. ***** Beban di pundak Dana terasa terangkat setelah mengungkapkan penyesalannya kepada keluarga kecil itu. Binar di wajahnya mulai terlihat, meskipun belum sepenuhnya kembali. Pandangannya yang sedang menyusuri ruangan instalasi gawat darurat terhenti saat melihat ketiga perawat yang baru saja dekat dengannya sudah mulai berkumpul kembali, minus kehadiran Tika yang biasanya selalu ada. “Dokter sini!” panggil Mira dengan penuh semangat. Dana menggelengkan kepalanya melihat jam yang sudah menunjukan pukul 11 malam, tapi mereka masih saja terlihat segar menatap tv besar yang ada di dinding depan mereka. “kalian masih belum gantian piket?” tanya Dana pada mereka yang kompak menggeleng. “Nanggung, dok. Bentar lagi dramanya dimulai.” “Dokter masuk sini, gih,” ucap Helena menyuruh agar Dana masuk ke dalam ruang di balik meja mereka. “Awas ... Awaass ... panas...” suara Tika yang menggelora menghentikan gerakan bibir Dana yang ingin menanyakan keberadaan perawat muda itu. Dengan cepat, ketiga sahabatnya mencari kertas yang tak dipakai sebagai tatakan untuk menaruh panci kuningan kecil yang di bawa Tika. “Jajan!” pekik Tika mengucapkan kata khas orang Korea yang ingin menunjukan sesuatu. Pandangan Dana terpaku pada benda yang berada di tangan Tika. Ramyun atau Mie asal Korea sedang terpampang di depan membuatnya meneguk air liur. Asap yang mengepul dan kuah yang berwarna oranye menggugah selera makannya. “Dibuat khusus untuk dokter Dana yang sedang sedih,” ucap Tika dengan nada ceria. “Kalian dapat dari mana semua ini?” tanya Dana bingung saat melihat panci kuningan yang sering digunakan orang Korea untuk memasak mie, sumpit besi bahkan ramyun yang ia yakin tak ada dijual di kota kecil ini. “Ceelah, dok. Ini mah kecil. Dokter tau sendiri saya maniak Korea. Di pusat perbelanjaan yang baru dibangun banyak kok yang jual mie kenyal berbungkus merah itu. Bahkan yang cup juga ada “Benarkah?!” pekik Dana tak percaya. “Beneran. Makanya makan dulu, biar memulihkan tenaga dokter,” ucap Tika dan yang lain penuh perhatian membuat Dana terharu. “Kalian juga makan,” tawar Dana pada yang lain membuat mereka mengambil peralatan bekal yang tadi sengaja mereka bawa dan mulai memakan langsung dari panci kuningan itu. Dana merindukan mie ini. Biasanya, ia dan keempat sahabatnya akan memakan mie ini di tengah malam seraya menggosipkan orang-orang sekitar mereka. Walaupun akhirnya, saat pagi datang masing-masing dari mereka akan saling menyalahkan siapa yang membuat wajah mereka bengkak saat bangun pagi. Dana merindukan kebawelan keempat sahabatnya di sisinya. Melihat empat orang perawat baru yang mengajaknya berinteraksi duluan membuat Dana sedikit lega. Setidaknya, ia bisa berkomunikasi dan menjalin hubungan pertemanan dengan mereka berempat. “Kalian tadi nunggu drama apa?” tanya Dana menyelesaikan makannya. Ia menatap isi panci kuningan itu yang kosong dan hanya menyisakan cairan oranye. “Drama Kim Da ni sama Kim Jun Ho, dok. Ah ... mereka serasi banget. Dari berita yang beredar mereka beneran pacaran loh.” “Uhuk...” Dana tersendak saat Mira selesai bicara. Dana dengan cepat meminum air yang disodorkan Helen. Serasi? Pacaran? Siapa... Da ni dan Jun hoo. Jika saja mereka tau kalau Da ni dan Jun ho layaknya musuh bebuyutan di dunia nyata, mereka tak akan pernah mengatakan kalau kedua pasangan itu serasi. Batin Dana khawatir dengan pembodohan yang Da ni dan Jun hoo lakukan pada mereka. Dana ikut memperhatikan drama terbaru Dani yang bersamaan tayang di beberapa negara Asia tenggara lewat jaringan tv kabel. Melihat begitu intimnya Dani, membuat Dana terkekeh sendiri membayangkan apa yang sebenarnya terjadi di balik layar. Da n pasti akan langsung menghentakkan tangan jun ho yang menaut tangannya, setelah sutradara meneriakkan kata ‘cut’. Suara dering handphone Dana membuat semua orang yang sedang terfokus ke arah televisi beralih pandangan ke arahnya. Dengan cepat, Dana mengambil handphonenya dan tersenyum tipis saat melihat wajah cantik Da ni yang terpampang di layar. Kebetulan yang menyenangkan, Kim Da ni-ssi. Batin Dana meninggalkan para perawat yang fokus kembali.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD