Panasnya Sampit

1968 Words
Dana menghempaskan pantatnya ke sofa sederhana yang berada di rumah sahabatnya, sekaligus menjadi rumah sementaranya. Rambutnya lepek, wajahnya penuh akan keringat. Pita yang menghias lehernya sudah ia lepas dengan dua kancing teratas blousenya terbuka.  Panasnya Sampit benar-benar menyiksa. Ia benar-benar kagum dengan masyarakat Indonesia, Sampit pada khususnya yang begitu tahan menggunakan pakaian panjang bahkan berpenutup kepala tebal di cuaca panas seperti ini setiap hari. “Baru pulang?” tanya Marisa meletakkan air putih dingin di hadapan Dana. Dana mengangguk pelan, menatap air putih dingin di hadapannya, “Mama Mar, tidak usah repot,” ucap Dana terharu melihat ibu sahabatnya itu begitu memperhatikannya. “Nggak repot, kok.” Marisa tersenyum, dipandangnya wajah Dana yang memerah, penuh dengan peluh. “Maaf ya, rumah mama nggak ada Ac-nya. Nanti, mama pasang Ac biar kamu nggak kepanasan.” Dana menggeleng cepat, merasa tak enak dengan mama sahabatnya itu, “Tidak perlu, Ma. Dana di sini cuman 3 bulan. Jangan sampai mama Mar sama Lani repot karena Dana.” Marisa menatap wajah Dana, lalu menghidupkan kipas angin dengan nomor paling kencang. “Lani tadi kemana lagi?” tanya Marisa tidak melihat keberadaan putri bungsunya setelah ia suruh menjemput Dana. “Kata dia tadi mau beli es Kunjui asmara. Emang kunjui apaan sih, Ma?” tanya Dana tak mengerti membuat Marisa terkekeh. “Kunjui itu bahasa Banjarnya singkong. Tapi, sebenarnya itu sejenis buah bernama kundur yang dibentuk bulat dan dimasak dengan gula merah, sehingga seperti singkong yang dimasak. Makanya, dinamakan kunjui asmara.” Dana mendesah, menghempaskan tubuhnya ke punggung sofa. Rasanya tubuh dan pikirannya begitu lelah, padahal ia baru saja bekerja sehari bekerja di rumah sakit itu. Para pegawai rumah sakit dan staf yang berkelompok membuatnya tersisih, belum lagi bahasa Banjar yang mereka gunakan. Ketidakmengertiannya membuat Dana merasa hampir semua orang di rumah sakit membicarakannya. Rasanya tak nyaman menjadi pusat perhatian di rumah sakit itu. Keluarga pasien, perawat, dokter bahkan staf yang baru mengetahui keberadaannya, menatapnya lekat, bahkan cenderung tanpa kedip seolah ia adalah adalah bintang Korea terkenal layaknya Da ni. “Dana eonni, wae[1]?” tanya Lani membawa dua kantong plastik hitam, salah satunya ber-embun. “Kamu beli berapa?” “Beli tiga, mama satu, aku satu sama Dana eonni satu. Aku juga beli resoles tadi,” ucap Lani menaikan kantong plastik satunya. Dana memperhatikan Lani meletakkan kedua kantong plastik itu di atas meja lalu, berjalan ke arah dapur mengambil tiga buah mangkok dan sebuah piring. “Eonni, waeyo[2]?” tanya Lani yang sedang mengeluarkan es buah itu lalu memindahnya ke dalam mangkok. “Apa masyarakat Sampit selalu berkelompok?” “Maksudnya?” tanya Lani tak mengerti. “Dalam pergaulan. Apa rata-rata dari mereka membuat kelompok sendiri untuk berbagi makanan, berbicara, bahkan ber...” “Bergosip mengunakan bahasa Banjar atau bahasa yang orang lain tidak kita ketahui?” Lani memotong ucapan Dana, membuat wanita Korea itu menghela napas dalam. “Rasanya aneh saat mereka terus melirik, kemudian berbisik atau berbicara dengan bahasa yang tidak kita ketahui seolah menggosipkan kita.” “Kebiasaan, mungkin. Dari kecil seolah dibiasakan untuk membuat kelompok kecil untuk berteman dan menganggap orang lain hanyalah orang biasa. Biasanya mereka akan membuat kelompok sendiri berdasarkan hobi ataupun sebagainya.” Dana mendesah. Sebenarnya, tak ada bedanya dengan ia dan para sahabatnya. Mereka juga membuat kelompok mereka berdasarkan nama mereka yang hampir mirip. Tapi, ada satu hal yang tidak ia sukai dari kelompok orang – orang lokal setempat. Kebiasaan mereka menatap tanpa kedip seseorang, lalu setelah orang itu menyadari bahwa ia diperhatikan, masing-masing dari mereka akan mengalihkan pandangan kemudian berbisik. “Ada salah satu dari mereka mencoba cari masalah dengan eonni?” Dana langsung menggelengkan kepala lemah, “Mereka terus menggunakan bahasa lokal yang tak aku mengerti, membuatku merasa bahwa mereka sedang membicarakanku.” Lani terkekeh kecil, “Makan dulu es buahnya biar hati eonni dingin,” ucapnya menyodorkan mangkok berisi cairan seputih s**u dengan potongan warna-warni di dalamnya. Dana menatap cairan putih segar itu tanpa kedip. Meneguk air liurnya yang ingin menetes. Potongan agar-agar berwarna merah dan hijau berpadu dengan buah tropis segar seperti potongan nangka, nanas, selasih bahkan kelapa, buah yang sangat langka di Korea. Ia sendiri yakin, banyak masyarakat Korea yang belum pernah menyicipi buah yang dalamnya begitu segar itu. “Nanti Lani ajarin deh gimana pake bahasa Banjar khas Sampit yang baik dan benar. Sekarang, eonni habisan es buah ini dulu,” kekeh Lani membuat Dana tersenyum tipis lalu mengangguk. Dana mengambil handphone-nya, lalu memotret es buah menyegarkan di depannya itu. Setidaknya, ia bisa membuat keempat sahabatnya ribut karena menginginkan es buah ini dengan postingan gambar ini di grup chat atau SNS[3]nya “Ehm... I’m alive!” pekik Dana menyukai cita rasa sirup leci kental yang bercampur dengan s**u kental manis putih. Rasa segar yang diciptakan es itu seolah memadamkan dahaga dan kekesalannya hari ini. ***** Dana mendesah. Hari ini kembali terulang. Hari dimana ia harus datang kembali dan bekerja di rumah sakit ini. Kepalanya terangkat menatap bagian depan bangunan rumah sakit yang berwarna hijau. Ukiran besar nama rumah sakit ini membuat kakinya berat menapak masuk ke dalam rumah sakit ini. Pelataran rumah sakit masih cenderung sepi. Jam masih menunjukan pukul setengah 7 pagi, mengikuti jadwal sekolah Lani mengharuskan Dana datang sepagi ini, belum lagi jadwal kerjanya belum diberikan bagian Administrasi. Ia hanya berdoa, atasan dinginnya itu tidak memberinya 5 hari shift malam, seperti perkataannya kemarin malam. Tatapan dari beberapa orang cleaning service membuat Dana menunduk memperhatikan pakaiannya. Sekarang, ia sudah mengenakan pakaian yang lazim digunakan masyarakat sampit. Blouse dan celana panjang hitam yang membalut kaki jenjangnya. Sepertinya, ia harus secepat mungkin membiasakan dengan cuaca panas Kalimantan. Petugas cleaning service wanita itu seolah menyadari Dana melihatnya, kemudian menundukkan kepala, lalu tersenyum ramah, membuat Dana melakukan hal yang sama sebelum akhirnya berjalan ke departemen tempatnya bertugas.  “Joneun achim-Imnida[4],” sapa seseorang dalam bahasa Korea saat Dana meletakkan tas membuatnya terkejut. Ia menolehkan kepala dan melihat Tika tersenyum cerah menatapnya. “Ucapan saya benar kan, dok?” tanyanya takut – takut saat melihat tidak ada respon dari Dana. Dana tersenyum simpul, lalu mengangguk pelan, “ddayangida[5]” ucap Tika lega. Dana memperhatikan perawat muda berhijab di depannya. Tas ransel kecil, imitasi dari tas brand Korea terkenal yang sedang booming karena digunakan Da ni di salah satu drama terbarunya, gantungan kunci dengan gambar salah satu boyband no 1 Korea, bahkan pelafalan bahasa Korea yang digunakannya membuat Dana mengetahui suster muda ini maniak K-drama dan K-pop. Dana sendiri penasaran dengan reaksi Tika saat mengetahui bahwa ia adalah sahabat dari salah satu artis terpopuler Korea yang sedang dipuja-puji banyak orang. “Saya duluan,” pamit Dana keluar dari ruangan dijawab dengan anggukan Tika. Mata Dana kembali memandang ruangan instalasi gawat darurat di depannya. Helaan napasnya dalamnya kembali keluar melihat ruangan asing yang menjadi tempat ia bekerja secara resmi mulai kemarin. Aura ruangan ini begitu berbeda dengan ruangan sejenis di rumah sakit tempatnya bekerja dulu. Ruangan ini terlihat begitu lepas dengan peralatan tidak terlalu lengkap seperti rumah sakit di kota-kota besar lainnya. Ranjang besi terlihat berkarat di beberapa bagian, membuatnya menyadari betapa tua ranjang-ranjang itu. Dana mencoba tersenyum ramah saat berjalan mengunjungi pasien-pasien yang baru saja datang kemarin malam, mencocokan apa yang ia lihat dengan grafik yang dibuat dokter jaga malam tadi. Suara derit dan teriakan beberapa orang memanggil dokter jaga membuat Dana dan beberapa perawat berlari ke arah depan. Sedikit tersentak saat yang ia lihat bukanlah ambulance, melainkan mobil bak terbuka dengan seseorang terbaring didampingi dengan beberapa perempuan mengenakan daster dengan penutup kepala yang diikat seadanya. Bahasa asing dan pandangan seolah mencemoohnya kembali ia dapatkan membuat Dana mundur beberapa langkah, sebelum kemudian menghela napas. Sepertinya, ia harus mendapatkan perlakuan yang sama seperti kemarin. ***** Dana menunduk sembari memainkan jemarinya. Dipandanginya lorong-lorong panjang rumah sakit ini yang menghubungkan ruang rawat yang satu dengan yang lain. Rambut panjangnya sudah mulai berantakan, keringat terus membanjiri wajah cantiknya. Jam baru saja menunjukan pukul 11 pagi namun cuaca terik Sampit membuat Dana harus mengipasi wajahnya dengan tangan, walaupun ia sadar tidak ada artinya. Sama seperti kemarin, hari ini begitu berat untuknya. Tidak ada orang yang dekat dengannya mendengar keluh kesahnya, membuat Dana semakin tertekan. Terlebih, pandangan RASIS yang selalu diberikan kepadanya membuat Dana lelah. Apa salahnya jika orang asing bekerja di rumah sakit kecil ini? Pertanyaan itu terus masuk ke dalam pikiran Dana, saat beberapa keluarga pasien melihatnya yang akan melakukan pemeriksaan. Kata-kata seolah ia bukan dokter dan wanita baik-baik terus mereka keluarkan membuat Dana jengah. Rambutnya yang kecoklatan membuat beberapa perempuan tua mengatainya seperti perempuan pal 12. “Masih memikirkan perkataan mereka yang mengatai dokter seperti perempuan pal 12?” tanya Tika yang sudah berada di depannya saat ia kembali menghela napas dalam. “Minum dulu, dok. Mendinginkan kepala dokter yang panas,” kekehnya menyodorkan ice blend kopi dengan parutan cincau di bawahnya. “Pal 12? Apa salahnya dengan perempuan di sana?” “Pal 12 itu salah satu lokalisasi terbesar di Kalimantan, dok. Ada di jalan lingkar kota yang menghubungkan Sampit dan Pangkalan bun.” “Lokalisasi? Pel-p*****r?” tanya Dana tak percaya membuat Tika mengangguk lemah. “Apa aku terlihat seperti mereka?” Tika menggeleng cepat, merespon ucapan Dana, “Dokter terlalu cantik untuk jadi salah satu dari mereka.” “Lalu?” “Orang-orang di sini masih kolot, dok. Ada persepsi buruk yang mereka tanamkan di pikiran mereka bahwa perempuan dengan warna rambut tak biasa, bukan perempuan baik-baik. Terutama di benak suku pendatang yang dulu sempat membuat masalah di sini.” “Mereka suku pendatang?” tanya Dana yang dijawab anggukan Tika. “Dokter dengar sendiri bagaimana ucapan dan logat mereka yang terasa begitu berbeda dengan masyarakat asli sini. Diminum dulu esnya, dok. Maaf cuma bisa membelikan es blender.” Dana tersenyum sebelum kemudian meminum es kopi yang diberikan Tika. Rasa aneh namun menyegarkan dari cincau yang diparut membuat Dana terkejut. Sampit, dengan segala rasa unik yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Dana mengalihkan pandangan menatap Tika. Gadis muda ini begitu baik kepadanya. Disaat orang lain merasa segan untuk mendekatinya. Gadis ini dengan begitu ramah, mendekat dan mengajaknya bicara seolah tau Dana bukan termasuk orang yang bisa dengan mudah membuka pembicaraan. “Chogi ...” ucap Dana ragu dalam bahasa Korea membuat Tika bergegas menatapnya. “Bisa ... bantu saya selama disini?” tanya Dana ragu membuat Tika tersenyum. “Tenang aja, dok. Saya pasti bakalan dokter selama di sini, juga bakalan bantu dokter bersosialisai biar nggak sendiri terus,” ucapnya ceria mengingatkan Dana pada Lani.. Dana tersenyum bertepatan dengan handphone-nya yang berbunyi. Dana merenyitkan keningnya saat melihat nomor yang tak di kenal. Tika yang tanpa sengaja melihat sekilas wallpaper handphone Dana, menutup mulut tak percaya. Dana mengernyitkan kening melihat Tika, teralihkan fokus saat mendengar suara yang memanggilnya sesaat setelah ia mengangkat teleponnya. “Yo ... Hallo,” ucap Dana meralat sapaannya saat menyadari ia kembali menggunakan bahasa Korea. Dana menghela napas sesaat setelah menerima telepon. Napasnya yang tercekat tadi berangsur mulai normal. Entah mengapa, suara berat dan dingin yang diucapkan atasannya tadi membuat dadanya seolah berhenti berdekat. Ketakutan bercampur rasa segan terus membayangi, terutama saat merasakan aura intimidasi yang dr. Sakti keluarkan. “Saya permisi dulu.” “Mau kemana, dok?” tanya Tika bingung. Dana menghela napas dalam, “Dokter Sakti menyuruh aku ke kantornya.” Tika mengangguk mengerti, lalu menatap Dana dengan tatapan prihatin, “Hwaiting[6]!” ucap Tika mengangkat kedua tangannya yang menggenggam memberinya semangat. Dana hanya bisa menatap sendu, sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan Tika. Semoga saja, pertemuannya dengan atasannya itu tidak menambah panas di cuaca terik kota Sampit yang sedari tadi coba ia tahan.           [1] Kenapa? [2] Waeyo, hampir sama seperti Wae, tapi dengan akhiran –yo yang biasanya digunakan untuk menunjukkan kesopanan. [3] Social Networking System. Atau yang biasa dikatakan Social media, seperti IG, Line, sss, dll. [4] Selamat pagi [5] Syukurlah [6] Pengucapan bahasa Korea untuk Fighting!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD