Anneta - Bab 2

1504 Words
Pernahkah kamu merasa menjadi manusia paling sial di dunia? Bahkan  ingin sekali menyalahkan Tuhan, karena begitu tega memberikan cobaan yang begitu bertubi-tubi. Jika, ya … maka kalian sama dengan apa yang kini Anneta rasakan. Dia merasa menjadi manusia paling merana di dunia. Dia merasa, Tuhan sangat membencinya hingga memberikan cobaan hidup yang begitu berat dan seolah tanpa henti. Belum kering luka kehilangan karena  kecelakaan maut yang merenggut nyawa kedua orangtuanya. Kini dia kembali harus merasakan luka dari sebuah pengkhianatan, yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. Dia benar-benar masih tidak mengerti dengan apa yang kedua orang itu  lakukan, kenapa mereka begitu tega? Apa kesalahan yang pernah Anneta perbuat? Apakah saat menjadi seorang sahabat dia pernah melakukan sebuah kekeliruan? Atau mungkin saat menjadi seorang kekasih dia kurang memberi pengertian ataupun perhatian pada Ryan? Pernahkan mereka berdua berpikir, bagaimana jika posisi mereka ditukar. Tapi segala ujian yang Tuhan kirimkan nyatanya belum berakhir sampai di situ. Karena hari ini, Anneta harus kembali menelan sebuah kekecewaan. Bagaimana tidak? Skripsi yang sudah dia kerjakan secara mati-matian, dinyatakan gagal. Konsentrasinya terpecah dan dia tidak bisa fokus. Tuhan benar-benar sedang menghukumnya. Dosa besar apa yang sebenarnya pernah ia lakukan? Hingga Tuhan seperti begitu membencinya. Tak pantaskah Anneta mendapat sedikit saja kebahagiaan? Gadis bersurai panjang itu menghela napas dan menyandarkan tubuhnya di punggung kursi taman kota. Tempat itu sedikit sepi, karena memang ini bukanlah hari libur. Netra cokelat itu menatap kosong ke depan. Menerawang jauh ke arah danau kecil yang mengering karena kemarau panjang. "Ma, Pa, Neta kangen ...," lirihnya dengan satu bulir bening yang menetes dari sudut matanya. Sebenarnya dia bukanlah gadis yang cengeng. Dia juga bukan tipe orang yang senang mengeluh, tapi kali ini dia benar-benar bingung harus memulai hidupnya dari mana. Harus mulai memperbaiki segalanya dari titik mana. Ponselnya terus berderit-derit, tapi Anneta sama sekali tidak mempedulikannya. Dia sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Gadis itu kembali menghela napasnya yang terasa sangat sesak. Jika boleh, rasanya ingin napas itu dihentikan saat ini juga. Dia ingin mamanya ada di sini, memeluknya, mengusap rambutnya, menghapus air matanya. Anneta memilih bangkit, entah ke mana dia harus pergi sekarang. Karena di rumahnya pun tidak ada siapa-siapa yang bisa ia jadikan tempat sandaran. Pulang ke rumah Tara pun rasanya kurang nyaman. Dia tidak ingin merepotkan siapa pun. Gadis itu berjalan tanpa arah, netra cokelatnya memperhatikan segala yang ada di sekitarnya. Entah itu menarik atau tidak, yang terpenting dia bisa menatap apa pun selain kekosongan. Sampai matanya menangkap satu benda yang tergeletak di pinggir jalan, di atas rerumputan. Warna pink yang mencolok membuat kaki Anneta mendekati benda, yang ternyata adalah sebuah buku. Awalnya tidak ada yang menarik, sampai satu foto terjatuh dari dalam buku tersebut. Foto itu menampakkan sepasang laki-laki dan perempuan yang tengah duduk bersama. Di mana kepala wanita itu tengah bersandar di bahu sang laki-laki dengan senyum mengembang. Mereka terlihat sangat bahagia, seperti dia dan Ryan dulu. Setidaknya, dia pernah merasakan manisnya jatuh cinta. Sebelum Ryan menghancurkan segala rasa yang ia punya. Hingga berantakan, dan tidak berbentuk sama sekali. Anneta memilih memasukkan buku itu ke dalam tas selempangnya. Entah kenapa, dia merasa ada yang menarik di dalamnya. Deritan panjang dari ponsel kembali terasa, dan menunjukkan nama Tara. *** "Kamu udah makan?" Anneta hanya menggeleng lemah, mulutnya masih enggan membuka barang sedikit pun. "Pulang ke rumahku aja, ya? Mama minta kamu ke rumah." Anneta menoleh sekilas ke arah Tara yang sedang fokus pada kemudinya, lalu kembali menatap ke arah luar jendela mobil. "Aku mau pulang," lirihnya nyaris tidak bersuara, tapi Tara masih bisa mendengar kata-kata itu. "Jangan! Kondisi kamu masih nggak memungkinkan untuk tinggal sendiri," kata Tara yang memutuskan untuk membawa Anneta pulang ke rumahnya. Walupun di rumah gadis itu ada seorang ART, tapi tetap saja Tara akan cemas jika melihat kondisi Anneta yang seperti sekarang ini. Dia seperti hidup, tapi seolah tidak bernyawa. Jika saja tidak mengingat ada hukum dan juga dosa. Tentu saja Tara sudah membunuh laki-laki yang bernama Ryan itu. *** Anneta langsung masuk ke dalam kamar tamu. Kamar yang biasa ia pakai jika sesekali menginap di rumah om-nya, ayah Tara. Ia sama sekali tidak menyapa keluarga Tara yang sedang berkumpul di ruang tengah. Mereka hanya saling berpandangan dan merasa maklum. Apa yang dialami Anneta memang cukup berat. Melihat gadis itu mau diajak ke rumah ini pun sudah satu kemajuan, karena semenjak terbongkarnya penghianatan Ryan dan Virni, Anneta terus mengurung diri di kamarnya. Gadis itu menutup pintu kamar dan menguncinya. Dia memilih menjatuhkan dirinya di atas kasur, matanya menerawang jauh ke atas langit-langit kamar. Lalu bangkit dan mengambil tas selempangnya saat mengingat apa yang ia temukan tadi. Ia keluarkan buku bersampul pink yang warnanya sudah mulai memudar itu. Lalu membuka lembarannya secara perlahan. Ternyata buku itu adalah sebuah buku harian. Naira Prameswari. Satu deretan nama menyambut mata Anneta saat gadis itu membuka sampul depan buku harian tersebut. Lalu jemari lentik itu kembali membuka lembar berikutnya. Di mana tulisan tangan yang begitu rapi berderet di barisan buku tersebut. Aku bukanlah pencerita yang baik. Aku juga bukan orang yang bisa berkeluh kesah. Bahkan aku tidak memiliki apa itu yang disebut teman atau sahabat. Maka di sinilah, aku mencurahkan segala apa yang aku rasakan. Oke diary, aku akan menamakanmu Oliv. Itulah barisan kalimat yang menyambut Anneta saat membuka halaman pertama buku tersebut. Jadi, buku harian ini milik gadis bernama, Naira? Anneta kembali melihat foto yang terselip di dalam buku tersebut, ternyata tertulis sesuatu di belakangnya. Aku mencintaimu tanpa syarat. Karena cinta memang tidak pernah memerlukan syarat atapun alasan. Cinta itu datang dan pergi semaunya. Tapi akan aku pastikan, cintaku akan selalu ada di kamu. Untuk kamu, Alfian. Anneta kembali membuka lembar demi lembar barisan kalimat itu. Ini bukan sekedar barisan kalimat, juga bukan sekedar tulisan tanpa makna. Tapi buku ini adalah perjalanan hidup seorang Naira. Netra Anneta terus menjelajahi barisan kata-kata itu. Terkadang dia mengernyit, kadang tersenyum, dan tidak jarang dia menutup mulutnya karena tidak percaya. Lalu matanya nampak berkaca-kaca, saat Naira menceritakan kehidupan macam apa yang pernah ia jalani. Jika tadi Anneta masih merasa menjadi manusia paling sial di dunia, merasa dibenci oleh Tuhan, merasa apa yang ia alami terlalu berat. Maka setelah membaca cerita kehidupan Naira ia merasa sangat berdosa, karena sudah menghujat Tuhan dan menganggapnya tidak adil. Nyatanya jauh di luaran sana, masih banyak yang lebih menderita dan mendapat cobaan hidup yang lebih berat dibanding dirinya. Salah satunya adalah Naira. Anneta menutup buku harian tersebut. Bahkan belum ada setengah halaman yang ia baca, tapi d**a Anneta rasanya sesak. Bukan karena meratapi masalah yang sedang ia hadapi, tapi dia sedang membayangkan bagaimana jika menjadi seorang Naira. Baru merasakan cobaan hidup yang seperti ini saja dia sudah mengeluh dan kehilangan arah. Bagaimana jika dia menjadi Naira? Ya Tuhan, maafkan aku. Anneta menutup buku harian tersebut, memilih membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Dengan mata terpejam, ia kembali memutar segala ujian yang beberapa bulan ini menerpa hidupnya. Pasti ada tujuan kenapa Tuhan memberikan segala ujian ini dalam hidupnya. Dengan meninggalnya kedua orangtuanya, mungkin Tuhan ingin Anneta yang selama ini begitu manja, bisa hidup mandiri dan menjalani hidupnya dengan penuh perjuangan. Nyatanya selama ini, dia memang terlalu mudah saat mendapatkan apapun. Kedua orangtuanya selalu memberikan apapun yang Anneta mau. Maklumlah, dia adalah anak semata wayang. Jadi wajar, jika kedua orangtuanya selalu memanjakannya. Dan kini, Anneta harus hidup mandiri. Meski tabungan yang kedua orangtuanya tinggalkan sangatlah cukup untuk menghidupi kehidupannya hingga beberapa tahun ke depan, namun Anneta tak boleh menghamburkan jerih payah mama papanya. Yah, dia harus bangkit dan menatap hidup. Gadis itu memutar tubuhnya hingga telentang. Menatap langit-langit kamar ruang tamu rumah Tara. Harusnya ia bersyukur karena dengan pengkhianatan yang Ryan berikan, sebenarnya Tuhan sedang menunjukkan seperti apa sifat asli cowok itu. Sungguh tak terbayang, jika segala keburukan Ryan terkuak saat mereka menikah nanti. Pasti rasanya akan lebih menyakitkan. Tuhan sayang padanya, karena masih melindunginya dari kebejatan Ryan. Sementara soal kegagalan skripsinya, mungkin Tuhan hanya sedang menghukumnya, karena sempat berpikir Tuhan tidak adil padanya. Padahal, seharusnya ia tidak pernah berpikir sepicik itu. Anneta menghela napas, lalu bangkit untuk mengguyur tubuhnya. Ia meletakkan buku harian milik Naira. Nanti dia akan kembali membaca tulisan kehidupan tragis bernama Naira itu. Ia yakin masih banyak pelajaran berarti di dalam sana. Namun untuk saat ini, dia butuh membersihkan segala pikiran buruk yang pernah menyerbu otaknya. *** Laki-laki bertubuh tegap itu menatap rumah berlantai dua di hadapannya dengan senyum simpul. Bibirnya terus melengkung jika mengingat gadis tadi, gadis yang memungut buku harian milik adiknya. Dia hanya bisa berharap, semoga kali ini apa yang ia lakukan akan memberikan hasil. Meski terkesan memanfaatkan orang lain, tapi dia harap apa yang ia lakukan bukanlah sebuah kesalahan. Karena dia memang sudah merasa buntu, dia tidak tahu harus berbuat apalagi untuk menemukan orang yang adiknya cari. Sekali lagi bibir itu melengkungkan senyum. Membuat kadar ketampanannya makin terpampang nyata. Lalu dengan d**a penuh permohonan dan harapan, ia melajukan mobilnya meninggalkan rumah gadis bersurai panjang tadi. Gadis cantik yang sempat membuat hatinya sedikit bergetar meski hanya mengintai dari kejauhan. Semoga Tuhan menggariskan gadis itu sebagai malaikat penolongnya, atau lebih tepatnya malaikat penolong adiknya, Naira. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD