Part 3

3035 Words
Alfa mengenakan kaos sepakbola di kamar ganti. Hari ini tim sepakbola kampus akan mengadakan seleksi pemain baru. Ada tiga orang yang akan terpilih. Dilan menghampiri sahabat baiknya dan menepuk bahunya, “Al, ada mahasiswi yang ingin ikut seleksi juga. Kita cuma menerima calon pemain laki-laki kan? Dia ngotot minta dikasih kesempatan. Coba kamu hadepin dia. Kamu kan kapten tim.” Alfa mengernyit, “Cewek mana yang ngotot ikutan seleksi?” “Itu mahasiswi semester satu yang tomboy banget. Yang lebih bisa dibilang ganteng dibanding cantik. Siapalah namanya, si Deza kalau nggak salah. Terkenal dia. Cewek aja banyak yang ngefans.” Alfa segera keluar dari kamar ganti. Di pinggir lapangan ia melihat Deza tengah berdebat dengan Farez, rekan satu timnya. Ia berjalan mendekat. “Ribut-ribut apa ini?” Alfa melirik Deza dengan ekspresi datarnya. “Ini lho, si Deza ngotot minta ikut seleksi. Kita nggak nrima cewek kan?” Farez melirik Alfa yang diam mematung dan bersedekap. “Kita nggak nrima cewek, jadi kamu nggak bisa ikut,” ucap Alfa tegas. “Please aku pingin banget ikut. Di sini nggak ada tim bola putri. Yang penting aku bisa latihan bola di sini. Kalau ada pertandingan, aku nggak ikut nggak masalah kok.” Tatapan Deza begitu mengiba. Sepakbola sudah mendarah daging dalam hidupnya. Sejak kembali ke Indonesia, ia belum berlatih sepakbola lagi dan hal itu membuatnya rindu berat untuk menggocek bola di lapangan. ‘Tidak bisa. Persyaratan jelas calon pemain itu harus laki-laki.” Alfa tak mau berubah pikiran hanya karena sorot mata Deza berganti memelas dan penuh pengharapan. “Kamu bukan pelatihnya kan? Coba saja tanya ke pelatihnya.” Deza mengembuskan napas dan kesal melihat Alfa yang sok berkuasa. “Aku memang bukan pelatihnya, tapi aku kapten di tim ini yang diberi wewenang untuk mengatur jalannya seleksi. Di seleksi awal ini, keputusan ada di tanganku. Pak pelatih akan memberi keputusan untuk tahap seleksi berikutnya,” jelas Alfa. Tiba-tiba datang seorang mahasiswi cantik menghampiri. Mahasiswi yang pernah menabrak Deza dan terjatuh. “Ada apa ini?” mahasiswi itu menatap Alfa dan Deza bergantian. Dia mengerjap dan memperhatikan Deza lebih lekat. “Lho kamu yang dulu tabrakan sama aku kan? Namanya Deza kan? Ada apa ya?” Deza cukup kaget, sang mahasiswi tahu namanya. Ya dia akui, dia paling beda dan nyentrik dengan penampilan tomboynya diantara mahasiswi lain, tentu tak kesulitan untuk mahasiswi itu mencari tahu namanya. “Saya ingin ikut seleksi. Tapi kata Alfa, tim nggak menerima pemain perempuan.” Mahasiswi tersebut tersenyum, “Ikut saja. Nanti saya akan membujuk ayah saya untuk memberi kamu kesempatan. Aku lihat-lihat kayaknya kamu berbakat.” Mahasiswi bernama Kirani itu adalah teman sekelas Alfa dan anak dari pelatih sepakbola yang menangani tim sepakbola tersebut. Selain itu dia memiliki toko alat-alat olahraga yang menjadi salah satu sponsor tim yang menyumbang dana dalam jumlah cukup besar. Meski tim sepakbola tersebut dibentuk di kampus, tapi menerima sponsor dari luar dan kerap bertanding di luar kampus. Alfa tak bisa melawan. Siapa yang bisa melawan Kirani dan ayahnya? Mereka dua pilar penting yang turut andil mengembangan club bola ini. ‘Terima kasih banyak atas kesempatannya.” Deza mengulas senyum. Kirani mengulurkan tangannya, “Aku Kirani, senang berkenalan denganmu.” Senyum terlukis di kedua sudut bibirnya. Deza membalas jabatan tangan itu. Dan seketika ia merasa ada yang berbeda dari cara Kirani menatapnya dan tangannya menjabatnya lebih lama. Deza tak mau berspekulasi lebih jauh. Tapi selama ini instingnya jarang meleset. Dia terbiasa dikejar cewek-cewek yang memiliki ketertarikan pada sesama jenis. Bisa jadi Kirani satu diantaranya. Deza sendiri masih dalam tahap questioning, mempertanyakan tentang ketertarikan seksualnya lebih cenderung ke laki-laki atau perempuan. Ibarat kapal berlayar, kapal itu terombang-ambing dan belum bisa menentukan ke arah mana untuk mencari dermaga. Tapi ia menyukai penampilan fisik Kirani yang begitu cantik dengan tubuh yang proporsional di matanya. Alfa mengintruksikan pemain lama untuk dibagi menjadi dua tim dan bergabung dengan para calon pemain yang ikut seleksi. Alfa ingin tahu sejauh mana para calon pemain baru ini menampilkan performa terbaik di lapang. Deza menempati posisi striker. Ia penasaran juga ingin melihat kemampuan Deza menggocek bola. Pertandingan dimulai. Posisi bola didominasi tim Deza. Bola melambung dari salah satu pemain lama menuju pemain sayap kanan. Sang pemain sayap kanan menggiring bola menuju daerah pertahanan lawan. Ia mengumpan bola pada Danar, pemain center-midfielder yang terkenal dengan skill-nya yang jempolan. Danar mencoba menerobos pemain lawan dan di saat ada celah, ia memberi assist pada Deza yang sudah bersiap menunggu assist untuk meneruskannya ke gawang. Deza menendang bola menuju gawang dengan kecepatan yang tak diduga pemain lawan maupun keeper tim lawan. Bola berhasil mengecoh sang keeper. Satu goal tercipta dari tendangan kaki Deza. Para pemain lama maupun calon pemain baru terkagum-kagum mengamati skill Deza yang tak kalah dari pemain laki-laki. “Aku rasa kita harus beri Deza kesempatan Al. Aku suka dengan teknik dan skill dia. Dia berbakat.” Kirani melirik Alfa yang duduk di sebelahnya. Jauh di lubuk hati, Alfa mengakui kemampuan Deza memang mengagumkan. Jika Kirani sudah tertarik, dia tak bisa menolak. Campur tangan Kirani dan ayahnya pada tim sepakbola ini memang mendominasi. ****** Deza memasukkan sepatu bolanya ke dalam kantong. Kirani berjalan mendekat. “Selamat ya kamu lolos seleksi tahap pertama. Semoga kamu lolos sampai seleksi akhir.” Kirani tersenyum menatap cewek tomboy itu. Deza mendongakkan wajahnya dan menatap Kirani yang mematung di hadapannya. “Makasih. Ini berkat kamu juga. Kamu yang bujuk Alfa untuk ngasih aku kesempatan.” Kirani merasakan sikap Deza masih dingin dan belum bisa lepas. Di matanya Deza ini memang sangat menarik. Cool, nggak neko-neko, simple, cowok banget, wajahnya bisa terlihat ganteng dan cantik di saat yang bersamaan, mengingatkannya akan cinta masa SMA-nya. Cinta yang kandas karena dianggap cinta terlarang, cinta sesama jenis dan berdosa. Sekalipun saat ini ia memiliki pacar laki-laki, tapi itu hanya kamuflase saja untuk menutupi disorientasi seksualnya. “Oya rumah kamu di mana? Pulang bareng aku yuk.” Kirani mengumbar senyum tulusnya. “Rumahku nggak begitu jauh dari sini. Ehm boleh deh. Kebetulan tadi aku ke kampus dianter ayahku.” Deza menyambut baik tawaran Kirani. Ia selalu nyaman berteman dengan perempuan yang mengerti akan dirinya dan penuh perhatian. Apalagi Kirani telah membantunya untuk bisa mengikuti seleksi. Mereka berjalan beriringan keluar dari stadion kampus. Bahkan Kirani tak segan untuk menggandeng tangannya. ****** Hari demi hari berganti, pertemanan Deza dan Kirani semakin akrab. Mereka kerap hang out bersama, sharing dan sering ketemuan di kantin atau perpustakaan kampus. Deza merasa nyaman berteman dengan kakak angkatannya itu. Di matanya, Kirani tidak hanya penuh perhatian, tapi dia begitu memahami kondisi psikis Deza yang memiliki OCD, gangguan kepribadian lain, emosional yang tak stabil dan ia tak pernah mempermasalahkan penampilan Deza yang terlalu maskulin untuk ukuran perempuan. Kirani selama ini pun selalu menahan diri untuk tak mengungkapkan perasaannya pada Deza. Ia takut Deza tak bisa menerima dan menjauh. Ia tak ingin kehilangan Deza. Sore itu selepas berlatih sepakbola, Kirani menunggu Deza berganti baju di kamar ganti. Deza baru masuk ke kamar ganti setelah semua pemain laki-laki keluar kamar. Deza berhasil lulus dari semua seleksi dan kini ia resmi menjadi bagian dari tim sepakbola kampus. Alfa terpekur menatap Kirani yang setia menunggu Deza di luar. Selentingan kabar burung berhembus bahwa antara Deza dan Kirani ada hubungan yang tak wajar. Alfa berusaha untuk cuek, ia tak mau mempercayai kabar itu begitu saja. Namun jika memang benar ada hubungan spesial diantara keduanya, mau tak mau Alfa harus turun tangan untuk mengingatkan Deza. Meski mereka sering bertengkar dan saling benci, tapi jika ta’arufnya dan Khansa berujung ke pernikahan, Deza akan menjadi adik iparnya. Deza keluar dari ruang ganti. Dia dan Kirani berjalan beriringan keluar dari stadion dengan bergandengan tangan, seperti dua sejoli yang sedang kasmaran. Saat Deza melangkah menuju motornya, tiba-tiba seseorang menarik hodie jaketnya. Belum sempat melihat dengan jelas wajah sang laki-laki yang menarik jaketnya dengan kasar, laki-laki itu dengan brutalnya mendaratkan pukulan di pipi Deza, mengenai sudut bibirnya hingga mengeluarkan sepercik darah segar. Deza tersungkur. Kirani berusaha menahan sang laki-laki untuk tidak menyerang Deza lagi. “Kurangajar lo ya, berani banget ngrebut pacar orang.” Pemuda tersebut menarik jaket bagian depan Deza. Tangannya mengepal dan bersiap untuk melayang, tapi Kirani berusaha menurunkan lengan tangannya. “Jangan pukul dia. Dia itu cewek Ga.” Kirani berteriak. Pemuda bernama Gara, pacar Kirani yang beda universitas kaget luar biasa mendengar ucapan kekasihnya. Belakangan ini Kirani selalu menghindarinya, jarang membalas pesan w******p maupun mengangkat teleponnya. Setiap dia mengajak Kirani keluar makan atau jalan, ada saja alasan yang terlontar untuk menolaknya. Karena penasaran, Gara mengikuti kemana Kirani pergi. Ia pun tahu kekasihnya sering bepergian dengan orang yang baru saja dihajarnya, yang ia kira laki-laki dan ternyata dia adalah seorang perempuan. “Lo cewek?” Gara mengendurkan cengkeramannya. Mata setajam elangnya menelisik garis wajah Deza begitu detail. Satu kata di benaknya, cantik! Deza tak membalas. Ia menahan rasa perih yang menjalar di sudut bibirnya yang bengkak dan lebam karena amukan keras Gara. “Maaf aku nggak tahu kamu cewek,” ucap Gara terbata. Dia merasa sangat bersalah. Sekasar-kasarnya perilakunya, pantang untuknya memukul perempuan. “Lebih baik kamu pulang Ga. Dan mulai detik jangan pernah menghubungiku lagi. Kita putus.” Kirani menatap Gara tajam dengan berjuta rasa kecewa. Dia segera berbalik dan berlari menuju jalan. Gara mengejarnya. “Tunggu Kiran, kita belum selesai bicara.” Gara berlari mengejar gadis yang begitu ia cintai. Di saat yang sama Alfa berjalan ke arah Deza dan terperanjat melihat luka lebam di sudut bibir gadis itu. “Kamu kenapa Dez?” tanya Alfa. Betapapun buruknya hubungannya dengan Deza, ia juga masih punya sedikit kepedulian. Ia tak tega juga melihat bengkak di sudut bibir gadis itu, yang hanya dengan menatapnya, orang akan mudah menebak bahwa gadis itu baru saja menerima pukulan. Deza menggeleng. Ada rasa sedih, kesal, kecewa dan marah yang bercampur, mengaduk-aduk perasaannya. Dia tak ingin bercerita dengan siapapun, termasuk dengan Alfa. Ia segera menaiki motornya. “Siapa yang mukul kamu Dez?” Alfa menatap Deza tajam. Deza mengenakan helm dan tak menanggapi pertanyaan Alfa. Dia menstarter motornya lalu motor itu pun melaju dengan meninggalkan sejuta tanya di benak Alfa. ****** Deza melangkah pelan memasuki rumah. Ia sengaja tak mengucap salam agar tak ada yang tahu kedatangannya. Dia tak ingin orangtuanya tahu bengkak di sudut bibirnya. Ia tak ingin menjelaskan apapun karena ia sendiri pun tak ingin mengingat kejadian hari ini. Naasnya saat Deza menaiki tangga, ia berpapasan dengan ibunya yang baru saja kembali dari kamar Deza untuk membereskan kamarnya. Kamar Deza ini seringkali berantakan dan ia masih tergantung pada ibu atau asistaen rumahtangga untuk merapikan kamarnya. “Deza...” Selia menajamkan pandangannya kala dua bola matanya menangkap luka lebam di sudut bibirnya. “Kamu kenapa Deza? Kamu habis berkelahi?” Selia membulatkan matanya. Ia pikir setelah pulang ke Indonesia, Deza akan merubah sikapnya menjadi lebih penurut. Ternyata tak ada yang berubah. Dia masih ingat saat SMA, Deza pernah terlibat perkelahian dengan murid dari kelas lain. Dia begitu malu kala pihak sekolah memanggilnya. Rasanya seperti dihakimi bahwa dia tak becus mengurus dan mendidik anak. Deza tak membalas apapun. Berbohong pun percuma. Ibuya tak bisa dibohongi. Jelas sekali luka lebam ini adalah bekas pukulan. Mau ditutup-tutupi, pada akhirnya akan terbongkar juga. “Jawab Deza!” Selia mulai kehilangan kesabarannya. Deza berjalan melewati ibunya dan setengah berlari menuju kamarnya. Selia mengikutinya ke kamar. Deza meletakkan tasnya di meja. Dia melapas jaketnya lalu duduk di tepi ranjang. Selia berdiri menatapnya dengan amarah yang sudah membara dalam sekam. “Bicara yang jujur Deza. Apa yang bikin kamu berantem sama teman kamu?” Deza menunduk. “Teman Deza salah pukul. Tidak ada yang perlu dibesarkan,” jawab Deza pelan tanpa berani menatap ibunya. “Salah pukul gimana? Katakan yang sebenarnya.” Selia meninggikan volume suaranya. Deza masih saja terdiam. Ia tak bisa bercerita tentang Kirani ataupun pacarnya. Ia tahu ibunya pasti akan lebih marah lagi saat dia tahu alasan Gara memukulnya adalah karena cemburu padanya dan mengira dia adalah laki-laki. Ibunya akan semakin mendesaknya untuk berjilbab agar lebih mudah dikenali sebagai perempuan. Dan bisa saja ibunya juga akan marah karena ia memiliki teman dekat perempuan yang sudah seperti soulmate. Ibunya selalu khawatir jika dia memiliki orientasi seksual menyimpang. Khansa berjalan pelan memasuki kamar adiknya. Ia mendengar keributan dan ia mengkhawatirkan keadaan Deza. “Ada apa Ibu? Kenapa Ibu marah-marah?” Khansa meraba-raba ruang kamar adiknya. “Ini adik kamu berkelahi sampai sudut bibirnya bengkak. Katanya salah pukul tapi dia tak mau menjelaskan yang sebenarnya. Ibu benar-benar pusing menghadapi kelakuan adik kamu. Perempuan tapi nggak ada lembut-lembutnya. Sering berkelahi. Entah bagaimana lagi cara mendidik adikmu. Mungkin sebaiknya Deza dimasukkan ke pesantren saja. Ibu nggak sanggup ngurusin adikmu lagi.” Selia keluar dari kamar Deza dengan hati patah tercabik-cabik. Anak yang sedari kecil diharapkan tumbuh menjadi perempuan shalihah, justru sering kali mengecewakan dan melanggar aturan. Khansa meraba-raba ranjang adiknya dan duduk di sebelahnya. “Kamu kenapa Deza? Kenapa bisa berkelahi? Tolong katakan yang sebenarnya.” Khansa meraba-raba wajah adiknya. Jemarinya yang lembut mengusap rambut cepak adiknya. Deza terdiam. Setitik air mata menetes di pipinya. “Aku belum bisa bercerita sekarang Kak. Aku ingin istirahat dulu.” Khansa tak bisa memaksa. Lebih baik ia membiarkan Deza menenangkan diri sampai nanti ia siap untuk membagi semuanya. Khansa beranjak dan keluar dari ruangan. Deza terpekur. Ia menekuk kakinya dan memeluk lututnya erat. Bulir bening itu mengalir deras tanpa bisa ia cegah. Ada satu hal yang membuatnya lebih terluka. Entah kenapa rasanya begitu sakit mengetahui fakta bahwa Kirani sudah memiliki pacar dan menutupi hal ini darinya. Cemburukah ia? Deza menjambak rambutnya pelan. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Selama ini dia selalu mati-matian menolak dirinya adalah bagian dari penyuka sesama jenis, tapi kenyataannya ia begitu sakit dan terluka saat mengetahui Kirani memiliki seorang pacar. Ia berjanji untuk menjaga jarak dengan Kirani demi menjaga diri untuk tetap berjalan di jalur yang benar. Meski ia sangat nyaman bersahabat dengan gadis cantik itu, tapi perasaan yang terlanjur tumbuh, ia rasakan sudah tak sehat lagi dan di luar kewajaran. Deza juga begitu bersedih teringat akan kata-kata ibunya yang menyiratkan gempuran kekecewaan. Entah sudah keberapa kali ia selalu saja mengecewakan dan menyakiti ibunya. Ia tahu, ibunya kerap menangisi tingkah lakunya yang menyesakkan d**a. Ia juga ingin menjadi anak baik dan manis. Tapi ia juga ingin menjadi dirinya sendiri dan berjalan di jalan yang ia pilih sendiri. Ia merasa tak ada seorang pun yang bisa memahami dan mengerti akan dirinya. Wajah itu sudah dibanjiri air mata. Deza membenamkan kepalanya di bantal. Tangis terdengar sesenggukan seolah berkejaran dengan rasa sakit yang berlompatan. Ia tahu, ia tumbuh di luar harapan orangtuanya. Ia tahu, ia lebih sering menyusahkan dibanding membanggakan. Ia tak seperti anak lain yang tumbuh sebagai mana mestinya, sesuai kodratnya. Ada banyak hal yang terlalu rumit dan menghimpit dadanya untuk ia pecahkan. Tekanan demi tekanan, krisis identitas diri, terombang-ambing pada orientasi seksualnya yang tak jelas, mood yang mudah berubah, emosi yang tak stabil dan ada rasa rendah diri juga tak berarti yang begitu kuat merongrong kepercayaan dirinya. Kadang ia berpikir, mungkin mati itu lebih baik agar orang-orang terdekatnya tidak merasa kecewa lagi atas ulahnya, agar ibunya bisa lebih tenang tanpa terbebani dengan segala tindakannya yang keuar dari standar perempuan shalihah. Lagi-lagi ruang itu menjadi saksi tumpahnya segala sedih dan kekalutan yang berkecamuk. Ruang yang tak akan pernah melayangkan ketidaksukaannya ketika dia hanya diam mematung, melahap buku-buku bacaan tanpa terlontar sepatah katapun. Ruang yang tak akan melarangnya kala dia asik bermain game atau menonton pertandingan bola dengan hamburan kulit kuwaci yang berserakan di segala sudut. Ruang yang seolah lebih tahu dan memahami, lebih dari siapapun, bahwa anak ini begitu kesepian dengan kondisi psikis yang berantakan. ****** Esoknya bengkak di sudut bibir Deza masih terlihat lebam. Deza berangkat lebih pagi dan menghindari untuk bertemu ayahnya. Semalam ayahnya pulang lembur. Mungkin sang ibu sudah bercerita semuanya, mengadukan tindakannya yang lagi-lagi bikin naik darah. Ia paham, paginya ayahnya pasti akan menginterogasinya. Karena itu sengaja berangkat lebih pagi di saat ayahnya masih sibuk mandi dan ibunya sibuk menyiapkan sarapan. Ia hanya berpamitan sekelebat pada ibunya yang masih menekuk wajahnya kala melihatnya turun dari tangga. Selia masih mendiamkannya. Saat ia berangkat, sang kakak belum keluar kamar karena sedang bersiap untuk berangkat ke yayasan tuna netra. Khansa selalu diantar oleh supir keluarga sedang ia memilih berangkat sendiri ke kampus menaiki motor maticnya. Kakek dan neneknya juga belum terlihat karena mereka tengah joging pagi mengitari kompleks. Deza melajukan motornya pelan, menyesap udara pagi yang masih sejuk tanpa polusi. Setiba di area parkir kampus, Deza memarkirkan motornya. Ia berjalan menuju koridor dan mencari ruangan tempatnya belajar hari ini. Langkahnya tertahan kala ia melihat seorang laki-laki duduk di teras depan ruangan seolah sedang menunggu seseorang. Laki-laki itu tersentak menatapnya. Ia berdiri dan berjalan mendekat padanya. Tatapannya begitu teduh, tak sebuas kemarin saat ia memukulnya dengan amarah meledak-ledak. “Hai, gimana luka kamu?” Gara menatap lekat sudut bibir Deza yang terlihat masih biru dan lebam. Deza tak menjawab. Ia merasa aneh dengan kedatangan Gara yang sepertinya sengaja datang pagi untuk menunggunya. Entah darimana ia tahu bahwa Deza ada jadwal kuliah pagi di ruangan ini. “Aku mau minta maaf. Benar-benar minta maaf. Sumpah aku nggak tahu kalau kamu ini perempuan. Aku nyesel banget udah mukul kamu keras banget. Pasti sakit banget ya?” Seketika jari-jarinya terangkat. Hampir saja ia menyentuh sudut bibir Deza, namun ia urungkan. Ia takut Deza akan marah jika ia menyentuhnya. Deza tergugu. Mata mereka saling beradu. Gara menyadari, gadis tomboy di hadapannya ini begitu cantik. Hatinya berdesir. Mungkin ia harus mencari tahu lebih banyak tentang Deza pada saudara sepupunya yang juga kuliah psikologi semester pertama, sekelas dengan Deza. Karena itulah ia bisa tahu jadwal dan ruangan kelas Deza. Bahkan ia berangkat ke kampus ini bersama saudara sepupunya. Saat ini saudara sepupunya sedang ada di kantin. Ia memutuskan untuk menunggu kedatangan Deza di depan ruangan. Nasibnya sedang baik. Deza berangkat lebih pagi dan mereka pun bertemu di tempat ini. “Nggak apa-apa,” jawab Deza lirih dan singkat. Ia langsung berbalik dan berjalan menjauh. Ia berencana untuk sarapan pagi di kantin karena ia belum sempat sarapan di rumah. Dan satu yang pasti ia ingin menghindari laki-laki itu. Gara terpekur menatap kepergian Deza. Entah kenapa ia merasa begitu tertarik dan penasaran pada gadis itu. Rasa bersalah itu masih saja bergelayut di benaknya. Dia tak akan berhenti untuk mendapat maaf dari gadis tomboy itu. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD