Part 2

3319 Words
Awal masuk kelas, Deza merasa tak yakin bisa menemukan teman baru yang sejalan dengannya, ya meski tak sejalan minimal bisa memahami karakternya dan sifatnya yang cenderung moody-an. Belum lagi OCD (Obsessive Compulsive Disorder) yang dia miliki, suatu kondisi psikologis yang memiliki pikiran obsesif dan perilaku kompulsif. Obsesinya ini sering kali tidak masuk akal yang menyebabkan penderita memiliki ketakutan bahwa mereka harus melakukan tindakan tertentu untuk meredakan stres hingga si penderita melakukan tindakan berulang (kompulsif). Deza menyadari benar sejak kasus pelecehan itu dia memiliki ketakutan berlebihan pada kotor atau kuman sehingga dia bisa menghabiskan satu jam hanya untuk mandi, cuci tangan sebelum makan dan setelah memegang sesuatu terutama benda-benda yang kotor bisa sampai tujuh atau sebelas kali. Dia merasa tak tenang dan cemas jika belum melakukan ritual itu berulang. Selain itu, Deza juga memiliki OCD tipe checker di mana dia akan mengecek pintu berulang kali sebelum tidur karena ada ketakutan bahwa seseorang akan masuk ke kamar dan melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Keluarganya tahu benar akan kondisi psikis Deza yang bermasalah terkait OCD ini, belum lagi Selia merasa putrinya mengalami krisis identitas diri yang membuat Deza sering merasa bahwa dirinya harusnya terlahir sebagai laki-laki. Itulah alasan Selia meminta Deza kuliah di psikologi dengan harapan Deza tahu benar bahwa kondisi psikisnya memang bermasalah dan dia butuh usaha untuk menyembuhkan dirinya ketika ajakan konsultasi ke psikolog selalu ditolak. Tanpa orangtuanya tahu, Deza mengalami serangkain gangguan kepribadian, sebagai buntut dari trauma pelecehan seksual yang ia alami. Kakak teman tim sepakbolanya yang seorang psikolog bahkan pernah menyebut Deza mengidap gangguan kepribadian ambang (borderline) atau dikenal Borderline Personality Disorder karena Deza dinilai memiliki gangguan emosional, emosinya tidak stabil, moodnya mudah berfluktuatif bahkan dalam hitungan jam. Deza selalu menyangkal, meski ia paham benar bahwa ada sesuatu yang begitu mengganggunya. Dia kerap merasa tertekan, cemas, takut ditinggalkan dan ditolak, merasa tidak berarti, bahkan ada kecenderungan menyakiti diri sendiri maupun orang lain. Itulah kenapa dia selalu menolak berkonsultasi pada psikolog karena menurutnya, orang lain hanya bisa menghakimi dan menilanya macam-macam. Dia bersyukur ada dua teman sekelas yang bisa menerimanya dengan baik, Randy dan Alice. Mungkin ini terlalu awal bagi Deza untuk menyebut mereka ‘teman’, karena ia berpikir, suatu saat teman-temannya mungkin akan meninggalkannya, seperti yang pernah dilakukan genk cheer leader waktu SMA. Meski tomboy, dia pernah bergabung di tim cheer leader. Sayangnya dia dikeluarkan karena kedapatan mengoleksi foto-foto temannya ketika sedang berganti baju di kamar ganti. Foto yang hanya disimpan di laptopnya tanpa disebarkan. Satu lagi kebiasaan Deza yang membuat Selia uring-uringan, senang mengoleksi foto-foto perempuan berbusana seksi. Teman-temannya menjauh karena menyangka Deza seorang penyuka sesama jenis. Dia memandang foto-foto itu hanya dari sisi artistik saja, tak ada maksud lain. Karena itulah dia lebih banyak memiliki teman laki-laki tapi juga tak mudah untuk berteman dengan laki-laki asing yang baru ditemui. Biasanya dia hanya bisa akrab dengan teman sekolah atau teman satu tim di sepakbola. Deza berjalan beriringan dengan Alice dan Randy menuju kantin untuk menunggu kelas berikutnya. Penampilan Deza yang kelewat tomboy kerap membuat teman-teman baru atau bahkan dosennya terkecoh. Di awal perkenalan dengan sang dosen di kelas barusan, Pak Dosen sempat terbelalak saat memanggil namanya. Deza mengangkat tangannya, sang dosen menurunkan gagang kacamatanya, “Namanya Deza Salsabila Himawan, tapi kok cowok?” Teman-temannya ramai meralat, “Dia cewek Pak...” Deza sudah terbiasa mendengar pernyataan seperti ini. Tiba-tiba seseorang berlari dari arah yang berlawanan. Bahunya menyenggol lengan Deza. Seorang gadis berambut panjang itu terjatuh. Deza menundukan badan lalu membantu mahasiswi itu untuk bangun. Sayangnya sang mahasisiwi malah menangkis tangannya. “Jangan pegang-pegang,” ucapnya ketus. “Maaf tapi tadi kamu yang nabrak saya,” sahut Deza agak terbata. “Lho kamu cewek?” sang mahasiswi berambut panjang itu mengernyit. Deza mengangguk, “Iya.” Ya tentu dia selalu menyebutkan diri sebagai perempuan meski jauh dalam hati kadang ingin sesekali berperan sebagai laki-laki. “Kamu mahasiswi baru ya? Kayaknya aku belum pernah lihat,” tukas mahasiswi berwajah cantik itu seraya menelisik Deza dari atas ke bawah. Rasa-rasanya sulit untuknya percaya kalau orang yang tengah berdiri di hadapannya ini adalah seorang perempuan. “Iya, saya mahasiswi baru,” jawab Deza dengan senyum. “Ayo Dez ke kantin, aku udah laper.” Alice menarik tangan Deza, diikuti Randy. Mereka berlalu dari hadapan sang mahasiswi. Gadis berambut panjang itu masih mematung dan menatap kepergian Deza hingga berbelok di ujung koridor. ****** Deza, Alice dan Randy menyeruput jus pesanan masing-masing. Alice berasal dari Cirebon, dia tinggal di kost dekat kampus. Sedang Randy berasal dari Jakarta dan tinggal di kost juga. “Eh dosen barusan enak juga ya ngajarnya. Gue suka sama penguasaan materi dia,” ucap Randy seraya menatap Alice dan Deza bergantian. “Iya aku juga suka. Kamu kalau ngomong jangan pakai gue-gue kenapa sih? Aku nggak biasa mendengar sapaan itu.” Deza mengerucutkan bibirnya. Randy tertawa kecil, “Sorry. Lingkungan tempat tinggal gue biasa pakai lo-gue. Kamu nih kelamaan di Amerika makanya asing dengan bahasa gaul.” “Di tempatku nggak ada tuh gue sama lo. Tergantung daerahnya.” Alice mengulas senyum. “Eh tadi mahasiswi yang tabrakan sama Deza semester berapa ya? Cantik banget gila, kayak artis. Bening banget sumpah.” Randy menggeleng dan berdecak. “Bukannya di Jakarta banyak artis yang biasa kamu lihat? Misal papasan di mall atau di mana. Kok kamu lihatnya kayak yang kagum banget. Kayak nggak pernah lihat cewek cantik aja.” Alice tertawa kecil. “Ya emang gue biasa lihat artis. Tapi entah kenapa mahasiswi itu beda banget. Kayak bidadari cantiknya. Udah punya pacar belum ya?” Seketika Alice menepuk lengan Randy, “Dasar jelalatan.” “Normal keles, gue cowok. Ya wajar kalau tertarik sama cewek cantik.” Randy mencibir. “Eh, itu Kak Alfarezel. Ganteng banget.” Alice terpana menatap Alfa dan tiga orang temannya duduk di meja seberang. Deza mencebik dan memalingkan wajahnya. “Mendadak selera makan aku jadi hilang.” Deza tak sudi menatap wajah cowok yang ia anggap paling menyebalkan seantero kampus. Di saat yang sama Alfa melirik ke arahnya. Deza lagi-lagi membuang muka. Sesaat kemudian pesanan mereka datang. Deza memesan gado-gado, Alice siomay, sedang Randy memesan mie ayam. Deza beranjak untuk mencuci tangan di wastafel. Seperti biasa, dia tak akan pernah merasa cukup jika hanya cuci tangan sekali. Dia mengulangnya sampai tiga kali. Hingga akhirnya suara orang di belakangnya mengagetkannya. “Woy lama amat nyuci tangannya.” Deza menoleh ke belakang. Rupanya ada Alfa yang berdiri menatapnya dengan sinis. “Aku belum selesai,” balas Deza singkat. Ia kembali membuka kran dan mencuci tangannya diringi suara gemericik air kran. “Hai, kamu itu udah nyuci tanganmu berkali-kali. Lihat nggak nih di belakangmu? Sudah banyak yang antri. Yang mau makan di kantin ini bukan cuma kamu doang.” Alfa mendelik. Deza melirik ke belakang. Ternyata benar, antrian sudah panjang dan orang-orang mulai mengeluhkan ulahnya. Deza akhirnya bergeser dan keluar dari antrian. Dia menyandarkan badannya di dinding sebelah wastafel, menunggu sampai semua mahasiswa selesai mencuci tangan untuk mencuci tangan kembali. Dia baru merasa tenang kalau sudah mencuci tangan minimal tujuh kali. Alfa mencuci tangannya sambil melirik ke arah cewek tomboy itu. “Ngapain kamu mematung di situ? Mau lihatin aku nyuci tangan? Terpesona sama kegantengan aku?” Alfa tak habis pikir dengan sikap Deza yang terlihat aneh. Air mukanya terlihat cemas. “Aku mau cuci tangan lagi. Tolong ya, jadi orang jangan sok kegantengan. There are still many men who are more handsome than you, but they are not arrogant like you.” Alfa bergeser setelah selesai mencuci tangan. Dia menatap Deza tajam. “Aku nggak sok kegantengan. Faktanya emang ganteng kok. Buktinya kamu masih saja berdiri di sini, nungguin aku sampai selesai cuci tangan.” Deza tertawa kecil, “Kamu belajar di psikologi pasti sudah tahu kan yang namanya OCD? Aku punya OCD kebersihan, karena itu aku nggak akan tenang kalau aku belum cuci tangan tujuh kali.” “OCD kamu itu bikin kamu lambat, lelet, lemot. Harusnya kamu nggak usah menuruti obsesi yang tak masuk akal. Yang lain sudah pada selesai makan, kamu masih antri cuci tangan.” Alfa menyeringai. Deza tersenyum miring, “Nggak masalah, setidaknya aku punya alasan yang bisa diterima. Sedang kamu, teman kamu sudah makan dan kamu belum hanya karena menghabiskan waktumu untuk berdiri di hadapanku dan mengajakku bicara. Siapa sebenarnya yang sedang terpesona? Kamu terpesona sama aku?” Alfa tertawa dan mencebik, “Kamu merasa cantik? Untuk apa aku terpesona sama kamu. Aku cuma merasa kamu aneh saja. Dan memang kamu ini orangnya aneh.” “Jangan terus-terusan mengataiku macam-macam. Bisa-bisa kamu jatuh cinta sama aku, baru tahu rasa.” Deza memalingkan wajahnya. Alfa terkekeh, “Pede banget kamu ya. Aku tuh sukanya sama kakakmu.” Deza menajamkan penglihatannya. Dia sudah menduga bahwa Alfa menyukai kakaknya. “Oya aku ingin tanya sesuatu. Kakakmu itu suka coklat apa nggak?” Khansa tidak begitu suka coklat, tapi Deza berpikir untuk berbohong pada Alfa karena ia rasa bisa mengambil keuntungan dari kebohongannya. Ia yakin Alfa berniat memberi Khansa coklat dan Deza sangat menyukai coklat. “Iya Kak Khansa suka coklat. Coklat yang paling enak dan mahal. Yang ukurannya paling besar.” Deza mengerlingkan senyum manis. Tak biasanya senyumnya kali ini tak disisipi nada kesinisan. Alfa tersenyum. Sepulang kuliah, ia berencana membeli coklat untuk diberikan pada Khansa. “Tapi satu yang harus kamu tahu Al. Aku nggak rela punya kakak ipar kayak kamu. Kamu terlalu bocah untuk kak Khansa.” Deza segera berbalik dan duduk kembali bersama dua temannya. Tentu dia belum mau menyentuh makanannya sebelum mencuci tangannya lagi. Dia akan menunggu sampai antriannya habis. Alfa hanya diam terpekur. Dikatakan masih bocah oleh orang yang dia anggap masih bocah itu sungguh tak mengenakan. Baginya cinta tak memandang usia. Dia sudah berniat untuk ta’arufan dengan Khansa dan menikah muda memang sudah jadi impiannya. ****** Alfa mampir ke toko bundanya setelah membeli satu kotak coklat di toko coklat dan permen. Toko Kia berkembang semakin pesat. Ia kelola bersama-sama dengan Gharal. Toko kue yang diberi nama Kianara itu sudah memiliki tiga cabang. Satu di Bandung, satu di Garut, satu lagi di Cirebon. Distro yang dulu dikelola Gharal masih dia kerjakan dibantu oleh Alfa. Gharal berharap nantinya Alfa yang akan mengurus total distronya selepas Alfa lulus kuliah. Distro itu tak hanya menjual kaos dan jaket untuk pria tapi juga baju koko. Agil sudah undur diri untuk tidak mengurus distro tersebut sejak pindah ke Amerika. Gharal dan Kia kadang mengunjungi toko kue yang ada di Garut dan Cirebon untuk melihat keadaan dan kinerja karyawannya. Banyak hal terjadi selama 19 tahun ini. Baik Kia maupun Gharal sudah menjadi yatim piatu karena orangtua masing-masing sudah meninggal. Ayah Gharal meninggal saat Alfa berumur dua belas tahun. Ibu Gharal meninggal saat Alfa duduk di bangku kelas dua SMA, sedang ayah Kia meninggal ketika Kia hamil Zara. Jarak Zara dan kakaknya terbilang cukup jauh karena memang Kia baru dikaruniai momongan lagi setelah Alfa berumur sepuluh tahun. Zara lahir tepat saat Alfa berulang-tahun yang ke-11. “Bunda...” Alfa mencium pipi bundanya yang tampak sibuk memanggang bolu di dapur toko. “Apa sayang? Kamu rapi amat pakai kemeja. Mau kemana?” Kia menatap sang putra sulung penuh selidik. Tak biasanya Alfa mengenakan pakaian semi formal, biasanya dia lebih suka mengenakan t-shirt. “Hmm... Bun ada donat nggak ya untuk dikasihkan ke tante Selia dan om Agil?” Alfa melengkungkan satu garis senyum semanis mungkin. “Kok tiba-tiba nanya gitu?” Kia menyipitkan matanya. Alfa menggaruk belakang kepalanya, “Ehm, Alfa ingin main ke tempat om Agil. Biar ada alasan ke sana kan Alfa bisa pakai alasan kalau Bunda ngasih donat buat mereka.” Kia menganga sekian detik, “Oh sekarang bunda tahu. Alfa ingin ketemu sama putri-putrinya om Agil kan? Hayo ngaku.” Kia mencubit perut putranya. Alfa sedikit mundur. “Bunda mah emang jagonya baca pikiran orang. Alfa ingin ngobrol-ngobrol saja sama kak Khansa.” “Alfa suka sama Khansa?” Kia bertanya frontal tanpa basa-basi. Alfa sedikit gelagapan. “Iya Bun. Tapi Alfa tahu batasan. Alfa nggak akan pacaran, beneran.” “Memang Alfa siap menikah?” Kia menatap Alfa serius. Alfa tersenyum, “Alfa sudah punya penghasilan dari distro, jadi kalau menikah muda nggak masalah. Sebentar lagi genap 19 tahun. Ya Alfa juga belum kepikiran menikah untuk saat-saat ini, cuma ingin mengenal kak Khansa lebih dekat, ta’arufan dulu gitu Bun. Belum tentu juga kak Khansa mau sama Alfa kan?” Kia tersenyum lembut, “Ta’arufan kan bisa lewat pihak ketiga. Nggak perlu ketemu.” Alfa mengerucutkan bibirnya, “Ya kan Alfa bisa ngobrol sama om Agil. Alfa akan menjaga diri untuk nggak bicara berdua sama kak Khansa Bun.” Sejenak Kia menatap putranya dengan perasaan yang sulit dideskripsikan. Anak yang dulu selalu merengek minta es krim atau dikeloni ketika mau tidur, sekarang merengek minta donat buat diberikan kepada keluarga wanita yang dia sukai. Waktu berjalan begitu cepat. Alfa memang sudah terbiasa terbuka dan bercerita apapun pada Kia. Kia menyadari sang anak sudah tumbuh lebih cepat dari yang ia bayangkan. Dia sudah mengerti arti jatuh cinta. Kia mengambil dua kotak donat pada Alfa. “Nih donatnya. Jangan kesorean ya. Dan ingat jangan ngobrol berdua dengan Khansa. Lebih baik ngobrol sama om Agil saja.” “Siap Bun. Terima kasih banyak Bun.” Alfa tersenyum lebar. Rasanya deg-degan membayangkan dia akan bertemu dengan Khansa. Kerinduan yang ia rasakan pada gadis tuna netra itu serasa tak bisa lagi untuk ditahan. Alfa melaju menuju rumah Khansa dengan motor sportnya. Hatinya bersenandung. Beginilah rasanya jatuh cinta. Di benak Alfa telah terisi bayangan wajah Khansa yang begitu cantik. Hanya dengan membayangkan saja sudah membuat gemuruh rasa bergejolak dan rasanya debaran itu semakin menguat. Setiba di pelataran rumah Khansa, Alfa memarkir motornya di dekat pohon belimbing. Dia menenteng dua kantong. Satu berisi dua kotak donat, satu lagi berisi sekotak coklat spesial untuk Khansa. Alfa menekan bel. Keluarlah asisten rumahtangga, seorang wanita paruh baya. Dia mempersilkan Alfa masuk. Selanjutnya sang asisten memanggil Selia. “Eh Alfa, datang ke sini nggak bilang-bilang. Kalau tahu Alfa mau main ke sini, tante masakin yang spesial.” Meski niqob menutup wajahnya tapi Alfa bisa mudah menebak bahwa Selia tengah tersenyum. “Ah nggak usah repot-repot Tante. Saya kan bukan tamu spesial hehe. Hanya ingin mengantar donat dari bunda.” Alfa menyerahkan kantong berisi donat. Selia menerima dengan senyum mengembang, “Wah, terima kasih banyak. Sampein ucapan makasih tante ke bunda ya. Khansa suka banget lho sama donat.” Alfa merasa tak salah memilih donat untuk dijadikan buah tangan. Gadis pujaannya ternyata penyuka donat. Selia memanggil kedua putrinya untuk menemui Alfa. “Khansa dan Deza, temani Alfa dulu ya. Ibu mau menyusul ayah ke kantornya. Sore ini kita mau pergi bareng, ada urusan.” Selia melirik Alfa, “maaf banget ya Nak, tante nggak bisa nemeni karena mau nyusul om Agil ke kantor. Kamu ngobrol-ngobrol dulu saja sama Khansa dan Deza.” Dalam hati Alfa memekik senang. Memang hal ini yang dia harapkan. Rasa-rasanya tak masalah meski ada Deza di tengah mereka. “Oh nggak apa-apa Tante. Salam buat om Agil ya,” balas Alfa dengan senyum sesantun mungkin. Alfa, Khansa dan Deza duduk di ruang depan diselimuti atmosfer yang sedikit canggung. Sang asisten rumahtangga menghidangkan aneka cemilan dan teh hangat. Deza melirik Alfa dengan tatapan tak suka. Sebaliknya Alfa fokus pada sosok secantik bidadari dan berhijab yang duduk di sofa depan. Ada meja yang membentang, menjadi penghalang dua sofa itu. “Ini coklat buat Khansa.” Alfa menyerahkan sekotak coklat pada Khansa. Belum juga Khansa mengambilnya, buru-buru Deza meraihnya. “Kak coklatnya banyak, Deza minta boleh?” Deza mengarahkan tangan Khansa pada kotak coklat itu. Dengan hanya meraba kemasan coklat itu, Khansa paham bahwa coklat itu adalah kesukaan Deza “Iya silakan. Kamu kan suka banget sama coklat ini,” balas Khansa dengan senyum. “Khansa juga suka banget sama coklat kan?” tanya Alfa sembari melirik Deza yang tengah melahap coklat darinya. Alfa begitu gregetan. Khansa belum mengambil satupun coklat yang cukup banyak isi per kotaknya, eh sudah keduluan adiknya yang menyebalkan. “Aku sebenarnya nggak begitu suka. Yang suka banget itu Deza.” Alfa dan Deza saling menatap. Kini Alfa tahu Deza telah membohonginya. Dia sengaja menyebutkan coklat sebagai makanan favorit Khansa, padahal dia yang menginginkan coklat darinya. Alfa melotot pada Deza. “Kak Khansa, tadi Alfa melototin aku. Kayaknya dia nggak ikhlas coklatnya aku makan.” Deza sengaja menggerutu. Seketika Alfa menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri seraya membulatkan matanya pada Deza. “Nggak gitu kok Khansa. Itu hanya perasaan Deza saja. Aku senang kok lihat adikmu doyan makan, biar cepet gedhe.” Alfa menyeringai sembari awas menatap Deza dengan rasa kesal. “Alfa sengaja beli coklat ini untuk aku? Baik banget ya. Atau coklat ini buatan tante Kia?” tanya Khansa dengan tatapan kosong. Dia hanya bisa menerka-nerka Alfa duduk di seberang jika dirunut dari sumber suara. “Aku sengaja beli. Ada kesalahan informasi. Seorang yang tidak bertanggungjawab memberi tahuku kalau Khansa suka coklat. Jadi aku belikan coklat. Eh tak tahunya ada misi terselubung. Si pemberi informasi yang sebenarnya menginginkan coklat itu,” jelas Alfa sembari melirik Deza tajam. Khansa tertawa, “Maksud kamu, Deza yang ngasih tahu kamu kalau aku suka coklat?” “Ya begitulah,” balas Alfa masih dengan tatapan cemberut tertuju pada Deza. “Di mana-mana kalau mau mendapat kakaknya, adiknya harus disenengin dulu,” cerocos Deza yang tampil santai dengan kaos oblong kedodoran dan celana pendek. “Kak, Alfa mukanya kelihatan cemberut. Kayaknya dia tipikal kakak ipar yang nggak sayang sama adik iparnya. Jadi mending Kak Khansa nggak usah mau kalau Alfa ngajak Kakak ta’arufan.” Alfa membelalakan matanya mendengar reaksi Deza yang ceplas-ceplos. “Ah kata siapa? Aku ini bakal menjadi kakak ipar terbaik. Deza pingin apa, kalau aku bisa menuhin, nanti aku penuhi.” Deza serasa ingin muntah mendengarnya. “Yakin nih? Palingan Alfa bohong. Kita berdua nggak pernah akur Kak. Waktu jadi panitia Ospek, dia galak banget sama Deza,” celetukan Deza kali ini cukup membuat Alfa geram juga. “Ah itu cuma profesionalisme saja. Aslinya aku ini baik kok.” Seketika Deza mencebik, “Preettt...” “Oya silakan diminum dan dimakan cemilannya Alfa.” Khansa mempersilakan Alfa untuk makan dan minum dengan ramah. “Iya terima kasih. Aku nggak akan lama kok di sini. Bunda minta jangan lama-lama. Yang penting sudah ketemu sama Khansa, udah seneng kok.” Alfa tersenyum menatap Khansa. Ia tahu Khansa tak dapat melihat senyumnya. Namun baginya Khansa pantas mendapat lebih dari sekedar senyuman. Khansa tersipu. Semburat merah menyapu wajahnya. Deza mengamati Alfa yang masih menatap kakaknya dengan sejuta kekaguman. “Ghadul Bashar,” celetuk Deza. (Ghadul bashar : menahan pandangan). Alfa terkesiap dan segera beristighfar. “Aku pulang dulu ya. Terima kasih untuk jamuannya. Salam buat tante Selia dan om Agil.” “Tadi kan udah nitip salam ke Ibu, katanya salam buat om Agil. Sekarang diulang lagi.” Deza kembali nyeloteh tanpa menoleh Alfa. Alfa semakin greget mendengar ucapan sekenanya meluncur dari bibir Deza. Dia beranjak. Khansa meminta Deza mengantarnya sampai depan. Tentu Khansa merasa canggung untuk mengantar Alfa meski cuma ke depan. Ia bisa merasakan ketertarikan Alfa terhadapnya. Sebelum menaiki motor, Alfa melirik Deza tajam. “Dasar pengacau.” Alfa menatap Deza dengan sederet kekesalan yang berkecamuk. Deza tersenyum dengan tampang innocentnya, “Makasih ya coklatnya.” Alfa mencibir. “Lain kali aku nggak akan pernah lagi bawa coklat ke sini,” ucap Alfa. “Nggak masalah. Masih banyak calon kakak ipar lainnya yang nggak hanya bersedia bawa coklat tapi bawa macam-macam.” Deza menanggapi setenang mungkin. “Khansa tak akan pernah minta pertimbangan dari kamu untuk urusan memilih calon imam.” “Kak Khansa selalu meminta pendapatku,” Deza tak mau kalah. “Udah ah aku pulang. Ngomong sama kamu mah capek sendiri.” Alfa menaiki motornya. “Assalamu’alaikum.” Alfa menstarter motornya. “Wa’alaikumussalam.” Deza masih mematung dan menatap laju kepergian motor itu dengan perasaan datar. Ia ingin kakaknya mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari Alfa. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD