Part 1

2315 Words
“Oya Alfa kuliah psikologi kan? Berarti sama kayak Deza. Kalian sudah saling kenal? Kalian satu universitas kan?” Selia melirik putrinya. Deza mengangguk pelan. “Alfa kok nggak cerita kalau Deza satu kampus sama kamu? Alfa jadi panitia Ospek kan?” Kia menatap putranya yang merasa tak nyaman. “Iya Bun. Alfa nggak paham sama Deza,” jawab Alfa sambil sesekali melirik Deza yang tengah menatapnya dengan penuh benci. Alfa bisa merasakan ada sorot kebencian di matanya. “Maklum kalau nggak paham, udah lama nggak ketemu,” tambah Agil. “Oya gimana kalau sekarang kita makan malam dulu? Kia sudah menyiapkan masakan spesial untuk kalian.” Gharal mengedarkan pandangannya dengan satu senyum. “Jadi ngrepotin nih,” balas Agil. “Sama sekali nggak ngrepotin. Ayo kita makan malam dulu. Keburu makanannya dingin.” Kia mempersilakan Agil dan keluarga untuk makan malam di ruang makan. Acara makan malam berlangsung begitu tenang tanpa ada perbincangan panjang. Selia yang berniqob juga tak kesulitan untuk makan bersama dengan tetap bercadar. Dia sudah beradapasi cukup lama. Alfa sesekali melirik Khansa. Entah kenapa kecantikan Khansa seakan membiusnya dan membuatnya tertarik menelisik lebih detail. Namun ia segera menundukkan pandangan kala teringat untuk gadhal bashar atau menahan pandangan pada perempuan non mahram. Ia tahu Khansa lebih tua lima tahun darinya. Namun ia tak bisa mencegah ketertarikannya begitu saja, seperti rasa suka pada pandangan pertama. Baginya umur tak menjadi penghalang. Deza merasa tak nyaman berada pada situasi yang menurutnya begitu formal. Ia melirik kakaknya yang terlihat tanpa beban memakan menunya. Tatapannya beralih pada pemuda yang begitu menyebalkan di matanya. Sejak kejadian tadi siang, respeknya pada Alfa sudah menurun drastis. Selesai makan malam, Gharal, Kia, Selia dan Agil berbincang di ruang tamu, sedang Alfa, Khansa, Deza dan Zara duduk di ruang tengah. Deza mengamati Zara yang sedang asik menyusun rumah mainan dari lego. Bahkan ia ikut bersama Zara memainkan lego-lego itu. Khansa lebih banyak diam mematung di sofa. Alfa terlihat canggung. Jauh di lubuk hati ia ingin membuka percakapan dengan Khansa. Entah angin apa yang pada akhirnya menyibak di sela-sela kekikukan yang Alfa rasakan, tapi ia beranikan diri untuk menyapa. “Kak Khansa...” Khansa mencari-cari sumber suara. Ia tahu suara tersebut adalah suara Alfa. “Iya Alfa.” “Kak Khansa baik-baik saja kan?” sesaat Alfa menggaruk kepala belakangnya, merutuki kebodohannya karena merasa basa-basinya sungguh tak berkualitas. Segaris senyum melengkung di bibir Khanssa, “Iya aku baik-baik saja, emang kenapa?” Deza yang tengah duduk di karpet bersama Zara melirik sang kakak dan Alfa bergantian. Ia bisa membaca ada ketertarikan di wajah Alfa pada kakaknya. Ketertarikan yang juga ditunjukkan laki-laki lain kala melihat kakaknya yang berwajah cantik bagai boneka Barbie. Dan ia tak suka jika ada laki-laki menatap kakaknya begitu lekat. Ia tak ingin ada laki-laki yang memanfaatkan kebutaan kakaknya untuk berbuat macam-macam terhadap Khansa. Tanpa keluarganya tahu, Deza pernah mengalami pelecehan seksual ketika berumur dua belas tahun. Tetangganya yang berusia 18 tahun berani menggerayangi tubuhnya kala ia tertidur di ruang tv. Entah bagaimana sang tetangga bisa masuk ke dalam. Saat itu ayah ibu dan kakaknya sedang pergi belanja. Untungnya sang tetangga tak sampai melakukan lebih dari itu. Ia lari-lari terbirit-b***t kala Deza bangun dan berteriak. Sayangnya Deza tak berani bercerita pada siapapun tentang pelecehan yang ia alami. Ia terlalu takut dan malu. Kejadian itu menerbitkan rasa trauma berkepanjangan dan mengikis kepercayaan pada laki-laki manapun terkait soal asmara. Dia memiliki banyak teman laki-laki terutama teman sesama pemain sepak bola di SMA-nya dulu. Namun hatinya begitu tertutup untuk menerima cinta dari seorang laki-laki. Dia tak tertarik untuk jatuh cinta atau memikirkan segala hal yang berkaitan dengan hubungan romansa antara laki-laki dan perempuan. Trauma ini pula yang menjadi salah satu pencetus kenapa ia nyaman tampil maskulin. Dengan penampilannya yang mirip laki-laki dan juga perilaku maskulinnya membuatnya merasa aman dari pandangan laki-laki yang berpikir bahwa perempuan adalah objek yang bisa dilecehkan. Alfa tampak salah tingkah untuk menjawab pertanyaan Khansa. “Ehm, aku cuma ingin tanya aja.” Alfa menatap Khansa dengan gemuruh yang tak bisa ia jelaskan. Entah kenapa ada perasaan begitu kuat untuk melindungi gadis ini. “Kak Khansa, boleh nggak aku nanya sesuatu?” Khansa mengernyit, “Nanya apa?” “Ehm soal mata Kak Khansa. Apa tidak ada yang bersedia donor mata agar Kak Khansa bisa melihat lagi?” Khansa terhenyak. Pertanyaan ini bukan satu-satunya pertanyaan yang pernah terlontar untuknya. Sudah banyak orang yang menanyakannya. “Alfa, aku divonis buta permanen karena keterlambatan deteksi ROP atau Retinopthy of Prematurity. ROP ini rentan dialami oleh bayi yang terlahir prematur dengan berat lahir yang rendah. ROP terjadi karena adanya pertumbuhan pembuluh darah abnormal pada retina. Pertumbuhan pembuluh darah abnormal ini yang menyebabkan lapisan retina terlepas dan mengakibatkan kebutaan. Kalau kamu ingin lebih tahu, kamu bisa browsing. Ada lima stadium ROP. Waktu aku didiagnosa ROP, kata ibu aku udah ada di stage lima, di mana retina mataku sudah terlepas dan aku divonis buta permanen. Kalau sudah begini sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi Al, selain ikhlas menerima bahwa aku tidak akan bisa melihat seumur hidup. Orangtuaku sudah mencari cara bagaimana agar aku bisa melihat lagi dan tidak ada satupun yang bisa dilakukan Al, karena semua memang sudah terlambat.” Hati Alfa begitu tercekat mendengar penuturan Khansa. “Apa yang menyebabkan kamu terlambat dideteksi ROP? Maksud aku Kak Khansa.” Alfa merasa sungkan telah memanggil Khansa dengan sebutan kamu dan ini kurang sopan. “Nggak apa-apa Alfa. Kalau kamu merasa kagok manggil aku kakak, nggak usah memanggilku kakak.” Khansa mengulas senyum, senyum yang begitu meneduhkan. “Jadi gini Al. Ibu cerita bahwa dulu waktu aku lahir, rumah sakit memiliki keterbatasan alat. Harusnya skrining ROP itu tidak boleh terlambat, tidak boleh ditunda karena perkembangan penyakit ini berlangsung sangat cepat. Skrining yang dilakukan ketika bayi sudah melewati usia 42 minggu itu sudah terlambat karena di usia ini ROP sudah memasuki stadium lanjut dan menyebabkan kebutaan.” Khansa mendengar cerita ini dari Selia. Selia mengetahui dari almarhum ayahnya. Tentu di depan Alfa dan Deza ia tak menyebut tentang almarhum ayahnya karena baik Alfa maupun Deza tak tahu bahwa Khansa bukan anak kandung dari Selia dan Agil. Alfa menghela napas, “Berarti bayi prematur itu harus dilakukan skrining ROP sejak awal untuk mendeteksi adanya penyakit ini ya. Aku baru tahu informasi ini. Makasih informasinya ya.” Khansa mengangguk. Alfa memainkan ponselnya dan browsing tentang ROP dan ia menemukan dua gambar yang menjelaskan penyakit ini. Dia membaca informasi tentang skrining ROP yang dilakukan oleh dokter mata sub spesialis mata anak (Pediatric Opthalmologist) dengan menggunakan alat khusus Indirek Oftalmoskopi atau Retcam. Cek ROP bersifat wajib bagi seluruh bayi prematur (kelahiran kurang dari 37 minggu) yang kemudian dilakukan skrining lanjutan ROP sampai usia post menstrual 44-45 minggu, pada beberapa kondisi sampai usia post menstrual 50 minggu. “Oya dulu ayah juga sempat bertanya pada ibu tentang donor mata untukku. Donor mata itu biasanya mendonorkan kornea. Dan katanya di Indonesia donor mata masih kontroversi, jumlah pendonor sedikit dan antreannya sangat lama. Sedang kebutaan yang aku alami bukan karena kerusakan kornea tapi karena ROP, kerusakan retina. Jadi aku terima saja jalan hidupku yang seperti ini.” Alfa tersenyum menatap senyum Khansa yang begitu tulus. “Tak apa matamu nggak bisa melihat, asal hatimu nggak buta,” ucap Alfa mencoba menguatkan. Deza tercenung mendengar pebincangan Alfa dan Khansa. Ia selalu bersedih setiap mendengar kakaknya mengatakan bahwa ia ikhlas menerima jalan hidupnya. Deza pun sama dengan kebanyakan orang yang berharap kakaknya bisa melihat warna-warni dunia, tapi apa dikata belum ada tindakan apapun yang bisa menciptakan keajaiban. Deza selalu ingat perkataan Khansa bahwa Allah selalu tahu apa yang terbaik untuknya, termasuk kebutaannya. ****** Hari ini Deza berangkat ke kampus dengan lebih bersemangat karena hari ini akan menjadi hari terakhir Ospek. Rasanya lega membayangkan bahwa sebentar lagi dia akan terbebas dari segala macam tindakan yang menurutnya bodoh dan tak berfaedah. Seperti Ospek dua hari sebelumnya, ketua panitia Ospek terlebih dahulu memberikan pengarahan. Selanjutnya masing-masing kelompok diminta berkumpul di spot pelataran kampus yang sudah ditentukan panitia untuk menerima tugas terakhir. Entah kesialan apa lagi yang menimpa Deza. Panitia yang bertugas mendampingi kelompoknya adalah Alfarezel dan satu lagi panitia perempuan bernama Davinka. “Selamat pagi adik-adik,” sapa Alfa dengan pandangan mata menyasar ke para mahasiswa baru. “Selamat pagi Kak,” jawab pada Maba serempak. “Karena ini hari terakhir Ospek, kakak nggak akan memberi tugas berat untuk kalian. Kakak ingin seru-seruan saja. Jadi kali ini kalian akan diberi tugas menulis surat cinta untuk kakak pendamping kalian. Mahasiswi menulis surat cinta untuk saya, sedang mahasiswa menulis surat cinta untuk kak Davinka. Isi surat tentang pernyataan cinta kalian.” Alfa mengedarkan pandangannya. “Kak Davinka akan membagikan kertas untuk kalian. Mahasiswa menulis di kertas biru, sedang mahasiswi menulis di kertas pink. Nanti kertas kalian akan dikumpulkan dan dipilih acak untuk dibaca. Sampai di sini ada yang ingin bertanya?” Alfa menatap adik-adik juniornya. Deza mengangkat tangannya. Alfa cukup tersentak. “Ya silakan.” “Saya ingin tanya, menulis surat cinta ini tujuannya untuk apa ya? Saya rasa tidak ada manfaatnya,” ujar Deza datar. Alfa menghela napas sejenak dan menatap Deza begitu tajam. “Saya sudah bilang, ini untuk seru-seruan saja. Jangan diambil serius,” suara Alfa begitu lantang. “Kalau begitu apa saya bisa menulis surat untuk kakak panitia yang lain?” tanya Deza lagi. “Tidak bisa!” tegas Alfa. “Ayo silalan menulis.” Dengan terpaksa Deza menuliskan surat cinta untuk Alfa. Meski ini hanya tugas Ospek dan bukan surat sungguhan, rasanya dia tetap tak rela. Setelah semua mahasiswa selesai menulis surat, kertas-kertas itu dikumpulkan. Selanjutnya surat-surat itu diambil secara acak, satu kertas biru, satu kertas pink. Alfa menyuruh salah seorang mahasiswa untuk membacakan surat yang terpilih. Sang mahasiswa maju ke depan dan membacakan surat yang tertulis di kertas biru. Dear kak Davinka.. Wajahmu sungguh cantik memesona.. Membuatku susah tidur karena selalu terbayang.. Belum selesai membacakan cerita, teman-teman yang lain sudah ramai menyoraki. Sang mahasiswa melanjutkan bacaannya. Oh Kak Davinka... Datanglah ke mimpiku.. Satu yang aku pinta... Beri aku nomormu dong... “Huhhhh...” riuhan teman-temannya meramaikan suasana. Selanjutnya Deza ditunjuk maju ke depan untuk membacakan salah satu surat kertas pink yang terpilih. Deza berharap itu bukan suratnya. Saat hatinya komat-kamit membaca tulisan di atas kertas, seketika dia mencelos. Naas... itu adalah surat yang dia tulis. Deza terpaku, ragu untuk membacanya. “Ayo baca suratnya!” gertak Alfa. Deza masih membisu. “Kenapa diam saja? Ayo baca!” kali ini suara Alfa terdengar lebih keras. Dengan sangat terpaksa, Deza membaca isi suratnya sendiri. Dear Alfarezel.. I don’t know what should I write... I just wanna say that... I hate you so much.. Sampai di sini Alfa membelakan mata, tak ayal semua yang di situ pun terperangah. Deza melanjutkan membaca isi surat itu. Kamu orang paling menyebalkan yang pernah aku kenal. Sok kegantengan, sok cakep dan sok berkuasa. Heran, banyak mahasiswi yang suka. Entah apa yang dilihatnya. Padahal aku muak melihatmu. Ya aku muak, sangat muak..! Ingin aku menendangmu.. memukulmu.. ahh pokoknya akan kuhabisi dirimu.. Aku benci kamu..!!! Seketika para mahasiswa lain bibirnya terkatup. Mereka tak menyangka ada satu mahasiswi yang begitu berani menuliskan surat penuh kebencian. Alfa sudah bisa menebak siapa dalang di balik surat kebencian itu. Tatapannya begitu tajam, menancap di kedua mata Deza. “Kamu kan yang nulis surat ini? Ayo ngaku!” Alfa membulatkan matanya seolah ingin menerkam Deza mentah-mentah. Deza terdiam. “JAWAB..!!!!” bentak Alfa. Deza mengangguk. “Saya nggak butuh anggukan kepalamu, saya butuh jawabanmu.” “Iya,” jawab Deza singkat. Alfa menyeringai, “Kamu nggak tahu cara menulis surat cinta? Kamu sengaja meledek saya dan membuat saya marah?” Deza tak menanggapi. “JAWAB...!!!” Alfa menggertak lebih keras membuat mahasiswa lain terperanjat. “Saya memang nggak tahu cara menulis surat cinta karena saya belum pernah menulis surat cinta.” Deza menjawab setenang mungkin. “Nggak usah ngeles. Dasar tidak sopan! Kamu pikir kamu keren dengan menulis surat kebencian seperti ini?” Deza mengembuskan napas. Ditatapnya Alfa yang juga tengah menatapnya tajam. “Saya berharap menulis surat untuk kak Davinka bukan untuk kamu.” Alfa melongo, “Kamu panggil aku kamu? Nggak pakai sapaan kakak? Berani banget ya kamu. Maksud kamu apa berharap nulis surat untuk kak Davinka? Kamu suka sama perempuan? Astaghfirullah. Sudah tomboy, menyerupai laki-laki, nggak sopan, sengak, nggak ada feminin-femininnya, suka sama sesama jenis pula. Orang macam apa kamu ini? Dasar aneh, memuakkan. Kamu pikir kamu ini keren? Keren apanya. Rasulullah nggak suka wanita yang menyerupai laki-laki dan homoseksual itu dilarang dalam Islam!” kata-kata Alfa meluncur begitu lugas dan lantang, menggetarkan siapapun yang mendengarnya. Kata-kata itu terdengar seperti halilintar menyambar-nyambar. “Atas dasar apa kamu bilang aku suka sesama jenis? Aku berharap nulis surat untuk kak Davinka bukan berati aku menyukainya. Aku hanya nggak punya pilihan lain. Aku nggak akan pernah sudi nulis surat cinta buat orang menyebalkan kayak kamu.” Deza semakin berani melawan. ‘Nglunjak kamu ya. Dasar lesbian aneh! Kamu harus mendapat hukuman karena sudah berbicara kasar dan tidak mematuhi aturan. Kamu juga tak sopan pada panitia!” Alfa tak menyangka Deza berani melawannya terang-terangan. Deza menatap Alfa penuh kebencian. Ia tak akan pernah takut menanggapi ancaman Alfa. Alfa berjalan mendekat ke arah Deza dan ia berbisik lirih, “Aku punya hukuman yang cocok buat kamu,” Alfa tersenyum sinis. Deza tertegun. Rasanya aneh saat bisikan Alfa membuatnya sedikit cemas. Takut sang kakak angkatan akan melecehkannya dengan menyentuhnya. Tapi untungnya Alfa tak sedikitpun menyentuhnya. ****** Deza berdiri di tengah lapang dengan satu kertas lebar menggantung di lehernya dan bertuliskan : ‘Aku cinta banget sama kak Alfarezel’ Mahasiswa lain beramai-ramai memperhatikannya, membaca tulisan yang menggantung lalu menertawakannya. Bahkan beberapa berani memotretnya untuk kemudian diunggah di media sosial. Rasanya Deza sudah tak punya muka lagi. Ia sangat malu dan merasa terhina menjadi bahan olok-olok dan tertawaan oleh mahasiswa lain. Dari kejauhan Alfa tersenyum puas karena berhasil mengalahkan aogansi Deza. Deza mengepalkan tangannya. Ia bersumpah, ia akan membalas perbuatan Alfa. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD