PART 4 - MAKAM BUNGA ALINA

1873 Words
Tak terasa sudah empat bulan berlalu. Selama kembali dari rumah sakit, Nazla sadar, ia sama sekali belum pergi berziarah. Bukan tidak ingin, tapi ia masih belum siap untuk kesana. Melihat pusara calon buah hatinya, yang ia pikir akan lahir dengan selamat dan bersama menemaninya dalam menjalani hidup. Ternyata ia tetap sendiri di dunia yang penuh kesedihan ini. Hidup terus berjalan dan Nazla sadar ia harus tetap mengikuti alur kehidupan yang telah Tuhan berikan untuknya. Jadi, pagi ia ini ia memiliki rencana. Ia akan menziarahi makam mendiang putrinya. Teringat sesuatu, ia segera pergi membuka lemari dan mencari amplop yang seingatnya ia taruh di lipatan baju di dalam lemari. Nazla mengeluarkan sebuah amplop yang dulu ia lihat sekilas. Emma, sahabatnya memberikan sebelum pergi. Untuk kenang-kenangan. Barangkali Nazla ingin melihat seperti apa bayinya. Saat itu ia tak kuasa melihat. Apalagi sedang dalam keadaan berduka. Jadi ia memilih meletakkan amplop itu begitu saja di dalam lemari. Tapi kini ia memantapkan hati, ingin tahu seperti apa wajah putrinya ini. Dengan jantung berdebar, Nazla membuka amplop itu. Sosok bayi mungil dengan mata tertutup. Dengan dagu lancip dan bibir mungil. Hidungnya pun terlihat mancung. Nazla membelai foto itu perlahan dengan jarinya secara perlahan. Seolah itu adalah benda yang bisa saja hancur ketika ia salah memegang. Ada rasa haru yang menyeruak ke dalam hatinya. Ada rasa sedih yang sulit untuk ia jabarkan, mengingat ia tidak pernah melihatnya secara langsung, menyentuh kulitnya yang mungkin terlalu lembut untuk ia sentuh. Seketika, mata Nazla berkaca. Ada pertanyaan yang masuk ke dalam hatinya, mengapa ia harus mengalami koma? Andai ia tidak koma, ia bisa memeluk tubuh yang tak bernyawa itu walau sekejap. Bibirnya bergetar kala menyapa, "Hai cantik. Maaf ibu baru sekarang berani melihat kamu." Sekali kedip bulir itu turun ke pipinya, yang segera ia hapus. Khawatir jatuh ke foto bayi di tangannya. Khawatir bisa menghilangkan wajah mungil yang menurutnya pasti cantik jika tumbuh besar nanti. "Hari ini ibu akan berziarah ke makammu, makam nenek kakekmu dan makan eyang. Kamu pasti bertemu mereka di sana ya." "Sampaikan pada mereka, kalau ibu kangen sama mereka. Tunggu ibu di sana ya cantik, nanti kita akan berkumpul bersama di sana. Ibu akan selalu mendoakan kalian, semoga selalu mendapat tempat di sisinya." Lalu Nazla mengecup foto itu lama sekali dengan senyum sedih. "Ibu akan kasih kamu nama Bunga Alina. Kamu akan menjadi bunga di hati ibu, sekaligus akan menjadi Sutra dari Surga." Senyum Nazla mengembang. "Bunga, ibu akan pergi ke makammu sebentar lagi." Lalu Nazla bergegas bersiap-siap. Sebuah kerudung panjang, ia sampirkan di kepala. Kerudung warna hitam, lengkap dengan kaos warna maroon dan celana panjang warna hitam. Setelah yakin, ia bergegas keluar rumah, mengunci pintu rumahnya sebelum pergi. "Kamu mau kemana Nazla?" tanya salah satu tetangganya. Nazla tersenyum ramah. "Mau ke makam bu. Saya belum sempat berziarah ke makam bunga putri saya." "Jadi kamu namakan putri kamu itu Bunga?" Tatapan sendu terlihat dari wajah ibu berusia empat puluh tahun, yang biasa bunga panggil bu Enjum. Salah satu tetangganya yang baik hati sekali. "Bunga Alina, bu. Baguskan namanya?" tanya Nazla lagi. Bu Enjum mengangguk dengan mata berkaca. "Bagus sayang, namanya cantik. Pasti ia secantik kamu ya kalau saja masih hidup." Wanita itu tahu bagaimana hidup Nazla selama ini. Hidup sebatang kara, dan menjadi permainan orang-orang kaya yang tidak bertanggung jawab. "Kalau begitu, saya pamit dulu ya bu. Takut keburu hujan. Mari bu." "Hati-hati Nazla." Bu Enjum menatap kepergian Nazla. "Andai kata ibu punya anak laki-laki normal, tentu ibu akan nikahkan kamu sama anak ibu Nazla. Tapi sayang anak ibu setengah laki-laki setengah perempuan," keluh Enjum. "Mak, mana sarapan Jono?" Seorang lelaki tinggi kurus menegur Enjum dengan tatapan merengut. Rambutnya yang panjang ia ikat ke belakang. Penampilannya membuat Enjum geleng kepala. Bertelanjang d**a dan mengenakan celana panjang jeans. Saking kurusnya, tulang d**a tercetak jelas, mirip papan gilesan di rumahnya. "Iya bentar Jono, Mak jalan dulu ke depan. Lagian orang-orang udah mau makan siang kamu malah baru bangun." "Jangan pake lambreta ya Mak. Cacing di perut Jono dah atraksi sirkus." "Mak jangan banyak cincau balsem kalau ketemu tetangga. Nanti Jono keburu kering kerontang nunggu nasi uduk." "Iya-iya cerewet." Enjum mendengus kesal. "Ya Tuhan, punya dosa apa dapat anak model gitu." Walau dengan mengelus d**a, Enjum tetap melangkah ke arah jalan. Tempat orang jual nasi uduk. Nazla masih terus berjalan menyusuri jalanan yang terlihat sepi. Hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan tubuhnya. Sesosok wanita keluar dari mobil yang menurutnya mewah itu. Dan Nazla tentu tahu siapa wanita ini. "Bu Lia?" sapa Nazla saat tahu siapa wanita yang kini berdiri di depannya. "Nazla." Lalu Nazla merasakan pelukan hangat. "Kamu apa khabar sayang?" Mendapat tatapan penuh rasa sayang membuat Nazla terharu. Ibu mertuanya ini memang tak berdusta dalam bersikap. Tidak seperti putranya. "Aku baik bu. Ibu bagaimana khabarnya? Aku-aku turut berduka cita atas meninggalnya Ayah. Maaf aku gak sempat berkunjung ke sana." Lia mengusap kedua sudut matanya. Ia mengusap punggung mantan menantunya. Menantu kesayangannya. "Ibu yang seharusnya meminta maaf sama kamu. Ibu gak ada saat kamu butuh ibu. Ibu tadinya mau ke rumahmu. Ada yang mau ibu bicarakan." "Tapi, Nazla mau berziarah bu ke makam Bunga Alina. Cucu ibu." Mata Lia berkaca. "Kamu memberi nama dia Bunga Alina? Nama yang bagus sekali. Ibu boleh ikut?" tanya Lia tak enak hati. "Tentu boleh bu. Bunga pasti senang, Omanya datang berziarah." "Ayo, kita naik mobil saja biar cepat." Lia mengajak Nazla masuk ke dalam mobilnya. Tak lama mobil itu mulai berjalan. "Semula saat ibu tahu kamu melahirkan, ibu meminta Ayah menjemput ibu. Tapi, kecelakaan itu terjadi." Tatapan sendu terlihat di mata Lia. Nazla meraih telapak tangan Lia dan menggenggamnya erat. "Ibu yang tabah ya?" Ayah mertuanya adalah orang yang baik hati, sama seperti istrinya ini. Nazla heran bagaimana sepasang suami istri ini memilki putra yang jauh dari sifat keduanya. Lia mengangguk sambil tersenyum. Dua wanita yang sama kehilangan dengan versi berbeda. "Ibu sempat shock. Belum lagi urusan kantor Ayah yang ibu gak ngerti. Sementara Fendi sama sekali gak mau mengurusi usaha ayahnya." Ternyata si Fendi ini memang anak yang gak tahu diri. Punya ibu sebaik ini masih dibuat susah. "Itu sebabnya ibu gak sempat menjenguk kamu di rumah sakit. Maafkan ibu Nazla. Maaf atas segala kesakitan yang sudah Fendi lakukan sama kamu selama ini. Padahal ibu berharap kalian baik-baik saja. Sungguh ibu ingin sekali memiliki cucu." Mata Lia berkaca. Ia dan suaminya sungguh menantikan kehadiran cucu mereka. Mengingat Fendi anak mereka satu-satunya. "Saya sudah mengikhlaskan apapun yang terjadi bu. Saya yakin semua kejadian ada hikmahnya." Walau rasa sedih kembali hadir, Nazla berusaha tersenyum pada Lia. Tak lama mereka sampai di pemakaman. Siang itu cuaca tidak begitu terik, saat keduanya bersimpuh di makam kecil yang berdampingan dengan makam keluarga Nazla yang lainnya. Makam kedua orang tua dan neneknya. Mereka berdoa bersama. "Bunga, Ibu datang bersama Oma. Maaf kami baru bisa datang." Nazla menabur bunga di atas makam putrinya, begitu juga Lia. Li menatap haru pada mantan menantunya. Ia menyesalkan sikap Fendi yang begitu saja menceraikan Nazla. Sungguh tidak memiliki hati nurani. Bahkan Lia bertengkar hebat saat mengetahui rencana Fendi selanjutnya. "Kamu tidak punya hati Fendi. Bagaimana bisa kamu membuang Nazla dan menikah dengan wanita itu? Demi Tuhan, Fendi." Lia sudah emosi sekali. Sakit hati saat putranya semakin membangkang. Ia baru tahu jika putranya akan langsung menceraikan Nazla saat wanita itu melahirkan. Bahkan saat seharusnya Fendi mengatasi kesedihan Nazla akan kehilangan buah hati mereka. "Berapa lama kamu menjalin hubungan di belakang Nazla dengan wanita itu?" Fendi terdiam. "Jawab Fendi! Bagaimana bisa kamu dekat dengan wanita itu!" Emosi sudah tak bisa lagi Lia bendung, saat tahu siapa calon istri putranya kali ini. Ya Tuhan, bagaimana bisa? Akan sehancur apa menantunya itu kalau tahu fakta sebenarnya. "Itu urusanku bu. Ibu tahu sejak lama aku tidak pernah mencintai Nazla, tapi ibu memaksa aku menikahi dia. Sudahkan bu? Aku sudah menikah sesuai maunya ibu. Sekarang aku ingin menikah dengan wanita yang aku cintai bu, tolong ibu mengerti aku." Fendi menatap Lia dengan mata menyipit. Sudah cukup selama ini menjadi tameng untuk kesalahan yang bukan karena ulahnya. Walau ia akui Nazla pun bisa melayaninya dengan baik sebagai seorang istri. Tapi sekali lagi, Fendi ingin memiliki istri yang bisa dibanggakan. "Tapi tidak dengan dia Fendi. Tolong hargai Nazla. Paling tidak jangan buat hati Nazla kembali tersakiti," lirih Lisa dengan mata berkaca. Sudah begitu banyak dosa mereka pada Nazla. Wanita itu bahkan sudah kehilangan semua anggota keluarganya, kini ditambah dengan bayinya. "Nazla baru kehilangan buah hati kalian. Apakah kamu gak kasihan sama istri kamu itu? Tunggulah sampai satu tahun." Lia memohon pada putranya. "Tidak bisa Bu, aku sudah berjanji akan melamarnya selepas Nazla melahirkan!" Fendi berkeras sekali. Lalu ia mendengus kasar. "Kenapa ibu selalu membela Nazla! Ibu lupa, aku anak kandung ibu, bukan wanita itu bu! Aku!" Kini Fendi menatap emosi ke hadapan ibunya. "Ibu sudah tidak mengenalmu Fendi. Kamu sudah berubah, bukan ini anak ibu yang sesungguhnya. Anak ibu pasti memiliki hati nurani." Lisa menggeleng dalam kesedihan. Apa bedanya ia dan Nazla sekarang? Sepertinya ia pun kini hidup sebatang kara. Suami meninggal, dan anak yang tak bisa diatur dan mau menang sendiri. "Terserah ibu mau bicara apa. Intinya aku sudah menceraikan Nazla, dan akan segera mengurus pernikahanku dengan calon istriku. Wanita yang sangat aku cintai. Aku gak perlu kehadiran ibu, jika memang ibu tidak setuju. Karena selanjutnya aku akan bawa istriku ke rumahku yang dulu ibu berikan padaku, mau ibu suka atau tidak." Setelahnya Fendi pergi, dan mereka tidak bertemu lagi, hingga lelaki itu mengirimkan surat undangan kepadanya. Bayangkan, ibunya di beri surat undangan. Gak sekalian dia minta ampau gitu? Itulah yang membuat Lia mendatangi Nazla. Ada yang harus ia sampaikan. Cuaca siang ini mulai beranjak naik, tapi tetap terasa hangat di kulit. Mungkin karena area pemakaman ini banyak pohon dengan daun yang lebat. Hingga matahari yang masuk, terhalang dedaunan. Namun tidak mengurangi, bagaimana kedua wanita beda usai itu khusuk berdoa. "Nazla. Ibu gak tahu kapan lagi bisa menemuimu. Ini ada yang mau ibu berikan padamu. Mungkin berguna untuk hidup kamu ke depan." Lisa mengeluarkan sebuah amplop. Menyerahkannya pada Nazla. "Apa ini bu?" Kening Nazla melipat. "Terimalah Nazla." Dengan ragu, Nazla menerima amplop itu dan membukanya. Kartu ATM, dan buku Tabungan. "Pakai ini untuk masa depanmu Nazla. Anggap ini untuk menebus semua kesalahan ibu padamu." "Tapi bu." Jelas Nazla meragu. "Tolong jangan tolak Nazla. Ibu sungguh ingin memberikan ini buat kamu." Melihat kesungguhan dari raut wajah Lia, Nazla mengangguk. Ia tidak membawa tas, hanya dompet kecil. Jadi amplop itu ia pegang di tangan. "Ibu pamit pulang Nazla. Kamu jaga diri baik-baik. Ibu akan mendoakan semoga kamu mendapat kebahagiaan." Lia memeluk Nazla dengan sayang. "Ibu baik-baik juga ya, jangan banyak pikiran." Sungguh Nazla kasihan sekali dengan ibu mertuanya ini. "Ibu ingin kamu tahu jika apapun kelakuan putra ibu, ibu sama sekali tidak merestuinya. Cuma kamu menantu ibu, Nazla. Cuma kamu." Lisa membelai pipi Nazla sebelum melangkah pergi. "Iya Bu." Walau ia heran dengan perkataan Lia, Nazla tetap mengangguk. Perlahan Lia pergi dari hadapan Nazla. Nazla memandang dengan hati terenyuh kepergian ibu Mertuanya. Ia pikir bisa memiliki keluarga baru, tapi ternyata semua sirna. Mungkin ia terlalu berharap. Sebenarnya Lia cocok untuk menjadi pengganti Almarhum Ibunya, tapi sayang hubungan mereka pun usai seperti usainya hubungan Nazla dengan Fendi. Semoga suatu hari nanti kita dipertemukan kembali bu Lisa. Semoga ibu baik-baik di sana, selalu sehat dan juga bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD