PART 5 - SHAKILLA ATHARI FAWWAZ

2013 Words
Nazla masih membersihkan makam putrinya dari daun kering yang jatuh terbawa angin. Anggap ia tengah membersihkan rumah peristirahatan terakhir putrinya. Entah kapan lagi ia bisa datang kesini. "Maaf karena ibu tidak menjaga kamu dengan baik selama di dalam kandungan. Maaf karena ibu tidak memberikan satu pun pelukan sebelum kamu di kebumikan, sayang. Semoga Ayahmu menggantikan pelukan dari ibu. Ayah pasti memeluk dan menciummu sebelum kamu diletakkan di sini." Nazla tersenyum kembali membelai dengan lembut nisan tanpa nama itu. "Nanti ibu akan ganti nisanmu, dengan nama yang ibu pilihkan untukmu." "Bunga Alina, ibu memilih nama itu untukmu. Semoga kamu suka ya sayang." Mata itu kembali berkaca. Membayangkan seperti apa jika putrinya besar nanti. Seperti apa suaranya saat memanggil dirinya dengan sebutan Ibu. Terlalu muluk jika Nazla berpikir ia akan mendapatkan kesempatan semulia itu. "Ibu gak tahu, apa ayahmu pernah datang lagi ke mari? Ibu cuma mau kasih tahu jika ...." Rasa sesak itu kembali hadir, saat kini ia tinggal sendiri di dunia ini. "Ibu sudah tidak bersama Ayah lagi. Tapi ...." Nazla menelan salivanya yang terasa kesat, seiring jatuhnya bulir bening di pipi. "Ibu yakin sekasar apapun ia pada ibu, Ayah pasti sayang sama Bunga." "Ibu pamit pulang sayang. Ibu akan kembali lagi kemari untuk mengganti nisanmu." Nazla kembali tersenyum saat untuk terakhir kalinya ia mengusap batu nisan putrinya. Merasa sudah cukup berada di makam putrinya, Nazla bangkit. Ia akan kembali pulang dan mulai menata hidupnya kembali. Ia belum melihat berapa nominal besarnya uang yang ada di buku tabungan ini. Tapi semoga saja cukup, untuk menyambung hidupnya. Nazla juga harus mencari pekerjaan. Selama menjadi istri Fendi ia hanya berdiam diri di rumah melayani semua keperluan suaminya. Walau semua sia-sia. Tak ada satupun yang baik di mata suaminya. Sudahlah, mungkin memang jodohnya cuma sampai di situ. Nazla melangkah ke luar area pemakaman. Saat melalui jalan sepanjang makam, ia melihat ada yang juga tengah berziarah. Seorang lelaki tampak duduk bersimpuh dengan wajah tertunduk dengan tangan mengusap batu nisan. Laki-laki itu mengenakan kaca mata hitam. Nazla berhenti sejenak. Entah mengapa ia ingin membaca siapa yang dimakamkan itu. Andita Rukmana. Mungkin istri lelaki ini. Tanggal kematiannya sama kayak Bunga Alina, putriku. Lelaki itu tampak khusuk berdoa, tapi tidak dengan wanita di depan lelaki itu. Melihat Nazla berdiri memperhatikan mereka, wanita itu mendelik ke arah Nazla. Nazla tersentak, dan baru sadar jika ia telah berdiri dan mungkin mengganggu kekhusukan mereka dalam berdoa. Lalu Nazla kembali berjalan menuju luar area pemakaman. Hingga tiba di depan makam, ia melihat seorang wanita seperti seorang babby sitter tengah berusaha meredakan tangis bayi yang digendongnya. "Cup sayang, sebentar ya, Papi sama Tante bentar lagi beres kok." Keringat di dahi babysitter itu terlihat mengucur, sementara tangisan bayi itu semakin kencang. Nazla menjadi tak tega. Sepertinya gadis itu kewalahan mengatasi bayi yang digendongnya. "Kenapa mbak, nangis ya bayinya," sapa Nazla ramah. Wanita muda itu tersenyum. "Iya tahu kenapa nih. Ini udah dikasih s**u masih saja nangis. Padahal tadi anteng. Tiba-tiba mengamuk gini." "Mau saya bantu gendong?"tawar Nazla. Wanita muda itu melihat ragu pada Nazla. Wajarlah, ia hanya seorang perawat bayi dan Nazla wanita asing untuknya. "Tenang saja, saya bukan penculik. Ini kamu pegang dompet saya, ada KTP saya jika kamu ragu. Saya cuma kasihan melihatnya menangis. Kamu juga sepertinya tidak bisa memenangkan dia. Sebentar saja, barangkali saya bisa membuatnya tenang." Wajah Nazla yang sendu dan teduh membuat perawat bayi itu mengangguk. Setelah menerima dompet Nazla, dia menyerahkan bayi mungil yang masih saja menangis itu pada Nazla. Nazla menerimanya dengan senang hati. "Cup-cup sayang. Jangan menangis ya." Nazla menepuk pelan p****t bayi itu dengan sayang. Mengayunkan pelan. Secara mendadak tangis bayi itu berhenti, matanya terbuka menatap Nazla. "Eh, dia berhenti nangisnya," seru sang babysitter. "Wah ibu hebat," pujinya lagi sambil menatap wajah Nazla. "Mungkin dia bosan kamu gendong, jadi mau digendong oleh orang lain. Iyakan sayang?" Nazla tersenyum dan membelai pipi bayi itu. Dan senyum Nazla mengembang saat melihat senyum bayi itu yang memiliki lesung pipi di sebelah kanan. "Ibu sama ya punya lesung pipi juga kaya Killa. Sama-sama di sebelah kanan juga. Kok kaya nyambung sih." "Memang siapa nama bayi ini?" tanya Nazla penasaran. "Shakilla bu, biasa dipanggil Killa." "Hai Killa, salam kenal ya." Nazla mencium gemas pipi bayi itu, dan kembali mendapat senyuman dari bayi Killa. Seolah tersadar, Nazla bertanya. "Kamu disini sedang apa? Mau ziarah juga?" "Gak bu. Yang ziarah Bapak dan mbak Andini." Baby sitter itu menunjuk ke arah area pemakaman. "Oh yang itu." Nazla mengangguk, teringat kedua orang yang tadi ia temui di area pemakaman. "Mereka orang tua Killa?" "Bukan bu, Itu Papinya Killa dan Tante Andini, tantenya Killa." Kening Nazla melipat. "Maminya Killa meninggal, tepat saat melahirkan Killa empat bulan lalu." "Ya Tuhan, kasihan sekali Killa." Nazla memandang bayi mungil yang menatap matanya dengan bersinar. Ternyata nasibmu lebih menyedihkan ya sayang. Sekecil ini sudah kehilangan ibu. Semoga dimanapun kamu berada, kamu tetap dalam lindungannya, tetap sehat, dan bahagia. Aku pikir nasibku menyedihkan, ternyata kamu lebih menyedihkan. Sekecil ini sudah ditinggal Ibu. Nazla kembali mencium pipi baby Killa. Menghirup aroma bayi ini yang entah mengapa ia sukai. "Eh bu, maaf. Itu Papinya Killa sepertinya telah selesai." Nazla menoleh ke arah makam, telihat lelaki dan perempuan yang tadi bersimpuh bangkit. Lalu ia bergegas memberikan bayi itu pada babysitternya kembali. "Terima kasih ya bu, atas bantuannya. Baby Killa jadi tenang sekarang. Ini dompet ibu." "Sama-sama, sampai jumpa lagi Killa." Nazla tersenyum sambil mengambil dompet yang diserahkan baby sitter. Lalu ia sekali lagi menoleh ke arah pemakaman dan melihat dua sosok itu melangkah semakin dekat. Seorang lelaki dengan tubuh tinggi besar, tampak gagah dengan kaca mata hitamnya. Begitu pun dengan wanita disampingnya, terlihat cantik. Sama-sama mengenakan baju dan kaca mata hitam. Seperti pasangan artis. Nazla segera beranjak pergi dari tempat itu. Sementara di area makam. "Lantas apa yang akan Bang Dayan lakukan sekarang?" Andini menatap kakak iparnya yang terlihat sungguh tampan. Memang tak salah, Andita begitu mencintai suaminya ini. Dan Andita adalah wanita yang sangat beruntung sekali, bisa merasakan dicintai lelaki setampan Dayan Athari Fawwaz. Dayan menghembuskan napas. "Apa yang bisa aku lakukan selain membesarkan Shakilla. Amanah mendiang kakakmu." "Abang bisa mengurusnya sendiri?" Mereka bertatapan. Mata Andini menatap mata Dayan. Walau mereka sama memakai kaca mata hitam, tapi Andini bisa melihat seraut rahang tegas yang membingkai dengan indah dihadapannya. Hidung mancung yang membuat Dayan memiliki nilai plus, pun alis lebat yang tersisir rapi. Ketegasan Dayan selalu membuat Andini tersihir, sosok kakak iparnya ini sudah membuatnya jatuh cinta sejak pertama kali dibawa kakaknya Andita ke rumah. "Abang gak mungkin mengurusnya langsung, ada babysitter kan?" Andini tersenyum. Sepertinya abang iparnya ini tidak mengerti. "Apa Bang Dayan gak berniat menikah lagi?" Andini menggigit bibirnya. Sangat amat berharap Kekehan terdengar di telinga Andini. "Memang kamu ikhlas aku menikah dengan wanita lain dan menggantikan posisi kakakmu di rumah?" Dengan yakin Andini menggeleng. Kecuali Abang menikah denganku. Sayang itu hanya berani ia ungkapkan lewat hati. Andini tidak senekat itu mengungkapkan perasaannya. Ia butuh waktu, tepatnya memberi waktu buat lelaki tampan ini hanyut dalam kenangan bersama mendiang istrinya. Andini tidak mau gegabah. Ia harus berhati-hati dalam melangkah, supaya tidak salah jalan. Semua harus sesuai rencananya dalam mendapatkan lelaki tampan ini. "Aku orang yang sulit jatuh cinta Andini. Hanya Andita yang mampu membuatku jatuh cinta. Kini apapun yang akan aku lakukan ke depan, harus dengan pemikiran matang. Aku tidak bisa mengatakan jika aku tidak akan menikah lagi. Semua kuserahkan pada takdir. Tapi sekali lagi semua demi Shakilla." Semakin terpesona Andini pada sosok kakak iparnya ini. Sudah tampan, berwibawa, sukses pula. Sangat disayangkan Andita berumur pendek. Eh, tapi inikan kesempatan buatnya. Ia harus bisa mendapatkan lelaki ini, agar usahanya tidak sia-sia. Mereka kembali berjalan sampai tiba di depan area pintu masuk pemakaman. "Killa rewel gak War?" tanya Dayan pada babysitternya yang bernama Warni. "Tadi rewel Pak. Nangis gak jelas, padahal udah saya kasih susu." "Oh ya?" Dayan mendekat dan membelai pipi putrinya. "Cantiknya Papi kenapa sih? Kangen Mami ya? Nanti ya, kalau sudah besar, Papi ajak kamu ke rumah peristirahatan Mami yang terakhir." "Untung tadi ada ibu-ibu gendong sebentar." "Ibu-ibu?" tanya Andini tak suka. "Kamu kasih Killa buat orang asing gendong, gitu?" Mata Andini sudah berkilat emosi. "Cuma sebentar bu, tapi setelah digendong itu ibu, Killa langsung diam. Terus senyum lagi. Saya baru tahu Killa ada lesung pipi di sebelah kanan saat senyum." "Masa sih?" Dayan tak percaya. Pasalnya ia sempat aneh, putrinya ini tak pernah mau tersenyum sedikitpun. Bukankah bayi suka tersenyum dalam tidur? Ini Killa bahkan tak pernah tersenyum. "Iya pak, saya saja kaget, udah gitu ibu yang tadi gendong juga sama ada lesung pipi di sebelah kanan. Kok bisa barengan ya pak?" Warni bertanya heran. "Coba cantiknya papi, papi mau lihat dong senyum kamu?" Dayan kembali membelai pipi putrinya. Dan bagai mengerti ucapan sang Ayah kali ini, bayi itu tersenyum. "Ya Tuhan, kamu benar sudah bisa tersenyum sayang? Jangan-jangan kamu senang ya papi ajak ke mari, mau melihat rumah Mami?" Andini melirik sebentar dan memasang wajah masam. Sementara Warni heran melihat sikap Tante Killa ini. Aneh. "Lihat deh Dini, cantik ya Killa. Padahal aku sama Dita gak ada lesung pipi, kok dia punya ya. Lesung pipi itu turunan bukan sih?" Andini sontak memasang wajah cerah. "Oh ya cantik Mas, mirip Mbak Dita ya. Lesung pipi gak turunan lah Mas, kebetulan aja kali Killa punya. Udah yuk Mas, kita pulang. Panas nih," keluh Andini yang tak terbiasa terkena paparan sinar matahari. Ia sangat menjaga sekali penampilannya. "Ya udah yuk kita pulang." Dayan mengajak semuanya bergegas ke mobil. Tapi saat melangkah Warni berseru. "Eh itu ada kartu ATM bapak jatuh kayaknya." Dayan menghentikan langkah, dan meraih kartu ATM salah satu bank swasta. Keningnya melipat membaca nama di kartu ATM itu. "Ini bukan milik saya Warni, ini milik ...." "NAZLA RACHMANIA." Dayan mengeja huruf demi huruf yang tertera di kartu ATM itu. "Ya ampun, jangan-jangan ibu yang tadi. Yang gendong Killa pak." "Gak apa-apa nanti saya kembalikan ke Bank. Kebetulan banknya sama dengan bank saya. Dan besok saya akan kesana." Dayan memasukkan kartu ATM itu ke dalam kantung kemeja. Warni duduk di depan dengan Bayi Killa, samping supir. Sementara Dayan di belakang bersama Andini. Sebentar-sebentar Andini melirik ke arah Dayan. "Ada apa Andini, ada yang ingin kau sampaikan?" Andini tersentak, pasalnya ia tahu Dayan tengah menatap ke arah depan. "Hmmm Bang, apa boleh aku ikutan mengasuh Killa?" Dayan tersenyum sambil menoleh ke arah adik iparnya. "Tentu saja boleh. Kamu kan Tantenya." "Jadi, aku boleh sering-sering main ke rumah Abang?" Wajah Andini sumringah sekali. "Andini, rumahku selalu terbuka untukmu. Kamu adik dari wanita yang sangat aku cintai. Shakilla keponakanmu satu-satunya. Datanglah sesukamu. Terkadang aku juga butuh teman bertukar cerita." Yess. Berhasil. Aku yakin, aku bukan hanya akan menjadi temanmu bertukar cerita, aku juga akan menjadi pemilikmu Bang. Aku akan sabar menanti saat itu datang. "Terima kasih Bang, terima kasih sekali." Andini menggenggam telapak tangan Dayan, membuat lelaki itu terkejut. "Aku janji, akan membantu merawat Shakilla. Aku akan pastikan Killa tidak akan kehilangan sosok Ibu. Aku akan selalu menceritakan apapun tentang mbak Andita pada Killa." Tak cukup sampai di situ, Andini meremas telapak tangan itu, seolah menyalurkan perasaannya pada sang kakak ipar. Dayan yang tak biasa mendapat sentuhan dari wanita lain selain istrinya, segera melepaskan genggaman Andini, ganti menepuk telapak tangan Andini pelan. "Aku yakin kamu bisa melakukannya untuk Killa. Keponakanmu." Lalu tangan Dayan meraih ponsel dan mulai sibuk dengan ponselnya. Membuat Andini mendesah dalam hati, karena kehilangan tangan hangat itu. Sementara Warni yang sejak tadi mendengar perbincangan di belakang hanya mencibir dalam hati. Boro-boro mau merawat Killa, kena pipisnya aja kaya kena banjir bandang, heboh ngamuk-ngamuk. Bisa repot wanita model itu menjadi ibunya Killa. Kok bisa sih Ibu Andita punya adik model itu. Sok cantik. Bu Andita yang cantik saja kalem, gak model gitu. Berharap banget pasti ingin gantikan posisi Bu Andita di rumah. Dasar gak tahu malu. Gak apa, selama mbak Warni kerja di rumah Papi Killa, Mbak Warni akan menjaga Killa sebaik-baiknya. Semoga Papi Killa gak dapat istri model Bu Andini itu. Yang kerjanya cuma dandan saja. Semoga Papi Killa dapat istri model ibu yang tadi. Siapa tahu mereka ketemu di Bank terus kenalan terus jadian. Hah, aku kok ngayal yang tidak-tidak sih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD