PART 6 - KEJUTAN UNTUK NAZLA

1756 Words
Nazla masih tersenyum berjalan menuju rumahnya, sambil sesekali membayangkan wajah bayi tadi. Lalu ia meraba perutnya. Jadi pengen hamil lagi. Astaga, hamil sama siapa coba? Senyum bayi mungil itu lengkap dengan lesung pipi yang memang sama seperti yang ia miliki. Sepertinya bayi itu akan menjadi gadis cantik jika besar nanti. Semua wajah yang memiliki lesung pipi pasti akan menambah kecantikannya berkali lipat. Semoga bayi itu terus berbahagia, sekalipun tidak memiliki kasih sayang seorang ibu. Semoga siapapun yang akan menjadi ibunya kelak, akan menyayanginya dengan tulus. "Hey Nanaz!" Tepukan di bahu membuat Nazla tersentak, karena diiringi dengan jeritan yang memekakkan telinga. "Jono! Bikin kaget aja. Kamu tumben di sini?" Nazla menatap lelaki tinggi kurus dengan rambut panjang yang diikat ke belakang. "Eike balik kandang beib. Yey gimana kabarnya? Eike dengar yey sudah cerai sama itu lekong?" Sentuhan lelaki itu di bahu cuma pake telunjuk dan asal sentuh, tapi buat Nazla lumayan juga rasanya. Hingga tubuhnya nyaris goyah. Asli sakit. Ia meringis. "Yey kenapa? Sekong?" "Jono! Kamu kalau ngomong sama aku pake bahasa normal kek! Pusing aku dengernya." Jono terkekeh. "Sorry eike latah. Eike tanya yey sakit?" Dengan gaya tangan yang satu melipat di depan d**a, dan satu lagi dengan tangan memangku dagu. Jangan lupakan bulu mata sedemikian lentik yang saling mengerjap. Jika itu wajah seorang wanita mungkin terlihat indah. Tapi ini wajah pria yang terlihat lucu dengan bulu mata lentik, tapi lengan kekar. "Kagak, emang kenapa?" Nazla mengusap bahunya. "Yey meringis gitu? Kaya orang nahan sakit." "Makanya kalau colek aku kira-kira. Tangan kamu itu cowok, colek aja kaya gebuk." Jono terkekeh. "Eh sorry he he he. Terus Yey beneran cerai dari laki yey yang ganteng banget itu? Yang tajir melintir kaya gangsing? Terus anak Yey meninggal ya?Benar begicu?" Nazla menghentikan langkahnya. Ia menghadap Jono dengan bertolak pinggang dan mata melotot tajam. "Nama aku Nazla. Kamu panggil aku Nanaz, Naz-Naz aku gak komplen! Tapi jangan panggil Yey! Aku bukan yeyen. Sembarangan ganti nama orang!" Nazla pura-pura merengut, tapi Jono terbahak. "Iya-iya sorry. Ih gitu aja Nanaz marah." Jono mencolek dagu Nazla. "Jangan colek-colek bukan muhrim." "Oh em-je! Tenang Nanaz, mau dirimu secantik apapun, Eike gak bakal tersepona. Karena apa? Eike lebih tersepona sama mantan suami kamu itu. Ha ha ha!" Nazla menganga, lalu ia menghembuskan napas. "Iya Jono, aku janda sekarang. Suami menceraikan aku sepihak setelah aku melahirkan dan anak aku meninggal. Aku habis ziarah ke makam Bunga Alina. Itu nama anak aku." "Lo jadi janda kembang dong Naz. Gak apa tar lo dapat lekong-upsss, laki lagi yang benar deh. Lo jangan patah semangat Nanaz, gue bantu doa kok biar lo, gue bahagia dunia akherat." Jono mengusap bahu Nazla, kali ini dengan lembut. "Aminnnn." "Eh tapi lo abis dari kuburan senyum-senyum. Lo gak kemasukan penghuni sana kan?" Wajah Jono menyeringai ketakutan. "Apa sih Jono, kamu aneh-aneh deh. Aku udah ikhlas Jono. Ikhlas melepas suami, ikhlas melepas kepergian orang-orang yang aku sayangi. Sekarang aku mau tenang dalam hidup. Gak mau sedih, gak mau stress. Aku yakin masih ada harapan ke depan buat hidup aku." Jono menyimak dengan tatapan sendu. "Tuhan gak mungkin memberikan aku cobaan seberat ini kalau aku gak mampu kan? Aku yakin Tuhan maha pengasih dan maha penyayang. Dia pasti akan kasih jalan untuk aku bangkit Jono." "Iyessss! Itu baru Nanaz gue." Jono jingkrak-jingkrak, hampir melompat bak anak kecil yang mendapat mainan baru. Membuat beberapa warga geleng kepala melihat tingkah Jono. Beberapa anak kecil bahkan menatap Jono dengan heran dan kekepoan akut. "Apa lo lihat-lihat!" bentak Jono pada anak yang meliriknya. Kini suara Jono yang asli keluar. Suara geraman khas laki-laki. Nazla hanya tersenyum. Begitupun anak yang tadi dibentak Jono. Tapi tak lama, karena anak kecil itu justru menjulurkan lidah meledek. "Heh, gue lempar sendal lo ya!" Jono sudah jongkok hendak meraih sendal di kakinya. Mendapat ancaman, anak itu lari tunggang langgang. Nazla terkekeh melihat aksi Jojo. Seingatnya ini adalah tawanya yang pertama sejak masa kelamnya. "Hey Lo dah ketawa Nanaz. Ini berkat eike! Iyakan?" Jono bertepuk tangan girang. "Mak bilang lo banyak nangis mulu! Banyak sedih mulu." Nazla tersenyum. "Sekarang udah gak ko, kan aku dah ketemu kamu. Kamu bantu aku ya hibur aku, gak usah pergi-pergi lagi." "Iyesss dong Nanas! Eike juga dah capek kesana-kemari gak jelas, makanya Eike balik kandang! "Ya udah kamu mampir ke rumah yuk Jon. Udah lama juga ya aku gak curhatan sama kamu." "Tiga tahun Eike melalang buana, mencari jati diri yang entah raib kemana. Balik kandang semua berubah. Lo jadi sebatang kara gini ya Naz." "Terus lo dah ketemu jati diri lo Jon?' Nazla mengenal Jono sejak kecil. Tapi semakin dewasa, lelaki ini belok. Entah protes karena sang ayah yang kabur dengan wanita lain, entah karena pergaulan yang salah. Enjum sang Ibu sudah pasrah dengan keadaan putra satu-satunya itu. Berharap suatu hari Jono bisa berubah menjadi lelaki sejati. "Hampir ketemu, eh dia kabur lagi. Apes kan Eike." Jono terkikik geli. Sedang Nazla hanya memutar bola matanya. Nazla membuka pintu rumahnya, mempersilahkan Jono masuk. "Duduk Jon, anggap rumah sendiri." "Seriussss? Boleh dong Eike jual ini rumah?" "Terus aku tinggal dimana?" Nazla duduk di sofa butut, satu-satunya miliknya. "Becanda Nanaz, hidup jangan dibuat serius, cukup para pejabat saja yang serius memikirkan nasib rakyat jelata. Kita rakyat jelata happy-happy terus ampe gila karena harga sembako yang melambung tinggi melebihi roket." "Istri belum punya, jangan sok-sok an urusin harga sembako!" "Istri gak punya, tapi Mak Eike cerewetnya ngalahin bini pejabat! Setiap hari ceramah tentang harga sembako terus! Dikata anaknya ini pejabat yang bisa turunkan harga! Kalau nurunin ember ke sumur, Eike baru jagonya." Hana terkekeh, belum lama bertemu Jono mampu membuatnya tertawa berulang kali. Ia meletakkan begitu saja amplop pemberian ibu mertuanya. "Lo kalau mau minum, ambil sendiri ya Jon." Nazla menutup mata. Menghela napas panjang, kembali mengingat wajah bayi yang ia lihat tadi. "Eike kemari gak minta minum, tinggal pulang kalau mau minum. Kayak jauh aja, sumur ada di rumah, Eike gak kekurangan air kok!" Lalu mata Jono melirik ke arah meja. "Nanaz, ini amplop apaan?" Nazla membuka mata. "Oh ini, hadiah dari ibu mertua aku. Tahu belum sempat aku buka." "Boleh Eike buka?" "Silahkan." Tangan Jono terulur meraih amplop, membukanya. "Buku tabungan Nanaz!" Jono terkesiap. "Paling gak ibu mertua lo masih baik gak kasih lo buku cicilan hutang." Tangan lentik Jono membuka buku kecil di tangannya. "Oh my god, lo tajir sekarang! Ya ampun ini beneran duit? Bukan daun kering kerontang?" jerit Jono mengagetkan Nazla. Nazla yang keheranan, segera menegakkan tubuhnya dan meraih buku tabungan yang ada di tangan Jono. "Hah, dua ratus juta?" Ia bersitatap dengan Jono. "Aku gak salah lihat Jono? Ini angkanya bener gak sih dua ratus juta, nolnya delapan. Apa mata aku yang siwer?" Nazla melotot tak percaya. "Bener Nanaz, dua ratus juta! Ya ampun. Lo ketiban rejeki nomplok." "Eh Jo, ATM nya mana?" Nazla tersadar sesuatu. "ATM apa Nanaz?" Jono memekik. "ATM yang ada di amplop?" Wajah Nazla terlihat khawatir. Jika Nazla khawatir, maka Jono berkali-lipat khawatir. "Gak ada ATM Nanaz!" Jono bangkit, mengibaskan bajunya, memutar tubuhnya. Seketika debaran dalam Jono meningkat drastis. "Yey gak nuduh Eike mencuri kan!" teriak Jono histeris. "Astaga Jono, jangan teriak kenapa sih?" keluh Nazla. "Habis Yey bikin sensi, Eike cuma buka amplop lihat angka, mana ada lihat ATM." "Ish, aku gak nuduh kamu mencuri, apaan sih. Cuma nanya ATM mana?" "Suer Eike gak ambil Nanaz." Kini Jono hampir menangis. "Jono, aku gak nuduh kamu ambil, oke?" Nazla menenangkan Jono yang sudah terlihat kalut sekali. "Ish abis yey nanyanya kaya gitu. Siapa yang gak sedih coba." Hah, Nazla menghela napas. "Mungkin jatuh di jalan." "Bisa jadi, yey melamun senyum-senyum gak jelas, dan plung! Itu ATM jatuh gak berasa. Terus gimana yey jadinya gak ada ATM, mana ini duit ya ampun Nanaz, ini beneran duit. Yeah! Yey tajir melintir endaaaaang nian." "Ember gilingan, Yey bisa Belenjong, Capcus ke salon, Jali-jali, Kemindang yang yey suka. Eike ikutan senang Yeah!!!!" Nazla memijit keningnya. "Jono, plaese ngomong sama gue pake bahasa normal!" "Eh sorry, maksud Eike. Lo enak gila beneran. Bisa belanja, ke salon, jalan-jalan, kemana aja yang lo suka. Dan gue ikutan senang, happy Nanaz kaya sekarang." Mata Jono berkilat bahagia seiring dengan senyum di mulut. "Kayaknya besok aku kudu ke bank ya, urus ATM yang hilang." Kening Nazla melipat. "Nah lo bener. Eh kira-kira lo mau buat apa itu duit Nanaz?" Kini mata Jono terlihat serius sekali. "Aku mau buka toko Jono. Kamu mau gak gabung sama aku? Kamu gak ada kerjaan kan?" "Hah, serius eike di ajak Nanaz?" "Ya, tapi kamu jangan lebay gini ah, aku butuh cowok buat bantu angkat-angkat." "Oh kalau soal itu, Yey gak usah takut. Nih, tenaga eike tiada duanya." Jono memperlihatkan lengannya yang perkasa. "Iya aku percaya kok. Besok kamu anterin aku ya. Kita ke bank dulu, terus kita cari kios pinggir jalan aja. Bagaimana?" "Emang lo mau buka toko apa?" Senyum Nazla menguar. Mengingat wajah bayi tadi dan pakaian serta topinya yang lucu, sesaat ide muncul begitu saja di benaknya. "Aku mau buka toko boneka, dan souvenir anak-anak. Pokoknya tentang anak-anak deh." Kilat terlihat di netra bening Nazla, serta senyum penuh harap yang membuat pandangan Jono mendadak sendu. "Lo kangen anak lo ya Naz?" Nazla mengangguk sambil tersenyum. "Aku memang gak bisa peluk anak aku. Tapi, aku berharap banyak anak-anak yang akan datang ke toko aku. Walau cuma lihat-lihat dan gak beli. Gak apa, aku pengen lihat anak-anak dengan senyumannya." "Nanaz, lo buat gue sedih." Jono menyeka kedua sudut matanya. Kali ini Jono tidak berdusta. Pancaran mata Nazla membuatnya terharu sekali. Ia meraih telapak tangan Nazla dan menggenggamnya erat. "Gue yakin toko lu bakal maju. Semangat ya Nanaz, gue bantu lo kok." "Terima kasih Jono." Nazla menghembuskan napas penuh keyakinan yang matang. Dalam benaknya sudah terlihat sebuah toko yang akan banyak dikunjungi oleh anak-anak kecil dengan senyumannya yang ceria. Tengah mereka saling berdiam, dan tenggelam dengan pikirannya masing-masing, seseorang muncul di depan pintu. "Selamat siang." Seorang lelaki berpakaian rapi berdiri di depan pintu rumah Nazla. "Dengan Ibu Nazla Rachmania?" tanyanya. "Iya saya sendiri." Nazla bangkit berdiri. Menghampiri tamunya. Keningnya melipat, pasalnya heran mendapat tamu. Dan ia tak mengenal laki-laki ini. "Maaf Bu, saya mendapat perintah untuk memberikan ini pada ibu Nazla." Sebuah amplop besar terulur ke hadapan Nazla. "Apa ini ya?" "Surat undangan buat ibu." Mendengar itu Nazla membuka amplop coklat, dan benar. Lelaki itu memang menyerahkan sebuah surat undangan yang terlihat indah. "Ya terima kasih pak." "Sama-sama Bu, saya permisi." Nazla menerima dan membawanya duduk kembali ke kursi yang tadi ia duduki bersama Jono. "Undangan dari siapa Naz?" "Gak tahu Jon." Nazla membuka surat undangan. Saat itulah ia tersentak. "Mas Fendi dan Emma? Ya Tuhan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD