PART 7 - KENYATAAN PAHIT

2239 Words
"Nanaz itu undangan siapa?" Jono penasaran. Ia bangkit dari duduknya, karena melihat Nazla bagai patung sejak tadi. Apalagi melihat raut wajah Nazla menjadi kelabu, Jono mendadak bingung bukan kepalang. "Nanaz," rengek Jono sambil memegang telapak tangan Nazla. Berusaha menyadarkan wanita yang sudah banyak melalui kesedihan dalam hidupnya dan kini sebatang kara. Jono bersyukur masih punya Emak yang berisiknya ngalahin pasukan topeng monyet yang selalu hadir setiap hari di depan rumah dan mengganggu tidur nyenyaknya. Nazla berkedip dan setitik air jatuh di pipinya. Bergegas ia hapus dan kembali duduk. Tatapannya mengarah pada surat undangan yang terlihat indah yang sudah ia remas dengan erat. Kertas itu terlihat lecek, tapi tak sehancur hatinya saat ini. "Suami gue Jono. Dia mau menikah lagi," lirihnya. "Oh My God!" teriak Jono histeris. "Itu lekong mau nikah lagi dan undang Yey! Dasar manusia durjana! Penghuni neraka j*****m! Gak punya perasaan dan gak punya hati, gimana bisa dia undang Yey!" Jono bangkit dari duduknya. Ia berdiri dengan bertolak pinggang. Napasnya terengah dengan hidung yang kembang kempis, mirip ikan mas yang muncul di permukaan kolam milik Haji Kodir, tetangganya. "Nanaz!" Telunjuknya mengarah pada Nazla. "Pokoknya yey gak usah dateng, apalagi kasih ampau. Pasti itu lekong ngarep banget ampau dari yey. Ih amit-amit jabang kutil, dasar lekong sampah! Cuihh!" Makian Jono tak terdengar oleh Nazla, dia mencoba menelaah apa yang salah selama ini. Bagaimana bisa suaminya menikah dengan Emma. Emma, yang selama ini menjadi orang yang berdiri di depan demi membelanya di hadapan keluarga suaminya. Emma yang ada terus di sampingnya menjadi teman pelipur lara. Tapi kini? Ia masih ingat semua tentang Emma, pertemuan mereka setelah mereka sempat pisah dan tak saling berkirim kabar. "Nazla, aku sahabat kamu. Kamu bisa ceritakan apa saja tentang masalahmu. Aku tahu kamu menikah dengan suamimu terpaksa. Bagaimanapun juga suamimu seharusnya menjadi suami yang baik." Saat itu Emma bahkan berperan menjadi sosok sahabat yang luar biasa baik dan penuh kasih sayang. "Aku gak tahu harus mengadu pada siapa Emma. Aku gak punya siapa-siapa lagi," isak Nazla saat menceritakan perihal sikap suaminya yang sangat kasar. Emma merangkul bahu Nazla dengan sayang. "Kamu masih punya aku, aku gak akan tinggalkan kamu." Saat itu raut wajah Emma begitu bersahaja, menyejukkan bagi Nazla yang seolah tak memiliki semangat hidup. Tapi dengan semua tutur kata Emma, dan seolah memiliki tiang penopang, Nazla memeluk Emma dengan senyum mengembang. "Terima kasih Emma, terima kasih karena sudah datang dalam hidupku." Kilasan manisnya hubungan Nazla dengan Emma semakin membuat Nazla terlihat sedih. Jono tersentak mendengar suara lirih Nazla. "Kenapa harus Emma? Kenapa harus dengan Emma dia menikah Jono?" "Emma?" Jono meraih surat undangan di tangan Nazla dan membaca. Tertera nama mempelai wanita itu bernama Emma. "Emang lo kenal sama si Emma ini?" Mata Nazla kembali berkaca. "Dia sahabat aku Jono. Orang yang selama ini aku ajak bertukar pikiran tentang suami aku. Orang yang selama ini menjadi curhatan aku. Bagaimana bisa mereka menikah? Kapan mereka menjalin kasih? Emma bahkan pamit sama aku mau keluar kota untuk bekerja Jon. Tapi, kenapa justru menikah dengan suami aku?" "Kutu kupret! Kutu kampret! Jadi laki lo nikah sama sahabat lo gitu!" Jono semakin emosi. Ia paling tidak suka pengkhianat apalagi dalam kasus percintaan. Nazla mengangguk sambil memandang surat undangan yang terlihat indah itu yang kini dicampakkan Jono ke lantai. Bahkan dulu saja pernikahannya tidak memakai surat undangan seperti ini. Hanya akad nikah sederhana saja. "Gila benar sahabat lo itu ya!" Rahang Jono mengetat menahan emosi. Kembali ia duduk di sofa. "Emma kemarin pamit dan mengatakan akan keluar kota, tapi ternyata ...." Nazla tersenyum, tak menyangka sahabatnya sendiri menikamnya dari belakang. Bagaimana dulu Emma selalu membantunya, apakah memang Emma tidak tulus? Mendekatinya pun karena ingin merebut suaminya? Sungguh terlalu. Nazla bangkit mendadak. "Lo-lo mau kemana Nanaz?" tanya Jono heran. "Aku mau ke rumah Emma." Hah! Apa? Mata Jono nyaris meloncat keluar. "Ma-mau apa? Yey mau labrak itu sahabat gila?" "Ada yang mau aku sampaikan pada dia Jono." Mata Nazla mengerjap seiring turunnya air mata di pipi. Masih tak percaya rasanya Nazla dengan kenyataan yang seakan menamparnya. "Gue ikut." Jono bangkit. Nazla menoleh ke arah Jono. Memberi tatapan peringatan untuk tidak ikut campur semua urusannya. "Please Nanaz, anggap gue mulai hari ini, mulai detik ini dan mulai saat ini gue udah jadi karyawan yey. Please gue ikut ya, ya, ya." "Gue takut lo di apa-apain sama mereka. Gue gak akan biarkan satu pun manusia laknat kaya mereka nyakitin Lo!" Nazla menghela napas. Sepertinya Jono tak bisa dibantah. "Tapi lo janji gak akan berbuat aneh-aneh, apapun yang terjadi di sana." Jono mingkem. "Janji Jono!" Jono menghembuskan napas. Padahal ia ingin sekali membuat kerusuhan sekalian. "Siap Nanaz! Kecuali ada tindakan yang membuat nyawa yey terancam, eike gak bisa tinggal diam layaknya patung pancoran." "Oke, kita jalan sekarang!" Tak lama Nazla keluar dari rumah di ikuti Jono. ** Memiliki seorang sahabat ketika dirinya hanya sebatang kara, adalah suatu hal yang mengharukan untuk hidup Nazla. Itu sebabnya ia membiarkan Emma mengetahui semua tentang rumah tangganya. Apalagi Emma mengetahui semua awal Nazla menikah dengan Fendi. Jadi Nazla sudah menganggap Emma bagian dari hidupnya selama ini. Ia tidak menyangka jika akhirnya Emma diam-diam menjalin hubungan dengan Fendi. Seingat Nazla ia pernah main ke rumah orang tua Emma saat mereka sekolah. Karena jarak rumah Emma dan rumahnya tidaklah dekat. Butuh dua kali naik mobil angkot untuk sampai ke sana. Mereka bertemu hanya di sekolah. Lalu mereka berpisah. Hingga tiga tahun yang lalu mereka kembali berkomunikasi lagi. Emma yang sering main ke rumahnya dan sering menginap. Nazla senang ketika ia memiliki orang yang bisa ia anggap sebagai keluarga pada akhirnya. Emma sudah ada di sampingnya saat sang Nenek meninggal. Jadi sejak kapan Emma selingkuh dengan suaminya? Kini Nazla menatap sebuah rumah yang terlihat sepi. Nazla yakin dalam seminggu ke depan, rumah ini akan ramai dengan para tamu. Ia melihat mobil suaminya parkir di depan gerbang rumah Emma. Nazla tersenyum kecut. Dulu saat menjadi istrinya, bisa dihitung dengan jari Nazla naik mobil ini. Entah dengan Emma. Bisa saja sahabatnya lebih banyak memiliki kesempatan itu bukan. Ya Tuhan, sahabat model apa Emma ini? "Nanaz, itu rumahnya?" bisik Jono penasaran saat langkah mereka terhenti di sebuah rumah yang bisa dibilang besar. Dan tatapan Nazla nyalang menatap ke arah sana. "Iya, dan ini mobil suami aku." Nazla melirik pada sebuah mobil milik suaminya. Salah. Mantan suaminya. "Astaga naga dragon, laki yey bener-bener tajir melintir kaya gangsing. Pantes sahabat yey naksir begitu. Pasti karena hartanya. Dasar wanita culas, siluman jadi-jadian. Drakula penghisap harta!" Tak lama dari dalam rumah terlihat dua orang keluar dengan senyum merekah. Nazla dan Jono melihat ke dalam. Nazla tentu mengenali siapa mereka. Kedua orang itu adalah Fendi dan Emma. Hati Nazla teriris melihat bagaimana mantan suaminya itu menatap mesra pada Emma. Dan Emma tampak tersenyum bahagia. Ya Tuhan! Teremas sudah hati Nazla. Sementara dua orang yang tengah di mabuk asmara itu tak menyangka akan kedatangan tamu yang datang tak sesuai waktu yang tertera di undangan yang telah mereka tentukan. "Mas gak sabaran untuk segera menjadi istri kamu," bisik Fendi sambil merangkul pinggang Emma, sehingga tubuh keduanya mendekat tanpa jarak. "Aku juga Mas, gak sabar pengen kamu jadi suami aku." Emma melingkarkan lengannya ke leher Fendi. "I love you Emma. Kamu sungguh wanita idamanku," bisik Fendi mesra. "I love you too Fendi. Kamu juga laki-laki idamanku." Emma membalas tak kalah mesra. Mata keduanya saling menatap mesra. Fendi menatap bibir Emma yang baru saja ia nikmati di dalam. Tapi rasanya ia tak puas. Karena di dalam ada kedua orang tua Emma. Kini ia ingin kembali mengulangi lagi apa yang mereka lakukan tadi. Menikmati bibir merekah milik Emma. Itu sebabnya Fendi mendekatkan wajahnya perlahan ke wajah Emma. Turun dan terus turun, hingga. "Ya ampun, tercemar sudah kepolosan eike!" Sontak keduanya melerai pelukan karena terkejut. Mereka sama menoleh dan sama terkejut melihat siapa yang tengah mengganggu acara mereka. Besarnya pohon jambu di depan gerbang menyamarkan tubuh keduanya. Tapi kini, mereka dapat melihat keduanya. Dua sosok tubuh yang kini menatapnya dengan dua pandangan yang berbeda. Nazla menatap dengan penuh kelukaan dan laki-laki tinggi kurus dengan rambut panjang diikat ke belakang yang kini menutup wajah dengan telapak tangannya, tapi percuma. Karena sela-sela jari menampilkan bola mata yang melotot emosi. ** Nazla melihat bagaimana raut wajah Emma pucat maximal. Berbeda dengan Fendi. Lelaki mantan suaminya itu tersenyum. Ia justru meraih telapak tangan Emma dan membawanya ke hadapan Nazla tanpa dosa. "Hay mantan istri," sapanya dengan raut wajah bahagia. Ia menatap dari ujung rambut hingga ujung kaki penampilan Nazla yang menurutnya kampungan ini. "Naz-Nazla?" Emma mendadak kalut. Jantungnya berdebar. Ia seperti maling yang terciduk sekarang ini. "Ba-bagaimana bisa kamu ada di sini?" tanya Emma tak percaya. Seharusnya Nazla tidak perlu mengetahui hubungan gelapnya dengan Fendi. "Aku yang mengundangnya untuk hadir ke acara bahagia kita, sayang." "A-apa?" Mata Emma membola. Ucapan Fendi membuat Emma tersentak. Fendi tak mengindahkan pertanyaan Emma. Ia justru merangkul bahu Emma dan mengecup pipi Emma dengan sayang. "Menjijikkan," bisik Jono gemas. Mati-matian ia menahan geram dan amarah di dalam d**a. "Kenapa kamu mengundangnya Mas? Bukankah kita sudah sepakat?" Emma tampak tak rela. "Biar saja sayang. Biar dia tahu, wanita seperti apa pilihanku." Fendi menatap Emma dengan tatapan memuja, lalu ia menoleh ke arah Nazla dengan senyum meremehkan sekali. "Kamu lihat Nazla, kamu bandingkan diri kamu yang buluk tak terawat ini dengan Emma. Calon istriku ini." "Kalian bagai bumi dan langit. Dia cinderella dan kau tak lebih upik abu yang tak akan pernah bisa menjadi cinderella di hatiku." Nazla tetap tenang mendengarkan hinaan dari mantan suaminya. Sekalipun rasa panas menyerang di dalam d**a. "Emma yang pantas menyandang gelar menjadi istriku. Lihatkan, aku tidak akan malu memperkenalkannya sebagai istriku di hadapan teman kantorku. Emma memiliki semua kriteria istri buatku." Kembali Fendi memuji wanita yang bahkan malu untuk menatap Nazla. "Aku ingin bicara denganmu Emma." Nazla menulikan telinganya dari ucapan Fendi. Ia ganti menatap Emma sahabatnya. Salah, mantan sahabatnya. "Buat apa Nazla? Jika cuma mau memarahi Emma, kurasa percuma. Kita sudah gak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi aku bebas menikah dengan siapapun." Kembali terdengar suara Fendi yang posesif sekali. Berbeda jauh saat lelaki itu menjadi suaminya. Penuh amarah dan makian yang ia hapal di luar kepala. Nazla tersenyum, berusaha menunjukkan dirinya tegar. Mata Nazla menatap Emma dengan teduh. "Emma, aku percaya jika Tuhan mengirimkan dirimu sebagai seorang sahabat yang akan mendengar segala keluh kesahku selama ini." Fendi tersenyum semakin meremehkan mantan istrinya yang menurutnya bodoh sekali. Yah bagaimana tidak bodoh, jika selalu mengundang wanita secantik Emma ke dalam rumah mereka, sementara pemilik rumah yang seharusnya memberi keindahan pada sang suami lebih mirip pembantu rumah tangga. Jangan salahkan Fendi jika matanya menyukai kecantikan yang Emma miliki. "Terima kasih atas segala usahamu selalu ada di dekatku. Mungkin memang ini sudah menjadi takdirku. Aku ucapkan selamat menempuh hidup baru. Semoga pernikahanmu lebih baik dari yang pernah aku alami." Lalu Nazla menoleh pada Jono. "Kita pulang." Begitu saja yang hendak Nazla ucapkan. Memang ada sakit di dalam sana, di relung hatinya yang paling dalam. Tapi ia harus tegar bukan? Harus bisa menerima apapun permainan takdir dalam hidupnya. Semua mungkin sudah menjadi suratan yang ada dalam garis nasibnya. Tak perlu menyalahkan siapapun. Fendi sosok lelaki tampan dan idaman wanita manapun. Dan Emma sosok wanita cantik yang pandai merias diri. Jadi tidak aneh mereka kemudian saling tertarik. Melihat Nazla yang berjalan dan pergi dengan santai, Jono menatap pada kedua orang yang paling menjijikkan di matanya. "Emang ya kutu kupret pasnya berjodoh ama kutu kampret! Selamat menempuh hidup baru! Semoga pernikahan kalian dilaknat takdir! Semoga kalian akan terus ribut hingga pisah dan cerai, semoga gak ada anak, semoga cinta kalian gak abadi, semoga suatu hari nanti kalian akan sujud-sujud di kaki Nanaz gue. Pasangan terkutuk kalian! Kalian pantas menghuni neraka j*****m, karena menyakiti Nanaz gue. Cuih." Jono pergi dengan wajah garang dan berlari kecil menyusul Nazla. Puas sudah ia memaki dan berdoa di depan mereka. Jono memang setengah wanita, tapi ia tidak menyangka ada seorang wanita saling menyakiti sesamanya. Sesamanya! Ya Tuhan! Wanita itu lebih pantas disebut iblis betina yang pada dasarnya tidak memiliki empati dan rasa peri kehalusan, peri kelembutan dan peri kewanitaan. "Kenapa Mas? Bukankah aku sudah bilang Nazla tidak boleh tahu?" Emma memandang wajah calon suaminya yang telah ia rampas dari Nazla. Salahkan Fendi yang merayunya, salahkan lelaki ini yang memiliki wajah rupawan, salahkan lelaki ini yang memiliki semua yang Emma inginkan. Ketampanan dan harta yang membuat Emma silau dan menerima semua rayuan Fendi. "Sudahlah gak usah kamu pikirkan wanita kumal itu. Sekarang kita hanya tinggal memikirkan tentang kebahagiaan kita saja sayang." Fendi kembali merangkul Emma, merasakan harumnya tubuh Emma. Ia sudah tidak sabar ingin mencicipi tubuh Emma. Sayang gadis ini sulit untuk ia dapatkan seutuhnya, kecuali dengan pernikahan. "Aku pulang sayang. Aku gak sabar menunggu hari bahagia kita." Fendi mengecup bibir Emma lalu melangkah ke mobilnya. "Bye-bye sayang." Tak lupa lambaian tangan ia berikan pada Emma. Emma masih mematung menatap kepergian Fendi. Ada rasa bersalah besar di dalam hatinya. Apalagi mengingat sorot mata Nazla tadi. "Maafkan aku Nazla, maafkan aku," lirih Emma sedih. Terkadang Emma bertanya pada dirinya sendiri bagaimana ia bisa setega itu pada sahabatnya? Melakukan suatu hal yang akhirnya bisa membuat Nazla terluka. Tapi sekali lagi, Fendi terlalu sayang untuk ia lewatkan, begitu menggiurkan secara fisik dan ekonomi jika ia melewatkan rayuan lelaki itu. Fendi adalah sosok lelaki idaman yang selama ini Emma nantikan dalam hidupnya. Ia sudah jatuh cinta pertama kalinya saat bertemu lelaki ini, ketika ia mendampingi Nazla dulu. Rasa sayang pada sahabat dan niatnya menjadi pelindung Nazla, buyar saat lelaki tampan ini berhasil menjerat hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD