PART 8 - EMMA DAN FENDI

2116 Words
Awalnya Emma memang tulus membantu sahabatnya, Nazla. Karena gadis itu bernasib buruk sekali. Hidup sebatang kara di dunia ini. Seperti hari itu tanpa rencana Emma mendatangi Nazla. Ia ingin memastikan Nazla bahagia setelah menikah dengan Fendi. Memang, Emma mengakui suami Nazla sangatlah rupawan. Walau dalam suasana proses pernikahan wajah Fendi tak seratus persen ikhlas, tapi mata Emma tak henti menatap sang calon mempelai pria hingga acara prosesi pernikahan Nazla selesai. Emma pernah bercita-cita memiliki suami seperti Fendi. Itu sebabnya ia rajin merawat diri, berharap akan bertemu dengan lelaki tampan dan harta yang lumayan menjanjikan. Tapi Nazla lebih beruntung dari semua nasib mirisnya. Emma pikir akan mendengar cerita indah tentang malam pengantin dari mulut sahabatnya. Tapi ternyata justru raut kesedihan yang ia lihat dari wajah Nazla. "Emma?" Nazla tidak percaya jika sahabatnya mau datang ke rumahnya yang baru. "Nazla, kamu baik-baik saja?" tanya Emma heran, karena wajah Nazla sembab sekali. "Masuklah." Nazla memberi jalan pada Emma. Emma menatap setiap detil rumah Nazla. Mewah juga rumah ini. Beruntung sekali Nazla. Pikir Emma. "Duduk Emma, kamu mau minum apa?" tanya Nazla ramah. "Gak usah merepotkan Naz, aku gak lama kok." Emma mendudukkan tubuhnya di sofa empuk milik Nazla. Matanya masih memindai penjuru rumah Nazla. Kapan aku bisa menikah dengan lelaki seperti Fendi ini? "Aku senang kamu mau datang kemari. Aku gak punya siapa-siapa lagi Em, cuma kamu." Emma tersenyum. "Kamu jangan khawatir, aku akan selalu ada di samping kamu." "Kamu bisa ceritakan apapun padaku Naz. Aku akan membantumu sebisaku." Dan mengalirlah dari mulut Nazla, tentang perlakuan Fendi setelah mereka menikah. Emma terkejut mendengar curahan hati sahabatnya. "Mas Fendi menuduhku yang tidak-tidak," bisik Nazla dengan raut sedih. "Padahal cuma dia yang sentuh aku. Tapi dia menuduhku ...." Emma menggenggam telapak tangan Nazla dengan tersenyum miris. "Kamu yang sabar ya Naz." Emma melihat bagaimana raut wajah Nazla. Tidak ada kosmetik yang terlihat di sana. Sedang Fendi sosok lelaki berwibawa. Seharusnya Nazla merubah penampilannya setelah menikah dengan Fendi. Bagaimana suaminya mau sayang, jika sahabatnya ini masih tidak memperhatikan kesegaran kulitnya. Mau aku bantu bicara sama suamimu?" Saat itu Emma masih bersikap tulus. Emma yakin Nazla gadis baik-baik. Bagaimana bisa Fendi menuduhnya tidak suci? "Gak usah nanti kamu malah dimarahi. Mas Fendi sifatnya kasar, pemarah juga. Aku gak mau kamu dimaki-maki sama dia." Nazla tak ingin Emma mendapatkan amukan dan Fendi seperti dirinya. Tapi tanpa sepengetahuan Nazla, Emma berkeras mendatangi kantor Fendi. Dengan mengantongi kartu nama yang ia temukan di rumah Nazla, Emma datang ke sana. Emma memandang gedung bertingkat tempat Fendi berkantor. Di sini Fendi menjabat sebagai seorang manajer keuangan. Jabatan yang sungguh menggiurkan. Sudah berasal dari kalangan orang kaya, ternyata memiliki pekerjaan pun lumayan bagus. Beruntung sekali Nazla menjadi istri Fendi. Emma diantar masuk seorang wanita ke sebuah ruangan. Ruangan Fendi. Ruangan kantor Fendi pun terlihat mewah. Sungguh suami idaman sekali di mata Emma. Emma melihat Fendi menatapnya tajam. Tapi dimata Emma, wajah dengan mata melotot yang menunjukkan raut tak suka itu, terlihat tampan. Tampan sekali. "Kamu sahabat Nazla kan?" Fendi bangkit berdiri, membetulkan jasnya. Melangkah perlahan sambil menatap sosok wanita yang datang ke ruangannya ini. Yang memaksa ingin bertemu dengannya. Mata Fendi memindai tubuh tinggi dan terlihat terawat sekali. Emma memang hari ini berdandan maximal. Karena ia tak ingin ditolak satpam gedung ini jika berpenampilan asal-asalan. Ia mengenakan dress berlengan pendek, dengan panjang dress sedikit di atas lutut. Rambutnya di atas bahu menggantung indah. Menampilkan lehernya yang mulus dan putih. Terlihat sekali jika wanita ini merawat kulitnya dengan telaten. Tatapan Fendi mengarah ke bagian bawah. Pakaian Emma terlihat pas di tubuhnya. Panjang baju yang tidak sampai ke lutut, membuat kakinya terlihat tinggi dan membuat desiran aneh muncul di benak Fendi. Wanita ini yang pantas menjadi istriku. Bukan perempuan kampungan itu. Batin Fendi. Ditatap oleh lelaki yang sudah ia sukai sejak pertama kali melihat, membuat jantung Emma berdebar. Tatapan Fendi seolah menguliti dirinya. Apa aku salah berpakaian ya? Kok dia lihatnya gitu? "A-aku bisa bicara sebentar?" Terlihat sekali gadis ini gugup di mata Fendi. Senyum nakal terbit di sudut bibirnya. "Silahkan duduk." Fendi mengarahkan Emma ke sebuah sofa yang memang disediakan untuk menerima tamu. Emma duduk dengan berdebar dan rasa gugup menyerangnya tiba-tiba. "Apa yang kamu mau bicarakan?" Fendi mendudukkan tubuhnya mendekat. Membuat debaran jantung Emma semakin menggila. "A-aku mau bicara tentang Nazla, kenapa ...." "Jangan bicarakan dia di depan aku." "Tapi aku kemari-" Ucapan Emma berhenti. Ia mematung saat menyadari bagaimana Fendi membelai pipinya yang terlihat menggemaskan saat ini. Seharusnya Emma menolak atas kekurangan ajaran suami dari sahabatnya ini. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Emma tampak merona, membuat Fendi semakin berani mendekat. "Wanita itu tak layak untuk menjadi istriku. Anggap nasibnya saja yang beruntung." Wajah Fendi semakin mendekati wajah Emma. Menikmati halusnya pipi yang terus saja ia belai dengan punggung jarinya. Bahkan kini ibu jarinya ikutan mendarat di bibir Emma. Awalnya hanya jari, selanjutnya mulutnya yang berganti tugas. Dan Emma, gadis itu menerima semua perlakuan Fendi dengan senang hati. Sudut hatinya memerintah untuk berontak, tapi sebagian lagi memberi semangat karena berhasil membuat lelaki tampan ini menyukai dirinya. "Kamu yang lebih pantas menjadi pendampingku. Emma," bisiknya mesra. Melupakan bagaimana raut wajah Emma saat ini, Fendi masih berusaha mencoba merayu. Lelaki ini tersenyum mendapatkan raut wajah yang begitu mendamba sentuhannya. "Bagaimana kalau kamu yang menjadi istri aku?" Ekor mata Fendi memindai lengan mulus milik Emma. Lalu seakan tak puas, telapak tangan lelaki itu menyusuri lengan Emma yang terlihat putih, bersih dan sexi. Sungguh gadis ini mengundang sesuatu yang tak pernah Fendi rasakan pada Nazla. Kulit Emma lebih halus dan mengkilat. Tidak seperti istrinya yang terlihat kusam. Emma berusaha menjauh sedikit, karena merasa tak nyaman. "Ka-kamu suami sahabat aku. Maaf gak seharusnya kita begini." Akhirnya Emma mendapatkan kesadarannya. Siapa sangka gerakan Fendi terbilang cepat. Ia justru merengkuh bahu Emma. "Ayolah cantik, aku bisa berikan apapun yang kamu mau. Kalau kamu setuju jadi istri aku, aku akan ceraikan Nazla, dan kita menikah." Kembali Fendi merayu Emma. Dari penelitiannya sebagai seorang laki-laki, gadis ini sudah menaruh hati padanya. "Hah, me-menikah?" tanya Emma tak percaya. Dia dilamar gitu? "Hmm kita menikah. Karena seperti kubilang tadi, kamu yang lebih pantas menjadi istri aku." "Ta-tapi Nazla belum tentu mau kamu ceraikan." "Semua perlu proses cantik. Intinya aku ingin kita dekat dulu sebelum nanti kita menikah. Kamu tahu gak sih aku tuh tersiksa banget ya punya istri. Bayangkan aku ragu ia masih suci saat aku sentuh. Kamu kan sahabatnya, kamu pasti tahu kan keseharian dia." Emma meneguk salivanya. "Aku baru bertemu Nazla, dulu kami satu sekolah dan lama terpisah." Fendi mengusap dagunya. "Lalu tawaranku untuk menjadi istriku, apa kau bersedia?" Seakan menunjukkan keseriusan, Fendi meraih telapak tangan Emma dan menggenggamnya erat. Emma membiarkan, kapan lagi ia mengalami saat seperti ini. Apalagi jika lelaki ini sungguh mau menjadi suaminya. Impian Emma memiliki suami tampan dan memiliki pekerjaan mantap akan terwujud. "Bagaimana Emma? Apa kau bersedia dengan tawaranku?" Kembali Fendi memberi penawaran yang menggiurkan untuk ditolak. Emma menimbang. Ia menatap mata Fendi, hingga Emma memantapkan hatinya. "Aku bersedia, dengan syarat, kamu harus menceraikan Nazla. Aku tidak mau dianggap menjadi wanita kedua dalam pernikahanmu dengan sahabatku. Dan aku minta rahasiakan ini semua." Maafkan aku, Nazla. Senyum Fendi mengembang. Tak menyangka semudah itu meraih hati Emma. Sejak saat itu, Emma menjadi dekat dengan Fendi. Jika awal Emma ke kantor Fendi sebagai sahabat Nazla, maka kini berganti menjadi kekasih lelaki itu. Untuk menghilangkan kecurigaan Nazla, Emma tetap mendengar semua keluh kesah Nazla, menjadi pendengar yang baik. Hingga suatu hari Emma tersentak mendapati Nazla muntah-muntah di kamar mandi. "Kamu kenapa Nazla?" Ini sudah tiga bulan sejak Nazla menikah, dan sudah selama itu pula Emma menghabiskan waktu bersama Fendi dibelakang Nazla. "A-aku mual sekali." "Su-suamimu masih menyentuhmu Nazla?" tanya Emma dengan tatapan horror. Nazla tersipu, membayangkan malam-malam indahnya bersama sang suami. "Walau dia kasar dan suka membentak, aku selalu melayani keinginannya Emma. Bukankah memang sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang istri?" Lelaki b******k!! Maki Emma dalam hati. Dia bilang ingin menikah denganku, tapi malah membuat istrinya bunting begini. Emma tahu pasti apa yang kini Nazla rasakan. Mirip dengan orang yang hamil muda. "Suamimu tahu kamu hamil?" selidik Emma. Nazla mengangguk sedih. "Dia tahu, tapi ...." Emma melihat nada sedih di raut wajah sahabatnya. "Kenapa?" "Dia seperti gak begitu menyukai kehamilanku." Emma mencoba tersenyum, walau emosi mendera hatinya. Kalau Nazla hamil, bagaimana mereka menikah? Tak mungkin Fendi menceraikan istrinya yang hamil begini. Merepotkan saja! "Sudahlah Nazla, suamimu kan memang begitu. Kamu yang sabar ya. Biarkan saja dia begitu, memang sifatnya seperti itu kan?" Helaan napas terdengar dari mulut Nazla. "Ya, kamu benar Emma, Mas Fendi memang begitu. Sama sekali tidak berubah. Selalu berlaku kasar kepadaku. Beruntung aku masih memiliki kamu Emma." Nazla memeluk Emma dengan penuh haru. "Aku gak tahu kalau kamu gak ada, aku gak tahu mau mengadu ke siapa." Emma tersenyum dalam hati. Maafkan aku Nazla, aku telalu mencintai suamimu. Daripada kalian tidak bahagia, akan lebih baik jika kalian berpisah dan Fendi jatuh ke pelukanku. Paling tidak, ada diantara kita bertiga yang bahagia. Batin Emma dalam hati. "Sebaiknya kamu istirahat ya," ajak Emma mencoba mengajak Nazla rebah di ranjang. "Hmm tapi aku sudah memasak untuk makan siang suamiku Em. Kamu mau gak tolong antar ke sana. Biasanya aku suka titip ke satpam. Aku gak pernah diizinkan masuk ke kantornya. Mungkin Mas Fendi malu kalau aku ke sana." Emma melihat mata Nazla tertutup karena harus menahan pusing. "Antar makan siang ke kantor suamimu gitu?" tanya Emma. "Iya, tolong ya Em. Aku pusing gak kuat jalan." Senyum Emma kembali mengembang. "Baik, demi kamu dan si jabang bayi, aku akan antar makanan ke suamimu." "Terima kasih ya Em." "Hmm kalau kamu gak keberatan, aku bisa kok temani kamu di sini, aku masakin kamu setiap hari mau gak?" tawar Emma. "Tapi, kamu emang gak kerja?" "Hmm aku masih punya tabungan, dan orang tua aku membebaskan aku mau apa juga. Aku lagi suntuk aja, males gitu cari kerjaan." Mendengar itu Nazla tersenyum. "Wah aku mau dong Em, kamu datang setiap hari. Tapi ... suami aku orangnya kayak gitu Em. Suka emosian. Kamu harus sabar ya." "Aku bodo amat sama suami kamu. Aku kan cuma mau bantu kamu. Masa-masa kamu hamil pasti sulit." Emma memang tidak berdusta. Ia akan berusaha supaya Nazla tidak curiga terhadap hubungannya dengan Fendi. ** Fendi terkejut melihat kekasihnya datang ke kantor. "Sayang, kamu kemari? Kok gak bilang-bilang, lho ini apa?" Fendi melihat rantang isi makanan. "Ini dari istrimu." Emma meletakkan titipan Nazla dengan kasar ke meja Fendi. "Kamu kenapa sayang?" tanyanya heran melihat sikap Emma kali ini. Dan mendadak ia kaget ketika mendapat pukulan di tubuhnya. "Kebangetan ya kamu, ngaku gak suka sama Nazla, ngomong gak cinta karena Nazla kampungan! Tapi kamu bikin dia hamil." "Eh tunggu-tunggu, kamu tahu dari mana kalau istriku hamil? Apa dia kasih tahu kamu?" Fendi menahan lengan Emma yang terus memukulnya. "Ya-iyalah, istri bodohmu itu pasti jujur apapun cerita sama aku. Termasuk ketika kamu menyentuhnya dan lihat sekarang dia hamil." Mata Emma berkaca-kaca. Ia sudah mempercayai lelaki ini yang mengatakan akan menceraikan Nazla. Nyatanya sahabatnya itu malah hamil. "Maaf sayang, aku-aku terpaksa. Habis kamu gak mau aku sentuh, jadi aku gak mungkin melewatkan Nazla begitu saja." Emma mendengus. Ia memang selalu menolak setiap Fendi melakukan hal yang dilarang agama. Emma tidak mau menjadi pelampiasan lelaki ini. "Aku punya kebutuhan, dan aku terpaksa melakukannya dengan Nazla. Tapi aku jujur, tidak ada cinta di sana. Cintaku cuma untuk kamu. Bukan untuk Nazla. Kamu tahu itu sayang." Fendi merangkul bahu Emma dan menghirup aroma kekasihnya. Berusaha menenangkan perasaan Emma. "Terus kalau kalian punya anak, kamu gak akan ceraikan dia kan? Kalian akan punya anak, dan kalian akan terus bersama." Mata Emma berlinang. Ia sudah jatuh hati pada Fendi. Dan membayangkan lelaki ini kembali pada istrinya, ia jelas khawatir. "Sayang dengar dulu dong." Fendi mengeratkan pelukannya. Ia merangkum wajah kekasihnya. "Aku pasti akan menceraikan dia, tapi mau gak mau harus menunggu dia melahirkan." "Alasan, pasti karena kamu mau menyentuhnya kan? Dasar brengsek." "Emma dengar." Fendi mencapit dagu Emma, memaksa wanita itu menatapnya. "Aku seorang laki-laki. Kamu gak ingin aku menyentuh istriku? Oke, tapi kamu harus layani aku." Emma menatap Fendi. "Kau pikir aku bodoh?" Dengan kesal, Emma bangkit. "Kalau begitu, hubungan kita cukup sampai di sini," ancam Emma. Fendi segera menahan langkah Emma. "Emma tunggu!" Fendi menggeram kesal. Tampaknya ia harus mengalah. "Baik, aku berjanji mulai hari ini aku tidak akan menyentuh istriku itu lagi. Semua demi kamu." "Kamu janji?" desak Emma. "Aku bersumpah. Aku tidak akan menyentuh wanita kampungan itu." Seketika Emma menghambur ke pelukan Fendi. "Aku begitu mencintaimu. Aku hanya ingin kamu milik aku selamanya," bisik Emma. "Aku milikmu Emma. Aku juga cinta sama kamu. Cuma sama kamu." Fendi melabuhkan kecupan pada wanita yang menurutnya lebih pantas menjadi istrinya dibanding wanita bernama Nazla yang tercatat sebagai istri sahnya di mata agama dan negara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD